Bumerang

Diambil dari jurnal Arga Kholis, 31 Agustus 2019, Bumerang.




--

Syifa, temanku, sempat bercerita kepadaku via WhatsApp tentang bahaya curhat kepada lawan jenis perihal keraguan kita terhadap pasangan sendiri yang suatu waktu bisa menjadi sebuah bumerang. Intinya, dia mencoba mengisahkan pengalaman pahitnya, bahwa ada sebagian lawan jenis yang mulanya bertugas sebagai pendengar, lalu tiba-tiba berubah menjadi pengisi hati.
 
Tanpa perlu bertanya lebih lanjut kepadanya, aku langsung menangkap maksud Syifa sewaktu dia mengutuk nama seorang cewek yang konon telah merebut pacarnya. Jadi, aku menyimpulkan kalau pacarnya itu tergoda oleh perempuan lain yang menawarkan kenyamanan baru. Mantan pacar Syifa ini merasa cerita-ceritanya dihargai oleh si cewek yang mendengarkan curahan hatinya itu, sehingga keluhan-keluhan tentang sifat buruk Syifa justru melahirkan saran agar mereka putus, yang anehnya diterapkan oleh si cowok tanpa berpikir panjang, dan juga bikin dia lekas-lekas berpindah ke lain hati, bukannya introspeksi diri atau memulihkan patah hatinya atau menikmati masa kesendirian hingga kelak siap memulai hubungan baru yang lebih sehat.

“Ini rasanya sama saja seperti diselingkuhi,” ujar Syifa, yang kemudian bertanya, entah kepadaku atau kepada dirinya sendiri, mengapa ada sebagian perempuan yang tega mencari celah buat masuk ke hubungan seseorang demi merebut kekasih orang itu? Lebih-lebih orang itu juga saling mengenal.

Meski aku tak yakin dia bertanya kepadaku, aku tetap menimpalinya: Tapi itu enggak cuma cewek, Fa, cowok banyak juga kok yang begitu. Awalnya, sih cuma jadi tempat curhat, eh lama-lama pacar teman sendiri juga diembat.

“Iya, mau cewek ataupun cowok ada yang begitu. Apa kamu sendiri pernah?”

“Pernah apa? Jadi korban kayak kamu, atau pindah ke lain hati gara-gara curhat kayak mantanmu, atau sok-sokan jadi pendengar buat menjadi sosok pengganti?”

“Ya, semuanya. Kamu pernah?”

Aku sontak terdiam disodorkan pertanyaan tersebut dan coba menggali berbagai memori.
 
 
Tentu saja aku pernah menjadi korban seperti Syifa. Hal ini terjadi sudah cukup lama, kira-kira 5 tahunan lalu. Aku dan pacarku merupakan teman sekelas pada masa kuliah. Kami menjalin hubungan sejak semester 2, dan kami bisa tetap bertahan walaupun hubungan kami sempat naik-turun pada semester 3, sehingga aku merasa kami bisa saling setia sampai waktu kelulusan nanti, sampai kami bekerja sekaligus berkomitmen mengumpulkan uang tabungan pernikahan, terus menikah dan hidup berdua dalam suka-duka, dan seterusnya, tapi nyatanya aku malah membaca tanda-tanda bahwa hubungan kami akan segera pupus pada semester 4. Penyebabnya: Persis sebagaimana pengalaman Syifa, pacarku rutin bercerita kepada salah seorang cowok di kelas kami tentang hal-hal yang tidak dia sukai dari karakterku, lalu si cecunguk itu alih-alih menanggapinya dengan bijak, dia justru semakin menjelek-jelekkanku, dan meyakinkan pacarku bahwa masih ada cowok lain yang lebih baik, yang tidak lain tidak bukan dia bermaksud mempromosikan dirinya sendiri. Bagian selanjutnya aku sudah malas bercerita karena benar-benar tragis.
 
 
Seingatku, dalam tiga tahun terakhir ini, aku belum pernah mengalami kejadian semacam itu. Sewaktu aku pengin bercerita kepada orang lain (sekalipun itu lawan jenis) niatku memang mau bercerita saja biar hati terasa plong. Tak ada sedikit pun keinginan menemukan perempuan lain yang lebih mengerti diriku dan sudi mendengarkan segala unek-unekku. Biarpun perempuan itu seolah-olah menawarkan kenyamanan ketimbang pacarku sendiri, aku jelas cukup sadar buat enggak terjatuh ke dalam perangkap jahanam itu.

Mungkin aku juga termasuk beruntung karena lebih sreg curhat lewat tulisan di buku jurnalku, atau langsung membicarakannya kepada pihak terkait jika sedang ada masalah. Hal itu pun cukup menghindarkan diriku dari beberapa perempuan yang barangkali punya niat untuk masuk ke hidupku.

Bukannya aku kelewat percaya diri atau apa, tapi aku pernah merasa ada seorang teman lawan jenis yang tak rela jika aku menghabiskan banyak waktu bersama perempuan lain—termasuk pacarku sendiri. Mulanya, aku kira itu sebatas perasaan iri seorang teman dekat, tapi lama-lama aku berasumsi bahwa dia menyukaiku. Dia tahu aku sudah memiliki pacar, lantas mengapa dia masih saja gemar mengontakku? Bahkan dia pernah menelepon ketika aku sedang kencan dengan pacarku, sampai-sampai hal itu menjadi suatu kesalahpahaman dan kerap memicu pertengkaran kami. Baguslah pacarku saat itu mengerti bahwa aku tak ada hubungan aneh-aneh dengan teman cewek yang genit itu, dan aku pun perlahan-lahan menjaga jarak kepadanya hingga kami akhirnya saling menjauh. Meskipun hubunganku dengan si pacar kini telah berakhir, aku bersyukur kami bubar bukan karena gadis kegatelan itu.

 
Jika yang barusan adalah ceritaku ketika menjadi pihak yang bercerita, kali ini ingatanku mencoba menelusuri berbagai kejadian kala aku menjadi pihak yang mendengarkan. Rupanya dalam tiga tahun terakhir ini aku juga selalu berusaha biasa saja. Sekalipun waktu itu aku berstatus lajang, dan aku cukup sering menjadi tempat sampah—sekiranya frasa ini terlalu kasar, kau bisa mengganti dengan tempat buang unek-unek atau pendengar yang baik—beberapa teman perempuan yang lagi bermasalah dengan pasangannya, tak ada sedikit pun hasrat di dalam diriku untuk jadi pengganti pasangannya selama mendengarkan kisah mereka. Malahan, jika tak salah ingat, aku pernah menjadi tempat curhat orang yang aku cintai secara diam-diam pada satu tahun silam.

Status online Syifa berubah menjadi sedang mengetik pesan dan lantas muncul pertanyaan: Kamu betulan enggak tergoda saat itu?

“Aku saat itu justru mendukung mereka balikan.”

“Terus mereka akhirnya balikan?”
 
“Iya.”

“Kamu enggak merasa sakit?”

“Oh, jangan ditanya. Hatiku langsung pecah berkeping-keping.”
 
Syifa pun merespons jawabanku dengan tiga buah emoji tertawa yang mengeluarkan air mata disusul dengan kalimat, Kamu kok goblok banget deh nyakitin diri sendiri.

Seenggaknya aku telah menjalankan tugas dengan baik. Walaupun mereka saat itu putus, aku pikir diriku juga kurang berhak masuk ke rumah yang baru saja kosong itu. Niat aku sedari awal kan cuma ingin menjadi pendengarnya, bukan pengganti kekasihnya.

Syifa kemudian memujiku hebat karena bisa berprinsip sekuat itu. Komunikasi kami akhirnya berakhir setelah Syifa mengucapkan terima kasih karena aku sudah bersedia mendengarkan curahan hatinya sekaligus berbagi cerita.

 
Sebetulnya sehabis aku putus dengan pacarku zaman kuliah, aku sempat terjebak hubungan semacam itu, tapi aku terlalu malas menggali ingatan suram ini. Sialnya, memori gelap ini bisa-bisanya telanjur naik ke permukaan dan memaksaku untuk segera membuangnya lewat tulisan agar tak ada lagi rasa mengganjal di hati.
 
Jadi, bagaimana aku bisa nyaris menjalin hubungan dengan seorang gadis yang berawal dari curhat kemudian berubah menjadi teman dekat? Aku dan perempuan ini juga teman satu kampus, tepatnya dia adalah adik tingkatku. Kala itu aku dan dia saling bercerita tentang betapa hancurnya hati kami sehabis diselingkuhi, lalu kami pun menghabiskan banyak waktu bersama demi melupakan rasa sakitnya sebuah pengkhianatan dengan pergi keluyuran bareng seperti makan, karaoke, atau menonton bioskop. Saking seringnya kami menghabiskan waktu bersama, hingga datanglah suatu hari ketika aku mulai nyaman dengannya (aku menebak dia juga nyaman bersamaku). Namun, sesaat sebelum aku ingin mengungkapkan rasa, aku mulai merenung kalau hubungan kami itu terasa ganjil atau merupakan kesalahan. Aku lama-lama paham sendiri bahwa kami itu sebenarnya cuma sedang mencari tempat pelarian, dan menjalin hubungan saat kondisi hati masih terluka bukanlah keputusan yang bijak.


Terakhir, sebagaimana yang bisa ditebak, hubunganku dengan Syifa juga tak pernah mencapai status berpacaran karena aku selalu memegang prinsipku. Kami bahkan kini menjadi orang asing, tak pernah bertukar kontak sama sekali, khususnya setelah Syifa menikah 1,5 tahun kemudian sejak dia memberitahuku mengenai betapa bahayanya curhat kepada lawan jenis. Saling curhat kepada lawan jenis memang terkadang berbahaya. Aku sangat telat menyadarinya. Kini prinsip tololku itu malah menjadi bumerang untukku, sebab aku diam-diam menyayangi Syifa dan aku terlambat mengutarakan perasaanku.

--

Sumber gambar: bobo.grid.id

2 Comments

  1. Kayaknya sakit banget ya kalo mengalami jadi korban yang pacarnya diembat temen sendiri. Bahkan bisa mengamuk kayak Hulk dan jangan tanya mana bener, mana nggak bener. Karena belum melihat dengan jernih, makanya emosi yang mendominasi. Pengennya kedua orang itu ditelan bumi sajalah.

    Nah, ketika sudah maju ke depan, kita bakal sadar konsep jodoh. Dan akan sadar, padahal cuma pacaran belum sampe tunangan atau nikah ya, kenapa seheboh itu sih. Tapi reaksi ketika dulu ngamuk, marah, sedih, masih normal kok. Yang gak normal kalo gara-gara kejadian itu berujung mencelakai keduanya, huft.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tapi apa yang bisa dibenarkan dari perselingkuhan, sih? Haha. Kalaupun putus duluan dan baru ganti pacar (ke teman sendiri itu), saya kira tetap ada pemicunya. Lain cerita kalau jangka waktu putusnya lama, atau kondisinya gimana gitu.

      Sebetulnya marah memang wajar, namanya juga manusia. Jika sampai bertindak kriminal, saya enggak bisa komentar. Ngeri memang sisi gelap manusia yang hatinya hancur.

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.