Rahasia Kejahatan

Cerpen berikut ini saya terjemahkan bebas dari buku kumpulan cerita Roberto Bolaño, The Secret of Evil. Sebetulnya tulisan ini pernah saya muat di blog saya yang lainnya, yang jarang diketahui orang lain, dan setiap kali mengalihbahasakan teks niatnya cuma untuk konsumsi pribadi. Namun, berhubung saya ragu bulan ini dapat produktif mengisi blog, saya sengaja menerbitkan ulang di sini, dan rencananya sebelum 2021 berakhir, saya ingin mendedikasikan blog ini buat Senor Bolaño (yang secara tak langsung telah menyelamatkan diri saya) dengan memfokuskan topik-topik tulisan terkait sosoknya maupun karyanya. Saya bermaksud memulainya dengan terjemahan tulisan beliau, sebab saya kira berkat cerpen-cerpennya itu, saya jadi memikirkan ulang tentang standar penulisan cerpen dan bisa menulis dengan lebih bebas.
 
Sebagaimana ucapan Ignacio Echevarria (saya tak tahu pasti dia siapa, tapi saya menebak dia adalah jurnalis, kritikus, atau editor dari salah satu penerbit yang menghimpun karya Bolaño) yang tertera di kata pengantar atau catatan pembuka dalam buku edisi berbahasa Inggris yang saya baca, dia berhasil menemukan lebih dari 50 fail tulisan di folder komputer Bolaño setelah kematiannya, lantas dia memfilter sebagiannya untuk diterbitkan jadi buku The Secret of Evil. Nah, kumpulan cerpen Bolaño dalam buku ini mayoritas tulisannya belum selesai lantaran ajal yang terlalu cepat mendahuluinya. Meski demikian, kadang-kadang saya berpikir bahwa kematian justru dapat menyempurnakan tulisan yang belum selesai itu.

 



--

Kisah ini sangatlah simpel, meskipun bisa juga teramat rumit. Ini juga tak lengkap, sebab cerita seperti ini tidak memiliki akhir. Malam itu di Paris, dan seorang jurnalis Amerika Utara sedang terlelap. Tiba-tiba telepon berdering, dan seseorang bertanya dalam bahasa Inggris, dengan aksen yang tak dapat dikenali, untuk Joe A. Kelso.

Bicaralah, kata sang jurnalis dan kemudian melihat arlojinya. Sekarang pukul empat pagi; dia hanya tidur sekitar tiga jam dan dia lelah. Suara di ujung telepon mengatakan, aku harus menemuimu, untuk menyampaikan beberapa informasi. Sang jurnalis bertanya kepadanya tentang apakah itu. Sebagaimana biasanya panggilan sejenis ini, suara itu tidak menyuguhkan apa-apa. Setidaknya, sang jurnalis meminta beberapa petunjuk. Dalam bahasa Inggris yang sempurna, jauh lebih tepat daripada kemampuan Kelso, suara itu mengekspresikan preferensinya untuk pertemuan tatap muka. Lantas, dengan segera, dia menambahkan, Secepat mungkin.

Di mana? tanya Kelso. Suara itu menyebutkan salah satu jembatan di atas Sungai Seine. Dan menambahkan: Kau bisa tiba di sana dalam dua puluh menit dengan berjalan kaki. Sang jurnalis, yang telah mengadakan ratusan perjumpaan seperti ini, mengatakan bahwa dia akan berada di sana dalam setengah jam. Saat berpakaian, dia berpikir itu cara yang sangat bodoh untuk menghabiskan malam, tapi dia menyadari, dengan sedikit kaget, kalau dia tidak lagi mengantuk, bahwa panggilan itu, meskipun dapat diprediksi, telah membuatnya terjaga.

Ketika dia sampai di jembatan, lima menit setelah waktu yang ditentukan, dia tak dapat melihat apa pun kecuali mobil-mobil. Untuk sesaat dia berdiri diam di suatu ujung, menanti. Lalu dia berjalan melintasi jembatan, yang masih sepi, dan setelah menunggu beberapa menit di ujung yang lain, akhirnya kembali menyeberang dan memutuskan untuk menyerah dan balik ke tempat tidur.

Saat dia berjalan pulang, dia memikirkan suara tersebut: itu jelas bukan suara orang Amerika Utara dan mungkin juga bukan orang Inggris, meskipun dia tak begitu yakin tentang hal itu sekarang. Itu bisa saja orang Afrika Selatan atau Australia, pikirnya, atau orang Belanda, barangkali, atau seseorang dari Eropa Utara yang belajar bahasa Inggris di sekolah dan sejak itu menyempurnakan pemahamannya dalam berbahasa di pelbagai negara Anglosfer.

Ketika dia menyeberang jalan, dia mendengar seseorang memanggil namanya: Tuan Kelso. Dia segera menyadari bahwa pria itulah yang mengajak bertemu dengannya di jembatan, berbicara dari jalan masuk yang gelap. Kelso nyaris berhenti, tetapi suara itu memerintahkannya untuk terus berjalan. Ketika dia mencapai sudut berikutnya, dia berbalik dan melihat bahwa tak ada yang mengikutinya. Dia tergoda untuk menelusuri kembali langkahnya, tetapi setelah ragu sesaat dia memutuskan bahwa yang terbaik adalah melanjutkan perjalanannya. Pria itu mendadak muncul dari pinggir jalan dan menyapanya. Kelso membalas salamnya. Pria itu mengulurkan tangannya.

Sacha Pinsky, ujarnya. Kelso menjabat tangannya dan memperkenalkan dirinya secara bergantian. Pinsky menepuk punggungnya dan bertanya apakah dia suka minum wiski. Sedikit wiski, apa yang lebih tepatnya dia katakan. Dia bertanya pada Kelso apakah dia lapar. Dia meyakinkan sang jurnalis bahwa dia tahu di bar mana mereka bisa mendapatkan croissant panas, yang baru dipanggang.

Kelso menatap wajahnya. Walaupun Pinsky mengenakan topi, wajahnya pucat pasi, seolah-olah dia telah dikurung selama bertahun-tahun. Tapi di mana? Kelso bertanya-tanya. Di penjara atau tempat rehabilitasi untuk orang sakit jiwa? Biar bagaimanapun, sudah terlambat untuk mundur sekarang, dan Kelso tidak keberatan untuk croissant panas.

Tempat itu bernama Chez Pain, dan terlepas dari kenyataan bahwa itu ada di kawasannya (di sisi jalan yang sempit, harus diakui), ini adalah pertama kalinya dia menjejakkan kaki ke dalam, dan mungkin pertama kali dia melihatnya. Sebagian besar dia sering mengunjungi tempat-tempat di Montparnasse dengan nuansa legenda yang meragukan tentang keberadaan tempat-tempat tersebut: tempat di mana Scott Fitzgerald pernah makan, tempat di mana Joyce dan Beckett minum wiski Irlandia, bar-bar yang disukai oleh Hemingway dan Dos Passos, Truman Capote dan Tennessee Williams.

Pinsky benar mengenai croissant di Chez Pain: rasanya enak, baru dipanggang, dan kopinya tidak buruk sama sekali. Yang membuat Kelso berpikir—dan ini adalah pemikiran yang menakutkan—bahwa pria ini mungkin saja warga setempat, tetangganya. Sewaktu dia mempertimbangkan kemungkinan ini, Kelso terjerat oleh rasa ngeri. Seorang lelaki, seorang paranoia, seorang sinting, seorang penguntit tanpa ada yang mengawasinya secara bergiliran, seseorang yang sulit dilenyapkan.

Yah, Kelso akhirnya berkata, aku mendengarkan. Pria pucat itu, yang sedang menyesap kopinya tetapi tidak makan, menatapnya dan tersenyum. Ada sesuatu yang sangat menyedihkan tentang senyumannya, dan juga melelahkan, seakan-akan itu merupakan satu-satunya cara ketika dia dapat membiarkan dirinya mengekspresikan keletihannya, capek dan kurang tidur. Namun begitu dia berhenti tersenyum, wajahnya pulih kembali.

0 Comments