Resep Murah untuk Bergembira

Menulis apa pun setiap hari. Sekali lagi kuulangi: apa pun. Akhir-akhir ini kau terlalu fokus menggarap cerpen hingga lupa dengan tulisan-tulisan yang barangkali mulai kaupandang remeh. Cerita keseharian, misalnya. Bukankah kau sadar kalau selama ini catatan semacam itu sering menolongmu dari perasaan-perasaan buruk?
 
Niatmu pertama kali bikin blog buat terapi jiwa juga seolah-olah terlupakan begitu saja. Mana bukti yang kau bilang ingin menjadikan blog sebagai wadah bercerita tentang hal apa pun? Katanya kau ingin menulis sesuka hati tanpa berpikir keras mengenai bagus-jeleknya, panjang-pendeknya, ramai atau sepinya pembaca, serta ada yang mengomentarinya atau tidak. Apakah itu semua cuma kebohongan?

Terkadang kau melarikan dirimu dari menulis cerpen ke puisi, tapi kian lama kau justru jadi terikat olehnya. Seakan-akan jika kau menerbitkan yang bukan fiksi itu merupakan dosa yang tak terampuni. Semestinya kau menuliskan apa pun. Sekali lagi kuulangi: apa pun, Bangsat!




Belakangan ini kau sebenarnya tak pernah menulis lagi, kan? Kau bahkan tak bisa mengingat kapan terakhir kali dirimu menulis cerita. Untuk tetap ngeblog, kau hanya menerjemahkan tulisan orang lain, atau mengambil draf lama kemudian menyuntingnya di beberapa bagian. Tak ada lagi keinginan dalam dirimu untuk membuat cerita baru.

Aku tak peduli dengan semua keluh kesahmu akhir-akhir ini terkait dunia kepenulisan yang konon membuatmu menderita. Biar bagaimanapun itu adalah keputusan dan jalan hidup yang kaupilih sendiri, kan? Lantas, mengapa kau sekarang menjadi cengeng? Jika aku boleh memberimu saran: mengeluh seperti itu tak akan membuat tulisanmu jadi lebih asyik ataupun bagus.

Mungkin kau paham bahwa ada sebagian penulis yang tulisannya terasa ciamik saat mereka bersedih. Sebagian yang lain justru memiliki kekuatan kala sedang berbahagia, ada pula yang ketika marah. Namun, kalau kau mengisahkan kesedihan terus-menerus seperti itu, apakah kau tidak merasa bosan? Apa kau betah bermain aman di habitat gelapmu itu?

Orang yang tak pernah berlatih jurus baru, setahuku, akan sulit menang dalam pertarungan. Jadi, sekalipun kau sudah terbiasa menulis dalam lima tahun terakhir, saat ini kau juga mesti tetap berusaha menjaga ritme menulismu. Latihlah bagian-bagian yang kaupikir menjadi kelemahanmu dalam mendongeng, atau kau nanti tak akan pernah bisa menang melawan dirimu sendiri. Tapi, kalau kupikir-pikir ulang, itu urusan nanti saja ketika kau sudah terasa lebih baik. Saat ini, kau mending fokus menuliskan apa pun sebagaimana yang kusebut di awal tulisan. Toh, tak ada ruginya juga untukmu, kan? Meski itu hanya berupa curahan hati tak penting, catatan pendek akan suatu peristiwa, atau lebih sering kauanggap sebagai omong kosong, paling tidak hal-hal semacam itu benar-benar bisa menghilangkan beban di kepala maupun hatimu.

Aku telah mengetahui rahasiamu yang tampaknya ingin sekali kauhindari atau sembunyikan. Saat pertama kali mendengarnya, kuakui, memang benar-benar terasa nestapa. Kau membuang harapanmu untuk menghasilkan uang melalui menulis, jengkel dengan dunia itu, sampai-sampai proses menulis yang dulunya sangat menyenangkan, kini tiba-tiba berubah menjadi neraka. Kau terus berjuang susah payah demi menemukan kegembiraanmu lagi dalam menulis.

Jika kau biasanya suka menantang diri sendiri untuk menulis satu cerita pendek dalam 1-2 minggu, sekarang keinginan itu perlahan menghilang. Mungkin karena kau mulai berpikir, bahwa kualitas cerpenmu biasa-biasa saja, dan seumpama kau terus memaksakan diri untuk menghasilkan lebih banyak, apalagi sampai nekat menjualnya, itu sama seperti menyakiti diri sendiri.

Aku tentu tak bisa berkomentar apa-apa terkait hal pelik itu. Sebagaimana yang kita tahu, memang cuma orang-orang beruntung yang bisa menghidupi dirinya lewat karya. Jangankan kau yang bukan siapa-siapa begini, salah seorang rapper yang cukup terkenal dan memiliki puluhan ribu pengikut di media sosial saja, pernah mengeluh kenapa albumnya hanya terjual 30 buah selama dua bulan setelah perilisan? Ke manakah para pengikutnya? Ke manakah para pendengar lagu-lagunya? Menurutku, jawabannya begini: mereka menggunakan uangnya untuk kebutuhan prioritas. Lebih-lebih pada masa krisis pandemi. Andaikan mereka punya uang lebih pun, sebagian dari mereka mungkin saja terbiasa menikmati gratisan, sehingga harus berpikir ulang kalau mau membayar untuk sebuah karya.

Untuk contoh lainnya, ada salah seorang penulis (yang karya-karyanya selalu kau beli dan favoritkan) sempat mengaku bahwa dalam setahun buku pertamanya cuma terjual 200 buah. Itu tentu jumlah yang sangat sedikit. Jika harga jual bukunya 50.000 dan dia menerima royalti sebesar 10%, berarti total penghasilannya dalam setahun jelas hanya satu juta. Hasilnya ternyata tak sebanding dengan segala upaya yang telah dia lakukan, khususnya waktu yang telah dia habiskan buat mencari gagasan-mengumpulkan bahan riset-menciptakan karakter-mengatur plot-menulis-membaca ulang-mengoreksi kesalahan-menulis ulang-merevisi naskahnya lagi-dan seterusnya hingga terlahirlah sebuah novel.

Lagi-lagi akan aku tegaskan: biar bagaimanapun itu telah menjadi konsekuensi seorang penulis. Pilihan yang kau tentukan untuk menceburkan diri ke samudra kepenulisan dan memilih tenggelam sedalam-dalamnya pasti memiliki risiko. Bukankah kau sudah menyadari jika menulis ini sama seperti pekerjaan lainnya? Saat kau bekerja di bidang lain, kau juga pernah merasa capek, jenuh, bahkan muak, kan? Itu merupakan siklus yang natural. Santai sajalah. Setidaknya, apa pun pilihan yang kelak kau ambil (berhenti atau lanjut?), aku berharap kau dapat memutuskannya tanpa ada sedikit pun penyesalan pada kemudian hari.

Kau rupanya masih tak mau berhenti karena teks ini justru terus bertambah, kan? Kau memang sangat mengerti tentang cinta sekaligus benci yang telah menjadi satu paket dalam jiwa seorang penulis. Ketika kau sadar akan prosesnya yang kerap menjengkelkan dan menyakitkan, tetapi di balik itu semua, selepas kau berhasil menuntaskan sebuah tulisan, selalu muncul rasa lega yang membuatmu bergembira. Seakan-akan kau baru saja buang air besar atau melunasi seluruh utangmu atau menolong kawanmu atau menyatakan cinta kepada orang yang kau sayangi atau menyelamatkan nyawa orang lain atau hal apa pun yang semacam itu.

Bagimu, harga kebahagiaan memang semurah itu. Cukup dengan menuliskan segala hal yang mengganjal di kepala maupun hatimu setiap hari. Jadi, berhentilah mempermasalahkan kesedihan, kesepian, atau hal-hal buruk yang kautulis. Kau tentu boleh merasa malu sekiranya ada yang mengejekmu lemah, cengeng, melankolis, atau apa pun itu. Namun, aku bisa memberimu sedikit nasihat: kau bisa bersikap bodo amat. Selama energi negatif itu terbuang dan menulis jurnal benar-benar terbukti dapat menyembuhkanmu, lakukan saja tanpa ragu.

Nasihatku yang lain untuk terakhir kalinya: lupakan segala ocehan yang kukatakan di sini. Sewaktu aku menyuruhmu menulis apa pun setiap hari pada kalimat pembuka, kau jelas boleh melanggarnya. Kau boleh bermalas-malasan pada momen-momen tertentu. Kau dapat bersantai sejenak dan tak perlu merasa tertuntut agar terus produktif. Kau boleh menyia-nyiakan waktu luangmu hanya dengan membaca tanpa perlu menulis apa pun. Atau malah leyeh-leyeh menonton film atau anime. Jika kau berpikir tulisanmu saat ini tak penting bagi pembaca, kau boleh menerjemahkan tulisan orang lain yang kau favoritkan dan anggap berharga meskipun kau belum mahir berbahasa Inggris ataupun bahasa asing lainnya. Sebaiknya jangan pernah takut menghasilkan terjemahan buruk. Ketika kau sudah berusaha semaksimal mungkin, membaca ulang hasil terjemahanmu berkali-kali dan terus memperbaikinya hingga kau merasa sreg, kau pasti sudah mengusahakan yang terbaik, bukan? Kau tak akan tahu mana yang jelek, biasa saja, serta bagus tanpa pernah mencoba dan menampilkannya sampai menerima berbagai respons. Jadi, nikmati saja proses pembelajaranmu itu. Begitu pula kala kau menyusun sajak. Abaikan komentar aneh setiap orang, termasuk seseorang di dalam dirimu, yang mempertanyakan apakah tulisan semacam itu pantas disebut puisi? Kalau kau meracik berbagai diksi itu sebagai sebuah puisi, berarti kau boleh menganggapnya puisi. Intinya, kau bisa menulis sebebas-bebasnya dan tak usah terbebani apa pun lagi. Tujuan menulismu yang paling penting itu ialah menggembirakan dirimu sendiri.
 
Sebagaimana yang Charles Bukowski katakan: Kau bakal menulis dengan sendirinya dan akan terus menulis sampai kau mati, atau ia mati di dalam dirimu. Tak ada jalan lain, dan tak akan pernah ada.

 
Mei 2021

--

Sumber gambar: Potongan adegan dari anime Naruto.

10 Comments

  1. ini related banget, menulis apapun gak ada salahnya apalagi setiap hari biar tetap lancar menulis

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, menulis aja sesukanya walau enggak semua tulisan itu bakal terbit di blog.

      Delete
  2. walaupun gak punya jurus baru, tapi punya semangat api pasti bisa. hehehe bercanda.

    sedikit pendaptan penulis. Makanya ada Penulis yang gregetan jika ada orang menjual buku bajakan

    ReplyDelete
    Replies
    1. Asal apinya tidak membakar diri sendiri aja. Haha. Bukan geregetan lagi, melainkan sangat murka.

      Delete
  3. Bener banget. Atlet aja misalnya, kalau lama gak latihan pasti bakal susah atau lama buat bisa kembali perform. Nulis juga pasti gitu. Kadang kalau gue sebulanan gak nulis, begitu mau nulis lagi jadi bingung mau ngetik apa padahal di kepala udah banyak yang mesti dikeluarin.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, atlet mesti latihan rutin biar daya tahan tubuhnya tetap terjaga. Walau enggak ada pertandingan resmi, mereka tetap mempertahankan performa terbaik mereka saat latihan bareng kawan.

      Waduh, ini gue udah lama banget enggak bikin cerita baru rasanya. Saking kelamaan dipendam, justru lupa cara mengeluarkan ide-ide di kepala.

      Delete
  4. dari sepanjang ini tulisan, yang membuat saya kagum pada tulisan ini pada kalimat tanpa jurus baru akan sulit untuk menang. Intinya ya adaptasi..

    Pekerjaan kita sama bang, menghasilkan uang dari menulis. Bedanya hal yang ditulis aja, kalau saya code :)) Tapi hal yang sama adalah, kalau tidak ada jurus baru dan kepak saya kekonsistenan ya sulit untuk menang di dunia kapitalisme ini kan yah

    Sukses untuk karya-karya-nya yah bang!

    *brb self reward dengan leyeh-leyeh* :))

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya ampun, ada yang bisa bikin kagum ternyata. Haha. Makasih.

      Betul sekali. Di dunia kapitalis ini, memang perlu usaha ekstra untuk menjual tulisan. Jangan sampai terjebak pada kalimat menulis untuk keabadian. Sah-sah aja mencari uang lewat menulis.

      Sukses juga buat kamu, Bang. :D

      Delete
  5. yang dulu asalnya jadi kegiatan menyenangkan jadi kegiatan yang bikin beban
    tapi ya gimana udah nyemplung di dunia kepenulisan
    love hate relationship emang
    cuma makin ke sini kalau di bikin ya udahlah malah bikin bahagia
    udah gitu aja wkwkw

    ReplyDelete
    Replies
    1. Udah telanjur basah kuyup ya, Mas. Jadi mending sekalian berenang atau menyelam lebih dalam lagi. Pasti masih ada kebahagiaan dari kegiatan ini, karena kalau cuma memberi kesedihan, buat apa dilakukan?

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.