Anosmia

Menulis tentang penyakit, terutama jika seseorang sakit parah, bisa menjadi siksaan. Menulis tentang penyakit jika seseorang tidak hanya sakit parah tetapi juga hipokondria adalah tindakan masokisme atau keputusasaan. Tapi itu juga bisa menjadi tindakan yang membebaskan.

Roberto Bolano, Literature + Illness = Illness

 

 
 
 --
 
Cempaka Wulandari, 19 tahun, Bali

Sudah tiga hari ini aku terkena anosmia. Pertama kali aku sadar tak bisa mencium aroma apa-apa ialah ketika aku sedang memeluk pacarku, Satya, dan aku berkata: Kamu kok tumben enggak pakai parfum, Beb? Dia kemudian melepaskan pelukanku, menatapku cemas, menjelaskan bahwa dia sudah mandi dan menyemprotkan parfum sebelum menemuiku, serta curiga jangan-jangan aku terpapar virus Corona. Saat itulah kami bergegas melakukan tes swab di rumah sakit yang paling dekat dari indekosku.

Keesokan harinya, hasil tes kami pun keluar, dan benar saja ternyata aku positif. Baguslah pacarku dinyatakan negatif. Oleh karena itu, kami tak bisa bertemu dan bermesraan untuk sementara waktu. Menyebalkan sekali. Tapi aku sadar, kalau ini merupakan kesalahanku sendiri. Belakangan ini aku masih gemar nongkrong bersama teman-temanku, baik itu di kafe ataupun di bar. Sepertinya salah satu temanku ada yang OTG (Orang Tanpa Gejala), dan aku pun tertular. Tak ada satu pun dari kami yang berinisiatif melakukan tes swab setiap kali akan mengadakan pertemuan, karena di pikiran kami hanyalah bersenang-senang.

Hidup jauh dari orang tua membuatku merasa bebas, liar, dan tak terkendali. Jadi, aku malu jika harus mengabarkan kepada mereka tentang kondisiku saat ini. Aku juga tak ingin membuat mereka khawatir. Aku sungguh beruntung masih memiliki pacar yang baik. Walaupun pada awalnya Satya memarahiku, dia sebelumnya juga suka menceramahiku jangan sering-sering keluyuran, tapi ketika aku tetap bandel dan keras kepala hingga akhirnya dinyatakan positif begini ternyata dia masih tetap berjanji akan mengurus segala kebutuhanku selama aku isolasi mandiri.

Perkiraanku tentang virus Covid hanya menyerang orang-orang tua rupanya keliru. Aku yang masih muda ini buktinya bisa terpapar. Aku kini menyesal telah berpikir bodoh semacam itu. Mungkin orang-orang yang meremehkan Covid ini perlu kena dulu kali, ya, baru deh mereka akhirnya sadar betapa berbahayanya virus ini, lalu lebih menjaga diri. Sebab aku baru mengerti betapa tidak enaknya kehilangan indra penciuman dan indra perasa. Apa pun yang aku makan rasanya jadi aneh. Aduh, maafkan aku ya, Tuhan. Aku kapok. Aku ingin cepat sembuh. Aku ingin bisa makan makanan enak lagi.

 

Dani Nugraha, 28 tahun, Cianjur

Saat ini aku tinggal bertiga dengan ibuku dan adik perempuanku. Bapak bekerja di Jakarta dan biasanya baru pulang ke rumah 1-2 kali dalam sebulan. Tadinya aku juga bekerja di Jakarta dan mengekos di sana, tetapi kenyataan menghantamku begitu keras. Aku termasuk golongan karyawan yang dirumahkan. Jenis pekerjaanku yang bergerak di bidang retail itu jelas tak memungkinkan untuk bekerja dari rumah. Maka, beginilah jadinya. Ada belasan karyawan yang kontrak kerjanya langsung diputus begitu saja, bahkan tanpa diberikan pesangon.

Berhubung di Jakarta aku hampir tak memiliki teman, mencari pekerjaan baru pun pasti terasa sangat sulit, ditambah lagi situasi pandemi juga semakin memburuk, aku tak punya pilihan lain selain balik ke rumah orang tua. Pada awalnya semua terasa begitu menyegarkan dan menyenangkan. Suasana pedesaan sungguh menenteramkanku. Aku menganggap ini semacam liburan untuk bersantai sejenak. Tabunganku selama bekerja di Jakarta juga masih terhitung cukup untuk biaya hidupku selama enam bulan.

Namun, segalanya berubah sekitar sebulan kemudian. Ibuku tiba-tiba jatuh sakit. Beliau menggigil dan batuk-batuk. Apalagi katanya sulit bernapas. Lalu, dalam kepanikan itu aku segera membawanya ke rumah sakit. Beliau dinyatakan positif Covid. Aku sungguh kaget mendengar kabar itu. Aku langsung menghubungi Bapak buat meneruskan info tersebut, tapi ternyata Bapak tak bisa izin ataupun cuti. Mengingat Bapak sudah memasuki usia senja, aku juga menyarankan lebih baik tak usah pulang dulu sementara ini. Biar aku sajalah yang menemani dan mengurus segala keperluan Ibu selama beliau dirawat di rumah sakit.

Aku betul-betul bingung, kenapa selama tiga hari ini ibuku seperti diabaikan saja oleh pihak rumah sakit? Apakah saking banyaknya pasien yang dirawat dan mereka kekurangan tenaga kesehatan? Daripada ibuku di sini cuma ditelantarkan, kupikir lebih baik aku merawatnya sendiri di rumah. Aku juga kepikiran dengan adikku yang masih kelas 4 SD itu. Apakah uang yang kuberikan itu masih cukup untuk membeli makanan? Aku belum sempat menengok keadaan rumah sejak membawa Ibu ke sini. Aku benar-benar ingin pulang saja. Belum sempat kuutarakan niat itu, Ibu ternyata sudah meminta pulang terlebih dahulu. Enggak betah, katanya. Jadilah  aku memantapkan diri untuk merawatnya di rumah.

Dua hari berikutnya aku mencium aroma kabel terbakar, hingga beberapa jam kemudian tak bisa menghirup bau apa-apa. Tubuhku mendadak demam, terasa pegal-pegal, serta aku juga mulai ikutan batuk-batuk. Tanpa perlu melakukan tes, aku tahu bahwa diriku telah tertular oleh Ibu. Dalam keadaan menyedihkan ini, aku berusaha tetap kuat demi bisa merawatnya. Kata seorang dokter, virus itu akan mati dengan sendirinya selama 10 hari. Jadi, aku yakin kami pasti bisa melalui ini semua, lalu sehat lagi.

Singkat cerita, kami berdua sudah merasa jauh lebih baik setelah dua minggu berlalu. Hari-hari kami pun kembali seperti sebelumnya walaupun Ibuku terkadang masih batuk kering. Setelah kucari tahu, itu katanya bangkai virus yang belum sepenuhnya hilang. Bagi orang-orang yang berusia 50-an, ujar seorang dokter di artikel yang kubaca, pemulihannya memang agak lambat. Mungkin bisa sebulan atau bahkan lebih.

Empat puluh hari telah terlewati. Batuk ibuku mulai berkurang seiring berjalannya waktu. Aku juga tak pernah batuk lagi. Sialnya, indra penciumanku sendiri baru berfungsi sekitar 40%. Kemarahanku yang mengendap selama ini pun otomatis meletus. Aku sampai berteriak: Kehed siah! Kapan sembuhnya ini, sih? Lami pisan, anjis!

 

Herman Siregar, 46 tahun, Medan

Aku sempat anosmia beberapa tahun lalu sebelum adanya virus Corona. Saat itu aku menderita sinusitis. Awalnya, aku juga cukup panik karena belum pernah mengalaminya. Lalu, aku segera periksakan dirilah ke dokter. Aku diberi obat, disarankan terus menghirup apa pun yang baunya menyengat, dan katanya sekitar seminggu kemudian indra penciumanku bakal pulih. Ucapan dokter itu benar adanya. Masalahnya, aku tak tahu apakah anosmia kali ini karena sinusitisku kambuh atau virus Corona itu telah mendekam di tubuhku?

Aku menduga, ada salah satu kerabatku dari Jakarta yang terpapar virus, tapi dia tidak sadar, dan dia pun menularkannya kepadaku sewaktu silaturahmi ke rumah pada momen Lebaran dua minggu lalu.

Sudah kukatakan dari jauh-jauh hari supaya mereka tak usah mudik ketika situasinya tidak memungkinkan, tapi tetap sulit kali diberi tahunya. Sudah tradisi pulang kampung setiap Lebaran, katanya. Bengak kali mereka. Tradisi-tradisi, mata kau lah itu! Dan beginilah aku jadinya. Aku mesti tes swab buat memastikan apakah aku kena Covid atau cuma sinusitis. Mana hasilnya baru keluar besok lusa. Kimbek lah. Sekarang ini aku berdoa agar hasilnya negatif. Tapi, apa pun hasilnya nanti, aku sudah sangat pasrah.

 

Lisa Maharani, 22 tahun, Yogyakarta

Aku mengeluh kepada Reza, suamiku, kenapa dia membeli pewangi pakaian merek Malta, padahal saat tadi menyuruhnya ke warung sudah kubilang untuk membeli merek Downer. Dia bilang, di warung Bu Romlah adanya cuma itu. Tadinya aku ingin protes, memang warung di sekitar sini hanya satu, kan bisa cari warung yang lain, tapi berhubung aku masih sibuk meneruskan cucian dan takutnya malah tak rampung-rampung, jadilah aku tak mempermasalahkannya lebih lanjut.

Setelah cucianku beres dan aku memberi pewangi ke pakaian-pakaian yang akan dijemur itu, aku kembali mengeluh kepada Reza kenapa merek Malta ini wanginya tipis banget. Aku lagi-lagi membandingkannya dengan merek Downer, pewangi pakaian yang aromanya lebih sreg di hidungku. Reza lalu menghampiriku dan mencoba mengendus wangi Malta tersebut. Ini wanginya tercium jelas kok, Sayang, ujarnya. Aku kembali menghirup aromanya, dan lagi-lagi bau yang sampai ke hidungku hanya samar-samar. Apakah hidungku sedang bermasalah? Tapi saat ini aku juga enggak pilek.

Reza kemudian berkata: Jangan-jangan kamu kena anosmia, Yang? Mendengar perkataannya itu, aku langsung kaget. Itu adalah salah satu gejala ketika seseorang terserang virus Corona. Mau coba tes antigen, Yang? katanya lagi. Aku pun berusaha mengelak, bahwa diriku sehat-sehat saja. Tapi Reza bersikukuh mengajakku tes demi memastikan hal itu. Aku pun akhirnya manut.

Ternyata benar, aku positif. Sementara Reza hasilnya negatif. Kata dokter, aku tak perlu dirawat dan cukup isolasi mandiri selama dua minggu. Saat itu Reza penasaran, dari mana aku bisa tertular virus itu. Apa kamu pernah kumpul-kumpul dengan tetangga? Awalnya aku bilang tak tahu dan tak mau mengaku. Tapi ketika dia berkata mungkin itu cobaan dari Allah, barulah aku bilang beberapa hari lalu aku sempat ngerujak bareng Bu Elsa dan Bu Wiwi sembari ngerumpi. Reza langsung berdecak dan geleng-geleng kepala. Aku pun meminta maaf sudah bikin repot. Dia tentu memaafkanku, menyuruhku bersabar, dan meyakinkanku nanti pasti sembuh.

Cucianku yang belum sempat dijemur itu akhirnya dikerjakan oleh Reza, sedangkan aku memilih beristirahat. Pada malam harinya aku merasa demam, lalu hari-hari berikutnya kondisiku pun memburuk. Batuk mulai menyerang, tenggorokanku radang, dan tubuh terasa letih sekali seperti habis kerja rodi 20 jam tanpa istirahat. Apa pun yang aku makan rasanya juga enggak enak. Aku mual dan terkadang muntah-muntah. Oleh karena itu, Reza meminta izin cuti sama bosnya demi bisa merawatku. Berhubung tenggorokanku sangat sakit saat menelan, aku lalu menyuruh Reza untuk membelikanku bubur. Sesampainya di rumah, selain bubur dia juga membawakanku 4 kaleng susu beruang, sebotol vitamin, serta aneka buah-buahan. Aku sangat berterima kasih, dan lagi-lagi meminta maaf karena sudah merepotkan, serta bikin boros keuangan. Enggak usah dipikir, katanya, yang penting kamu lekas sembuh. Aku pun memutuskan untuk banyak istirahat selama empat hari ini.

Aku benar-benar merasa bersalah karena pekerjaan domestik yang tadinya menjadi tugas kami berdua, kini dipegang oleh Reza sendirian. Tapi mau bagaimana lagi, tubuhku benar-benar ngerentek jika dibawa aktivitas. Apalagi saat aku diam-diam bantu mencuci piring, Reza juga langsung menegurku dan menyuruhku kembali ke kamar. Kamu tidur aja biar cepat membaik, katanya. Lalu dia menyarankan jika aku bosan tidur-tidur terus, kan bisa nonton drama Korea atau film apa pun di Netfelix. Aku tak punya pilihan lain selain manut.

Menonton film ternyata membuat kondisiku terasa mendingan. Mungkin hiburan semacam ini sangatlah penting agar aku tidak stres atau kepikiran macam-macam. Baiklah, mungkin untuk sementara ini aku memang perlu lebih bersantai sebagai ibu rumah tangga. Nanti jika sudah sembuh, barulah aku kembali melayani suamiku dengan lebih baik.

 

Mario Giovani, 33 tahun, Jakarta Selatan

I suddenly couldn't sniff the flavor of fried noodles that was served in front of me. Then, why the taste is weird? Do I have Anosmia? I finished the instant noodles and wondered, might I got Covid-19? But, when did I get infected? Haven't I just stayed at home all this time? Hmm, I also didn't meet anyone other than the courier or Ngojek driver who delivered my order, right?

My questions keep growing, but there is no answer I can conclude. So, I decided to take a swab test to answer my anxiety. As I expected, the results were positive. Maybe I was infected by the courier or the Ngojek driver because I forgot to wear a mask when I received the package from them. I realized this was my fault.

Three days later, my health getting worse. The various symptoms listed in an infographic about the Delta variant that I've read, now I feel all of them. I thought maybe I wouldn't survive. After all, why am I still alive? I haven't had anyone since I was a teenager. My whole family died in a plane crash when I was in junior high school. I also feel like I have no friends anymore.

Since I worked, I lost contact with my school and college friends. I never thought of my co-workers as friends. I'm not really that interested in groups. I was cursed to be a loner. My profession as a graphic designer has saved me, kept me away from people I don't like. Before there was a pandemic and the WFH policy as it is now, I was also used to working remotely from home or cafe.

I don't have a girlfriend. I'm not liking anyone. I don't even want to get married. So, when I die, there will be no guilt for making them sad and feeling lost. In short, I have no purpose in life anymore. The reason I lived all this time, to find out the ending of Berserk's story, was finally lost because the comic artist died two weeks ago. In addition, I have successfully finished Roberto Bolano's novel, The Savage Detectives. You could say I'm satisfied with life.


Actually, I don’t want to think the worst, but I’m sorry if I can’t survive in this pandemic. I even typed this unimportant thing while listening to the lyrics of Thirteen – Time: Time is lying. Breathless breathing. Tear is falling. And I'm just scared as you are.

When I was scared until crying like this, I suddenly remembered about Bolano's novel, there was a sentence like this: “I think I talked to him about life responsibilities, the things I believed in and clung to in order to keep breathing.” Deep in my heart, there is still a desire to live. I also still want to read Bolano's novel, 2666. Well, I hope I can keep on to brace myself and endure as best I can.

At the dark time like this, I am truly grateful that Bolano's words have brightened my life.

 

Raka Bagoy, 26 tahun, Jakarta Barat

Aku capek mendengar bunyi batukku sendiri yang sungguh merongrong. Dadaku juga terasa sakit sekali. Ditambah lagi, di tenggorokanku seperti ada 20 duri yang menyangkut dan terasa sangat menusuk. Saat itu, entah bagaimana bisa terlintas sebuah pikiran bahwa lebih baik aku mati saja daripada menderita begini. Barangkali gagasan semacam itu terlahir karena aku, adik laki-lakiku, juga ibuku, mengalami gejala yang serupa. Yang kuduga kami telah tertular virus Corona. Hanya ayahku lah yang tidak kenapa-kenapa. Mengingat Ayah sudah divaksin dua kali, sementara kami bertiga belum sempat, aku kira beliau sangatlah beruntung dan terselamatkan.

Di antara kami bertiga (aku, adikku, dan ibuku), aku merupakan orang terakhir yang tertular. Kisah nestapa ini bermula pada suatu malam bedebah, persisnya ketika adikku tiba-tiba mengeluh tubuhnya menggigil dan meminta tolong kepadaku untuk membelikannya bubur. Ayahku yang mengetahui hal itu pun lantas menceramahinya sembari meledek agar dia tetap meneruskan begadang menonton bola biar tambah sakit. Adikku memilih diam. Dia akhir-akhir ini memang hobi menonton pertandingan Euro. Jadi, kupikir sakitnya itu cuma efek kurang tidur.

Sebelum aku berangkat membeli bubur, ibuku keluar dari kamarnya dan ikutan menitip susu jahe kepadaku. Beliau menyerahkan uang sambil batuk-batuk, kemudian berkata kalau tenggorokannya tiba-tiba terasa gatal.

“Ya ampun, kenapa kalian sakitnya barengan begini, sih?” tanyaku, lalu tertawa.

Kata ibuku, itu palingan efek dari membeli jus buah di pinggiran jalan yang gulanya biang. Aku pun tak berpikir yang aneh-aneh tentang penyakit mereka karena sebulan sebelumnya juga sempat sakit. Setiap kali musim pancaroba, aku biasanya memang sakit batuk, pilek, dan radang tenggorokan. Namun, sakitnya itu pasti tak lebih dari seminggu, dan terbukti saat itu aku juga langsung sembuh dalam tiga hari.

Empat hari kemudian, aku merasa ada yang tidak beres dengan tubuhku. Pada pagi harinya, selepas bangun tidur, bukannya merasa segar karena tubuh telah beristirahat selama tujuh jam, aku justru merasa seluruh badanku mendadak lemas, pegal, dan linu, bahkan sakitnya sampai ke tulang. Tapi aku masih belum memikirkannya lebih lanjut. Aku menganggap mungkin itu hanya akibat dari kegiatan merancap dalam dua hari terakhir. Aku pun menjalani rutinitas seperti biasanya, yakni membantu orang tuaku yang berdagang nasi uduk dengan mengurus bagian dapur sampai pukul 9 atau 10. Di sela-sela kegiatan menggoreng itu, aku menyempatkan diri untuk sarapan dan aku masih bisa makan dengan lahap.

Pada siang menjelang sore, aku memutuskan membeli jus alpukat di tempat langgananku lantaran merasa enggak sreg buat makan nasi. Sialnya, saat jus itu kuminum rasanya sungguh tak keruan. Mulanya, kupikir buah itu busuk dan penjualnya cuma memberi sedikit gula, tapi setelah jus itu kutaruh di meja kemudian memilih mandi sekalian keramas dan tersadar kalau aku tak mampu mencium aroma sabun maupun sampo, kala itulah pemikiranku langsung berubah.

Semenjak beredar kabar tentang anosmia merupakan salah satu gejala Corona, dalam setiap harinya aku selalu berusaha menyempatkan diri untuk mencium aroma parfum. Jika wangi itu dapat tercium olehku, aku pun mengucapkan alhamdulillah. Itu tandanya hidungku masih berfungsi dengan baik dan tubuhku dalam keadaan sehat. Oleh sebab itulah, aku kini segera bergegas ke kamar untuk mengulangi kebiasaan rutin tersebut. Hasilnya: sungguh menyedihkan. Baunya sama sekali tak tercium.  Probabilitas aku tertular virus Corona sekitar 60%. Tapi aku masih berharap bukan. Alhasil, aku bertanya kepada Farhan, adikku, demi menjawab rasa penasaranku: “Kau enggak bisa mencium bau apa-apa juga, Han?”

“Iya, Mas.”

Aku bertanya sejak kapan dan dia menjawab dua hari lalu.

“Aku ketularan kau nih,” ujarku. “Kau ketularan virusnya dari siapa, sih?”

Dia menjawab tak tahu. Aku pun merongseng, seolah-olah menyalahkannya atas penyakit ini.

“Aku waktu nobar selalu pakai masker, kok.”

Sepertinya dia salah sangka kalau menerapkan protokol kesehatan itu cuma mengenakan masker, padahal menonton siaran bola bareng-bareng di TV juga menciptakan kerumunan. Siapa yang bisa menjamin di antara mereka tidak ada yang OTG? Kala itulah Farhan mencoba menuturkan dari mana kami bisa terpapar virus. Katanya, ibu kami belum lama ini habis bertemu dan mengobrol dengan Bu Yeni, tetangga RT sebelah yang belakangan diketahui hasil tes swab-nya positif.

“Kayaknya Ibu yang ketularan duluan, Mas. Baru deh habis itu kita.”

Aku lantas berkata bisa jadi. Apalagi ibuku sulit sekali untuk diberi tahu. Misalnya, ketika beliau sedang melayani pembeli, sudah kukatakan berulang kali agar maskernya jangan ditaruh di dagu, tapi lagi-lagi saat kulihat beliau belum juga memakai maskernya secara benar. Aku sampai lelah memberi tahunya. Farhan pun ikut menambahkan, bahwa ibu kami diam-diam masih suka pergi bersama temannya, keluyuran tak jelas.

“Waktu Lebaran kemarin aja Ibu malah ikutan belanja ke Pasar Palmerah, nganterin si Bu Yeni.”

Aku masih tak terima dengan hal itu, sebab aku selama ini hampir tak pernah keluar rumah selain untuk beli makanan dan salat Jumat dan hal-hal lain yang sangat genting. Itu pun aku pasti memakai masker. Dalam hal salat Jumat, aku juga selalu memilih tempat di sebuah lorong yang mengarah ke tempat wudu, yang tempatnya hanya muat untuk 1-2 orang secara horizontal, dan tentu menghindarkanku berdekatan dengan jamaah lain. Sayangnya, ketololan salah satu anggota keluarga malah bikin segalanya menjadi runyam.

Ucapan adikku sehabis kami menyalahkan Ibu entah mengapa membuatku termenung seketika. Dia bilang, kami sudah telanjur kena, enggak usah dipikir lagi siapa yang menularkan, lebih baik banyak bersabar dan istirahat aja. Ada benarnya juga omongan dia.

Masalahnya, aku tak bisa terus-menerus sabar. Aku benar-benar ingin mengeluh, sebab kesabaranku seakan-akan habis pada hari ketiga. Aku mulai engap memakai masker selama di rumah dalam tiga hari belakangan ini. Namun, aku tak boleh egois. Jangan sampai ayahku tertular juga. Selain muak memakai masker di rumah sendiri, aku spontan terbangun dari tidur pada pukul tiga dini hari dan langsung batuk-batuk tiada hentinya, hingga tenggorokanku perih bukan main, lalu seluruh isi perutku lama-lama naik ke kerongkongan, dan akhirnya aku mesti berlari ke kamar mandi untuk muntah. Dalam seumur hidupku, tak pernah aku merasakan sakit yang semacam ini. Sangat berbeda dengan sakitku sebulan yang lalu, yang kutebak itu memang sakit biasa setiap musim pancaroba. Seingatku, sewaktu membuang ingus pada sebulan silam, lendirku ada yang berwarna hijau, sedangkan saat ini selalu putih bening ataupun putih susu.

Kurasa, virus Corona ini gejala-gejalanya bagaikan gabungan dari berbagai penyakit. Aku akhirnya paham mengapa banyak manusia yang tumbang akibat penyakit biadab ini. Karena deritanya benar-benar jahanam. Itulah pertama kalinya pada 2021 aku kembali memikirkan mati terasa lebih baik ketimbang menjalani hidup yang memble.

Aku mulai mengabari segelintir temanku tentang kondisiku sekarang, lalu meminta maaf sekiranya punya banyak salah terhadap mereka. Kalimat yang kukirimkan kepada mereka terlihat seakan-akan aku bakal segera lenyap dari dunia ini. Namun, memang begitulah kenyataan yang sedang kuhadapi.

Saban kali makan, aku sangat sulit buat menelannya. Perihnya terasa lebih gila kalau dibandingkan dengan radang tenggorokan biasa. Belum lagi aroma dari makanan yang tak bisa tercium, lalu rasanya yang menjurus hambar sekaligus aneh itu sering membuatku mual. Baru menyantap 4-5 sendok aku pasti memilih berhenti, sebab jika memaksakan lebih dari itu aku pasti muntah. Andai berkata kasar bisa menaikkan imun, aku pasti sudah berteriak: Anosmia tai anjing!

Usahaku untuk berjemur pada pagi hari dan meminum vitamin benar-benar tampak percuma. Aku tak mengerti, mengapa kondisiku kian memburuk? Yang bisa kulakukan setiap kali merasa lelah akan sakit ini hanya menangis hingga ketiduran, lalu berharap aku mati dalam tidurku. Apalagi aku tak tega ketika mendengar batuk ibuku yang nadanya teramat memilukan. Walaupun dia bodoh dan susah dinasihati terkait pandemi, atau katakanlah seorang Covidiot, tapi aku ingin beliau sehat lagi. Jika boleh memilih, biar aku saja yang dipanggil terlebih dahulu. Aku belum siap merasa kehilangan beliau.

Sepertinya itu pemikiran yang konyol banget. Bagaimana mungkin aku berpikir untuk mati, tapi di sisi lain ingin beliau kembali sehat? Seakan-akan nyawaku sendiri tak berharga. Lagi pula, Tuhan masih membiarkanku menghirup oksigen sampai hari ini. Meski kadang-kadang agak sesak, aku mengira Tuhan memang masih memberiku kesempatan untuk hidup. Aku pun teringat dengan para pasien di rumah sakit yang berjuang hidup. Tak elok rasanya jika aku berputus asa begini. Jadi, sedikit-sedikit harapan hidup itu pun kembali menyala di dalam diriku.

Aku lupa bahwa hidup benar-benar tak bisa ditebak. Baru sehari saja aku kembali bersemangat, pada suatu pagi aku mendengar bunyi pintu toilet yang dibanting dan ibuku menjerit seraya melontarkan sumpah serapah. Aku terkejut dan bergegas mendekat ke sumber bunyi itu. Aku melihat adikku yang sama kagetnya. Ketika aku sadar kalau mengajak bicara orang yang sedang emosi itu percuma, aku lantas memilih bertanya kepada ayahku, apa yang sebenarnya terjadi?

“Makanya, kalian tuh pada bangun. Bantu goreng-goreng.”

Jadi, selama kami bertiga sakit, orang tuaku memutuskan tetap berdagang demi mencari penghasilan tambahan. Kami seolah-olah tak punya pilihan lain. Mau bagaimana lagi, gaji ayahku yang dipotong itu jelas kurang untuk membiayai kebutuhan kami. Aku dan adikku juga belum memiliki pekerjaan. Sisa tabunganku di rekening jumlahnya tak seberapa. Toh, siapa yang mau mengambil uang ketika sedang isolasi mandiri? Mau tak mau, ibuku pun memaksakan diri bertugas di dapur, sedangkan ayahku yang melayani pembeli.

Ayahku lagi-lagi mengucapkan kalimat yang menusuk di hati.

Aku sontak menjawab: Ya Allah, masa lagi sakit begini dipaksa buat kerja? Ini buat bangun aja susah, tahu. Aku betulan lemes banget. Mending tutup sementara dulu aja warungnya sampai 10 hari. Baru nanti jualan lagi.

“Giliran sakit baru ngeluh, tapi sewaktu sehat sakitnya dicari sendiri!”

Jika kalimat itu dilemparkan kepada adikku atau ibuku, aku bisa saja cuek. Tapi, beliau sedang berbicara denganku, bukan? Mengapa kata-katanya sungguh kejam? Aku mengerti kalau hubunganku dengan Ayah tak pernah harmonis, hanya saja aku tak mengerti mengapa dia bisa berkata setega itu. Ini wabah yang menyerang orang banyak. Siapa yang sudi mencari-carinya? Beliau pikir aku selama ini arogan dan menantang virus Corona dengan keluyuran tanpa memakai masker, kah? Aku selama ini di rumah melulu, hingga stres, bahkan kesehatan mentalku memburuk, dan itu semua kupendam sendiri. Semenjak lulus sekolah aku juga tak pernah meminta uang kepadanya. Aku sadar diri kalau diriku masih menumpang di rumahnya, saat ini hanya menjadi beban keluarga, tapi aku selalu berusaha tak pernah meminta apa-apa. Kini, tak pernah terbayangkan di pikiranku ada orang tua yang sebengis ini.

Aku juga ingin sekali-sekali menjadi jahat. Kutatap pisau yang berada di rak dapur, dan kubayangkan aku mengambilnya, lalu menikam ke dada ayahku. Tapi, gagasan jahanam itu hanya terjadi di kepala. Aku masih waras, jadi aku memilih kembali ke kamar dan menjerit dalam hati: Aku tak ingat sekarang hari kelima, keenam, atau ketujuh, pokoknya hidup benar-benar tailaso!

Aku menatap langit-langit kamarku dan bertanya, apakah selama aku isolasi mandiri beliau pernah membelikanku makanan? Tidak sama sekali. Aku berusaha memakan masakan ibu yang ala kadarnya dari bahan-bahan sisa di kulkas. Seandainya tak berselera, aku pun memaksakan diriku buat merebus maupun menggoreng telur, atau jika agak niat aku bikin telur cah tomat.

Ayahku sama sekali tak memiliki kesadaran buat memedulikanku. Aku tak paham kenapa. Mungkinkah karena aku anak pertama, sehingga aku mesti menanggung segala penderitaan ini sendirian? Tak boleh bergantung kepadanya sekalipun kondisinya suram begini? Tapi aku memang tak mau menuntut apa-apa kepadanya. Aku hanya bisa sadar diri, terus berupaya menguatkan diri. Aku memang berbeda dengan adikku yang permintaannya masih beliau penuhi sekalipun itu disertai keluhan ini dan itu. Tapi, sejujurnya, aku juga tidak merasa iri akan hal itu. Aku palingan hanya bingung, apa yang membuat kami berjarak sampai sejauh ini?

Lagi-lagi terlintas sebuah pikiran untuk bunuh diri. Mungkin dengan lenyap aku bisa membuat jarak kami semakin jauh.

Aku bersyukur rencana itu batal karena Wahidis, salah satu kawan baikku, tiba-tiba mengirimkan pesan untuk menanyakan keadaanku saat ini. Aku pun menjawab sejujurnya sekalipun tidak menjelaskannya secara detail. Dia secara tak langsung menyemangatiku supaya tetap makan, usahakan perut bisa tetap terisi, meskipun dalam kondisi sulit menelan dan terkadang muntah. Jangan lupa minum air putih yang banyak, ujarnya lagi.

Sebelum percakapan itu berakhir, dia mengirimkanku beberapa video pendek yang menampilkan seorang gadis berparas manis. Aku kenal betul dengan perempuan aduhai itu. Aku pernah naksir kepadanya. Dia merupakan gadis yang senyumnya dapat memperpanjang usia. Otomatis aku kalah telak. Keinginan untuk mati itu memudar dengan sendirinya. Senyuman gadis itu seakan-akan telah menghapus berbagai virus di tubuhku. Aku jelas sangat menghargai usaha kawanku yang bisa membuatku tetap menggenggam harapan. Aku pun berharap dia dan keluarganya sehat sentosa. Begitu juga dengan kawan-kawanku yang lain.

 

Sigit Purwanto, 53 tahun, Semarang

Saya menerima nasi boks yang diantarkan oleh seorang pemuda perwakilan dari dapur umum yang membagikan makanan gratis buat orang-orang yang sedang isolasi mandiri. Selain makanan, di plastik itu juga terdapat selembar kertas bertuliskan, “Semoga lekas sembuh ya, Pak. Tetap semangat.”

Air mata saya tiba-tiba tumpah. Bagaimana saya bisa tetap semangat jika sudah lelah menyaksikan sakratulmaut berkali-kali?

Sewaktu saya dirawat di rumah sakit sekitar sebulan lalu, saya melihat dengan jelas kematian seseorang yang berada di sebelah ranjang saya. Orang itu bernama Pak Yono. Malam itu, saya mendengar dia merintih sesak dan menyebut nama Allah terus-menerus. Lama-kelamaan suaranya berubah pelan, semakin mengecil, hingga akhirnya hilang. Saya hanya bisa termenung, berusaha memahami apa yang sebetulnya terjadi. Apakah dia tertidur atau meninggal? Setelah melihat layar mesin EKG (elektrokardiograf) dan salah satu perawat masuk ke ruangan, pipi saya langsung berlinang air mata. Saya pun mengucapkan “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un” beserta membaca surah Alfatihah di dalam hati. Keesokan paginya, saya kembali melihat hal yang serupa. Kala itu, saya benar-benar takut.  Apakah selanjutnya giliran saya?

Selanjutnya, satu-satunya orang yang saya cintai, yakni Mulyati, yang tidak lain tidak bukan merupakan istri saya, juga ikutan berpulang karena Covid. Saya berada satu ruangan dengan Mulyati ketika dia mengembuskan napas terakhirnya. Sehabis menyaksikan kematian dua teman sekamar, saya sengaja meminta kepada dokter agar saya dipindahkan atau bisa seruangan dengan istri saya. Mereka pun mengabulkannya. Namun, siapa sangka kalau saya lagi-lagi mesti melihat hal jahanam bernama kematian? Saya tak tahu mesti berbagi kesedihan ini dengan siapa.

Kami tidak memilik satu pun anak karena istri saya rahimnya sudah diangkat akibat kanker serviks 18 tahun lalu. Meski begitu, saya tetap menyayanginya. Saya juga tidak mempermasalahkan hal itu. Kami menganggap itu ujian dari Allah. Tapi, mengapa dia harus pergi secepat ini? Usianya baru 44. Belum ada 50 tahun. Kenapa saya tidak diberi waktu lebih lama untuk menikmati kebersamaan kami? Saya kira kami bisa sembuh dan pulang ke rumah bersama-sama lagi. Tapi nyatanya tidak.

Waktu kami sama-sama dirawat, saya juga selalu mengira kalau sayalah yang akan pergi duluan. Saya sungguh tak menyangka bahwa kehilangan Mulyati benar-benar meredupkan harapan saya untuk tetap hidup. Saat ini saya benar-benar sudah tak takut mati.

Konyolnya, seminggu setelah istri saya wafat, saya masih belum dipanggil juga. Beberapa hari kemudian, kondisi saya justru membaik dan diperbolehkan pulang ke rumah, dengan syarat tetap isoman selama dua minggu.

Saat berada di rumah, kesedihan benar-benar menyelimuti diri saya. Cuplikan-cuplikan momen membahagikan bersama istri saya sebelum adanya wabah mengerikan ini muncul begitu saja di kepala. Setiap kali muncul satu kenangan, air mata saya terjatuh. Dalam keadaan terpuruk, saya lantas berpikir begini: Saya tak keberatan jika mesti kehilangan indra penciuman, efek dari Covid biadab ini, untuk selama-lamanya. Hanya saja, saya tak ingin kehilangan Mulyati. Saya masih belum rela kalau harus kehilangan istri saya.

 

Winda Lestari, 36 tahun, Tangerang Selatan

Aku ingin sekali mengeluh capek, menjerit, dan mengumpat. Mengapa perjuanganku selama ini sebagai tenaga kesehatan rasanya benar-benar tidak dihargai oleh pemerintah? Bukan, ini bukan tentang insentif yang mereka janjikan itu dan sudah enam bulan lebih tak kunjung cair, melainkan aku sangat kecewa dengan kebijakan maupun penanganan mereka atas masalah pandemi ini yang sungguh serampangan. Sudah setahun negara ini terserang wabah, tapi mereka masih saja menganggap remeh virus itu.

Aku juga sebal bukan main kepada sebagian masyarakat yang masih sulit menerapkan protokol kesehatan. Apakah mereka tidak menyayangi nyawa mereka? Mereka tetap keluyuran untuk hal yang tak penting, berkerumun tanpa memakai masker, tak mau divaksin, dan sekalinya diri mereka ataupun keluarganya ada yang terpapar virus itu hingga dirawat, bisa-bisanya mereka menganggap sekaligus menuduh pihak rumah sakit telah meng-Covid-kan pasien. Apakah mereka sebodoh itu sampai-sampai bisa termakan hoaks?

Aku sungguh tak tahu mesti berbuat apa lagi selain menangis sekencang-kencangnya. Aku bahkan rasanya ingin berhenti saja dari pekerjaan jika kondisinya semakin tak terkendali. Sekarang ini, rumah sakit di mana-mana penuh. Banyak pasien yang mesti mengantre untuk mendapatkan rawat inap. Ditambah lagi stok tabung oksigen yang kian menipis. Sampai-sampai ada beberapa pasien yang terpaksa membawa tabung miliknya sendiri dan ditempatkan di lorong karena tak memperoleh kamar.

Kalau bukan karena rasa tanggung jawab untuk menyelamatkan nyawa para pasien, ingin melihat mereka pulih kembali, dan tentunya rasa kemanusiaan di dalam diri, mungkin aku sudah memutuskan berhenti sejak beberapa bulan lalu.

Aku sebenarnya bukan orang yang mudah mengeluh begini. Namun, ketika aku sudah membahayakan nyawaku sendiri demi keselamatan para pasien, apalagi aku sampai positif untuk yang kedua kalinya, dan kulihat ada beberapa pejabat dan selebritas Instagram yang masih seenak jidat mempromosikan wisata atau memamerkan liburan mereka, aku juga berhak marah, kan?

Astagfirullah. Sabar, Win. Sabar. Seharusnya aku istirahat saja demi memulihkan diri daripada menuliskan keluhan semacam ini dan malah bertambah emosi. Tapi aku benar-benar muak setiap kali membuka media sosial, lalu yang kutemukan adalah berita-berita buruk. Aku ingin cepat-cepat kembali bekerja saja agar tak punya waktu menyimak lini masa.

Sudah seminggu aku isolasi mandiri sejak hasil tes swab itu keluar dan menunjukkan bahwa diriku positif. Aku sangat bersyukur sudah divaksin dua kali, sehingga gejalaku begitu ringan. Aku hanya sempat demam sehari, kemudian reda. Tak ada gejala lainnya selain anosmia. Itu pun kini perlahan-lahan mendingan. Aku sudah bisa mencium aroma secara samar-samar. Tidak seperti sebelumnya yang sama sekali tak mampu menghirup bau. Harapanku untuk bisa pulih itu sangatlah tinggi. Aku ingin lekas sembuh. Aku tidak boleh berhenti merawat pasien. Sekitar 3-7 hari lagi aku harus kembali berjuang.

Sebenarnya, selain agar terhindar dari kabar-kabar buruk yang kubaca ketika luang, alasanku untuk kembali sehat dan dapat bekerja di rumah sakit itu karena aku sempat mendengarkan lagu Koil, Semoga Kau Sembuh Part 2. Saat itu, sehabis aku mengeluh di jurnal, pada malam harinya aku memutuskan mendengarkan lagu-lagu kesukaanku di daftar putar yang kubuat di Spotify sebagai pengantar tidur. Dan begitulah aku mulai meresapi lirik lagu Koil dan termenung dibuatnya.

Semoga keheningan doa mengobati luka.

Dan akhir yang bahagia,

melayani waktu, melewati rinduku,

menyanjung harapan, menghentikan peran.

Doakanlah yang telah tiada. 

Sudah berapa banyak pasien yang berguguran? Angka kematian itu bukanlah sekadar angka. Di balik setiap satu nyawa itu ada keluarga yang bersedih dan benar-benar merasa kehilangan orang yang mereka cintai. Tak jarang dari mereka yang merasa masa depannya direnggut. Ada pula yang sampai terpuruk, lalu berpikir untuk ikutan menyusul. Aku sebagai tenaga kesehatan sudah berusaha melakukan semampunya, tapi tetap saja ada beberapa pasien yang dijemput maut. Setiap kali melihat wajah-wajah yang sedang berduka, perasaanku sungguh campur aduk. Untuk itulah aku ingin cepat-cepat sembuh dan kembali menolong para pasien.

Dalam tangis dan tawa,

kurawat jasadmu.

Mencintai diriku.

 

Beberapa jiwa yang aku jaga

terbaring tak berdaya.

Untuk ini kukorbankan

dan waktu berlalu.

Semoga kau sembuh.

 

Yoga Akbar, 26 tahun, Jakarta Barat

Dua minggu yang terasa amat panjang. Pada masa-masa gelap (hari ketiga sampai hari kedelapan terpapar virus) itu, aku nyaris kehilangan harapan. Apalagi waktu benar-benar berjalan lelet, seolah-olah sengaja dibuat begitu untuk menambah penderitaanku, menimbulkan hipokondria, sampai-sampai beberapa kali terlintas pikiran buat mati saja.

Ketika aku berhasil hidup hingga hari ini, mataku otomatis langsung basah. Sekalipun saat ini penciumanku masih kacau, baru bisa tercium aromanya sewaktu didekatkan ke hidung, itu pun tipis-tipis, setidaknya aku paham bahwa kondisiku mulai membaik. Kadang-kadang aku masih batuk juga, dan bagusnya tidak merongrong lagi seperti hari kelam itu. Semoga saja aku bisa lekas sembuh seperti sediakala.

Aku sangat berterima kasih kepada segelintir kawan yang menanyakan kabar, berusaha menyemangati, dan sudi menampung berbagai keluhanku. Berkat mereka, kecemasan dan ketakutanku akan hal-hal yang sangat buruk perlahan-lahan memudar, dan aku bisa kembali menenangkan pikiran.

Aku tak tahu mesti mengetik apa lagi, aku hanya ingin berkata: sehat-sehat buat kalian semua dan tetaplah jaga diri.

--

Hipokondria: ketakutan yang amat berlebihan dan terus-menerus terhadap penyakitnya.

Sumber gambar: comot Pixabay lalu tambahkan teks dan screenshot film Now You See Me.

*

Begitulah, kawan-kawan. Aku telah berusaha bercerita sebaik-baiknya, menghidupkan kembali alter egoku agar bisa mengisahkan pengalaman pahit ini dengan lebih luwes, sebab aku kerap tak mampu buat mencurahkan isi hati secara terang-terangan, dan mulai mendengarkan suara para tokoh yang muncul di dalam kepalaku. Jika aku masih memiliki umur panjang, aku hanya ingin terus menulis. Aku berharap masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan draf-draf naskah yang terbengkalai. Tapi seandainya aku tak mampu bertahan sebelum pandemi ini usai, aku benar-benar minta maaf. Terima kasih banyak sudah menyimak cerita-ceritaku selama ini. Selamat tinggal.

17 Comments

  1. Kumpulan kisah anosmia ini, aku sendiri belum tahu pasti tentang anosmia tapi di masa seperti ini bisa dikira gejala covid.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sebelum adanya Covid, saya kira anosmia memang jarang terjadi.

      Delete
  2. Pernah tuh aku semingggu terkena gejala Anosmia. Untungnya gak lama. Gak enak banget gak bisa cium apa-apa.

    ReplyDelete
  3. Cerita2 di atas bikin sediiih banget Yog :(. Kadang akupun ga tau mau marah Ama siapa. Tapi rasanya lebih marah Ama orang2 yg menyepelekan virus ini, dan mereka yg disebut covidiot. Ga bisa aku pungkiri, keluargaku ada kok yg begitu. Udh ga ngerti lagi, kerjaan nyebarin hoax, ada yg sepele Ama masker. Salah satu alasan kenapa aku ga mau pulang ke Medan dulu, Krn aku ngeliat sendiri mereka ga patuh Ama prokes. Ntr ajalah, pas pandemi selesai, baru aku akan pulang, walo ga tau itu artinya bakal sebentar lagi ATO masih lama banget.

    Yoga, cepet sembuh yaaa .. aku tau ini situasi yg berat. Skr ini, bisa survive aja sangat bersyukur. Banyakin minum air putih. Jangan mikir yg jelek2 dulu. Semangat yaaa :).

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, sedih ketika keluarga sendiri termasuk Covidiot. Termakan hoaks vaksin juga. Ampun dah.

      Terima kasih, Mbak Fanny. Aamiin. Kebetulan saya sudah selesai isoman dan lagi masa pemulihan. Terkait pemikiran buruk, saya kini berusaha menjauhkannya dengan baca buku atau nonton film. Tapi, kemarinan saat sakit memang parah banget hawa negatifnya, bahkan hampir putus asa. Bisa dibilang efek hipokondria karena baru pertama kalinya saya sakit sampai separah itu. Saya akhirnya paham kenapa banyak yang meninggal, karena gejalanya betul-betul ngeri.

      Buat Mbak Fanny dan sekeluarga, sehat-sehat dan tetap jaga diri, ya.

      Delete
  4. semangat yoga dan semuanya aku juga sih...sebenernya aku ga tau aku kena atau ga ya, soalnya pada waktu itu badan ga enak banget..aduh udah kek mau ngapa ngapain ga kuat...lemes...trus kepala sakit mulu
    blom sempet tes..jadi ga tau juga kena pa ga...cuma setelah beberapa minggu kemudian uda enakan lagi..tapi tetep sih ga kemana mana juga bawaannya ngendon aja dalam rumah hehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih, Mbak Nita. Sehat-sehat ya buat kamu dan sekeluarga.

      Alhamdulillah kalau sudah membaik. Apalagi Mbak juga memilih isoman sekalipun belum tahu itu terpapar virus atau enggak.

      Kadang ada yang udah tahu sakit atau tes dan hasilnya positif walau OTG, justru masih kelayapan. Itu kan bisa nularin ke yang lain.

      Delete
  5. anosmia ini yang masih jadi momok soalnya kayak alarm kalau kena covid
    mana baunya yang bisa dicium katanya aneh kaya bau bawang
    pas sakit parah akhir tahun lalu aku juga ngerasa kena soalnya juga anosmia
    cuma pas dites negatif

    bener, kalo udah ngerasa gejala atau udah positif dan harus isoman mending di rumah aja sampe waktu isolasi kelar
    engga kelayapan dan malah nular ke orang lain apalagi orang tua

    ReplyDelete
    Replies
    1. Teman saya katanya bau kabel terbakar. Haha. Beda-beda kali, ya? Saya waktu kena sama sekali enggak bisa mencium, sih. Sekarang baru sekitar 50% pulih.

      Iya, tak boleh egois. Kudu menjaga orang lain juga. Saling mengingatkan prokes dan mendoakan supaya tetap sehat.

      Delete
  6. Semoga lekas sehat ya bang.. Alhamdulillah aku belum terpapar kopid bang, semoga ngga aamiin.. Tapi aku sejak SMA hingga saat ini sering banget anosmia karena sering bermasalah sama hidung.. Ya sinus la, alergi la, plus seringnya flu dan pilek.. T.T

    Btw bang, sekarang penyintas covid lagi dibutuhin bener ya untuk donor plasma.. Sering banget liat rekan-rekan yang posting butuh ini..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sudah pulih kok saya, Bang. Semoga tetap sehat, ya. Terus jaga diri dan keluarga. :D

      Saya sebelum Covid enggak pernah anosmia, makanya agak kaget.

      Iya, saya juga kurang tau kenapa. Tapi sayang, berat badan saya enggak akan cukup untuk donor.

      Delete
  7. Wahh kalau bertemu dan berkontak langsung itu tidak pasti terpapar juga ya? Hmm tapi tetep harus hati-hati sih kalau keluar rumah dan bertemu orang..

    Hemm memang menyebalkan sih, aku yang tidak kena pun merasa bete sekali karena hampir semua tempat yang biasa aku kunjungi tutup. Hal itu pun membuatku tidak bisa kesana, dan ada hal yang kosong tidak ngapa-ngapain karena aktivitas yang hilang itu.

    Alhasil coba ikut pelatihan yang gratis dari pemerintah, cari promo diskon pelatihan, dan mencoba menulis di beberapa kanal milik perusahaan yang bisa cuwan. Setidaknya hari kosong ku itu bisa membuatku produktif dan cuwan setiap hari, entah itu cuwan untuk pengetahuanku atau dompetku.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kurang tahu juga, sih. Selama pakai masker dan jaga jarak, saya kira memperkecil kemungkinan. Mungkin tergantung jenis variannya juga. Katanya yang Delta itu penyebarannya cepat. Yang jelas antibodi tiap orang bakal berpengaruh. Yang kuat bisa aja tertular dan jadinya OTG, sementara yang lemah pasti menderita banget sama gejalanya.

      Apa pun kegiatan yang dilakukan itu, semoga bisa menghibur diri sendiri. Sehat-sehat buatmu, Ndrie.

      Delete
    2. Wahh aku pernah denger itu sih yog, dan menyaksikan secara tidak langsung karena dibatasi oleh pintu berlapis yang memisahkan kami dengan orang tersebut.

      Kasian banget orang-orang yang mendertia bersama dengan gejalanya, gak tega aja liatnya. Tapi ada tuh aplikasi dari pemerintah yang bisa lihat orang-orang OTG seperti ini, gak tau sih valid apa gak wkwkw.. Soalnya dari kita-nya itu wajib mengaktifkan location dan terhubung dengan e-ktp gitu, jadi kalau kemana-mana itu terlihat di map dan kita pun bisa melihat orang lain yang terindikasi lewat map itu.. Udah kayak pokemon go jir..

      Delete
  8. Ya ampun yoga, aku gak tau kamu sakit 😢 Sekarang gimana kondisimu??
    Sekarang kamu udah mulai cium aroma? Kalo makan ada rasa atau nggak?
    Yoga, semoga kamu dan keluargamu sehat selalu ya.

    Aku kalo keluar rumah, pake masker dobel. Pulang ke rumah, semua pakaian wajib cuci. Aku baru vaksin pertama, belum vaksin ke 2 nanti november. Vaksinku Astrazaneca... woh gilak aku demam 3 hari. Panase pol!! Salah minum panadol paracetamol, harusnya yg khusus paracetamol tok.

    Dari bulan ke bulan, kok malah tambah paranoid ya, soalnya ini virusnya semakin banyak varian. Kangen masa-masa sebelum pandemi😭 Bebas mau ke mana aja.

    Oiya, yoga..
    Tolong selipkan keponakanku dalam doamu🙏
    Aku masih shock liat dia bangun-bangun kok jadi seperti terbelakang begini. Bener-bener nggak bisa bicara. Seperti bayi, hanya bisa bergumam. Tapi ya aku toh hanya bisa menerima keadaan. Semoga aku gak jadi manusia merugi yg menghabiskan waktu mengeluhkan keadaan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sekarang saya udah sembuh, kok. Penciuman sudah membaik dan makan tentu ada rasanya. Itu kan kenanya kira-kira awal Juli, Ran. Saya juga udah dapat vaksin AZ dosis pertama akhir Agustus, dan sama sepertimu demam 3 hari. Haha. Efeknya kuat juga.

      Iya, jelas masa-masa sebelum pandemi adalah hal yang menggembirakan. Sekarang sebatas beli makan dan cari uang keluar rumah suka dilanda rasa cemas.

      Sudah saya bantu doakan setiap kali ingat. Yang tabah ya, Ran. Semoga kamu sekeluarga dikuatkan dengan kenyataan itu. Sehat-sehat juga buat kamu sekeluarga. Aamiin.

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.