Aku Menulis, tapi Kalimatku Tidak Terdaftar

Anarki Total: 22 Tahun Kemudian

Aku menulis buku ini untuk diriku sendiri, meski aku tak bisa memastikannya. Untuk sekian lama ini hanyalah lembaran-lembaran bebas yang kubaca ulang dan mungkin bermain-main, mengingat aku tak punya waktu. Tapi waktu untuk apa? Aku tak bisa mengatakannya dengan tepat. Aku menulis buku ini untuk para hantu, sebab mereka berada di luar zona waktu, menjadi satu-satunya yang memiliki waktu. Setelah membaca ulang buat terakhir kalinya (barusan), aku menyadari bahwa waktu bukanlah satu-satunya hal yang penting, waktu bukanlah satu-satunya sumber teror. Kesenangan bisa jadi menakutkan juga, begitu pula keberanian. Pada hari-hari itu, jika ingatanku berfungsi, aku hidup terpapar pada elemen-elemen cara orang lain hidup di kastil, tanpa dokumen-dokumenku. Aku tak pernah membawa novel ini ke penerbit mana pun, tentu saja. Mereka akan membanting pintu di depanku dan aku akan kehilangan salinannya. Aku bahkan tidak membuat apa yang secara teknis disebut salinan rapi. Naskah aslinya memiliki lebih banyak halaman: teksnya cenderung menggandakan dirinya sendiri, menyebar bagai penyakit. Penyakitku, saat itu, adalah kesombongan, kemarahan, dan kekerasan. Hal-hal itu (kemarahan, kekerasan) melelahkan dan aku menghabiskan hari-hariku dengan kepenatan yang sia-sia. Aku bekerja pada malam hari. Pada siang hari aku menulis dan membaca. Aku tak pernah tidur. Agar tetap terjaga, aku minum kopi dan merokok. Secara alami, aku bertemu orang-orang yang menarik, beberapa di antaranya adalah produk halusinasiku sendiri. Aku pikir itu tahun terakhirku berada di Barcelona. Penghinaan yang aku rasakan untuk apa yang disebut sebagai kesusastraan resmi sangat besar, meskipun hanya sedikit lebih besar ketimbang ejekanku buat kesusastraan marjinal. Tapi aku percaya pada sastra: atau lebih tepatnya, aku tidak percaya pada arrivisme (ambisius) atau oportunisme atau bisikan penjilat. Aku percaya pada gerakan yang sia-sia, aku percaya pada takdir. Aku masih belum memiliki anak. Aku masih membaca lebih banyak puisi ketimbang prosa. Pada tahun-tahun (atau bulan-bulan) itu, aku tertarik menjadi penulis fiksi ilmiah dan pornografi tertentu, terkadang penulis antitesis, seolah-olah gua dan lampu listrik saling menafikan satu sama lain. Aku membaca Norman Spinrad, James Tiptree, Jr. (yang nama aslinya adalah Alice Sheldon), Restif de la Bretonne, dan de Sade. Aku juga membaca Cervantes dan penyair Yunani kuno. Ketika aku sakit, aku membaca ulang Manrique. Suatu malam aku datang dengan skema untuk menghasilkan uang secara ilegal. Perusahaan kriminal kecil-kecilan. Ide dasarnya bukanlah menjadi kaya terlalu cepat. Kaki tangan pertamaku atau upaya seorang kaki tangan, seorang teman Argentina yang sangat nelangsa, menanggapi rencanaku dengan pepatah yang berbunyi seperti ini: Seumpama kau harus berada di penjara atau di rumah sakit, maka tempat terbaik adalah negaramu sendiri, yang kurasa itu bagi para pengunjung. Tanggapannya tidak berpengaruh sedikit pun kepadaku, sebab aku merasa sama jauhnya dari semua negara di dunia. Kemudian aku membatalkan rencanaku ketika aku menemukan bahwa hal itu lebih buruk daripada bekerja di pabrik batu bata. Di atas tempat tidurku tersemat secarik kertas, yang mana aku meminta seorang teman dari Polandia untuk menuliskannya dalam bahasa Polandia, Anarki Total. Aku tidak berpikir aku akan hidup lebih dari tiga puluh lima. Aku merasa gembira. Lalu datang tahun 1981, dan sebelum aku menyadarinya, segalanya telah berubah.

Blanes, 2002

*




Itu prakata yang tertulis di buku Antwerp karangan Roberto Bolano. Saya mengalihbahasakannya secara sembrono dari versi terjemahan Inggris Natasha Wimmer hanya demi memperbanyak jumlah kata di tulisan yang sebenarnya sangat singkat ini.

Setahun belakangan ini saya lagi menggandrungi penulis asal Chili tersebut lantaran ocehannya tentang tulis-menulis bagaikan telah menyelamatkan saya, dan selama menikmati karyanya muncul celetukan, “Wah, ini mah aing pisan!” Jika saya mencoba mundur ke belakang, saat pertama kali mengetahui nama Bolano sepertinya lewat sebuah esai di blog Eka Kurniawan pada 2017. Saya memutuskan berkenalan dengan cerpen-cerpen terjemahannya yang beredar di internet 6-12 bulan berikutnya. Barulah ketika 2019 saya memberanikan diri buat membaca buku kumcernya yang versi Inggris, The Secret of Evil. Selanjutnya saya langsung terpikat oleh Between Parentheses, sampai-sampai nekat memasukkannya ke daftar 5 buku favorit dengan alasan sentimental.

Saya tak tahu harus menjajal buku Bolano yang mana lagi agar hasrat ini bisa terpuaskan. Biasanya, sewaktu saya lagi menggemari seorang penulis, saya akan berupaya melahap karya dia sebanyak-banyaknya hingga muak. Pada rentang 2016-2018, misalnya, saya jatuh cinta dengan semesta fiksi Haruki Murakami dan berhasil menuntaskan sembilan bukunya, lalu akhirnya lelah sendiri dengan tema kesepian serta nelangsa, lebih-lebih kelewat sering menemukan unsur kucing, jaz, dan perempuan yang lenyap secara misterius. 

Sudah cukuplah, pikir saya kala itu.

Sementara saat ini, saya belum merasakan hal itu lagi ketika sedang mengonsumsi teks-teks Bolano. Sekalipun saya sempat menyerah ketika penasaran dengan novelnya yang bertajuk 2666 dan bertanya-tanya apakah ada maksud tertentu dari angka itu, padahal baru membacanya sekitar 50-60 halaman, saya kira pada kemudian hari akan kembali meneruskannya.

Mau bagaimana lagi, saya membacanya dalam format digital (mata jadi cepat lelah), versi terjemahan Inggris (saya belum lancar-lancar banget dalam memahami tiap kalimat), dan tentunya jadi sulit fokus karena terganggu oleh fakta bahwa novel ini panjangnya 900-an halaman. Di tengah-tengah kebimbangan (pengin lanjut baca, tapi lagi malas yang terlalu panjang) itu pun saya mulai berselancar di internet untuk mencari tahu manakah novel Bolano yang terpendek. Jawabannya: Antwerp, cuma 119 halaman.

Walaupun Bolano pernah berkata, “Satu-satunya novel yang tidak membuatku malu adalah Antwerp”, saya justru merasa malu karena masih tetap bingung apa yang dia kisahkah sehabis menuntaskan buku itu sebanyak dua kali. Sulit betul menangkap apa yang Bolano tulis atau ceritakan di sana. Dari 56 fragmen itu, saya hanya bisa mengingat ada tokoh pemandu keselamatan, polisi, si bongkok, perempuan tanpa nama, perempuan berambut merah, penyair, dan Roberto Bolano itu sendiri. Namun, saya sungguh tak mengerti apa yang terjadi pada tokoh-tokohnya. Cerita itu sesungguhnya bergerak ke arah mana?

Sebagaimana yang dia sebutkan di bagian prakata, saya sepakat jika kalimat-kalimatnya itu ditulis buat dirinya sendiri, bermain-main, dan sesuka hati, sehingga barangkali hanya dia (dan para hantu) yang paham maksud tulisan tersebut. Novel yang berbentuk gabungan fragmen ini juga lebih cocok disebut puisi ketimbang prosa, atau seperti yang orang-orang bilang kalau itu merupakan wujud “puisi prosa”.

Kini saya akhirnya paham, bahwa lebih baik membaca prosa 900 halaman (yang bisa saya mengerti alur ceritanya) ketimbang perpaduan prosa dan puisi berjumlah 119 lembar (yang bikin saya tampak goblok banget). Tapi sebelum itu, alangkah baiknya menjajal The Savage Detectives yang lebih pendek: 600-an halaman.

--

PS: Tadinya tulisan ini diniatkan terbit kemarin (17 Mei) buat memperingati Hari Buku Nasional, tapi energi saya seolah-olah gampang habis saban hari Senin, dan baru sempat mengeditnya sekarang. Itu artinya saya terlambat merayakan Hari Buku Nasional. Namun, meski telat dan yang barusan juga cuma ocehan enggak penting tentang buku yang saya baca, seenggaknya saya gembira masih punya kemauan untuk membaca dan menulis. Dua aktivitas yang selalu menyelamatkan saya sampai hari ini.

Omong-omong, kamu lagi baca buku apa?

--

Gambar dicomot dari Pixabay.

4 Comments

  1. Paling ga ngerti sama Antwerp, tapi kelihatan ada elemen yg akan terus diulang di karyanya: kriminal dan perkemahan, hidup menggelandang dan puisi, seks dan cinta, polisi korup dan orang-orang terpinggirkan.

    Baca buku apa? Hmm barusan beres scanlation chapter terbaru 3-gatsu no lion, ada pengumuman kalau manganya dapet award grand prize lagi (semoga ada kepastian season 3), sekaligus ada retribusi ke Kentaro Miura, soalnya satu majalah sama Berserk.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ternyata emang sulit dipahami. Haha.

      Tiap penulis sepertinya memang punya unsur khas yang selalu dia hadirkan di karyanya, ya. Kebetulan proses baca Savage Detectives juga udah ketemu sama elemen-elemen itu. Mana di bagian dua banyak amat orang yang menuturkan suatu peristiwa dari kacamatanya sendiri, dan kayak menghadirkan banyak sudut pandang. Sulit euy buat bisa hafal nama-nama mereka.

      Oalah, komiknya masih berlanjut. Kirain udah tamat sampai season 2 kayak Honey and Clover. Soalnya saya baru beres musim pertama nih, mau jeda dulu sebelum lanjut lagi.

      Delete
  2. Hahahahah Yog, kalo kamu yg LBH jago dalam menulis sesuatu, pusing baca antwerp, apa kabar aku :D. Baca Edgar alan poe aja aku ga selesai2, Krn ga terlalu mudeng :D.

    Jujurnya selera buku yg aku suka bukan yg model rumit diksinya sih.

    Skr ini aku LG baca bukunya Philip Shelby, judulnya This Far from Paradise. Dan aku seneng, setelah sekian lama, aku bisa nemuin buku yg alurnya sampe bikin aku emosi kebawa perasaan hahahha. Trakhir kali yg bikin aku sampe gemes seolah ngerasain yg dialami tokohnya, itu pas baca Gone with the wind. Trus blm Nemu lagi. Setelah namatin Buku yg skr, aku mau cari lagi buku2 Shelby yg lain :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ternyata selama ini saya kian sadar bahwa masih bego dalam memahami berbagai bentuk puisi sekaligus maknanya (dalam konteks ini puisi prosa). Haha.

      Edgar Allan Poe juga cukup bikin puyeng, Mbak. Kisah detektif dan misterinya agak susah dibaca sekali untuk bisa langsung paham.

      Wah, boleh juga sepertinya itu buku dimasukkan ke daftar bacaan. Tadi saya iseng googling, GPU sempat terjemahin beberapa karyanya.

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.