Omswastiastu

Empat hari setelah berita mengenai teroris beredar di segala media, khususnya media sosial, dia menemukan cuitan seseorang yang secara tak langsung menyuruh orang lain untuk menjawab alasan apa saja yang membuatmu sulit direkrut oleh teroris. Berbagai respons yang dia baca cukup menghibur, lebih-lebih jawaban orang-orang yang beragama selain Islam. Salah satu di antara mereka pun bilang begini, “Mana mungkin aku direkrut, lah aku kan Kristen dan otomatis jadi musuh mereka.”

Dia spontan tertawa sampai giginya kelihatan dan matanya yang sipit itu bagaikan terpejam. Sesudah tawanya reda, kemudian muncul rasa iseng buat ikutan menanggapinya:

1. Aku tak suka ikut majelis, lebih doyan menyendiri membaca tulisan fiksi atau menonton anime di kamar;
2. Kebencianku pada diri sendiri meluap, jadi sulit membenci orang lain, apalagi agama lain;
3. Aku sama sekali tak tertarik dengan surga versi mereka.

Jawaban dia terlihat serius sekali terkait hal itu. Dua hari sebelumnya dia bahkan menuliskan catatan singkat berikut ini:




Fatum Brutum Amorfati

Sejak kecil aku mengerti bahwa orang yang melenyapkan nyawanya sendiri itu berdosa. Menghilangkan nyawa orang lain pun sama saja. Pikiran semacam itu mendadak muncul di kepalaku sehabis membaca berita tentang teroris. Aku masih tak habis pikir, ajaran macam apa yang bisa-bisanya bikin orang percaya jika membunuh orang kafir dengan mengorbankan diri sendiri itu terhitung jihad, dan kelak akan ditempatkan di surga.

Aku tak tahu, apakah mereka dibayar untuk melakukan hal itu dan uangnya nanti diserahkan ke keluarganya sebagai warisan beserta surat wasiat, ataukah murni mengharapkan balasan di akhirat. Aku pun sama sekali heran, janji apakah yang dilontarkan oleh si pemberi ilmu kepada orang-orang nekat ini sampai-sampai mereka berani menjemput maut dengan cara semacam itu? Atau orang-orang itu sudah kelewat frustrasi sama hidup mereka, sehingga tak ada cara lain untuk bertahan selain menempuh jalan mati syahid—menurut kepercayaan mereka?

Ilmuku tentang agama ini rasanya terlalu cetek, tapi aku jelas memiliki keyakinan kalau metode-metode mereka itu keliru. Menghilangkan nyawa banyak orang yang tak dikenal, yang tak pernah diketahui apa kesalahannya, selain menganggap mereka sebagai musuh atas gagasan kolot bahwa orang yang berbeda keyakinan mesti diperangi atau darahnya halal, itu mah namanya kejahatan. Hati nuraniku selalu berkata bahwa tak ada sedikit pun kebaikan dari perbuatan tersebut. Logikaku juga sangat menolak. Anehnya, mereka-mereka itulah yang merasa pikirannya sudah tercerahkan.

Apakah kegelapan yang aku pahami selama ini merupakan bentuk kecerahan bagi mereka? Aku tak benar-benar tahu. Yang aku tahu, aku juga pernah mengalami pemikiran gelap. Ketika diriku tenggelam di lautan depresi, aku benar-benar merasa gagal sebagai seorang manusia, mulai berpikir kalau hidup sudah tak layak lagi untuk dijalani, rasanya ingin mampus aja, dan seterusnya.

Meski demikian, tak ada sedikit pun keinginan dalam diriku untuk menyakiti orang lain. Aku palingan hanya menyakiti diri sendiri atau mengasihani diri sendiri. Tak ingin menghadapi kenyataan. Berharap ada mesin waktu dan bisa memperbaiki kesalahan pada masa lalu. Lalu, keputusasaanku yang terakhir, kira-kira saat itu aku cuma ingin mati dalam keadaan tidur.

Namun, aku pun bersyukur bisa selamat dari masa-masa suram itu. Aku perlahan-lahan bangkit dan bisa menemukan kegembiraan lagi dalam hidup. Biarpun hidupku masih jatuh-bangun tak ada habisnya, apalagi pada masa pandemi ini benar-benar kacau sekaligus pahit, entah kenapa selalu ada alasan untuk tetap bertahan, seburuk apa pun situasi dan kondisi.

Seiring bergesernya waktu dan pemikiran, aku lama-lama juga paham, bahwa ketika hidup sudah terlalu sering menderita, memilih opsi bunuh diri tak akan membuatnya lebih baik. Tak akan menyelamatkan apa pun. Justru merugikan orang lain. Bisa juga membuat nelangsa orang-orang yang mengenal dan menyayangiku setulusnya, walaupun jumlahnya paling hanya secuil.

Hidup, setahuku, adalah pemberian Tuhan, dan aku cukup menerima hadiah yang indah itu dengan menjalani sebaik-baiknya, sampai Tuhan menawarkan pemberiannya yang lain.


Dilihat dari catatannya barusan, dia tampaknya memang serius sekali dalam memandang sebuah kehidupan maupun kematian. Dia seakan-akan seperti manusia yang telah menemukan sekaligus kehilangan banyak hal, padahal usianya baru 26. Barangkali dia hanya sudah lelah mengharapkan kematian mendatanginya, sebagaimana pemikirannya dulu yang sempat berharap ingin mati muda. Lama-lama dia mungkin menerima kehidupannya yang amburadul itu. Dia sepertinya paham kalau tak ada alasan bagus untuk mengakhiri hidup, sekalipun dia juga masih bingung mengapa masih melanjutkan hidup. Salah satu alasan yang dia mengerti, tepatnya ketika dia mendengar lirik Peterpan - Tak Ada yang Abadi: seperti alunan detak jantungku tak bertahan melawan waktu dan oh, biarkan aku bernapas sejenak sebelum hilang, dia kian memercayai konsep dunia yang sifatnya sementara atau cuma tempat persinggahan, dan dia tak punya pilihan selain bertahan sekuat-kuatnya sekalian menerima takdir yang telah diberikan. Biarpun di sisi lain dia juga tahu, bertahan itu sama artinya dengan melihat, mendengar, serta mengalami penderitaan yang tak pernah selesai.

--

Gambar dicomot dari Pixabay.

2 Comments

  1. gokil. dan sebetulnya pertanyaan yang muncul di kepala saya bukan "janji apa yang diterima para pelaku" atau "kenapa mereka nekat bom bunuh diri", melainkan, agak mendasar, "dari mana mereka mendapatkan kepercayaan diri yang begitu besar untuk yakin bahwa mereka 'selamat' dan yang lainnya 'sesat'?"

    ini lucu: manusia adalah spesies paling gila karena menyembah tuhan yang tidak terlihat, tapi membunuh banyak makhluk (bahkan sesama!) yang jelas-jelas terlihat, tanpa menyadari bahwa makhluk yang mereka bunuh adalah ciptaan tuhan yang mereka sembah.

    ya, ya, di beberapa kitab, bangsa jin juga segila manusia, tapi manusia lebih parah: kita merusak pohon untuk membuat kertas dan menulis "save the world" di kertas itu; kita memburu banyak hiu dan paus dan bikin film yang menggambarkan seolah-olah mereka monster pemakan manusia, dan kita takut, padahal nyatanya hiu dan paus sangat jarang memakan manusia, dan secara teknis, kita lebih mungkin tersambar petir daripada diserang hiu.

    omong-omong, hasil diskusi sama mayang, saya jadi tahu kenapa dogma agama cenderung saklek dan saintis era galileo sering diburu; sifat dasar fisika adalah mengoreksi dirinya sendiri! jadi mungkin kita perlu banyak belajar fisika selain belajar agama.

    ReplyDelete
  2. Pertanyaan yg sama di aku Yog. Sehebat apa si pemberi ilmu mencuci otak orang2 itu, sampe logikanya bisa Nerima bahwa membunuh org yg berbeda keyakinan adalah jihad. Aku ga habis pikir samasekali. Makin aku pikir, makin sakit dan emosi. Kok bisaaaaaaa, kenapa ada org yg logikanya ga jalan begituuu -_- . Hufft..... terlalu tololkah, terlalu putus asa Ama hidup, ati sukses dihipnotis sampe ga bisa mikir lain?

    Bahkan beberapa temenku ada yg tiba2 kumat begitu, hilang rasa toleransinya.. Sedih sih... Itu sejak dia ikut pengajian yg ga jelas ustadnya. Dan sejak tahu kalo para teroris setan ini menggunakan kotak amal juga utk pembiayaan, aku jd ga mau menyumbang utk itu lagi, ati lewat online buat bbrp komunitas bantuan. Krn jd curiga, itu beneran utk bantu orang, ato pembiayaan mereka?? Amit2 ga ikhlas, ga redhoooo kalo sampe donasi yg dimaksud membantu orang yg kesusahan, malah dipake sbgai dana teroris.

    Makanya aku LBH suka kah lha ke orang yg aku tahu sdg susah sekarang ini. Drpd ngasih yg ga jelas.

    ReplyDelete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.