Karier Kepenulisanku

Di antara tumpukan buku, aku melihat diriku yang bermimpi menjadi seorang penulis: Mirip seperti gelandangan yang tak punya tempat bernaung dan tak tahu mesti pergi ke mana lagi, selain bersembunyi dari hujan yang kuciptakan sendiri, lalu menjadikan kata-kataku sendiri sebagai payung ataupun jas hujan.




*

Bekerja sebagai tim kreatif merangkap penulis skrip komedi situasi yang statusnya masih pekerja lepas dan hanya bertahan beberapa bulan lantaran upahnya tak sepadan dengan jam tidur yang telah kukorbankan.

Menjadi bloger yang gemar mengikuti liputan dengan tema-tema asyik, tapi pada kemudian hari syarat yang diperlukan bukan lagi menulis dengan sebaik-baiknya, melainkan jumlah pengikut harus ribuan, dan aku terpaksa memilih menyudahinya daripada harus membohongi klien dengan membeli angka-angka palsu.

Membuat artikel dengan sepenuh hati dan namaku tercantum dalam daftar seratus finalis kompetisi Bank I. Namun, cukup sebatas itu. Namaku tak tertera lagi pada proses penjurian tiga besar.

Mengirim esai ke M dan seminggu kemudian kuterima permintaan maaf yang diketik dengan jawaban templat. Sekali lagi kucoba dan hasilnya sama saja.

Kupilih sajak-sajak terbaik yang kupikir bisa mendapatkan tempat di luaran sana, sehingga aku memberanikan diri untuk mengirimkannya, tetapi B mendiamkan suratku selama dua bulan. Dengan kata lain: tidak memenuhi kriteria. Proses ini terus terjadi lebih dari tiga kali. 

Menulis puisi lagi dan beralih ke Majalah M, lalu sebulan tanpa kabar yang artinya penolakan. Aku menyadari puisi bukanlah bidangku dan aku muak dan aku memutuskan berhenti.

Mengikuti kuis dengan menjawab satu paragraf secara iseng, dan siapa sangka mendapat hadiah dua novel, yang mirisnya pada kemudian hari terpaksa kujual demi sesuap nasi.

Menulis ulasan pesanan dengan perut keroncongan dan berharap bisa segera menerima upah yang lumayan, tetapi kenyataan menghantam perutku, sebab ada beberapa hal yang membuat invois itu tetap membeku. Ia baru cair dua bulan setelahnya.

Mengirimkan sebuah cerpen pada penerbit N yang berencana bikin dua buku antologi, lantas yang dibaca hanya sinopsisnya, bukan keseluruhan cerpen, dan perwakilan dari mereka berkata, “Maaf belum lolos seleksi. Tetap menulis dan berkarya, ya!”.

Mencoba lagi pada sayembara cerpen yang lain, tapi tulisanku tetap tak muncul pada tiga besar. Begitu pula dengan 10 besar, bahkan 25 besar.

Tak kenal menyerah dan lagi-lagi mengikuti perlombaan menulis cerpen, yang kali ini bertema Islami, dan aku lagi-lagi harus mengucapkan istigfar berulang kali, karena tak ada namaku di sana.

Di antara kegagalan-kegagalan itu, syukurlah ada media L yang berkenan membeli hak tayang cerpenku. Aku mengajukan sepuluh cerpen yang cukup oke, hingga akhirnya terbit lima buah, dan aku mendapatkan bayaran berupa ponsel pintar seharga 2-3 juta.

Kembali menulis puisi dan mengikutsertakannya pada sebuah sayembara karena tergiur akan nilai hadiahnya, tapi seperti yang bisa kutebak, jalur ini benar-benar buntu untukku.

Marah akan berbagai penolakan membuatku nekat menerbitkan beberapa buku digital sembari berharap ada yang sudi mengapresiasi lebih jerih payahku selama ini, tapi semestinya aku sadar bahwa aku bukanlah siapa-siapa, dan itu terbukti karena jumlah manusia yang membelinya benar-benar jauh dari perkiraanku.

Aku mengubur harapanku buat mengomersialkan tulisan. Aku tak mau lagi menggantungkan hidup lewat jalur berengsek ini, sebab yang terbit bukanlah buku maupun uang melainkan cucuran air mata.

Sampailah tiba ke suatu masa, sewaktu aku iseng mengikuti giveaway salah seorang kenalan. Aku menulis dari malam hingga pagi pada hari terakhir pengiriman dengan sebaik mungkin, dan rupanya namaku memperoleh nilai tertinggi dan berhak menerima uang sejuta. Aku mulai mendapatkan kepercayaan diriku kalau menulis masih bisa menghasilkan. Tulisanku yang selama ini kuanggap ampas, kuhina-hina, kuejek sejahat-jahatnya, ternyata ada nilai lebihnya di mata orang lain, tak seburuk yang kunilai sebelumnya.

Namun, beberapa peserta tampak keberatan dengan hasil itu walaupun mungkin mereka cuma iri, sehingga pada bulan berikutnya aku tak ingin mengikutinya lagi, sengaja memberikan kesempatan pada yang lain, dan ternyata pesertanya kian ramai, dan lagi-lagi terjadi drama. Ada saja orang-orang yang tak terima dengan keputusan juri, bahkan ada yang sampai mengeluh, meminta diadakan lomba baru untuk yang kalah, membawa-bawa penyakit mental, hingga membuat satu tulisan khusus untuk menyindir orang lain sekaligus memuji-muji diri sendiri, padahal orang yang benar-benar mencintai tulis-menulis pasti sadar bahwa tulisan dia sama sekali tak layak disebut tulisan.

Kejadian semacam itu menyadarkanku, bahwa pada masanya aku juga suka mengelak akan kekalahan maupun kegagalan dalam lomba menulis sekalipun aku sudah merangkai kata seciamik mungkin. Tapi sejak akhir 2019, saat pertama kali aku memilih jeda menyusun diksi menjadi segenggam puisi selama 9 bulan, aku banyak merenungi jalur kepenulisan sialan ini. Aku lama-lama sudah bisa dan terbiasa menerima kekalahan. Jika tak tertera namaku di daftar pemenang, aku berusaha menganggapnya belum rezekiku. Aku sudah lelah menghabiskan banyak tenaga untuk protes, meskipun memang ada bentuk kecurangan. Lebih baik energi itu kupakai untuk mengevaluasi tulisan-tulisanku, demi suatu hari bisa melahirkan naskah yang lebih apik.

Di antara banyaknya kuis, lomba, sayembara, dan sejenisnya yang tak mampu kuingat lagi, aku justru mendadak terkenang salah seorang teman yang sangat mengapresiasi tulisan-tulisanku dan kini dia memilih pensiun dari dunia tulis-menulis. Seketika itu hatiku langsung terasa remuk. Aku mungkin patah hati bukan karena kehilangan pembaca, tapi semacam kehilangan teman seperjuangan yang sudah tak kuat bertahan di jalur bajingan ini.

Jika menulis memang lebih banyak membuatnya sedih dan menderita, aku harap dia bisa segera menemukan kebahagiaannya di bidang lain. Pada pesan terakhirnya, dia menyuruhku agar jangan berhenti menulis, dan aku pun sok-sok-an berjanji: Aku tidak akan berhenti karena menulis sudah seperti bernapas. Atau lebih tepatnya, menulis itu sendiri seperti alat bantu bernapas ketika problem hidup membuat dadaku sesak.

Tai, janji macam apa itu?

Dia jelas tak tahu aku sudah berulang kali mau menyerah juga. Aku kerap muak. Aku cuma medioker (mungkin belum pantas juga disebut begini). Aku pun telah sadar bahwa keberadaanku di hutan belantara bernama kesusastraan jahanam ini tak akan mengubah apa-apa. Tak berdampak apa-apa.

Tapi gobloknya, aku terus-menerus balik lagi, bahkan menjadikan menulis sebagai terapi jiwa, karena kalau tak begini, mungkin aku sudah lama mati.

Apalagi sejak aku membaca esai Bolano yang “Geng Terbaik”. Semakin ke sini, aku merasa relevan. Lama-lama aku seperti bekerja di kehampaan dunia, seperti astronot terasing di planet antah-berantah, di gurun tanpa pembaca dan penerbit. Aku tak tahu menulis buat siapa lagi, selain diriku sendiri. Kala itulah aku merasa benar-benar dikalahkan.

Namun pada esainya yang lain, Bolano mengingatkanku bahwa dalam sastra kau memang selalu kalah, tetapi itu berbeda, perbedaan yang sangat besar, terletak pada kekalahan sambil berdiri tegak, dengan mata terbuka, tidak berlutut di pojokan berdoa kepada Rasul Yudas dengan gigi gemetar.

Mungkin maksud Bolano mirip dengan perkataan Hemingway, bahwa kita tetap melawan sekalipun pada akhirnya akan kalah. Oleh karena itu, aku pun berusaha menerima kekalahan ini dengan arogan. Aku tidak akan memasang tampang memelas dan menangisi penderitaan kalau karier kepenulisanku hanya berhenti sampai di sini. Aku akan tetap berusaha untuk berdiri tegak, membusungkan dada, dan mentertawakannya. Sampai para bedebah itu mendengar tawaku, lantas menjerit-jerit seolah-olah menemukan harta karun yang selama ini sering mereka abaikan.

--

Sumber gambar: SS anime Attack on Titan.

18 Comments

  1. Ini point of view yang menarik bang.. Gegara tulisanmu, saya jadi semakin semangat menulis.. Ya, walaupun emang bukan dijadikan pekerjaan utama. Eh, tapi menulis koding itu termasuk menulis juga sih :))

    Terima kasih telah menginspirasi bang, walaupun kayaknya bukan untuk memotivasi orang lain. Atau mungkin cuma saya yang termotipasi?

    paragraf terakhir-nya on point bang, paten kali..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Buat orang lain belum tentu sudut pandang macam begini menarik. Atau seperti yang kau bilang, Bang, mungkin baru Bang Andie yang termotivasi. Haha.

      Biar bagaimanapun, makasih dan tetap semangat menulis, ya. :D

      Delete
  2. Keren banget menurut gue perjalanan menulis lu Yog. Pertama kali berkunjung ke blog ini tahun 2014an kalo ga salah, dan masih tetep konsiten buat nulis dan ngeblog. Rispek bang!

    Penulisan lu pun terus bertumbuh dari waktu ke waktu. Asal bisa konsisten pasti ada jalannya. Colonel Sanders aja butuh puluhan tahun buat nyiptain kaefci

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih, Dijeh. Makasih juga sudah merekomendasikan gue kepada media L. Biarpun konsisten menulis di blog, tapi tetap belum ada pengalaman karier di suatu perusahaan sebagai penulis konten seperti yang diimpikan pada era 2015-2016. Haha.

      Semoga aja ada hal baik deh. Cuma enggak mau banyak berharap dan terlalu berambisi lagi.

      Delete
  3. Haha saya udah termasuk golongan yg mengibarkan bendera putih di karier kepenulisan, utamanya kesusasteraan. Cukup sebagai hobi dan job sampingan aja. Ga kuat jadi masokis euy. Mungkin ini bukan untuk dicontoh, tapi setelah setahun ga baca buku (kecuali manga, dan nonfiksi buat acuan referensi) malah bikin adem hehe.

    Baca Bolano jadi inget tahun 2017-2018 soalnya waktu itu masih dalam fase "melawan", baca semua karyanya, dari esai sampai novel tebelnya itu. Mata makin minus gara-gara baca 2666 semaleman haha.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Semakin banyak baca buku, standar akan suatu tulisan semakin bertumbuh, dan itu memang menyakitkan karena sadar tak mampu menulis sebaik itu--atau bertanya dengan frustrasi: butuh berapa tahun lagi untuk meningkatkan kemampuan?

      Wah, gila juga bisa ngelarin buku digital setebel itu. Ini saya baru baca Bolano secara intens sejak 2020. Meski baru yang kumpulan cerpen dan esai, terpengaruh ingin melawannya sudah berasa banget ya. Semoga tahun ini sanggup menyelesaikan The Savage Detectives, syukur-syukur 2666 juga.

      Delete
  4. Terus semangat menulis, mas. Apalagi jika menulis sudah seperti bernafas. Aku dulu pun punya cita-cita jadi penulis, tapi apalah daya. Aku hanya bisa menulis di Blog.

    Dari tulisan di atas, aku yakin banyak orang yang terus termotivasi untuk menulis

    ReplyDelete
    Replies
    1. Entah masih ada semangat atau enggak nih di dalam diri. Seandainya masih kekeuh menulis, mungkin sudah telanjur dan lupa cara berhenti.

      Semoga aja. Tapi bisa jadi ada yang ikut menyerah karena mulai sadar tak ada kesenangan lagi dalam menulis. Haha.

      Delete
  5. Perjalanan menulisnya panjang ya kak. Kalau ditekuni bisa membuahkan hasil.
    Belum pernah ikut lomba yang besar, baru menulis karena suka saja. Sukses terus kak Yoga.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Itu cuma yang saya ingat aja, sih. Sejujurnya, masih banyak kesedihan terpendam yang tak bisa dituliskan. Baguslah ingatan saya menolak buat mengenang penderitaan itu.

      Bisa, meski hasilnya tak besar. Aamiin. Nuhun. Sukses juga buat kamu.

      Delete
  6. hmmm menarik napas dulu
    karir menulis terutama di negeri ini memang sulit untuk menjadi pegaangan
    tidak saja sedikitnya apresiasi, juga kesempatan bersinar yang tak bisa digenggam sembarang orang

    akhirnya, menulis hanya menjadi hobi sampingan
    anehnya, semakin ingin berhenti menulis rasanya makin ada gelora untuk tetap bertahan

    ReplyDelete
    Replies
    1. Butuh keberuntungan untuk bisa muncul ke permukaan.

      Mungkin karena udah telanjur cinta, jadi sebenci dan semuak apa pun dalam urusan menulis, bakal balik lagi suatu hari nanti.

      Delete
  7. lha...yog... sek sek bentar...kok aku malah sama sekali ga tau ada drama sindir aindiean pemenang giveaway, kupikir tulisanmu bagus kok...hangan suka masokis ih ke tulisan diri sendiri...yuk yuk semangat lagi...aku loh tulisanku amburadul aja aku pede tetus hahahha...lupakan yang drama drama drh...mending kita suka suka nulis lagi kayak dulu...walaupun ku setuju sih..klo mau ambil alih jalur komersil di jalur brengsek ini cuma banyak nangisnya doang..makanya aku masih banyak nulis buat hobi #maksudnya karena aku sadar kemampuan wkwkwkkwk

    btw teman yang dah oensiun nulis...jangan jangan haw huhu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Pada perlombaan yang kedua kentara banget kok di kolom komentarnya tentang protes itu. Saya, sih, menyimak aja dan enggak berkomentar.

      Kalau tulisan saya yang menang lomba itu, kayaknya mah emang bagus, ya. Buktinya menang. Kalau enggak bagus, saya juga malas mengikutsertakannya. Haha. Yang saya maksud itu tulisan-tulisan lain, Mbak. Saya juga bingung kenapa suka inferior, bahkan mengejek diri sendiri. Tapi ya, mungkin dengan cara masokis itu saya bisa berkembang. Mungkin terdengar jahat, padahal di sisi lain rasa sakitnya itu bikin lebih kuat.

      Bukan dia. Ada teman yang lain.

      Delete
  8. Pengalaman saya gak ada apa-apanya dibanding pengalamannya kak Akbar. Saya sempat aktif ikut lomba dan event menulis di tahun 2018, tapi terhenti di awal tahun 2019 karena saya sendiri gak kuat menghadapi saingan dan kekalahan.

    Sukses terus ya buat kak Akbar!!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tanpa perlu membandingkan pengalaman, kekalahan memang suka bikin rendah diri. Malas mencoba lagi. Berat sekali buat menerima kekalahan. Saya cuma penasaran, adakah penulis yang namanya sudah terkenal dan ikut lomba, terus sekalipun tulisannya jelek malah tetap dimenangkan?

      Sukses juga buat Mbak Reka.

      Delete
  9. Ketika nulis untuk blog dan buat dikirim ke media memang berbeda. Tulisan blog terasa lebih bebas sedangkan tulisan untuk ke media terasa lebih normatif. Makanya, saya kalo nulis biasanya ada dua opsi. Nulis untuk media atau nulis untuk blog. Beberapa media kadang menyetujui pos yang sudah naik ke webnya untuk tetap publish ke blog pribadi penulisnya. Jadi saya bisa publish versi tulisan yang lebih serampangan itu.

    Bicara soal menjadikan menulis sebagai pekerjaan, saya masih percaya bahwa menulis itu seni yang sulit untuk saya kawinkan dengan bisnis. Makanya, ngga terlalu ngoyo untuk dapat upah dari sana. Kalo ada, alhamdulillah, nambah uang jajan dan bensin

    ReplyDelete
    Replies
    1. Menulis di media memang ada aturan-aturannya tersendiri. Tapi, setelah mencoba mengikuti aturan itu dan tetap tak lolos seleksi, jelas ada pertanyaan-pertanyaan di kepala si penulis.

      Sebetulnya bisa lho, tapi mesti banyak kompromi. Kayak di awal-awal kudu menulis yang sama sekali enggak disukai, asalkan banyak peminatnya di pasar. Setelah mulai terkenal, mungkin baru memunculkan idealisnya perlahan-lahan. Kalau dari awal maunya idealis jelas susah banget. Namun, sebagaimana yang kita tahu, sebagai pemula yang pengin menembus media besar butuh beberapa faktor. Jalannya cukup panjang. Setelah kau punya nama, justru mereka yang memintamu menulis. Biasanya begitu.

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.