Berpendarlah Wahai Bocah!

Schopenhauer mengatakan bahwa kau harus menuliskan ide-ide berharga yang muncul pada dirimu sesegera mungkin, dan tidak perlu dikatakan lagi: terkadang kita bahkan melupakan apa yang telah kita lakukan, apalagi yang telah kita pikirkan. Pikiran, bagaimanapun, datang bukan saat kita mau, melainkan saat mereka menginginkannya. 

Sementara Bolano menjadikan kalimat ini sebagai epigraf di buku Between Parentheses: “Dari apa yang hilang, kehilangan yang tak bisa diperoleh kembali, semua yang ingin kupulihkan adalah ketersediaan tulisan harianku, kata-kata yang mampu menjambak rambutku dan mengangkatku ketika aku kehabisan tenaga.”

Aku pun merasa beruntung pernah menyimpan catatan harian berharga berikut, yang siapa sangka berhasil menguatkan diriku ketika kondisi sedang rapuh-rapuhnya:

Pada masanya, setiap kali pulang kerja lepas (entah itu rapat bersama tim kreatif lalu menulis sinopsis skrip dan berlanjut menggarap naskah utuhnya, meliput acara peluncuran produk, menjadi tim perbantuan stok opname di toko, ataupun mencari data sebagai surveyor lapangan), aku kerap merasa lelah kenapa hidupku tak banyak perubahan sekeras apa pun aku mencoba.

Ketika aku sadar kalau tubuh, hati, maupun pikiran lagi letih, semestinya aku langsung pulang ke rumah dan rebahan. Anehnya, aku justru malas buru-buru ke rumah. Aku lebih suka mampir dulu ke sebuah taman dan menghabiskan waktu sejenak di sana. Biasanya aku hanya duduk mendengarkan lagu menggunakan earphone sembari menyaksikan bocah-bocah yang asyik bermain di taman itu. Melihat wajah gembira mereka, entah mengapa sering berhasil mengisi energiku yang meredup.




Meski begitu, tak jarang saat lagi capek-capeknya juga muncul pikiran buruk untuk membandingkan hidup seseorang yang aku kenal. Kenapa hidup dia terasa mulus sekali? Dia seakan-akan tak perlu banyak usaha untuk meraih sesuatu hal, sedangkan aku sudah berupaya ngoyo, tapi mendapatkan setengahnya pun belum. Kami ini seumuran, tapi nasib kami bedanya jauh sekali. Jika diibaratkan, kami bagaikan aroma tai sapi dan parfum Clive Christian. Kau tahu aku menempati bagian yang mana, kan?

Aku pun sempat berpikir, mengapa hidup terasa tidak adil? Apakah hidup masih layak dijalani bagi orang yang terlalu sering menderita?

Namun, syukurlah tampang bocah yang tampak tidak punya beban hidup itu bisa menyadarkanku bahwa suksesnya hidup tidak melulu diukur dari materi. Paras mereka seolah-olah berkata kepadaku, “Tenang saja, Kak, masih banyak hal yang dapat membahagiakan dirimu.”

Walaupun sulit buat tidak iri melihat pencapaian ini dan itu pada diri orang lain, tapi apakah aku menjalani hidup untuk bisa lebih baik dari mereka? Seandainya berhasil pun, lantas buat apa? Seharusnya aku fokus mengalahkan diriku sendiri yang mungkin pemalas, sinis, dan gemar menggerutu itu, kan?

Syukurlah sejak itu cara pandangku melihat dunia mulai bergeser. Jika ada orang lain yang kini hidupnya terasa mudah dan mewah, pasti ada kerja mati-matian, kesedihan, penderitaan, juga hal buruk lain yang tak pernah aku lihat sehingga dia bisa menjadi seperti hari ini. Kalaupun dia sudah kaya sejak lahir, generasi sebelum mereka jelas sudah berjuang keras agar hidup anak-cucunya kelak bisa terasa mudah dan ringan. Tak mungkin mereka bisa tajir tanpa ada generasi pertama yang memulainya, kan?

Aku kembali mengingat aforisme Schopenhauer yang lain, dan kali ini dia menyampaikan begini:

“Jika kau ingin mendapatkan rasa syukur dari usiamu sendiri, kau harus tetap mengikuti langkahnya. Tetapi jika kau melakukan hal itu, kau tidak akan menghasilkan sesuatu yang hebat. Kalau kau memiliki sesuatu yang hebat dalam pandanganmu, kau harus mengarahkan dirimu kepada anak dan cucu: hanya dengan begitu, untuk memastikan, kau mungkin akan tetap tak dikenal oleh orang-orang sezamanmu; kau bagai menjadi seorang manusia yang dipaksa untuk menghabiskan hidupnya di sebuah pulau terpencil dan di sana bekerja keras untuk mendirikan sebuah tugu peringatan, sehingga pelaut masa depan akan mengetahui bahwa dia pernah ada.”

Aku pikir perkataan filsuf asal Jerman itu ada benarnya. Mungkin aku tak bisa menikmati hasil wah atas semua hal yang telah kukerjakan selama ini. Tak akan ada yang sadar dengan segala upayaku. Tapi, siapa tahu generasi berikutnya dapat merasakan hasil tersebut.

Sebagaimana yang kita ketahui, kebanyakan orang mungkin cuma menginginkan hasil tanpa peduli terhadap prosesnya. Jadi, seandainya ada orang-orang yang mungkin belum bisa melihat perubahan dalam diriku yang tidak kentara ini, lalu berkomentar yang macam-macam, sepertinya aku lebih baik memilih diam. Perkataan orang lain yang sok tahu semacam itu enggak usah terlalu dihiraukan. Tunjukkan saja pada diriku sendiri kalau aku betul-betul niat berubah. Nanti orang itu lama-lama juga akan bungkam dengan sendirinya. Andaikan mereka masih berisik juga, bukankah aku sudah paham bahwa tak ada cara lain selain terus maju dan mengabaikan mereka?

Selain itu, akhir-akhir ini aku mulai berpikir untuk bekerja sewajarnya saja. Tidak baik terlalu berlebihan, kemudian tubuh remuk, dan jatuh sakit. Sebagaimana aku zaman bocah yang berusaha menyeimbangkan hidup dengan 50% belajar dan 50% bermain, aku kira perlu menerapkan hal semacam itu lagi saat diriku tumbuh dewasa. Aku kudu menempatkan diri pada porsi yang pas. Ada waktu untuk mencari uang, bersenang-senang seperti menulis cerita, membaca buku, menonton film maupun anime, kumpul bareng keluarga ataupun kawan baik, dan yang tidak kalah penting: selalu menyempatkan diri buat berkomunikasi kepada Sang Pencipta.

Lalu keinginan terakhirku: semoga sosok anak kecil dalam diriku—yang pemberani, enggak takut terjatuh ataupun gagal, dan haus akan ilmu itu—tidak akan pernah hilang. Aku ingin menerapkan falsafah hidup Gintoki dari serial anime Gintama, yakni cara terbaik menikmati hidup adalah tetaplah menjadi anak kecil, seberapa tua pun dirimu.

/2019

12 Comments

  1. Tulisan yang sangat bagus bang.. Sebagai makhluk yang kurang bersosialisasi, kadang sempat terpikir melihat teman waktu SMP/SMA/Kuliah sekarang gimana usahanya.. Dan yang ada, malah itu minder sama diri sendiri..

    Kalau saya, mikirnya juga sama, mungkin saya yang kurang keras kerja dan doanya untuk bisa jadi sukses..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jadi, mari berhenti melihat untuk membandingkan~

      Delete
  2. Amiiin mas Yogaaa 😍

    Semoga doa dan harapan mas Yoga bisa terkabul yaaa, jadi kuat seperti sosok anak kecil di dalam diri mas Yoga, yang pemberani, nggak takut jatuh dan gagal plus haus akan ilmu ~ I'm sure, kesuksesan mas Yoga akan datang diwaktu yang tepat 🥳

    Goodluck, mas! 🎉

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin. Terima kasih ya, Mbak Eno. Sukses juga buat kamu. :D

      Delete
  3. Tetap menjadi anak kecil itu menurut gue gak akan bisa lepas dari laki-laki. Gue umur segini kadang masih suka bengong di depan rak hot wheels kalau lagi jajan ke minimarket. Kalau pas ke mol, gak sengaja lewat depan toko mainan pasti gue selalu mupeng. Namun gue sadar kalau beli akan ada yang ngomel-ngomel hahaha.

    Soal pencapaian, dalam beberapa tahun terakhir sampai sekarang gue selalu bertanya "sebenarnya apa tujuan gue diciptakan hidup di dunia ini? Kalau cuma sekadar lahir hidup kerja mati, kenapa gue harus sejauh ini dari sana dan sini dan melewati hal-hal yang berat?" jawabannya sampai sekarang belum ketemu, dan gue gak akan berhenti sampai ketemu. Ngerti gak sih lu maksud gue? Enggak ya? Ya gak papa, gue juga udah ngantuk sih ini ngetiknya hahaha

    Btw gue baru main lagi ke sini. Baru sempet haha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kayaknya begitu. Gue pun pernah tiba-tiba beli action figure yang harganya bisa buat makan dua minggu. Haha. Syukurlah masih sendiri, jadi enggak ada yang ngomel.

      Ngerti, karena gue sudah sering bertanya gue nih hidup buat apa.

      Santai aja, Man. Namanya main mah ketika luang. Bukan keharusan, apalagi terpaksa. XD

      Delete
  4. Dulu aku sering kok ngerasa begitu. Kok ya temen2 yg sebaya, dan maaf nih, dulu zaman sekolah aja ranking bawah selalu, tp skr malah kerja di perusahaan bonafid, ada yang di LN, dan kliatan hidupnya luar biasa mapan :D. Iri? Pastilaaah hahahaha. Tapi kalo skr, aku udh capek mikirin begitu. Krn lama2 jd sadar, itu ga bakal ada abisnya kok. Sekali aku ngerasain di posisi mereka, aku yakin perbandingannya bakal naik ke posisi yg LBH tinggi lagi :D. Ga abis2.. nguras tenaga dan pikiran kalo trus2an envy dgn hal begitu :).

    Jadi skr, nikmatin aja yg dipunya. Kalo rezekinya hanya segini, ya sudah :D. Mungkin Tuhan juga ga mau aku kejerumus malah ngelupain Dia kalo diksh kekayaan yang banyak :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Siapa coba yang tidak iri dengan pencapaian orang lain yang selama ini kita kenal pemalas, tapi kok lebih cemerlang? Kapan mereka berubahnya? Haha.

      Lama-lama merasa kosong sendiri, memang. Tak ada habisnya.

      Iya, Mbak. Nikmati aja apa yang diberikan saat ini. Apalagi alhamdulillah tubuh juga masih sehat wal'afiat. Itu rezeki yang sangat melimpah.

      Delete
  5. Sekitar 2-3 tahun yang lalu saya tuh masih menjadi sosok yang insecure banget. Apa-apa membandingkan diri dengan orang lain. Apa-apa masih baper kalau diomongin orang lain. Intinya, saya susah bahagia dengan cara saya sendiri. Masih tergantung banget dengan "apa kata orang". Kayaknya momen pandemi tahun lalu itu mengizinkan saya untuk berdamai dengan diri sendiri. Lebih berusaha lihat ke dalam, bukan ke luar. Puji syukur, sekarang saya udah jauh lebih baik. Saya udah tau apa yang ingin dicapai, apa yang bisa membuat saya bahagia dll. Terus mendadak keinget, kayaknya ini gara-gara mau ganti kepala usia deh makanya berubah bijak wkwkwk

    Anyway, thank you for sharing your thoughts, Mas Yoga! Semoga Mas Yoga terus semangat mengejar kebahagiaan dan "keras kepala" dalam menggapai mimpi ya (:

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdulillah ya, Ci. Akhirnya bisa berdamai dengan diri sendiri, lebih bahagia, dan bijak. Haha.

      Saat pandemi pun saya masih kayak begitu. Sekitar 6 bulan pandemi baru mulai banyak perenungan dan mulai bisa mengontrol diri.

      Sama-sama ya, Ci Jane. :D. Aamiin. Sukses juga buat kamu.

      Delete
  6. Usia 30 tahun, hampir 31 tahun.

    Ada beberapa pencapaianku yang jarang aku syukuri. Padahal, banyak orang seusiaku yang menginginkannya.

    Menikah, memiliki suami, anak, orang tua dan mertua lengkap, saudara kandung, dll.

    Kadang fokus pada materi yang belum dicapai. Belum punya rumah dan mobil. Padahal masih enak tinggal bersama mertua dan punya motor untuk dikendarai.

    Rasa syukur jarang timbul karena merasa dikejar sesuatu yang sebenarnya tidak wajib dipenuhi. Rata-rata karena omongan ortu, tetangga, teman, dll.

    Ingin rasanya memiliki hati yang penuh syukur. Beruntunglah nyasar di blog ini. Thanks sudah berbagi... Salam kenal

    ReplyDelete
    Replies
    1. Salam kenal juga, Mbak.

      Terima kasih sudah bercerita tentang hal tersebut. Terlepas dari sistem kerja yang sebetulnya timpang ini dan makanya beberapa orang hidupnya mungkin tak banyak perubahan sekeras apa pun dia berusaha, saya kira memang capek mengikuti standar orang lain.

      Selama bisa dapat upah yang layak, bisa bergembira dengan pasangan sesuai yang dia kehendaki, dan hal-hal lain yang jadi prinsip hidupnya, hidup ini sejatinya terasa lebih nikmat dan tak perlu terbebani apa-apa.

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.