Otoformasi

Cerita berikut ini diambil dari buku binder seorang mahasiswa Universitas Alazon Jurusan Manajemen, kelas 608. Tak tercantum satu pun nama pada buku itu selain inisial SM yang ditulis dengan grafiti.
 



--

Pada suatu pagi di penghujung tahun 2018, saya pernah terbangun dengan kaos lepek lantaran habis bermimpi buruk hingga menyebabkan keringat dingin mengucur begitu derasnya. Jika tak salah ingat, saya bermimpi kembali ke zaman sekolah, tepatnya masa SMK, dan entah kenapa saya bisa-bisanya dinyatakan tidak lulus bersama beberapa kawan baik. Lalu kami semua pun bersedih, bahkan ada satu teman yang meraung-raung hingga mengutuk para guru.

Sebenarnya saat terbangun dan mulai tersadar kalau itu cuma mimpi, saya sudah lupa dengan kejadian yang bikin kami enggak lulus,  tapi saya entah kenapa iseng menebak-nebak kisahnya (apakah karena nilai-nilai ujiannya jelek atau kami mencoba memberontak pada sistem belajar yang menurut kami bobrok?). Ya, walaupun pada akhirnya tetap saya coba lupakan begitu saja, karena itu hanyalah bunga tidur.

Saya sudah lulus sejak lima tahun silam dengan nilai yang sangat memuaskan. Lagi pula, hal tentang sekolah sudah tak penting lagi bagi diri saya sekarang. Apalagi nilai-nilai ujian yang pada masanya begitu diagung-agungkan itu. Selain buat masuk ke universitas unggulan, menurut saya nilai-nilai itu sama sekali tak berguna buat masa depan.

Saya telah mengerti bahwa lulus dari sekolah bukan berarti berhenti belajar. Saya justru kudu mempelajari berbagai hal yang tak pernah diajarkan di sekolah, khususnya: kemampuan bertahan hidup.

Di luar dari masalah itu, kadang saya suka mempertanyakan, kenapa guru-guru selalu mengajarkan sekaligus menyuruh murid-muridnya untuk menjadi orang sukses? Pertanyaan saya sampai hari ini, sukses itu apa patokannya, sih? Apakah punya banyak uang? Apakah memiliki karier yang cemerlang? Apakah bisa menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain? Apakah perpaduan dari hal-hal yang saya sebutkan barusan?

Permasalahan sebenarnya tentu bukan tentang mengajarkan supaya jadi orang sukses itu, melainkan tak ada satu pun yang mengajari saya bahwa gagal tuh enggak apa-apa.

Seingat saya, tak ada seorang pun guru pada masa sekolah yang mengajarkan saya buat menerima kekalahan. Saya bahkan masih ingat dengan jelas ketika sempat terpilih mengikuti suatu olimpiade (sebetulnya saya agak ragu memakai diksi olimpiade, sebab yang saya ikuti waktu itu semacam perlombaan adu tinggi nilai, yakni tiap sekolah mengirimkan 1-2 murid untuk mengerjakan soal-soal dan mesti mendapatkan nilai tertinggi jika ingin terus maju ke tahap berikutnya), lalu saya hanya berhasil sampai tingkat kecamatan, dan salah satu perwakilan guru itu tampaknya kecewa berat sama saya, sehingga menyuruh saya buat belajar lebih keras sehabis kekalahan tersebut.

Alih-alih diperkenankan istirahat, saya justru dipaksa melahap soal-soal terkutuk lagi di perpustakaan seorang diri, sementara teman-teman sekelas sedang mengikuti proses KBM. Yang mana bikin saya ketinggalan pelajaran, dan mau tak mau saya kudu belajar lebih giat berkali-kali lipat ketimbang murid yang lain.

Berhubung ada seorang teman yang berhasil maju sampai tingkat DKI, guru tersebut lantas memberikan perhatian penuh kepadanya, dan saya pun entah kenapa mulai dibanding-bandingkan dengannya. Mengapa guru itu malah bikin saya semakin sedih, bukannya menghibur kondisi hati saya yang buruk akibat kekalahan itu?

Sampai hari ini saya tak akan pernah lupa sama kejadian menyedihkan itu. Saya juga masih tak mengerti, kenapa anak SD sudah diberikan beban seberat itu, sampai-sampai dirinya sempat berpikir untuk menjadi siswa yang biasa-biasa saja. Tak usah pintar-pintar amat jadi murid, sebab mendapatkan peringkat tiga besar di sekolah justru membebani dirinya. Menyedihkan hatinya.

Ketika kamu gagal, kebanyakan orang biasanya akan memandangmu hina, bahkan dianggap tak berguna.

Pemikiran semacam itu terlahir begitu saja ketika saya menghadapi kenyataan yang bengis ini. Saya seolah-olah ditertawakan oleh teman-teman yang dulu gemar menyontek kepada saya dan kini kariernya lebih mentereng, sementara saya yang lumayan berprestasi di sekolah semakin ke sini malah meredup kariernya. 

Saya awalnya bekerja sambil kuliah, dan setelah bekerja sekitar 2,5 tahun, saya akhirnya resmi jadi pengangguran karena telah muak menjadi karyawan outsourcing yang gajinya sering dipotong tanpa kejelasan. Lalu saya pun bingung bagaimana cara membiayai kuliah ini ketika terus-menerus gagal melamar pekerjaan baru, hingga sebentar lagi sepertinya bakalan drop out dari kampus, padahal sudah kuliah 7 semester.

Teman-teman sekolah saya kini tampak berlomba-lomba untuk unjuk diri, siapakah yang lebih dulu menjadi orang berhasil atau sukses secara finansial. Begitu pula dengan persoalan cepat-cepat menikah. Bagi siapa pun yang tak membawa gandengan alias masih melajang, dia pasti akan menjadi olok-olok setiap kali ada seorang kawan yang menggelar pesta pernikahan.

Saya pengangguran menyedihkan yang sebentar lagi di-DO dari kampus karena sudah menunggak bayaran selama 4 bulan. Saya pecundang tolol yang terpaksa putus sama pacar karena memergokinya berselingkuh dengan teman sekelas. Saya anak tak berbakti yang sering gagal bikin orang tuanya bangga.

Meski begitu, saya ingin sekali bilang begini: Selama proses menggapai impian atau cita-cita yang ternyata tak sesuai dengan realita, bukankah kita boleh beristirahat? Saat capek kita boleh rehat, kan? Nanti kita juga bakalan bangkit lagi ketika kondisinya sudah pulih atau mendingan.

Lagi pula, di zaman akses internet yang sudah kian cepat, apakah kita juga harus dituntut untuk terburu-buru? Bukankah santai juga merupakan bagian dari hidup? 

Membicarakan tentang hidup, mengapa kita harus jadi orang sukses? Kenapa kita seakan-akan tak boleh gagal? Kenapa kita perlu mendengarkan ucapan-ucapan motivator tai kucing yang membicarakan kesuksesan bisa dengan mudah diraih asalkan kita bekerja dengan gigih, padahal dia sesungguhnya sedang berjualan omong kosong? Apakah benar dalam hidup ini ada rumus-rumus pasti dalam mencapai kemakmuran? Apakah kita kudu mengikuti petuah orang lain yang katanya sudah berhasil menjadi orang besar itu? Kenapa kita tak mencobanya sendiri? Toh, jika cara yang mereka ajarkan salah, kita kelak akan mencari panutan lain yang mungkin bisa lebih dipercaya, kan? Bukankah itu sama saja dengan mencarinya sendiri? Resep mana yang paling cocok bagi diri sendiri? Dan yang terpenting, kenapa kita sulit menjadi diri sendiri? Apakah sesusah itu menerima dan mencintai diri sendiri? Memangnya, kalau bukan diri sendiri, siapa lagi, sih, yang rela menyayangi kita?

Selama ini enggak ada satu pun manusia yang mengajarkan saya hal-hal semacam itu. Orang tua saya pun tidak. Saya mesti belajar sendiri dengan memakan asam garam kehidupan dan menyerap berbagai referensi, sampai akhirnya bisa membuat kesimpulan sok tahu begini.

Jadi, jika suatu hari nanti saya merasa gagal, itu adalah hal yang wajar. Yang tak wajar adalah berputus asa dan memilih menyerah. Saya tak tahu bagaimana nasib saya ke depannya nanti, tapi saat ini saya cuma ingin bilang: Enggak apa-apa kalau suatu hari kelak kamu ingin menangisi kegagalan atau kekalahanmu itu. Yang terpenting, berhentilah merasa dirimu hina seumpama ada yang memandang rendahmu atau mengejek kegagalanmu. Sekeras apa pun orang lain menilaimu ini dan itu, nilai sejati dari dirimu tetaplah ada pada dirimu sendiri. Maka, santai sajalah dalam menjalani hidup. Kamu sudah berusaha dengan baik, bukan? Lagi pula, lebih baik gagal dan ditertawakan orang karena kamu berusaha sekuat hati dan berdiri di atas kaki sendiri daripada menjadi sukses dengan menjilat pantat para cukong. Tolong camkan itu baik-baik di dalam hatimu.

--

Gambar diambil dari Pixabay.

7 Comments

  1. bicara masalah ngimpi balik ke jaman sekolah aku seriiing

    ga tau kenapa iya gitu tapi beneran dalam artian buruk karena di mimpi itu sering betul aku pas lagi ujian tapi ngerjain soal sama sekali ga bisa, trus pas kyrunut ke belakang (dalam ngimpiku) itu ternyata aku jarang masuk pas kbm hahaha...dan ndilalah detik menjelang bel masuk baca buku teoripun ambyar semua. jadi begitu dibagikan lembar ujian...dalam ngimpiku itu aku merasa kacaw banget...bangun bangun kutilik buku skripsu dan foto wisuda..ternyata aku udah lulus beberapa tahun yang lalu..kupikir ngimpiku itu terasa nyata sekali...hiks...seriiing aku ngimpi begitu


    oh ya...masalah setelah lulus sekolah di jenjang pendidikan manapun sama sih yog aku juga masih pengen belajar. Malah serasa pengen bisa skill speaking English..secara dulu aku ndaftar pgsd bahasa inggris ga keterima dan di SMa aku sangat mengidolakan sosok guru bahasa Inggris yang menganakemaskan aku karena diantara teman lain aku paling antusias pelajaran ini...lalu saat UN aku cuma salah 1 maka nya waktu lukus SMa sempat ada pengen nerusin bahasa inggris...eh ga lulus ujian masuknya...jadi aku masih ada penasaran pengeeen banget bisa speaking English fluently...ya walau blom ada waktu kursus sih...sementara baru bisa sinau dari film film barat atau baca artikel bahasa inggris

    kalau cerita tentang olimpiade...pas baca kamu sampai dibegitukan oknum guru kok agak nyesek sih...haha..ya aku juga dulu sering diikutkan lomba tapi guru pendampingnya nyantai sih ga pwrnah nargetin juara.. malah aku kerjakan soal olimpiade astronomi saking kadang ngebul otak karena soalnya sulit banget (masih tingkat kabupaten sih) maka jalan terakhirnya aku main peluang pilihan ganda...yang A semua kukira kira sekian nomor, yang B semua sekian nomor, yang C semua sekian nomor dst wkwkwkwk...pengawuran mania yog...lumayan lah sambil refresing ga ngikutin kbm biasa di kelas yang ada pelajaran matematiknya, aku dolan sekolah lain di kabupaten yang agak jauh dari sekolahku..etang itu aku dapat snack dan uang saku hahahahhaha..Tapi ajaib sih pas diumumin nilainya aku ada di peringkat 5 hahahhahah

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya juga pernah mimpi ngerjain ulangan Fisika, terus enggak paham apa-apa dan mau menangis. Saking sedihnya, terbangun dari tidur, dan ternyata cuma mimpi. Bingung aja kenapa hal semacam itu bisa bikin sedih sekalipun masanya sudah jauh terlewati.

      Apa pun cara belajarnya, yang penting masih ada hasrat buat belajar, dan menurut saya mah prosesnya kudu terasa menyenangkan. Haha.

      Kabupaten ini satu tingkat di atas kecamatan, kan? Kocak juga pakai cara main probabilitas bisa peringkat 5. Hokimu tinggi, Mbak.

      Delete
  2. waktu masih sekolah dulu yang dipikirkan hanya nilai dan nilai, gimana caranya lulus dengan nilai bagus
    pas udah cari kerja, jadi mikir juga, nilai kadang juga nggak ikut diperhatikan. yang dicari adalah keterampilan, bagaimana cara bersikap yang diliat dari test psikologi.
    nilai di ijasah hanya sebagai warna dan pemanis surat lamaran
    sekarang kudu pinter meliat kesempatan dan belajar dari mana saja untuk menambah ketrampilan dan wawasan

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terpaku sama nilai bagus dan akhirnya menghalalkan segala cara.

      Iya, Mbak. Cara pandangnya mulai bergeser karena hal-hal yang dinilai juga ikutan berbeda.

      Delete
  3. Konsep belajar yg seperti itu, maksa anak utk trus mati2an belajar, fokus Ama subjek yg dia bahkan ga suka pelajari, dan selalu bilang ranking teratas adalah yg paling baik, bakal aku hindarin.

    Udh ngalamin juga Yog gimana aku dipaksa utk belajar IPA, matematika dan fisika yg aku benci setengah mati, kimia yg aku ga ngerti gunanya apaan kalo nanti aku jd banker. Itu gara2 paksaan dari papa yg wajibkan semua anaknya hrs IPA. Aku ga mau ngelakuin salah yg sama. Drpd anakku jd benci Ama pelajaran tertentu dan males belajar, trus jd pemberontak kayak emaknya dulu, mnding aku bebasin dia utk fokus Ama pelajaran yg memang dia suka. Toh yg terpenting, kita menguasai ilmunya, bukan hanya sekedar diapal.

    Gurumu nyebelin banget itu sih. Sampe banding2an murid segala. Guru begini niiih, yg bikin murid males belajar jadinya -_-. Buat apa, toh apapun yg kita lakuin ga bakal bikin dia puas.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tapi, yang saya bingung, apa yang bikin IPA lebih wah dari jurusan lainnya di mata mayoritas orang tua, ya?

      Iya, bisa paham dan menguasai ilmu itu lebih bagus daripada sekadar menghafal. Dengan metode menghafal begitu, sekelarnya ujian biasanya bakal lupa.

      Bukan guru saya sih, Mbak. Itu guru seorang tokoh tak bernama dalam cerita ini. Tapi kalau mau dianggap guru saya pun boleh, karena dari mana bisa bikin tulisan macam begini sekiranya tak ada pengalaman terkait? Ahaha.

      Delete
  4. Udah lama nggak main di internet hehe. Mengenai jadi murid juara kelas, emang bener ada pahit-pahitnya, part dibandingin sama teman lain itu juga aku rasain. Haha. Itu jaman SD sih, pokonya masa2 SD nggak enak banget, guru2nya pada beda2in anak pejabat daerah sama anak2 biasa.

    Pas SMP dan SMA aku jumpa dong guru yang pengertian banget, masih ingat banget, aku paling geblek matematika, kalau belajar MTK aku butuh waktu lebih lama biar paham, bu Lessy bilang it's okay nggak bisa matematika, karena dia tahu aku jago di pelajaran lain, tapi dia tetap suruh belajar MTK karena katanya even aku nggak suka, aku tetap butuh itu untuk lulus UN. Trus aku dipindahin duduk sama murid yang matematikanya jago, biar kalau nggak ngerti bisa nanya-nanya 😂😂

    Pas SMP aku juga pernah ikut olimpiade sekabupaten gitu,tapi nggak menang haha, gurunya ngajak makan biar nggak sedih, pokoknya pas SMP SMA rata2 gurunya mengasyikan walau pun juga ada guru yang menganggap nilai adalah segalanya. Tapi most of them nggak nekan-nekan muridnya biar dapat nilai sempurna, yang paling malas itu cuman pas munasabah diri gitu, disuruh nunduk trus muter lagu sedih, then disuruh2 ingat orangtua di rumah, ngeselin sama mau ketawa kalau ingat itu.

    ReplyDelete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.