Bingkisan

Setiap hari kau membuka bingkisan yang dikirimkan oleh temanmu. Yang kautemukan di dalamnya bukanlah afeksi, beras, cokelat, duit, emas, foto, gelas, HP, informasi, jaket, kemeja, lowongan, martabak, novel, obat, parfum, quran, roti, sepatu, tas, usia, vaksin, waktu, xilitol, yoghurt, zamzam, melainkan kekosongan. Semakin kau berharap memperoleh hadiah istimewa, kau justru menerima kekosongan yang lebih besar.




Meski demikian, kau tetap mengucapkan terima kasih serta mendoakan: “Semoga kebaikan selalu menyertai kalian”.

Suatu hari kau memutuskan untuk tidak membukanya lagi lantaran kamarmu semakin menyempit. Namun, apakah kekosongan bisa mengisi ruang? Kau terus-menerus bertanya hingga lupa diri, lalu tiga hari kemudian kiriman itu tak pernah datang kembali.

Dunia berputar dengan teramat cepat dan tanpa sadar kau kini tengah berada di titik paling bawah. Kala itulah akhirnya muncul bingkisan yang lebih besar ketimbang sebelumnya.

Kau pun penasaran dan sangat ingin membukanya. Tapi tak ada apa-apa di dalamnya selain dirimu yang lain. Seseorang yang gemar menyendiri, sok tangguh, tak pernah mau merepotkan orang lain—yang konyolnya justru sering mengulurkan tangan sepanjang mungkin dan sulit menolak permintaan saat ada yang bertamu sekaligus memohon pertolongan.

Matahari dan mata hati tertutup gumpalan awan hitam dan hujan perlahan-lahan turun hingga membanjiri kamarmu. Besoknya, kau membungkus kembali bingkisan itu dan mengirimkannya kepada ibumu beserta secarik kertas bertuliskan tiga kata favorit: maaf, tolong, dan makasih. Kau berharap beliau memahaminya.

--

Gambar diambil dari Pixabay.


0 Comments