Noktah pada Kerumunan

“Kerinduan yang digumamkan (bisa kudengar-bisa kudengar-bisa kudengar). Pelarian ini telah usai.” —Melancholic Bitch, Noktah pada Kerumunan.




--

Kisah sebelumnya: Mendengar Songar.

Sepulangnya Raka Bagoy dari membeli sebungkus nasi padang, dia tertawa membaca tulisan balasan yang tertempel di pintu indekosnya. Raka langsung merobek kertas bertuliskan: “Kalau kau tak suka dengan lagu yang kudengarkan, bicara langsung sini di depan wajahku. Atau kau mending minggat saja dari tempat ini, Bangsat!”, lantas segera masuk ke indekos, menutup pintu, dan membuang kertas yang telah dia remas itu ke tempat sampah di pojokan kamarnya.

Raka sebetulnya tak bermaksud mencari ribut pada awalnya. Dia hanya terlalu jenuh dan stres menghadapi pandemi ini, sehingga emosinya sulit terkontrol. Tapi kelakuan tetangga samping kirinya itu justru bikin suasana hati Raka bertambah kacau. Makanya dia nekat mengejek tanpa berpikir panjang.

Seandainya kami berkelahi, pikir Raka, apakah aku sanggup menang darinya? Tubuh Raka kurus, tak sebanding dengan tetangganya yang tegap dan berisi, yang kira-kira bobotnya lebih besar 25 kilogram ketimbang dirinya. Raka juga sudah lama sekali tidak melakukan adu jotos. Terakhir kali melakukannya kira-kira sembilan tahun silam, saat dia masih SMA. Jadilah dia mencoba melupakan persoalan tersebut, lalu segera menyantap makanan yang tadi dibelinya.

Sekelarnya makan dan merasa kenyang, Raka merenung begini: seumpama tetangganya masih membahas perkara itu, dia mungkin akan membicarakannya dengan kepala dingin. Ketika dia sudah menjelaskan sebaik-baiknya dan kemungkinan terburuk akhirnya tetap terjadi, yakni dipukul, terus dia spontan membalasnya hingga berujung perkelahian dan menimbulkan kegaduhan, bahkan diusir oleh induk semangnya, Raka pun sudah merasa siap.

Tanpa harus disuruh minggat sekalipun, Raka tentu ingin sekali pindah dari indekos terkutuk itu. Sayangnya, dia sudah telanjur membayar sampai akhir tahun. Keputusan goblok yang bisa-bisanya dia pilih dengan membayar lunas uang sewa selama enam bulan pada pertama kali datang kemari. Raka termakan iming-iming diskon masa pandemi, yang mana menyewa tiga bulan sekaligus cuma satu juta, dari harga normalnya seharga 450 ribu per bulan.

Tak ada salahnya mencoba bertahan sebentar lagi, pikirnya. Raka hanya tak mau kembali ke rumah orang tuanya secepat mungkin karena masih ada rasa cemas yang mengusik. Bagaimana jika tinggal di sana lagi dia malah kembali terpicu trauma-trauma masa lalu?

Corona asu, umpatnya dalam hati. Wabah sialan itu menghancurkan segala rencana hidupnya yang telah dia susun dengan baik. Raka mengira selama enam bulan mengekos, dia mampu memperoleh pekerjaan. Nyatanya, banyak perusahaan yang membayar para karyawannya dengan setengah gaji. Ada pula yang mengurangi tenaga kerja alias melakukan pemecatan.

Terlepas dari pencarian kerja yang gagal itu, pagebluk keparat ini juga membuat Raka tak bisa keluyuran ke mana-mana. Sudah lima bulan lebih dia merasa terpenjara di kamar indekosnya. Raka terpaksa pergi keluar hanya demi mencari makanan ataupun hal penting lainnya. Itu pun menerapkan protokol kesehatan—yang entah kenapa kerap Raka pelesetkan menjadi prokontol kesehatan. Dia selalu menghindari kerumunan. Suka atau tidak suka harus menyendiri. Tak ada satu hari pun yang bisa dia lewati tanpa kekhawatiran dan ketakutan. Sekeras apa pun dia mencoba bersikap santai dalam menikmati hidup ataupun berusaha membahagiakan diri sendiri, pasti tetap ada kengerian ganjil yang selalu membayanginya.

Lebih-lebih ditambah fakta jahanam bahwa saldo rekeningnya semakin menipis. Satu-satunya penghasilan yang bisa dia peroleh cuma lewat berjualan paket Netflix, Spotify, Viu, dan Youtube Premium dengan harga miring. Pemasukan dari sana tak seberapa, bisa dikatakan juga jarang peminatnya, apalagi malah sering mendapatkan hinaan setiap kali dia melakukan promosi di media sosial.

Sebagai penikmat musik dan film yang cukup menghargai para pekarya, Raka sesungguhnya paham bahwa dagangannya termasuk ilegal, serta jauh di lubuk hatinya dia benci melakukan hal itu. Namun, dia bagaikan tak punya pilihan lain, sebab dia cuma ingin bertahan hidup di situasi berengsek ini.

Di antara semua perasaan-perasaan negatif pada dirinya itu, Raka tiba-tiba ingin sekali menonton konser. Raka kepengin melepaskan penat atau mengusir stres dengan joget sekaligus jingkrak-jingkrak.

Apesnya, sampai hari ini pandemi masih tak kunjung selesai, lebih-lebih korbannya juga merajalela. Raka benar-benar tak punya pilihan lain, kecuali menonton konser musik di Youtube menggunakan earphone dan menggila sendirian di kamar indekosnya. Raka pun memilih menyaksikan konser The Trees and the Wild, salah satu band favoritnya.

 



Seusainya menonton, Raka menuliskan narasi singkat di catatan ponsel dengan memodifikasi potongan-potongan lagu yang mereka tampilkan di konser itu:

Aku menghilang ke dalam zamanmu. Terurai habis tak tersentuh. Hanya tersisa arah. Hanya berharap dan kelelahan. Aku remuk, dan aku kan sadar: yang tak diam denganku hanya waktu. Lalu, mereka akan berkata kesedihanku akan pergi terhempas angin selatan yang penuh debu. Terbawa sampai ufuk timur. Meski begitu, aku akan terdiam dan bertanya dalam hati: sampai kapan ini kan berakhir? Hingga datanglah terang yang kudambakan. Hilanglah semua yang kutanya.

--

Gambar diambil dari Pixabay.

4 Comments

  1. Bahasa cerpennya sudah meningkat tajam, Yog. Lebih enak dinikmati. PR berikutnya poin alur cerita. Sebab di tulisan ini belum ada penyelesaian konflik pada pembukaan tulisannya.

    Lanjutkan Yog, sampai tamat...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya enggak tahu apa perbedaan dari gaya bercerita ketimbang tulisan lainnya. Seumpama menurutmu bisa lebih nikmat, ya syukur deh.

      Iya, konflik batinnya menghadapi pandemi dan beberapa hal lain emang belum selesai. Haha. Entah bakal saya lanjut lagi atau enggak sehabis ini. Saat menghidupkan karakter itu pada cerita pertama sebetulnya cuma iseng doang, Din. Ini entah kenapa malah saya lanjutkan karena lagi latihan bikin cerita lewat ponsel dan sengaja singkat-singkat.

      Delete
  2. Apa yaaa, seolah bisa aja ngerasain kegalauan si Raka di sini ttg pandemi. Jadi ngerti kenapa dia nekad mengejek si tetangga melalui surat, Krn stress yg sudah menumpuk tadi. Kdg2 stress begitu, jd bikin diri suka bertindak di luar kebiasaan, ato ceroboh :D. Agak kebawa dlm cerita, aku sampe berharap semoga si tetangga ga bener2 nantangin si Raka berantem :D. Kasian.....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, Mbak. Karena emosi udah memuncak, pelampiasannya jadi ke orang yang terakhir mengganggu itu.

      Enggak tega membayangkan perkelahian itu, apalagi kalah fisiknya. Haha.

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.