Teman Masa Kecil

Surat buat Teman Masa Kecil yang Tidak Pernah Terkirim


Tidak selamanya terang itu indah, katamu pada suatu hari di dalam mimpiku. Bertahun-tahun setelah kau tiada, akhirnya aku sepakat. Bagaimana cahaya kerap menjadi bahaya untukku. Membunuh jam tidurku berulang kali.

Maka demi terpejamnya mata, selalu kumatikan sinar satu-satunya di kamar. Cara ini kadang suka gagal, sebab masih terdengar detak jam dinding yang membisingkan. Kau tahu, Kawan, polusi suara memang bajingan. Selain berisik, jam itu juga gemar mengancamku dengan berbagai pertanyaan.

“Apa kau ingat sudah berapa lama menunda-nunda janji kepada diri sendiri?”

“Apa kesalahanmu tiga tahun silam itu sudah termaafkan? Kenapa masih menyisakan penyesalan yang seakan-akan tak ada hentinya?”

“Kapan, ya, kira-kira kau berpikir menjadi manusia tak berguna, lalu meyakinkan diri tak ada jalan keluar selain lenyap, dan memilih menyerah lagi?”

“Ingat teman masa kecilmu yang pergi dengan cepat? Kenapa kau pernah punya pemikiran untuk bertukar tempat? Apakah agar tidak usah menjalani lika-liku dewasa yang suka bikin mengumpat?”

Lantaran kejahatannya itu, aku ingin menjadi polisi sebentar saja demi bisa segera mengokang pistol dan menembak Waktu tanpa perlu takut masuk penjara atau merasa berdosa.

Jika Waktu mati, seharusnya tidak ada lagi yang bisa mengusik. Sampai aku mulai memahami kenyataan, bahwa isi kepalaku adalah alat pemutar musik yang tak pernah berhenti berbisik dan berdesik.

Seandainya aku dapat tertidur nanti, dapatkah kita bertemu lagi, Kawan? Mungkin aku kangen, mungkin juga aku kesepian dan butuh teman mengobrol sekalipun itu semua ilusi. Namun, aku cuma ingin bertanya, apakah kau di sana pernah merindukan terang? Aku tak tahu apa-apa tentang kubur selain kegelapan dan siksaannya dari Komik Siksa Neraka yang pernah kita beli di abang tukang mainan, lalu membacanya bersama-sama.

Tanpa harus merasakan dikubur, aku sepertinya sudah terbiasa dengan gelap dan siksaan di simulasi neraka yang bernama kehidupan ini. Apakah kalimatku barusan terdengar berlebihan, Kawan? Mungkin kau di sana akan mentertawakanku. Tak apa. Pikiran-pikiranku memang suka sedungu itu.

Omong-omong soal hidup yang bagaikan neraka, aku pernah membaca kalimat dari cerpen seseorang: “Dari sekian banyak cara untuk mati, yang terburuk adalah melanjutkan hidup*.”

Kupikir, pernyataan itu ada benarnya. Kadang-kadang, di kepalaku terbayang pula cara-cara mati yang aduhai. Anehnya, entah kenapa aku masih belum ingin mampus. Ini bukan soal aku belum merasakan kawin, mau mencicipi apa itu sukses, atau takut dengan pertanggungjawaban di akhirat.

Aku hanya ingin terus membaca buku hingga pertanyaan-pertanyaan yang kucari selama ini bisa kutemukan jawabannya. Aku juga mau menuangkan suara-suara di dalam kepala ini seraya membuktikan, apakah gagasanku itu senasib dengan minyak dan gas bumi, atau justru tak terhingga. Atau malah aku cuma pengin mendongeng, sebagaimana surat tolol dan tak penting yang sedang kutujukan kepadamu saat ini. Aku tetap menuliskannya, Kawan, sekalipun aku tahu bahwa teks ini tak akan pernah terkirim.

Salam,

Wahyu Nugraha

(seseorang yang mengaku teman baikmu saat kau masih hidup)

*




Dongeng Setelah Tidur


Teman masa kecil itu menyampaikan balasan pesan kepada Wahyu lewat sebuah mimpi.

Sore itu selepas salat Asar dari masjid, Wahyu mengunjungi makam adik perempuannya yang meninggal saat masih bayi. Entah bagaimana kuburan itu bisa bersebelahan dengan tempat peristirahatan teman masa kecilnya. Wahyu menyiramkan air mawar dan menaburkan bunga di kedua kuburan itu. Wahyu membacakan surah Alfatihah dalam hati, lalu dia menatap batu nisan sambil meracau. Kalimat yang dia lontarkan itu terdengar seakan-akan sedang mendeklamasikan sebuah puisi.

Tidak selamanya terang itu indah....

Begitu kelar mengoceh tidak jelas, dia pulang ke indekosnya, berwudu, dan melanjutkan aktivitas sebagaimana biasanya—makan sore, sembahyang Magrib dan Isya, membaca buku, mendengarkan musik sampai larut malam, hingga terlelap.

*

Wahyu melihat anak kecil berusia tujuh tahun yang lagi asyik bermain robot-robotan di teras rumahnya.

“Sini, Kak, ikut main,” ujar bocah itu.

Wahyu mendekat dan kaget kala memperhatikan salah satu mainan itu, tepatnya Ultraman yang kepalanya copot. Wahyu mengenali mainan tersebut. Dia pun menerka-nerka, apakah anak kecil di hadapannya itu merupakan dirinya sendiri? Tapi jika diingat-ingat dan diperhatikan dengan jelas, mengapa tidak mirip? Siapakah sebenarnya bocah itu?

“Maaf ya, mainan kamu rusak,” kata si bocah.

Cairan bening berjatuhan dari mata ke pipi Wahyu. Dia akhirnya mengingat semuanya. Seorang bocah di hadapannya itu adalah Fajar, teman masa kecilnya yang sudah meninggal dua puluh tahun silam. Wahyu ingin mengucapkan sesuatu, tapi mulutnya tak mau terbuka.

Fajar menghapus embun di muka Wahyu kemudian berbicara, “Aku sudah membaca suratmu. Terima kasih.”

Tangan kanan Fajar menggenggam tangan kiri Wahyu—bermaksud mengajaknya ke suatu tempat. Wahyu pun manut saja. Rupanya Fajar membawa Wahyu ke tempat pemakaman umum, percisnya kuburan Fajar.

Fajar lantas duduk dan bercerita begini:

Di dalam sini tidak benar-benar gelap. Ada kiriman-kiriman doa, khususnya beberapa hari sebelum Ramadan, yang bikin tempat ini menjadi terang. Apakah salah satunya darimu? Kuharap sih begitu. Itu berarti kamu masih ingat sama aku.

Apa kamu yakin pernah kepikiran untuk bertukar posisi denganku? Aku kasih tahu kamu nih, ya. Tak ada yang bisa kamu lakukan di sini, wahai temanku, selain tidur sambil mengingat masa-masa hidup yang cuma sebentar itu. Aku sering memikirkan ini, apakah mati muda itu baik untukku?

Kalau tak salah ingat, usiaku di alam ini jauh lebih lama daripada yang kuhabiskan di duniamu. Melihat kamu yang sudah sebesar ini, kutebak waktu telah bergerak dua kali lipat dari usiaku atau malah lebih. Sebentar sekali, ya, saat menghabiskan hari-hari bersamamu yang cuma dua tahunan itu.

Tapi biar bagaimanapun, aku senang karena hidupku penuh dengan memori-memori indah. Aku jadi menyimpulkan kalau mati muda itu ada bagusnya. Apalagi setelah mendengar keluhanmu di surat itu.

Sepertinya aku sedikit mengerti apa yang terjadi dengan kehidupanmu lewat kalimat-kalimat itu. Tidak lagi menjadi anak kecil itu membosankan, ya? Kamu tidak bisa main-main kayak dulu. Umur bertambah, tanggung jawab juga ikut membesar. Mungkin aku memang perlu bersyukur dengan takdir ini. Aku tak perlu menyesal ketika merasa salah langkah. Aku malah bingung, adakah kehidupanku yang pantas disesali?

Satu-satunya hal yang tak bisa aku mengerti dan pantas kutangisi adalah kenapa waktu hidupku sebentar sekali, sampai-sampai aku belum sempat meminta maaf kepadamu soal merusak mainan Ultraman itu.

Kamu sepertinya marah sekali sama aku. Kamu pukul kepalaku pakai robot Ultraman itu, kamu nangis, terus lari ke rumah. Kamu ingat kalau aku juga nangis, kan? Aku lupa apakah saat itu menangis karena kepalaku yang sakit, atau malah hatiku. Pokoknya, aku sedih sekali hari itu.

Dua hari sejak kejadian itu, aku mau ngajak kamu main sepulang sekolah sekalian meminta maaf. Waktu aku samper, ibumu bilang kamu lagi tidur. Aku kira itu kamu lagi janjian sama ibumu karena masih marah dan enggak mau ngomong sama aku lagi.

Aku terus ingat perkataan guru agama di sekolah. Katanya, tidak boleh memutus hubungan atau berhenti bertegur sapa lebih dari tiga hari. Akhirnya, aku coba lagi besok deh. Aku yakin kamu pasti memaafkanku. Kita bakal main bareng-bareng lagi.

Namun, keesokan harinya aku malah sakit sampai harus dibawa ke rumah sakit. Tubuhku demam. Saat aku tak sadarkan diri atau tertidur, aku bermimpi ketemu seseorang yang mirip ibuku di sebuah taman penuh bunga.

Bapak pernah bilang, Ibu meninggal sewaktu aku umur dua tahun. Aku mungkin belum mampu mengingat banyak hal ketika itu, tapi wajah seseorang yang paling banyak kulihat dari masih bayi pasti tak akan pernah terlupa. Perempuan cantik di taman itu pasti Ibu. Tebakanku benar saat aku mendekatinya.

Karena aku tumbuh tanpa sosok ibu, aku kangen sekali sama kehadirannya. Jadi aku langsung lari dan mau peluk Ibu. Ibu berjongkok dan merentangkan tangannya. Aku pun tiduran di pangkuan Ibu. Dia mengusap-usap kepalaku. Nyaman sekali.

Kami banyak menghabiskan waktu bersama. Ibu mengitiki perutku sampai aku kegelian bukan main. Aku tertawa sampai menangis. Ibu juga mendongengiku banyak cerita. Sampai aku gantian cerita sedang bermusuhan denganmu. Ibu lalu bertanya, “Kamu mau pulang atau tetap main sama Ibu?”

Aku tak ingat menjawab apa, yang aku tahu dua hari kemudian orang-orang menguburkanku di sini.

Seandainya aku gantian bertanya begitu, kamu mau jawab apa, Teman?

Sebelum memberikan jawaban, aku sejujurnya senang kamu masih hidup. Kuharap kamu bisa segera menemukan kebahagiaanmu di sana. Apa pun bentuknya. Kalau kamu sedih lagi, kamu boleh mengeluh maupun bercerita kepadaku. Apa pun alasan yang bikin kamu bertahan sampai sekarang, aku suka sama ide mendongeng itu. Jadi, aku berharap kamu bisa meneruskan mengolah kalimat-kalimat yang kamu nilai tolol itu. Misalnya, mengisahkan ulang mimpi ini.

Ah, itu semacam bujukan dariku agar menyuruhmu pulang, ya? Aku tidak bermaksud mengusir, aku cuma mengingatkan bahwa masih ada hal-hal baik dari kehidupan. Meski kamu memandangnya seburuk apa pun itu, tapi hidup masih layak kamu jalani. Saat hari-harimu terasa gelap atau berat karena memikul neraka di pundak, selalu kenanglah kebersamaan kita yang belum memiliki beban. Berlari kencang tanpa takut terjatuh. Kalaupun kamu jatuh dan terluka, aku akan selalu ada untuk mengulurkan tangan. Membantumu bangkit.

Tapi kalau kamu masih betah di sini, silakan saja. Tak ada yang melarang. Aku hanya takut kamu lupa jalan pulang dan tak bisa kembali lagi. Itu semua pilihanmu.

*

Wahyu terbangun. Semuanya terlihat gelap. Apa yang terjadi, pikirnya, apakah sedang ada pemadaman listrik? Dia mencium aroma tanah. Dia meraba-raba segala yang ada di sekitarnya. Benar, itu tanah. Ada pula tujuh papan miring–penyangga yang biasa digunakan agar jenazah tidak terkena reruntuhan tanah. Dia segera sadar dirinya sedang tertidur di dalam makam. Wahyu refleks menjerit seraya menangis.

“Aku belum mau mati! Masih ada banyak janji yang belum kupenuhi. Aku tak mau pergi meninggalkan utang.”

Wahyu terbangun kembali dengan kaos basah kuyup. Dia terkejut bukan main atas apa yang barusan terjadi. Saking paniknya, suara napasnya yang terengah-engah itu terdengar sangat jelas.

Dia mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Gelap juga, tapi dia masih mampu melihat. Rak buku, laptop, ponsel, kipas angin, tembok, serta jam dinding. Wahyu mengenali tempat ini, yakni kamar indekosnya. Dia pun menyalakan lampu sambil bertanya-tanya, kenapa ini bisa terjadi lagi? Mengapa ada mimpi di dalam mimpi?

Wahyu berjalan ke sudut ruangan, mendekati galon yang terpasang alat pompa, mengambil gelas, dan mengisinya dengan air putih. Begitu dahaganya hilang, dia pun kembali ke kasur.

Wahyu segera mengambil ponselnya, kemudian membuka memo sambil mengingat-ingat semua kejadian di dalam mimpi itu sebelum hilang digerogoti lupa.


Mei 2019


*)Nukilan cerpen 'Anjing Menggonggong, Kafilah Berlalu' di buku Bakat Menggonggong, karya Dea Anugrah.

Gambar dicomot dari Pixabay

19 Comments

  1. Anjing.

    Enggak mau banyak komen, cuma mau bilang sebagian besar tekniknya berhasil. Selamat, Yog!

    (Ini saya nulis kalimat ini sambil masih mikirin susunannya yang bagus, bagus banget.)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Gue juga baru inget pernah nulis ini. Kayak bukan gue yang nulis masa. Habis baca apaan waktu itu, ya? Haha.

      Makasih, Gip.

      Delete
  2. Ini keren beneran 😇😇, jadi saya lagi asik baca tahu-tahu udah habis, habis itu terdiam. Nggak tahu mau komen apaan, tapi tetep mau ninggalin komen, gimana dong? Haha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Intinya bisa menikmati cerita ini ya, Sov?

      Bebas kok mau komentar apa. Nuhun ya.

      Delete
  3. Katanya-katanya dalam dan keren abis.
    Sambil membacanya pun aku jadi teringat akan sahabat masa kecilku yang juga meninggal karena sakit di usia 11 tahun.
    Terkadang aku berpikir, apa ia bahagia dengan takdir yang dijalaninya?
    Apa waktu yang dimilikinya tak terlalu sedikit?
    Ntah lah, aku tak tau jawabannya.

    Btw, aku juga suka ama kata-kata yang ini "dari sekian banyak cara untuk mati, yang terburuk adalah melanjutkan hidup."

    ReplyDelete
    Replies
    1. Anggap saja dia sudah bahagia di sana. Karena masih ada orang-orang yang mengingat dia.

      Makasih, Mas Rudi.

      Delete
  4. Dari sekian banyak cara untuk mati, yang terburuk adalah melanjutkan hidup.... daleeem banget. Analog dengan prinsip tentara, pertahanan terbaik adalah menyerang. Ini saya pake klo main catur, meski megang bidak hitam saya lebih suka menyerang.

    Katanya ini gambaran tipikal orang yng suka ribut wkkw

    ReplyDelete
    Replies
    1. aduh maaf komen saya malah OOT yah 🤦‍♂️

      Delete
    2. Hmm, saya enggak nyangka malah jadi pada fokus ke kalimat itu. Haha.

      Soal bidak hitam, selain karena jalannya belakangan, memangnya biasa bertahan gitu, ya? Kurang paham maksud Bang Day. Saya pikir tergantung siapa yang main.

      Delete
  5. Gue jadi belajar banyak kosakata baru dari tulisan ini. Manteplah!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kayaknya kata-katanya masih umum deh di tulisan ini, Man. Apakah banyak itu yang penting lebih dari satu sebagaimana penggunaan 's' di bahasa Inggris? Haha.

      Delete
  6. keren kak! jadi penasaran pengen baca part 2 nya, semoga ada! :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Enggak ada. Silakan buat aja jika bersedia menikmati part 2.

      Delete
  7. Yogaaaaaa

    Kereeeen ceritanyaaa. Aku baca ini lgs merinding takut matiii :D. Fajar mah enak, pas meninggal msh kecil ya berarti. Pantes aja cuma 'banyak tiduran' kalo menurut di :p.

    Baguuus Yog, sedihnya juga dapeeet. Ga kebayang yaa kalo kita meninggal tp msh ada penyesalan ntah hutang ato belum meminta maaf dengan teman :(.

    Aahhh, aku msh kebawa ceritanya nih... Urutanny dari surat Wahyu trus beralih ke fajar juga smooth alurnya :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih ya, Mbak Fanny. Iya, meninggal zaman bocah belum merasakan beban hidup. Lebih banyak waktu tidur dan main-main.

      Iya, takut nanti menyusahkan keluarga yang masih hidup.

      Delete
  8. Aku kayak naik roller coaster baca cerpenmu ini!
    Sedih diawal, terus dapat shock therapy di akhir. Keren!!

    "Dari sekian banyak cara untuk mati, yang terburuk adalah melanjutkan hidup"
    Kalimat ini kayak g asing, tapi aku lupa dapat dari mana.
    Dan, aku setuju, terlepas ada apa di alam sana, bagaimana orang-orang yang telah mati mendahului. Kita yang masih hidup membawa kenangan dan harus melanjutkan hidup.

    Sempat terbesit, apabila yang meninggalkanku berlaku buruk padaku, setidaknya rasa sakit dari kenangan buruknya sudah aku cicil untuk diobati di waktu depan. Tapi, ketika yang meninggalkanku adalah seseorang yang teramat kucinta, kebaikannya seperti luka yang akan membekas lama. Seakan-akan mereka meninggalkan hal yang berkebalikan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Matur suwun, Pit. Di akhir tulisan itu saya jelaskan kok dikutip dari cerpen mana dan siapa.

      Pengin membalas kebaikan orang yang sudah wafat tuh selain mendoakan gimana lagi, ya? Setiap kali enggak sengaja terkenang juga bakal nyesek gitu. Bingung juga kenapa begini. Haha.

      Delete
  9. Cerita tentang kematian memang selalu asik untuk diikuti. Apalagi dengan gaya monolog seperti ini. Mengingatkan saya dengan cerpen lama saya. Ah, tulisan bang Yoga tetap lebih keren.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Waktu itu saya memang lagi belajar teknik solilokui. Haha. Enggak perlu dibandingkan begitu, Hul. Setiap cerita yang berusaha ditulis dengan apik pasti punya kemantapannya masing-masing.

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.