Kebohongan Bisa Berbentuk Apa Saja

“Jika bulan tersenyum, ia akan menyerupaimu. Kamu meninggalkan kesan yang sama. Sesuatu yang indah, tetapi menghancurkan. Kalian berdua adalah peminjam cahaya yang dahsyat.”



Aku mengirimkan kalimat itu di WhatsApp dua menit lalu ke kontakmu, Gina Maharani. Kamu pun segera membalas: Apa maksudmu, Bajingan?

Kukatakan sejujurnya bahwa itu cuma potongan puisi Sylvia Plath yang aku terjemahkan sesukanya. Tak ada niat apa pun, apalagi maksud jahat. Cuma keisengan belaka.

“Alah, tai. Kamu sebenarnya ingin mengejekku, kan?”

“Apakah di matamu aku ini cuma manusia yang gemar mengejek?”

“Iya, dan satu hal lagi: tukang bohong.”

“Contohnya?”

“Ya ampun, kamu sudah lupa sama pertemuan terakhir kita?”

Tentu saja aku masih ingat. Pada suatu malam di penghujung 2019 yang gerimis itu, aku bermaksud menyampaikan keinginanku untuk berhenti menulis puisi ketika berjumpa denganmu di restoran cepat saji. Satu jam sebelumnya, pada pukul 20.30, kamu mengajakku pergi merayakan malam tahun baru. Saat kujawab malas dan ingin menyendiri di indekos, kamu langsung merayuku.

“Ayolah, Gus, aku cuma lagi kepengin makan burger dan es krim Mekdi. Kita enggak perlu konvoi atau keluyuran tak jelas kayak kebanyakan orang. Nanti aku yang traktir deh.”

“Ajak aja temanmu yang lain, Ran.”

“Mereka pergi bersama pacarnya masing-masing.”

Aku pun meledekmu: kalau begitu ajak aja pacarmu. Kamu menimpalinya, pacar yang mana, sih? Tai, ah.

Lima buah emoji tertawa yang mengeluarkan air mata segera kukirimkan, lalu kamu membalas sebuah emoji tai berwarna cokelat yang memiliki wajah.

“Kumohon, kali ini saja turuti keinginanku,” tulismu. “Temani aku makan. Aku enggak mau pergi sendirian. Aku benar-benar kesepian dan butuh teman mengobrol.”

Mulanya aku ingin sekali membalas “Terus kenapa harus aku?”, tapi teks itu pun segera kuhapus dan berganti menjadi “Tunggu depan gerbang kosmu 15 menit lagi.”

Dan begitulah kita menghabiskan malam dengan berbagai macam obrolan. Mulai dari film, musik, pekerjaan, kecemasan hidup, krisis kehidupan pada usia seperempat abad, rencana masa depan, percintaan, dan—seperti yang telah kubilang di awal—tentang keinginanku berhenti menulis puisi.

“Apa kamu masih ingat percakapan kita di kosanmu dua minggu yang lalu?” tanyamu. “Kamu bilang, aku tidak akan menulis puisi lagi setelah kamu ditolak untuk yang kedua-belas kalinya. Nyatanya, lima hari lalu kamu bikin puisi lagi dan masih ngotot mengirimkannya.”

“Tapi, kali ini kamu bisa pegang kata-kataku. Aku sungguh berhenti di angka tiga belas.”

Lalu kamu tertawa. “Kamu sudah mengatakannya berulang-ulang kali, Gus, tapi itu semua kebohongan semata. Aku capek dengarnya.”

*

“Sejak hari itu aku belum menulis puisi lagi, tahu,” tulisku.

“Nah, yang barusan itu bukan puisi?”

”Itu kan puisi orang lain.”

“Bagiku sama aja. Kamu itu pembohong.”

Memang, apa yang kamu bilang itu ada benarnya, Ran, bahkan tulisan ini pun juga sebuah kebohongan. Modal untuk menulis fiksi adalah menjadi tukang kibul. Setidaknya, aku berbohong menggunakan bentuk yang memang sudah diketahui oleh banyak orang. Bukan kebohongan bernama janji. Hanya kamu dan Tuhan yang tahu, apakah janji itu betul-betul ada atau sekadar kepalsuan demi membalas dendam akan kesalahan yang pernah kulakukan: aku telah membuatmu jatuh cinta, padahal saat itu aku belum bisa melupakan perempuan lain. Ditambah lagi aku terus berpura-pura tolol sampai hari ini. Memungkiri kenyataan bahwa kamu menyukaiku.

Tapi, buat apa melibatkan Tuhan dalam urusan sepele seperti ini? Aku menyakitimu dan kamu menyakitiku—meskipun ada kemungkinan kita sebenarnya sakit oleh harapan sendiri. Kita menghabiskan waktu untuk saling menghancurkan. Kita akan terus membohongi diri sampai salah satu dari kita menyerah, lalu berkata jujur bahwa aku mencintaimu.


Januari 2020


--

Gambar hanya pemanis.

Dua paragraf terakhir di cerita barusan saya ambil dari Fragmen Penghancur Diri Sendiri. Saya ingin sekali menulis cerita romansa yang asyik, tetapi kenapa jatuhnya norak melulu, ya? Kenapa menulis cinta-cintaan ini buat saya sulit banget, ya Allah? Sama susahnya seperti mendapatkan afeksi di kenyataan. Sama sukarnya sebagaimana pengin hidup tajir dari pekerjaan menulis.

19 Comments

  1. Ini mirip kisahku 30 jam yang lalu, tepatnya dihari kamis malam hari atau orang biasa menyebutnya malam jumat. Kenapa harus aku, dan kenapa harus malam jumat?

    Sebenarnya hanya tinggal kirim pesan itu, tapi rasanya sangat berat sekali. Mau diungkapkan pun tidak bisa, tapi perjumpaan itu memberikan kenyamanan. Iyagak km

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, kenapa harus malam Jumat? Malam apa pun kan sama aja.

      Menekan tombol kirim seperti memencet tombol peledak nuklir? Haha.

      Delete
  2. Nggak tahu kenapa emosi saya relate sama cerpen yang ini, haha. Padahal nggak pernah mengalaminya juga.

    Kadang saya penasaran sama perasaan orang yang patah hati karena cinta, entah itu putus di hianati atau sebagainya, karena dulu saya sempat sinis sama yang begituan, sampai akhirnya saya sadar itu bukan hak saya. Saya pernah suka sama orang tapi saya biasa aja, mau dia suka balek ya nggak papa, kalau dia nggak suka juga nggak papa.

    Ini komen apaansih? Hahaha.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kadang rasanya sama aja kayak patah hati di lain hal. Seumpama kamu melamar kerja di perusahaan yang kamu impikan, sudah mempersiapkan diri sebaik mungkin dan merasa kemampuanmu oke, terus ternyata di suatu tes tahap akhir dirimu malah dinyatakan gagal. Tes masuk universitas mungkin begitu juga. Mungkin yang bikin beda dengan patah hati karena cinta tuh ada sesuatu yang terasa lebih sentimental.

      Delete
  3. Suka dengan dua paragraph terakhir itu. Getir tapi susah dilepas. Mereka menghabiskan waktu hanya untuk saling menghancurkan. Apa itu cinta namanya ya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tergantung persepsi masing-masing. Saling menghancurkan yang mereka maksud tuh apa? Haha.

      Delete
  4. Kalo kata saya mah, label 'fiksi' adalah cara bersembunyi paling aman untuk penulis 😁

    ReplyDelete
  5. Bagus yoga. Selalu bagus tulisannya. Kisah romansa emang norak, kayak drama ftv mana ada yang enggak norak haha.

    Yup kisah cinta memang selalu menyakitkan, mungkin memang dari harapan diri sendiri. Persoalan membohongi, bahkan sama diri sendiri aja kita juga banyak berbohong, apalagi ke orang lain terutama orang terdekat.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih pujiannya, Na.

      Tingkatan noraknya aja yang berbeda-beda, ya?

      Kasihan ya diri sendiri dibohongi terus-menerus.

      Delete
  6. modal menulis fiksi adalah tukang kibul

    ya memang mas fiksi kah khayalan hehe
    tapi entah kadang seberapa ngibul itu diracik dengan pas jadinya kayak nyata aja
    eh bagiku engga norak si
    norakan tulisanku kalau tentang cinta huhu
    makanya jarang nulis begituan

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, selama racikannya pas bisa dinikmati dengan asyik. Bahkan enggak peduli lagi mau itu fiksi atau nyata.

      Saya juga termasuk jarang sebetulnya, tapi akhir-akhir ini pengin banget belajar. Mungkin karena pada masanya sempat meremehkan kisah romansa, apalagi teenlit, tuh gampang ditulis. Ternyata saat coba sendiri susah juga. Minimal diri sendiri bisa bilang 'oke, ini keren' masih jauh sekali. Haha.

      Delete
  7. Tokoh prianya bertolak belakang banget dengan saya. Dia yakin kalau dirinya bisa membuat jatuh cinta sang wanita, pun sebaliknya. Sementara saya, ya cuma sepihak aja. Saya tertarik, sementara cewek yang saya taksir? ENTAH :(

    Modalpenulis fiksi tukang kibul katanya XD
    Tapi penulis-penulis ini nulisnya juga terinspirasi dari kejadian pribadi yang mereka alami nggak sih? Jadi kadang kalau pas saya baca, ya kayak berasa kejadian nyata Yog. Hehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dari bahasa tubuh biasanya bisa terbaca, kan? Kalau sulit peka, coba ungkapin aja, Wis. Haha.

      Kebanyakan begitu. Terinspirasi dari kejadian di sekitarnya. Bisa juga dari referensi-referensi (buku, film, lagu), terus dibuat kisah baru.

      Delete
  8. cowok pada akhirnya suka ga tegaan ya yog, meski orang yang disukainya kadang mengobrak abrikkan hatinya tapi tetep aja pas lagi dibutuhin pundaknya buat disandarin mau juga diajak jalan haahhaa

    gw sebenernya pengen bilang sadis nih ending dan penuturan fiksi kali ini, sadis beneran merefleksikan gimana rasanya orang patah hati yog, dan gimana dia berusaha membereskan hatinya walaupun pada kenyataannya susah ya hahha

    nice fiksi
    #gw ga bohong,
    #ga peres gw

    semangat terus menguntai kalimat puisi ya entah yoga atau tokoh tokoh cerpennya :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya enggak tahu apakah semua cowok kayak gitu, Mbak. Saya cuma mengambil contoh dari seseorang yang saya tahu. Haha.

      Apakah penuturannya terlihat seperti orang yang berpengalaman banget dalam patah hati?

      Yooo, makasih, Mbak. :D

      Delete
  9. Tumben tulisanmu yg ini singkat Yog :D?

    Duuuh baca cerpen ini inget masa2 putus nyambung Ama pak suami wkwkwkwk. Pas lagi putus, aku hubungin deh temen untuk malming bareng :D. Status ga jelas bgt pokoknya. Ketawa ketiwi, tapi sbnrnya pikiran ntah ada di mana wkwkwkwk. Relate Ama cerpen ini. Bukan saling mensupport, tp sbnrnya saling berbohong yg ada :D. Aku tau, dia juga tau. Tp gpp, jalanin aja , berharap bisa ketemu klik nya, yg ntah kapan :D.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Memang lagi belajar menulis ringkas, Mbak Fanny.

      Oalah, sempat mengalami putus-nyambung juga sebelum nikah toh. Tapi enggak apa-apa sih, kalau jodoh buktinya betulan bersama kan. Hehe.

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.