Apakah Bernostalgia Bisa Mendatangkan Bahagia?

Tulisan berikut ini sangatlah tidak penting bagi pembaca. Ini hanya catatan personal yang saya tulis khusus demi mengenang masa-masa kegembiraan bermain gim—yang sebelumnya sempat saya bahas di Takut Mati dan Penyelamat Jiwa. Pendek kata, saya cuma ingin bernostalgia. 

-- 



Bermula dari keisengan merapikan fail-fail di laptop, saya menemukan salah satu folder bernama User Data yang setelah dibuka isinya berupa foto-foto dalam suatu permainan. Entah itu foto yang saya screenshot dengan sengaja ataupun yang tersimpan otomatis dari sistemnya. Kenangan di kepala pun muncul satu per satu setiap kali saya memandangi gambar-gambar tersebut. Hal ini mirip sebagaimana saya sedang membuka album foto lawas yang penuh debu dan kusam. Sekalipun saya tahu ini bukan potret diri zaman saya bocah maupun sosok orang tua yang masih muda, apalagi gambarnya juga tidak dipotret menggunakan Kodak yang pastinya bernilai sentimental, tetap saja ada perasaan terharu bercampur gembira kala melihat sesuatu yang dulu sangat akrab dan kini berubah asing.

Mayoritas foto ini sebetulnya cuma berbentuk transaksi dalam gim yang terekam otomatis agar nantinya bisa dilaporkan seumpama terjadi penipuan. Meskipun begitu, memori saya ternyata masih sanggup mengingat kejadian-kejadian ketika membaca potongan percakapan dan nama karakter di gambar itu. Saya lantas memilah beberapa foto untuk diceritakan sesukanya. Tanpa berbasa-basi lebih lama lagi, inilah omong kosong saya yang tak perlu dipercaya. 


Teman akrab pertama dalam berburu monster

Memainkan online games dan mengalahkan monsternya sendirian bagi saya tak ada bedanya dengan main offline games. Apa yang membuat perburuan monster terasa asyik? Bagi saya sendiri tentu karena bisa mengalahkannya bersama-sama dalam satu kelompok—dalam gim biasanya disebut party, maksimal 6 orang. Ketika level karakter tak kunjung naik dan rasa jenuh mulai menyergap (kerap dirasakan oleh pemain level 100 ke atas), kita bisa berinteraksi dengan pemain lain untuk mengusir kebosanan itu. 

Sialnya, jika kau benar-benar memulainya dari awal, pastilah terasa sulit menemukan kelompok berburu. Permainan yang saya maksud ini memang terasa menjengkelkan bagi seorang pemula. Selain keadaan karaktermu yang kere, daftar jurus yang dapat dipakai buat membasmi monster masih sedikit sekali, lalu daya serangnya payah, serta pertahanan pun lemah. Namun, berdasarkan pengalaman saya bermain, kebanyakan pemain di bawah level 100 lebih senang membayar level tinggi untuk menolong mereka dalam menaikkan level (dalam bahasa gim: minta GB alias game boosting). Bukankah pemula itu semestinya tak punya cukup uang buat membayar level tinggi? Tentu saja. Tapi selalu ada jalan lain dalam setiap permasalahan bagi mereka yang memiliki banyak harta di dunia nyata. Manusia sejenis ini bisa menukar uang sungguhan dengan duit di permainan. Mirip dengan sistem politik, bukan? Selama ada uang, naik level mah gampang banget. 

Lantas, bagaimana dengan nasib para pemain yang tidak memakai cara itu? Sudah jelas tertatih-tatih seperti saya. Sedari level 1-40 saya benar-benar membasmi monster sendirian (meski tak jadi masalah karena masih tergolong mudah). Setelah mencapai level 60-80, yang harusnya mulai berburu secara berkelompok, saya tetap jarang menemukan pemain lainnya. Jika nekat melawan monster sendirian pada rentang level tersebut, kira-kira membutuhkan waktu satu jam nonstop baru bisa naik level. 

Mengapa gim itu seakan-akan tampak sepi? Bukankah servernya internasional? Karena sebagian pemain lebih senang membasmi monster pada jam-jam tertentu, khususnya saat ada bonus EXP. Jadi, setiap Senin-Kamis pada jam yang telah ditentukan terdapat momen istimewa, yaitu bonus EXP berlipat ganda selama 4 jam. Sedangkan Jumat-Minggu waktu spesialnya selama 5 jam dan bonusnya 3 kali lipat. 

Bisa dibilang sebagian besar permainan itu saya nikmati sendirian dari level 1-80. Saya sih berusaha tidak memusingkannya, sebab saya bermain gim buat menghilangkan beban berat di kepala, bukan malah menambah mumet. Berhubung saya juga sudah pernah memainkannya sejak SMP dan tahu celah-celahnya, saya jelas bisa bersikap santai. Saya memiliki berbagai cara supaya cepat menaikkan level tanpa harus merogoh kocek. Seperti melewatkan misi-misi tak penting, lalu lebih memfokuskan diri ke misi yang berpengaruh ke dalam cerita permainan itu. 

Kala sedang menjalankan misi level 81 itulah saya akhirnya bisa bertemu dengan Kelso, kawan pertama saya. Dia bertanya apakah saya punya sejumlah shuriken—barang yang diperoleh sehabis membunuh Ninja Terkutuk. Saya kebetulan memilikinya. 

“Gue kurang 16 lagi nih. Punya lu boleh dibeli?” ujarnya. 

“Ya ampun, segala beli. Ambil aja nih.” 

Dia lantas mengucapkan terima kasih dan menambahkan saya ke daftar teman. 



Pada level 81-100 kami akhirnya rutin berburu monster bersama. Sayangnya, kebersamaan itu berumur terlalu singkat. Setelah Kelso mencapai level 101, dia perlahan-lahan meninggalkan saya. Dari yang awalnya perbedaan itu masih sebatas 1-2 level, lalu berubah belasan level, hingga puluhan level. Meski begitu, Kelso masih sering berinteraksi dengan saya. Baik itu sebatas bertukar barang untuk suatu misi, membantu saya mengalahkan bos para monster, ataupun seremeh menyemangati saya agar lekas menyamakan levelnya.

Tai, dia pikir gampang apa? Saya kan enggak seniat itu dalam bermain gim. Tujuan saya memainkannya cuma buat melarikan diri dari kenyataan. Simpelnya: mengusir pikiran-pikiran jahat di kepala sekalian mencari teman mengobrol. Toh, tak lama setelah itu saya pun terpaksa vakum lantaran mulai merasa sembuh dari depresi. Saya kembali melanjutkan hidup dengan sibuk bekerja. 

Pada suatu hari Minggu sekitar 1,5 tahun kemudian, tepatnya ketika saya ingin bernostalgia memainkan gim itu lagi, saya mendapati nama Kelso yang sudah mencapai level mentok: 180. Kurang ajar. Itu anak kayaknya punya banyak waktu luang dan rajin bermain. Sayang, semenjak itu saya belum melihat dia online lagi sampai di penghujung 2018. Mungkinkah dia juga mulai sibuk di kehidupan nyata? Anggap saja demikian. Entah di mana dia berada sekarang, saya cuma mau berterima kasih sebab telah menjadi kawan pertama saya di gim. 


Sok kenal sok dekat akan membuatmu malu setengah mampus 



Setelah merasa akrab dengan Kelso, saya sempat sok kenal sama seseorang di gim gara-gara nama karakternya HawHaw. Haw merujuk kepada nama Hawadis, salah satu kawan bloger. Saya memulai percakapan dengan bertanya, “Haw, kamu orang Indonesia?” menggunakan bahasa Inggris. Selepas dia menjawab “iya”, saya langsung bertanya lebih lanjut tentang orang Kalimantan dan dia lagi-lagi menjawab benar. Biarpun karakter HawHaw di gim itu perempuan, saya yakin dia aslinya seorang lelaki dan mencoba memastikannya dengan bertanya lagi. 

“Iya, aku aslinya cowok. Apakah kamu kenal aku?” tanyanya. 

“Kamu bloger dari Pontianak, kah?” 

“Bloger? Apa itu?” 

Saya bilang, tolong jangan pura-pura goblok ataupun berbohong. 

“Tapi, aku betulan enggak tahu apa itu bloger.” 

Saya menyebutkan beberapa nama bloger lainnya. 

“Aku enggak kenal mereka. Lagian, aku asalnya Banjarmasin, Bro.” 

Saat membaca kata ‘bro’, saya langsung sadar bahwa Haw sepertinya tak pernah memakai sapaan itu kepada saya. 

“Ya, Allah. Maaf ya, saya salah orang.” 

Dia pun meledek saya dengan emoji melet dan “wkwkwk”. Anjing, rasa malu itu masih terasa sampai sekarang. Enggak lagi-lagi deh saya sok akrab kayak begitu. Konyolnya, berkat sifat SKSD itu setelahnya kami justru berkawan baik di gim. Sampai-sampai dia rela menjual murah beberapa barang khusus buat saya.


Memenangkan hadiah dari GM 

Keberuntungan itu datang ketika kondisi finansial saya di gim lagi hancur-hancurnya. Uang saya tinggal 4 juta. Sekere-kerenya pemain, level 100-an itu seminimalnya memiliki uang senilai 20 juta untuk membeli obat pengisi darah maupun mana—energi untuk mengeluarkan jurus-jurus. Siapa sangka, dalam keadaan bokek itu tiba-tiba sang GM (Game Master) mengadakan kuis buat para pemain. Jenis kuisnya adalah tebak-tebakan OX. Jadi, sang GM mengumpulkan beberapa pemain ke dalam suatu ruangan yang terdapat dua altar. Satu altar memiliki simbol O, dan yang lainnya X. GM itu nantinya membuat pernyataan yang harus dijawab dengan benar atau salah. Contohnya, GM melemparkan pernyataan: “Simbol unsur kimia emas adalah G”. Para pemain tinggal berdiri di salah satu altar itu antara O dan X sembari menunggu jawabannya muncul yang dihitung mundur selama 10 detik. Bagi pemain yang salah menebak otomatis akan mati, yang benar akan dibiarkan hidup, hingga akhirnya menyisakan satu pemain. 

Walaupun kemampuan bahasa Inggris saya saat itu jauh dari kata “mendingan”, saya jelas tahu pernyataan itu keliru, sebab simbol yang benar adalah “Au”. Lucunya, masih banyak yang salah. Kira-kira ada belasan peserta yang gugur di soal pertama. 

Singkat cerita, sehabis GM melemparkan 6 pernyataan, saya menjadi satu-satunya pemain yang tidak mati. Apakah saya cerdas? Oh, sama sekali bukan. Ada dua soal yang tidak saya ketahui, dan salah satunya saya jawab dengan mengikuti suara terbanyak. Namun, mengikuti suara terbanyak belum tentu membawamu pada kebenaran. Karena pada pernyataan terakhir itulah saya menjadi satu-satunya yang bertahan berkat suara minoritas. 

Seingat saya, pada soal terakhir itu pemain yang tersisa tinggal empat—termasuk saya. Soal yang diberikan oleh GM adalah bidang matematika dan saya belum sempat menghitung. Pokoknya, ada satu pemain yang segera berpindah ke altar sebelah kala waktu tersisa tinggal 3 detik (mungkin dia mampu menghitung cepat), dan pemain lainnya mengikuti. Saya yang sudah kehabisan waktu tentu tak bisa pindah dari altar sebelumnya.

Hal yang tak terduga, jawaban saya itulah yang tepat. Mungkinkah ini suatu kemujuran karena karakter saya bernama TakutMati? Anggap saja begitu. Yang terpenting, berkat kuis itu saya jadi memperoleh guci spesial yang harga jualnya senilai 2 miliar di gim, sedangkan di realitas 200 ribu. Alhamdulillah. 



Menolong teman yang kesusahan 

Setelah mencapai level 90-an, saya pun berhasil mendapatkan segelintir teman. Selain Kelso dan Haw dan beberapa teman lain yang saya lupa namanya, saya ternyata bisa memperoleh teman perempuan yang kebenarannya telah terbukti. Dia sempat memberi tahu saya akun Instagram-nya, dan begitu saya cek itu ternyata benar-benar akun asli. Dia merupakan gadis berparas oriental asal Medan yang bernama Wina. 

Kalau sebelumnya saya hampir tak pernah membuka diri tentang permasalahan hidup di gim itu, entah mengapa saya bisa dengan gampangnya mengeluarkan unek-unek kepada Wina. Apakah curhat sama lawan jenis itu terasa lebih menyenangkan? Mungkin. Apakah saya naksir Wina? Oh, ayolah, pada usia 20 itu saya bukan lagi cowok yang dengan entengnya menaksir lawan jenis sebelum adanya perjumpaan secara langsung. Saya akui Wina memang pendengar yang baik. Tapi, hubungan kami jelas sebatas teman berburu monster di gim sambil sesekali curhat. Sebab, pikir saya kala itu, Wina adalah orang asing. 

Saya kebetulan saja sedang membutuhkan seorang pendengar yang tidak mengenal saya secara personal. Karena terakhir kali saya bercerita sama seorang sahabat di kampus, jawaban yang saya peroleh justru terasa jahanam. Alih-alih membuat saya lega, yang ada cuma penghakiman begini dan begitu. Itulah yang bikin saya kian depresi dan menutup diri dari orang-orang di sekitar. Dengan kata lain, posisi Wina saat itu betulan cocok banget sebagai pendengar. Lagi pula, usia dia juga dua tahun lebih tua daripada saya. Dia sudah lebih banyak menelan getirnya kehidupan. Secara tak langsung sifat seorang kakak pun muncul dalam dirinya. Ya Allah, Wina ini baiknya kebangetan, padahal saya bukan siapa-siapa. 

Atas kebaikan Wina itulah saya rela gantian menolongnya setiap kali dia membutuhkan bantuan di gim. Ya, sekalipun bantuan itu tampak remeh. Omong-omong, apakah pertolongan di gim itu ikut dihitung sebagai pahala? Terlepas dari pertanyaan goblok itu, pada level 99-100 Wina meminta bantuan saya buat membasmi monster Pohon Terbakar. Saya sendiri sudah level 102, terbebas dari area Menara Kegelapan—tempat berburu bagi level 81-100. Monster yang mesti kami lawan ini memiliki kekuatan refleksi. Jadi, setiap kali saya menyerang monster itu, ia bakalan mengembalikan serangan saya sebanyak 30 persen. Baru dua kali terkena serangan balik aja itu karakter saya pasti langsung tewas. Bukankah kalau mati bisa hidup lagi? Iya, tapi setiap kali karakternya koit EXP akan berkurang sebanyak 2 persen. Kami pun tak punya pilihan lain dan terpaksa menggunakan pet (hewan peliharaan) untuk menambah pertahanan sekaligus sebagai penerima serangan monster itu. 

Celakanya, harga makanan hewan ini termasuk mahal sekali. Dalam satu jam, kira-kira karakter level 99-100 ini harus menghabiskan 20 juta cuma buat membeli seribu pakan hewan. Baguslah Wina begitu pengertian ketika saya jelaskan kondisi lagi bokek, lalu dia bersedia membagi sebagian stok makanan hewan miliknya. 



Kenapa dia baik banget, ya? Apakah karena Wina telah terpikat sama foto-foto saya di Instagram? Oke, ini sepertinya saya kepedean. Belakangan diketahui, Wina juga sudah punya pacar. Baguslah saya sejak awal enggak gampang naksir. Terasa konyol jika kami jadian karena sebuah permainan. 


Memberikan baju gratis 

Vakum selama 1,5 tahun membuat permainan itu terasa asing sekali buat saya. Teman-teman yang dulu saya kenal baik sudah mencapai level 150 ke atas, sedangkan saya masih bertahan di level 120 ke bawah. Saya seakan-akan tak punya teman berburu lagi. Saya pun iseng bikin karakter baru. Jika sebelumnya profesi saya adalah ninja, kali ini saya mengetes profesi penyihir dengan nama karakter sinestesia. Nama itu saya ambil dari album terbaru Efek Rumah Kaca. 

Saya berhasil mencapai level 100-an dalam waktu dua minggu. Pada suatu momen saat lagi berburu monster, salah satu teman saya mendadak mengeluh, “Gila, sakit banget ini serangan monsternya.” 

Saya pun menimpali, “Memangnya kamu enggak isi VIT (vitalitas, status karakter yang menambahkan jumlah darah dan pertahanan)?” 

“Udah isi, kok. Tapi ini rasanya sakit karena baju yang aku pakai masih level 20.” 

Beberapa anggota di grup berburu itu termasuk saya lantas mengetik “hahaha” ataupun “wkwkwk”. 

“Kocak. Bukannya beli deh di pasar,” ujar yang lain. 

“Masalahnya, di pasar enggak ada yang jual.” 

Saya mengecek kotak peralatan dan mendapati baju perempuan yang sesuai profesinya. Saya pun mengetik, “Aku ada nih, tapi baju level 90. Mau?” 

“Mau banget.” 

Kami segera teleportasi ke kota terdekat menggunakan gulungan ajaib dan bertransaksi di sana. 

“Berapa harganya?” 


Ketika saya ingin menyebut nominalnya, saya spontan teringat dengan kebaikan Wina dulu. Lagian, saya juga tidak membutuhkan baju itu. Sudah waktunya saya gantian berbuat baik sama orang lain. Pertemanan saya bersama Kelso pun berawal dari memberikan barang secara cuma-cuma. Jadilah saya gratiskan saja. Dia pun langsung girang bukan main selepas menerima baju tersebut dengan mengetik, “Aku terharu banget masih banyak orang baik di game ini.” Kebahagiaan itu ternyata sederhana sekali. 


Iseng main karakter perempuan 

Saya lagi-lagi membuat karakter baru demi bisa mencoba profesi lainnya. Bedanya, kali ini saya memilih jenis kelamin perempuan. Apakah saya punya niat menipu cowok-cowok lugu? Enggak sama sekali. Ini murni siasat mengatasi kemiskinan, sebab saya habis dikasih tahu sama salah seorang kawan bahwa barang-barang karakter perempuan harganya jauh lebih murah ketimbang laki-laki. Kalau di kehidupan nyata, konon barang-barang cewek yang justru mahal banget, ya? 

Percobaan karakter cewek pertama saya terasa gagal total karena salah menaikkan status maupun jurus. Nama tokohnya juga terasa enggak banget. Itu nama gebetan yang gagal saya jadikan pacar di cerita Es Campur. Meski demikian, karakter gagal itu sempat menerima enam boks senjata gratisan dari salah seorang kenalan. Entah karena saya disangka cewek, atau sebagaimana ujaran pemuka agama: “sebuah kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kali lipat kebaikan”. 


Mencoba jurus baru dan mengalahkan Dokebi 



Karakter cewek kedua saya bisa dikatakan berhasil. Terbukti saya rela menekuninya hingga mencapai level 137. Potret berikut adalah karakter saya lagi menjajal jurus terbaru (kemampuan yang baru bisa didapatkan setelah karakternya mencapai level 136) dan iseng mengalahkan Dokebi Raksasa seorang diri. Sekalipun cara terbaik membunuhnya adalah dengan berkelompok, saya hanya ingin mengetes seberapa jagokah saya dalam memainkan gim ini. Saya diberikan waktu 30 menit untuk bisa menumpas Buto Biru itu, dan saya berhasil ketika waktu baru berjalan 9 menit. Terlalu gampang rupanya. 


Level 150-an dan membeli sub pet 


Saya kira ini pencapaian terbesar saya dalam memainkan gim. Setelah karakter TakutMati berhenti di level 149 lantaran saya lupa kata sandinya, akhirnya level tertinggi yang bisa saya tempuh adalah 154. Nama karakter cewek itu sengaja saya rahasiakan supaya tak ada yang mengenalinya. 

Kebanyakan barang di gim itu pun saya dapatkan dengan mengumpulkan uang sendiri (hasil membasmi monster, berdagang, menang lotre, dan sebagainya) tanpa harus membeli voucer. Beberapa peralatan khusus, begitu pula pet dan sub pet, yang mestinya dibeli pakai uang asli pun cukup saya bayar dengan duit di gim. Tanda bahwa keuangan saya di permainan itu meningkat secara signifikan ketimbang karakter-karakter sebelumnya. 


Penutup

Selain hal-hal baik dan membahagiakan barusan, dalam suatu permainan saya juga pernah bersinggungan dengan bagian buruknya. Misalnya, saya berjumpa dengan manusia sialan yang gemar mengemis. Mereka tak mau berusaha sendiri terlebih dahulu. Sedikit-sedikit minta uang dan belas kasihan kepada karakter lain yang levelnya dia anggap jauh lebih tinggi. Padahal kan enggak semua level tinggi punya banyak uang. Ada pula yang pura-pura miskin dan hobi pinjam uang, tapi berengseknya enggak pernah dikembalikan sampai hari ini. Sampai penampilan karakternya tampak mencolok, yang sangat menjelaskan betapa tajirnya dia. Ataukah hidup berfoya-foyanya itu hasil mengutang?



Ah, masa bodohlah. Itu kan cuma gim. Biarpun saya bilang begitu, saya tahu betul bahwa kejadian-kejadian yang saya alami dan ceritakan di permainan virtual barusan ternyata sebagian besarnya juga bisa kita temukan di kehidupan nyata.

8 Comments

  1. Kompilasi kenangan game seru uga ini.
    Aku pikir game yang kamu mainkan itu semacam Mobile Legend, teryata bukan ya? Sotoy banget uwe! XD

    Btw, ceritamu sama Wina menarik. Aku pun menyadari 1 hal, kalau kita sebagai manusia ingin memiliki teman yang suportif, yang bisa menjadi pendengar yang baik tanpa menghakimi, karena pada dasarnya kita tidak meminta solusi, hanya tempat tenang untuk mengeluarkan keluh kesah.

    Dan nyatanya bermain game pun tak hanya sekedar hobi, apa yang terjadi di dunia nyata terimplementasikan pula dalam dunia game, seperti uang mempermudah jalanmu, bertemu orang yang ternyata karakternya pun sama seperti manusia dunia nyata, dll.

    At least, I enjoyed your story.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bukan, Pit. Gim ini meskipun fokusnya pada menaikkan level dan memperkuat karakter (beli senjata, baju, aksesoris, yang udah ditempa), tapi termasuk ada jalan ceritanya gitu lewat misi-misi yang saling berkaitan.

      Saya pun kadang masih enggak nyangka bisa membuka diri dan curhat begitu aja sama Wina. Haha.

      Iya, kita memang butuh orang seperti itu. Meski ini kayaknya agak beda pandangan, tapi minimal saya punya teman yang paham situasi dan lebih berempati sama diri saya.

      Saya tahu, saya enggak bisa mengontrol orang lain dalam merespons. Namun, saat itu kondisinya saya jauh banget dari kata 'baik'. Pikiran terlalu ruwet. Mental juga hancur. Saya jelas berharap banget sama salah satu teman akrab itu. Dia bisa memahami keadaan saya, karena kami juga sudah berteman lama.

      Sialnya, respons dia di luar dugaan. Dia merasa pernah jauh lebih menderita. Masalah saya dipandang remeh. Saya harusnya begini-begitu. Pokoknya, bukannya lega malah semakin terbebani.

      Sedangkan si Wina, entah kenapa justru bisa menempatkan diri. Saya tahu dia enggak kenal saya selain interaksi lewat gim, tapi justru itulah yang bikin saya nyaman buat berbagi cerita. Bagusnya lagi, Wina pernah punya problem yang serupa, sehingga dia paham sekali kondisi seperti itu.

      Yang jadi masalah sekarang, gimana saya juga bisa bersikap seperti itu. Jangan sampai saya jadi teman yang gagal membaca situasi. Ketika dipilih menjadi pendengar, saya bisa menahan diri untuk enggak merespons aneh-aneh, lalu enggak menambah beban dia. Semoga aja saya enggak sejahanam itu.

      Delete
  2. Jadi kepikiran soal konsep persona online dari game. Saya gamer juga pas SMP dan SMA, dan waktu itu (mungkin sekarang juga), identitas seseorang itu anonim cuma alias, saya tak pernah pake nama Arif atau Arip, misalnya, dulu sering pakenya username silumanmaung atau feoth. Atau bahwa jangan langsung percaya karakter cewek pasti yg maennya cewek. Jadi tampaknya ada semacam batas antara kehidupan nyata dan maya. Meski emang kalau bikin party saya seringnya sama temen sekelas, yg emang nyata duduk sebelahan di warnet.

    Kalau ditarik ke persona hari ini di medsos, atau lebih luasnya internet, kita justru merasa tertekan untuk menampilkan diri kita secara seutuhnya (meski seringnya palsu, atau dipaksakan). Saya masih belum bisa abstraksi fenomena ini secara lebih jelas, ini sekilas pemikiran.

    Sekarang lagi suka juga maen JRPG yg retro2, baru namatin Final Fantasy IX di hp. Mau nyari JRPG lain yg enak dimaenin, tapi lihat gim ini malah pengen maen side-scrolling ginian.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, saya tahu itu persona doang dan anonim. Nama karakter saya pun enggak pernah pakai nama asli sejauh ini. Sekali-sekalinya main tokoh cewek baru tuh pakai nama gebetan. Haha.

      Tapi ada segelintir orang, khususnya cewek, yang dengan polosnya pakai nama asli. Bahkan dari kasus Wina aja saya langsung tahu umur dia lewat angka yang merujuk tahun lahirnya di username. Meskipun ini termasuk hal langka, dan saya mungkin cuma beruntung, sih.

      Perihal karakter cewek yang aslinya cowok ini juga percis adegan di anime NHK. Kok Satou bisa-bisanya tertipu sama tokoh Mia. Padahal yang main temannya sendiri buat mengajarkan betapa jahatnya dunia maya. Hahaha. Saya dari dulu memang lebih berhati-hati sama tokoh cewek.

      Eh, Final Fantasy ada di HP juga? Butuh RAM gede, kah? HP saya RAM dan memorinya kekecilan, jadi malas main gim di gadget. Saya cuma pernah main di PS. Itu pun hitungannya sebatas coba-coba dan jauh dari kata paham.

      Saya pun bingung kenapa pada usia 20-an (sekitar 2 tahun lalu) masih aja main gim sejenis ini. Padahal dari zaman SMA udah sering diledek sama beberapa teman yang tahu saya masih main gim side-scrolling. Ketinggalan zaman, kayak bocah, dsb. Gimana ya, namanya telanjur berkesan dari SMP. Di antara banyaknya gim online yang saya coba, malah gim itu yang bikin saya rela menekuninya.

      Delete
  3. Apakah Wina sudah terpikat sama foto saya di Instagram? Hahahah.

    Seumur hidup saya belum pernah main game online, pernahnya cuman main game cacing yang kemarenan sempat viral.

    Meskipun ini game, tapi masih relate sama kehidupan di dunia nyata, terutama politik uang yang kamu sebut di atas. Trus ngomongin teman yang suka menghakimi, itu memang fucked-up banget siih.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Itu pikiran bodoh banget, sih. Bisa-bisanya kepedean. XD

      Oh, jadi cuma sejenis gim yang simpel ya. Enggak rumit kayak MMORPG dan kudu bikin karakter.

      Berarti di mana-mana uang memang berperan penting demi kemudahan hidup. Walaupun ada beberapa kasus kalau uang tetap tak bisa memberi mereka kebahagiaan.

      Delete
  4. aku mungkin masuk zaman apa masalah game ini
    yang aku ingat masih jaman ragnarok, RYL, dkk tahun 2004 sekutar kelas 8 atau 9 SMP
    hahahah saking lamanya cuma bisa inget2 itu gim misinya ngapain aja dan karakternya apa aja

    kalau gim jadul yg masih kumainkan kadang itu pokemon yang di PC itu
    aku ga bakat main game suka kalahan jadi males aja sebel hahahaha
    yang agak bisa si main ayodance itu

    aku liat gim zaman sekarang lebih leluasa customize karakternya ya gak kayak dulu meski harus ada beberapa misi atau beli ini itu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya tahu Ragnarok dan RYL sekitar 2007. Cuma coba, tapi enggak berlanjut. Sekitar kelas 1 SMP. Ayodance pernah main juga, tapi payah. Kebanyakan juga cewek yang main kan. Haha.

      Saya kurang ngikutin perkembangan gim sekarang sih. Yang jelas udah malas banget main gim. Khususnya di ponsel.

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.