Jatuh Bangun Seorang Penulis Medioker dalam Mempertahankan Prinsipnya

Sebagian tulisan ini ada yang saya ambil dari jurnal Agustus 2019. Dengan kata lain, saya sedang berusaha merenungi kehidupan memble dalam setahun. 

— 



Selama masa pandemi yang tengah berlangsung hampir enam bulan ini, saya tersadar bahwa ini pertama kalinya dalam hidup saya tak menghasilkan cukup uang untuk diri sendiri. Mari lupakan sejenak perihal memberikan uang bulanan kepada orang tua yang pernah saya lakukan sebelumnya. Bisa bertahan buat diri sendiri aja itu sudah bagus. Sekitar setahun silam, saya sudah berpikir mengenai tahun 2019 merupakan tahun terburuk sepanjang hidup (sebelum akhirnya terkejut dengan kemunculan wabah ini), sebab banyak kejadian yang bikin saya merasa gagal sebagai manusia, serta di mana tawaran pekerjaan lepas lagi surut-surutnya. Saya tentu tak menyangka masa sekarang bisa berkali-kali lipat lebih bajingan ketimbang sebelumnya. 

Sejak saya memutuskan berhenti mengambil pekerjaan bloger dengan meliput acara maupun memasarkan produk (biasanya dengan live twit), lalu hanya mengandalkan tawaran kerja sama di blog, saya akui penghasilan dalam sebulan memang menurun drastis. Saya sengaja meninggalkan dunia bloger yang terlalu berfokus pada uang karena berbagai alasan yang tak perlu disebutkan di sini, tapi yang jelas ada kejadian pada akhir 2018 yang memicu saya buat memilih jalan lain. Jadi, niatnya pada 2019 itu saya akan berusaha mencari pekerjaan tetap di luar tulis-menulis. Saya lantas ingin mengisi blog ini cuma buat berlatih bikin tulisan fiksi, lalu sesekali menerima tawaran kerja sama yang harga dan temanya sesuai. Pokoknya, saya benar-benar tak mau lagi meliput suatu acara yang biasanya mengundang beberapa bloger komersial dan bertemu dengan beberapa di antara mereka yang memancing hawa kebencian. 

Sialnya, pilihan itu tentu menyusahkan diri sendiri. Sudah tahu sebelum-sebelumnya mengandalkan pemasukan utama dari sana, tapi kenapa mendadak cabut ketika belum memiliki wadah pengganti dalam mencari duit? Setidaknya, sih, saya telah berpikir kalau tabungan saat itu bisa menyelamatkan saya dalam tiga bulan ke depan, hingga kelak memperoleh pekerjaan baru. Itu tentu pikiran yang sangat naif, karena kenyataan sering tak berjalan mengikuti harapan saya. Terbukti sampai Agustus 2019, saya gagal mendapatkan pekerjaan tetap yang gajinya sepadan, sampai-sampai sepulangnya dari wawancara yang menyebalkan itu, saya merasa frustrasi banget dan nekat menggarap buku kumpulan cerpen Fragmen Penghancur Diri Sendiri

Meskipun 2019 terasa buruk dalam delapan bulan ini, pikir saya kala itu, siapa sangka niat awal saya buat menekuni kepenulisan fiksi sempat diberikan wadah oleh Loop pada April 2019. Saya masih tak menyangka bahwa beberapa cerpen saya dalam rentang 2015-2017 (yang ditulisnya secara main-main) bisa diterbitkan di media lain selain blog ini, lantas memperoleh bayaran berupa ponsel pintar seharga dua jutaan. Keinginan saya untuk mengganti iPhone 4 (gadget kesayangan yang telah menemani saya selama 5 tahun) yang sudah terlalu bobrok itu dengan membeli ponsel baru rupanya justru diberikan dengan gratis oleh mereka. Saya sangatlah berterima kasih dan bersyukur, karena seumur-umur itulah bayaran paling mahal selama saya terjun di bidang tulis-menulis. Lagi pula, mendapatkan sesuatu hal dari bidang yang kita sukai tentu memberikan kegembiraan istimewa. 

Celakanya, jika dilihat dari sudut pandang lain, apa yang saya sukai ini juga sering menerbitkan kesedihan. Entah sudah berapa kali diri ini menderita dan dipandang remeh ketika bersinggungan dengan dunia tulis-menulis. Misalnya, saya pernah dimaki-maki oleh klien karena telat revisi, di mana kondisinya mereka menyuruh saya mengirimkan artikel sebelum pukul 00.00, sedangkan mereka baru menghubungi saya pada pukul setengah 12 malam. Saya saat itu sudah mau tidur, sudah tak ingin terlibat dengan pekerjaan. Meski begitu, saya pun berusaha mengumpulkan niat, mengerjakan dengan lebih teliti, dan mengirimkan secepatnya. Tapi, kenapa pada akhirnya keterlambatan itu menjadi kesalahan saya? Sumpah, nyesek banget kalau diingat-ingat karena uang yang saya terima dari tulisan itu cuma 150 ribu. Sudahlah murah, diri ini dihina-hina pula. Asu tenan

Saya juga sempat merasa dicurangi dalam suatu perlombaan menulis. Walaupun ini baru sebatas desas-desus dan sebenarnya saya tak ingin suuzan, tapi ketika mengetahui kalau ada sistem pengaturan pemenang (pemenangnya dipilih berdasarkan mereka yang bergabung di suatu komunitas, atau teman dekat jurinya, atau ada orang dalam), otomatis saya murka. Saya sudah menulis secara maksimal dan beberapa kawan memuji tulisan saya oke, lalu berharap seminimalnya bisa meraih juara 3, terus kenapa tak masuk di daftar juara itu, terlebih lagi tulisan para pemenangnya ampas? Saya mah bisa menerima jika tulisan pemenangnya menarik. Lah, kalau jelek banget? Pastilah ada kesadaran bahwa penyelenggaranya curang. Sampai-sampai saya membaca keluhan peserta lomba lain, “Ini juri yang menilai seorang manusia, kan? Bukan robot?” Selain itu, saya juga membaca analisis peserta lainnya yang memberikan bukti-bukti tentang blog salah satu pemenangnya itu masih berumur baru. Jadi, syarat dan ketentuan lomba itu umur blognya telah mencapai setahun dan minimal menerbitkan 10 tulisan. Sementara itu, blog pemenang ini usianya masih hitungan bulan dan jumlah tulisannya tak lebih dari lima. Ketahuan banget bohongnya, kan? Saking marahnya, saya langsung menghapus tulisan lomba palsu itu. 

Saya pernah hampir diterima kerja di salah satu start-up sebagai penulis konten yang menawarkan gaji tak sampai 2 juta, padahal UMR kala itu sudah 3 juta lebih, sehingga saya terpaksa menolaknya karena setelah dihitung-hitung uang itu tak sebanding dengan apa yang akan saya kerjakan kelak (tugas menulis dalam sebulan sungguh seabrek). Sekalipun belum bekerja, saya benar-benar merasa tak dihargai sebagai manusia. Itu sekali-sekalinya saya girang bukan main bakalan bekerja yang sesuai dengan minat. Sayangnya, fakta akan bayarannya yang jauh dari bayangan saya membuat kebahagiaan saya lenyap dalam sekejap. Cuma segitukah nilai dari kemampuan saya? Apakah masih banyak orang yang memang memandang remeh pekerjaan menulis ini? Pertanyaan itu sepertinya tak perlu dijawab, karena saya masih menemukan banyak tawaran menulis yang di luar akal sehat. Salah satunya: menulis artikel 1.000 kata cuma dihargai 17 ribu. 

Daftar ini sesungguhnya bisa terus bertambah banyak, tapi saya kira hal itu sudah cukup sebagai contoh. 


Balik lagi ke persoalan tawaran kerja lepas tahun ini yang semakin surut, saya jadi teringat tentang dua tulisan kerja sama dari klien yang mendadak batal tanpa ada kabar lebih lanjut. Mempromosikan produk yang berhubungan dengan perjalanan dan penginapan saat situasi begini tentu tidak efektif bagi mereka. Saya sih mencoba maklum. Semoga aja kelak ada rezeki pengganti. 

Bicara tentang rezeki, saya sering mendengar mengenai pernyataan bahwa keseringan menolak rezeki konon bakal menghambat rezeki kita ke depannya. Saya sampai hari ini masih belum tahu akan kebenarannya, tapi saya punya pendapat terkait menolak tawaran kerja sama di bidang menulis atau blog. 

Pandangan ini bermula ketika saya kecewa dengan jawaban salah seorang bloger senior—yang pada masanya tulisan-tulisannya itu rutin saya baca dan favoritkan. Dia lagi membalas twit kawannya yang berupa sikap selektif dalam memilih tawaran kerja sama dari agensi maupun brand-nya langsung. Kesimpulannya: karena terlalu pilih-pilih, dia jadi enggak mendapatkan tawaran kerja sama lagi. Maka, diledeklah dia oleh si bloger yang saya maksud. Dia bilang, beda tipis antara selektif dan enggak laku. Saya pun meresponsnya, semacam mengulang inti dari twit kawannya itu dengan kalimat yang berbeda. Yang jelas, saya menegaskan bahwa setiap penulis pasti punya rasa idealis dan boleh berprinsip sesuai hati nuraninya. 

Maksud saya ini ialah menegaskan akan bentuk kebingungan atau malah suatu protes, memangnya kalau sering menolak tawaran kerja sama yang kurang sesuai dengan hati nurani bikin diri kita enggak laku? Apakah manusia tidak boleh punya prinsip? Harus menerima apa aja yang ditawarkan pada diri kita tanpa memikirkan dampak ke depannya? 

Saya sungguh tidak tersinggung dengan kalimatnya. Biasa aja. Seandainya saya termasuk pemasar atau bloger yang tidak laku dalam urusan mendapatkan tawaran kerja sama, saya pun jelas mengakuinya. Saya masih sesantai itu soal rezeki karena Tuhan sudah mengaturnya. 

Hanya saja, saya masih jengkel bukan main dengan kasus promosi yang dikemas menggunakan pengumuman anak hilang. Seakan-akan tidak ada cara lain untuk mengiklan. Tim pemasaran dan kreatifnya lagi buntu ide banget, kah? 

Biarpun saya telah gagal sebagai mahasiswa Jurusan Pemasaran, paling tidak saya merasa punya kode etik untuk memasarkan suatu produk. Menumpang berita yang lagi hangat menurut saya sah-sah aja biar mencapai target dan masih banyak orang yang penasaran buat mencari informasinya. Namun, kalau itu tentang berita duka (musibah atau bencana atau kematian), saya rasa tidak pantas sama sekali. Begitu pun dengan hal-hal yang bersifat darurat seperti pengumuman anak hilang atau penculikan. 

Orang-orang yang tak tahu bahwa pengumuman itu adalah iklan sebuah produk pasti akan menyebarkannya secara masif. Ketika sudah tahu dan merasa tertipu, tentu mereka bakalan jengkel setengah mampus. Mungkin mulanya target untuk masuk trending telah tercapai, tapi bagaimana dengan penjualan produknya itu? Mereka yang merasa kecewa telah dibohongi oleh iklan sialan itu lazimnya akan malas membeli produk tersebut. 

Omong-omong soal kebohongan, apa kau pernah mendengar kisah tentang seorang bocah di suatu desa yang bilang bahwa dirinya lagi dikejar-kejar macan dari hutan, lalu penduduk kampung itu pada panik dan berusaha ingin menolongnya, tapi ternyata itu hanya kebohongan belaka? Anak itu pun tertawa girang sudah berhasil mengecoh banyak orang. Setelah menipu sampai tiga kali, penduduk pun malas percaya lagi sama si bocah. Mungkin anak itu cuma kesepian dan berusaha mencari perhatian. Sayangnya, cara anak tersebut keliru. Hingga suatu hari, dia pun betul-betul dikejar macan dan tak ada penduduk yang bersedia menolongnya lantaran takut dibohongi lagi. Bocah itu pun tewas. 

Semestinya para pemasar dapat belajar dari dongeng sederhana semacam itu. Memang bikin iklan itu terkadang mesti fantastis atau memberi kejutan tak terduga sehingga menempel di benak masyarakat. Namun, menurut saya, sebisa mungkin jangan sampai membohonginya kelewatan. Jangan mempermainkan calon konsumen dengan kebohongan goblok seperti pengumuman tentang anak hilang dan penculikan. Apalagi yang sampai menumpang berita kematian. 

Saya masih ingat betul dengan kejadian seorang bloger yang mengiklankan produk SL internet cepat pakai kalimat begini: “Berkat pakai SL, saya jadi langsung tahu berita kematian JP dengan cepat tanpa ketinggalan informasi. Ayo, teman-teman yang internetnya lelet, mari kita beralih ke SL.” 

Ayolah, berpikir lebih kreatif lagi. Masa sih informasi tentang orang meninggal sampai dipakai mengiklan? Seakan-akan enggak ada cara lain buat memuji kecepatan internet suatu provider? Mana di twit orang itu nama aktrisnya tidak disensor pula. Itu bakal jadi kata kunci yang akan dicari orang-orang buat mengetahui berita duka tersebut. 

Saya menulis seperti ini bukan bermaksud merasa sebagai orang yang paling benar dalam mengiklan atau sok kritis. Saya cuma resah aja dengan para buzzer alias pemasar yang sebetulnya payah, lucunya tetap memaksakan diri demi sesuap nasi. Cari duit memang susah, tapi apa iya segitunya banget?

Saya tak tahu apakah selama ini cara mengiklan saya sudah bagus, lalu ada yang keterlaluan dungu seperti itu atau tidak. Kalaupun dulu saya pernah khilaf mengiklan dengan cara tolol, saya ingin sekali meminta maaf buat pihak yang telah dirugikan. Paling tidak, hari ini saya sudah belajar banyak dari kesalahan-kesalahan orang lain. 


“Jadi orang lagian pada gegayaan, sih,” ujar bloger senior yang sempat saya bahas barusan. 

Loh, siapa yang lagi gaya, sih? Itu namanya prinsip. Itu pilihan saya buat menolak tawaran kerja sama yang enggak sesuai dengan diri saya. Baik dalam segi harga, tema, dampaknya terhadap orang lain, dan lain-lain. Anggaplah kasusnya begini: kau memasang harga terendah untuk satu tulisan iklan di blogmu senilai 300 ribu, terus saat ada klien yang mengajakmu bekerja sama dengan harga 100 ribu, apakah kau akan menerimanya begitu aja tanpa memperhitungkan risiko? Seumpama keadaanmu lagi krisis banget dan benar-benar membutuhkan uang saat itu juga, mungkin bisa menjadi pertimbangan untuk menerimanya. Tapi, bagaimana kalau syarat menulisnya kurang sreg di hati? Bukankah pilihanmu itu juga bisa menurunkan harga pasaran? Tentu ada alasan-alasan lain yang membuatmu mempertimbangkan suatu tawaran kerja sama. 

Saya pun masih ingat dengan jelas pernah mendapatkan tawaran dari situs judi yang nominalnya nyaris sejuta kala blog saya lagi ramai-ramainya pengunjung. Saya sudah ada ide juga buat tulisan itu. Dengan memakai kata kunci “taruhan bola”, saya bisa bercerita tentang kenakalan saya zaman SMP-SMK (harus saya akui bahwa diri ini pernah gemar berjudi). Pembaca pasti tak akan sadar jika itu ternyata tulisan buat mempromosikan situs judi. Namun, hati kecil saya berkata, “Masa iya seorang Yoga mengajak orang lain berjudi? Malu dong sama nama ‘Sholihin’ yang sikapnya sama sekali tidak mencerminkan kesalehan itu sendiri?”

Biarpun saya tahu pilihan-pilihan dalam hidup, bahkan kehidupan itu sendiri, juga bagaikan perjudian, tapi konteksnya kali ini adalah judi secara harfiah. Terasa tidak cocok lagi buat diri saya yang sekarang mencari uang lewat cara itu. Lebih-lebih mengajak pembaca blog ini terlibat. Kalau kata orang-orang, itu bisa menjadi dosa jariah.

Akhirnya, tawaran itu saya tolak dengan tegas. Saya tahu saya lagi butuh duit, tapi bukan berarti memakai cara haram. Syukurlah setelah menolak kerja sama itu, tak lama datang lagi dua tawaran lain. Walaupun yang dua itu kalau ditotal jumlahnya masih kalah, bahkan cuma setengahnya dari judi bola, saya tahu uang yang ini bakal lebih berkah. 

Bisa dibilang dalam dua tahun terakhir ini kerja sama dari blog kian surut. Saya entah kenapa juga sempat kepikiran untuk berhenti mengomersialkan blog, cuma ingin mengisinya dengan tulisan saya tanpa ada embel-embel iklan lagi. Tapi berhubung tawarannya kadang lumayan buat menambah pemasukan, apalagi kondisi finansial saya jauh dari kata aman, saya pikir saya akan tetap mengiklan di blog ini–tentu saja dengan cara pilih-pilih dan tak mau sembarangan. 

Akhir kata, sekere apa pun keadaan saya nanti (amit-amitlah, saya maunya berkecukupan dan tajir dong), sebisa mungkin saya ingin tulisan ini bisa jadi pengingat diri sendiri bahwa integritas sangatlah penting ketimbang uang yang didapatkan dengan cara-cara jahanam.


Gambar saya comot dari Pixabay.

27 Comments

  1. Terkait tawaran kerjasama itu apakah kamu kasih alasan kenapa harga rate yang kamu pasang itu sebesar 300rb? Maksudnya seperti kelebihan yang bisa kamu tawarkan ke penawar kerjasama tersebut. Misalnya seperti data analytic google, atau interaksi pengguna di-mediasosial -(kalau misal abis nulis di share ke medsos).

    Dulu saat menerima tawaran seperti itu tapi harga yang ditawarkan gak sesuai, lalu saya tawar lagi tapi dengan menyodorkan data-data seperti diatas eh diterima tawaran saya + malah dinaikin lagi harganya. Lumayan bisa buat beli sepatu baru dan tas baru untuk sekolah, dah pada sobek dan banyak jahitan operasi di tas saya hahaha.. bersyukur aja.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sebetulnya enggak perlu menjelaskan, saya tahu harga jual tulisan sendiri. Dengan mempertimbangkan usia blog dan pengunjungnya juga. Walau saya kurang paham urusan semacam ini, katanya ada patokan juga dalam menilai harga lewat skor PA/DA gitu. Toh, klien juga sebetulnya bisa menilai sendiri dari contoh tulisan yang ada di blog ini. Kalimat pembuka surel mereka pasti bilang tertarik dengan tulisan yang ada di blog, makanya mengajak bekerja sama. Sekiranya tertarik, lantas mengapa beberapa suka keberatan dalam memberi harga sedikit lebih tinggi?

      Saya juga pernah memakai cara itu. Sebagian berhasil sepakat dengan harga yang saya tawarkan, sebagian lainnya bernegosiasi dengan penurunan sedikit harga, terus ada yang meminta maaf karena budget tak cukup, bahkan ada yang menghilang tanpa kabar.

      Delete
    2. Hemm menarik, yah begitulah. Terkadang standar yang kita kasih dengan standar mereka agak sedikit berbeda, tinggal klop-klopan atau negosiasi kedua belah pihak saja. Smngt update lagi mas.. ;

      Delete
  2. Haha akhir2 ini jadi sering mikir juga kalau mengejar passion adalah keputusan salah, apa pula passion? Industri kreatif, apalagi skena tulis-menulis, kelihatannya aja yg keren tapi aslinya malah bikin nelangsa. Memang ada beberapa yg sukses, tentu, tapi lebih banyak yg sedihnya. Menulis harusnya hanya jadi hobi sampingan aja, agar integritas ga gampang goyah dan saya lebih baik mengamini cita-cita pekerjaan yg diinginkan orang tua dan calon mertua. Kehidupan adalah perjudian, semoga bisa cepet nemu Yumeko Jabami aja lah.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sebelum “anjay” benar-benar dilarang, saya mau pakai dulu:

      Anjay.

      Sepakat, sama Bang Arif. Bang Arif terdabes!

      Delete
    2. Arif: Sedikit banget yang benar-benar bisa hidup dari jalan itu tanpa integritasnya ternodai.

      Hahaha. Kapan ya bisa berjudi dalam menentukan pilihan-pilihan hidup senekat Yumeko. Semakin tinggi risikonya, semakin berani. Sayang, sih, dengan bertambahnya umur ini kerap menciutkan nyali dan mendingan realistis aja.

      Gigip: masih bisa pakai anjis dan anjir sekiranya cuma anjay yang dilarang.

      Delete
  3. aku belum bisa menggunakan ngeblog sebagai patokan utama dalam kerjaan
    yah meski usaha bimbel ancur gara gara pandemi ini tapi setidaknya belum berani kalau menggantungkan 100% dari ngeblog
    alasannya ya hampir semuanya sepakat sama tulisan ini
    terutama yang DA/PA itu yang kayak jadi semacam goal sebagian besar blogger sekarang

    masalah lomba lama lama kayak ikut gerak jalan atau lotere
    kalo lagi pengen ya ikut klo engga ya engga
    buat ngramein aja

    dan memang, suka atau tidak, hidup adalah sebuah perjudian.
    semoga beruntung dan sukses mas yoga

    ReplyDelete
    Replies
    1. Pada masanya kerjaan lepas saya yang lain nilainya masih kalah sama meliput acara bloger. Jadi waktu itu saya anggap pemasukan utama. Haha. Saking banyaknya sambilan waktu itu. Cuma nilai upah yang terasa besar bagi saya saat itu, ternyata memakan energi dan jam tidur yang banyak juga.

      Oh iya, berarti tahun ini saya belum ikut perlombaan sama sekali.

      Sukses juga buat Mas Imron. Aamiin.

      Delete
  4. Sekalipun pernah ada ditahap,"saya tidak akan menjadikan blog sebagai tempat komersial", saya akhirnya kepikiran juga dengan biaya perpanjang domain yang cukup mahal

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sesekali kalau ada tawaran yang sreg di hati dan harganya lumayan boleh kok diambil, Hul. Lumayan bisa buat bayar domain.

      Delete
  5. Saya sih sepakat banget dengan mas Yoga bahwa seseorang, bukan hanya penuis sebenarnya, punya prinsip dan idealisme. Paling tidak batasan minimum hal yang masih bisa kita terima.

    Seperti mas juga, saya juga menolak beberapa kali tawaran kerjasama, salah satu alasannya karena nilai yang ditawarkan terlalu rendah, jadi ya untuk apa. Yang lainnya adalah tawaran yang bagi saya menguntungkan yang menawarkan saja, tetapi kurang bagus buat saya.

    Ya saya tolak.

    Tidak masalah juga kalau dicap kurang laku. EGP. Bisnis adalah kesepakatan dua pihak dan harus sama-sama merasa untung. Kalau salah satu tidak merasa demikian, ya jangan dipaksakan.

    Saya tidak mengemis kok.

    Jadi, saya tidak akan ragu untuk menolak, dengan resiko apapun, jika tawarannya tidak menguntungkan bagi saya..Resiko ya saya terima

    Prinsip ya prinsip..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, apa pun pekerjaannya tentu ada prinsip. Ada batas yang enggak boleh dilanggar menurut pribadi masing-masing.

      Mantap, Mas Anton.

      Delete
  6. Salut, pertahanin ya Yog, menerima tawaran pekerjaan yg ga sesuai, apalagi nyimpang dari agama, ga akan berkah. Biarlah dikit asal halal.

    Btw, itu blogger yg promosiin jaringan SL, pengen ngakak deh :p. Ngepromosiin jaringan pake cara kematian seseorang, segitu ga kreatifnya, ato segitu polosnya -_- ..

    Ga ada yg salah nolak tawaran kalo EMG ga sesuai yog. Beberapa tawaran masih masuk ke emailku untuk menuliskan artikel ato sekedar CP. Tapi aku slalu nolak Krn memang ga mau blogku dijadiin tempat cari duit apalagi menulis ttg hal di luar traveling. Ga tertarik .

    pernah sekali aku ditawarin menulis ttg salah satu platform investasi yg sbnrnya aku pake tp kurang sreg, Krn aku ngerasa ada banyak minus poinnya di banding produk investasi serupa. Aku tolak, dengan alasan platform ini ga sesuai buatku Krn ada bbrp hal minus td.

    Eh ga nyangka, jawaban emailku di CC ke SVP produk, dan dia lgs mengubungi secara pribadi apa saja minus poin yg aku mksd, Krn dia berharap dr situ perusahaan bisa memperbaiki dan LBH bgs ke depannya. Aku yg tadinya udh plan mau nutup accountku di sana, tp Krn seorang SVP nya sendiri lgs turun tangan bertanya dan follow up, bikin aku berubah pikiran :D. Krn aku anggab ke depannya mereka bisa bagus sih kalo memang customer minded begitu.Yang ada, aku malah top up danaku di sana, Cumaa teteeup tawaran menulisnya aku tolak hahahah. Lah aku ga bisa nulis something yg ga berhubungan Ama traveling. Bisa siih dihubung2in, bilang aja kalo aku selama ini mampu traveling Krn rutin investasi di sana.

    Tapi nurani ga bisa trima :p. Lah kenyataannya memang bukan dari situ :D.Nulis sesuatu yg ga sesuai hati dan passion menurutku ga bakal kluar sih aura tulisannya :p. Jadi kalo menurutmu ga cocok, tolak aja. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya enggak tahu akan bertahan sampai kapan berusaha menolak yang enggak sreg di hati. Yang jelas, akan tetap ada prinsip dalam mempertimbangkan hal itu.

      Saya memandangnya bukan polos, melainkan dungu, Mbak. Haha. Kebangetan aja sih promosinya terlalu kasar.

      Wah, keren dong sampai didengar keluhannya begitu. Dari tawaran kerja sama malah jadi kritikan seorang pelanggan yang kelak berusaha diperbaiki sama itu perusahaan.

      Memang akan terlihat jelas tulisan yang dibuat dengan terpaksa. Haha.

      Delete
  7. Hi mas Yoga, post yang bagus dan insightful :D

    Saya pribadi melihat dari kacamata usaha jasa (karena menulis post termasuk dalam usaha jasa) merasa kalau nggak ada yang salah dengan apa yang mas Yoga lakukan. Karena setiap dari kita pasti punya prinsip dalam bagaimana kita mencari pemasukan, dan mau menggunakan jalur yang mana ~ semisal ternyata penawaran yang datang nggak sesuai prinsip kita, untuk apa diterima hehehe. Apalagi menyangkut sebuah karya, jangan sampai karena satu karya, akhirnya mencoreng semua karya yang ada :3 -- saya pernah baca (lupa di mana), ada satu arsitek yang mau menghancurkan salah satu karyanya dengan dibakar, karena karya tersebut membuat malu dia. Kebayang dong, satu bangunan besar dibakar :"")) jadi saya sangat setuju kalau mas Yoga memilih idealis soal karya, ini bukan persoalan laku atau nggak dan saya melihat tulisan mas Yoga sangat berkualitas hehehehehe.

    Semoga nanti, pada waktu yang tepat, mas Yoga bisa mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan pembayaran layak ~ saya pribadi tertarik dengan tulisan mas Yoga, wish one day kita bisa bekerja sama :D semangat selalu, mas. Keep giving your best, God will care the rest. Dan stay safe :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah, makasih pujiannya, Kak. Ini sebetulnya hanya jurnal yang saya coba kembangkan. :D

      Saya paham sih dengan sikap arsitek itu. Saya juga pernah dengar kisah seorang penulis yang enggak mau menganggap salah satu karyanya sebagai karya dia. Bahkan memohon ditarik dari peredaran. Saya tak tahu apa alasannya, tapi saya berusaha menebak bahwa diri dia yang sekarang tuh malu dengan kualitas tulisan dia yang di buku itu. Jadi dia enggak akan menyebut buku itu lagi.

      Tak menyangka ada yang masih tertarik dengan tulisan di blog saya, bahkan mengapresiasinya. Nuhun ya.

      Aamiin. Makasih juga doanya. Semoga hal-hal baiknya kembali padamu, dan tentunya sehat sentosa juga buatmu. :D

      Delete
    2. Kok ya kamu minderan sih Yog kalo komentaran.. Kontradiksi dengan gaya tegas dan berani.

      Saya sendiri merasa tulisanmu bagus, agak sentimentil dikit (wakakakak).

      PD dikit nape.. :-D :-D

      Delete
    3. Saya rada kaget dengan pujian 'insightful', sebab ini memang tadinya berbentuk jurnal. Jika ada yang suka, ya syukurlah.

      Emosi dalam tulisan yang terkesan tegas dan berani itu dipengaruhi mood saat menuliskannya. Mungkin bagi orang lain penulis yang tegas itu punya kepercayaan diri lebih. Saya pun masih bisa PD dengan menampilkannya di blog, dan dibaca orang lain. Meski begitu, saya tahu di luaran sana banyak banget penulis yang jauh lebih baik, Mas. Jadi bukannya minder, tapi sadar diri. Dengan bersikap begini, saya harap bisa memperbaiki kualitas tulisan saya.

      Terima kasih apresiasinya.

      Delete
  8. Nulis artikel dibayar 17ewu kwi cen asu.., memanfaatkan musibah/kejadian kurang mengenakkan untuk promosi kwi ya asu... Sing asu-asu ditolak ya sudah seharusnya...

    Soal judi, saya juga pernah seneng judi.., segala jenis judi, yang paling sering ya main kartu kalau dulu. Tapi alhamdulillah gak sampai kecanduan yang parah dan selalu bisa jaga diri dengan menetapkan budget maksimal, ya sekali dua kali lah mblondrok... :D

    Satu yang saya dari judi adalah, bahwa uang tidak ada artinya dibanding nafsu untuk menang dan kesenangan bermain itu sendiri.., dan kalau menang juga biasanya dipakai berjudi lagi. Iya, saya penjudi yang idealis juga ketika itu karena berprinsip bahwa judi itu bukan untuk cari duit tapi seneng-senenh... :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Akeh yang pancen asu pokoknya, Mas. Cuma hal itu mungkin luput dari penglihatan sebagian orang.

      Dulu saya hobinya main capsa. Haha. Iya, sebagian penjudi cuma ingin merasakan nikmat saat jantungnya berdebar-debar selama permainan. Moto dalam berjudi yang saya tahu: menang ketagihan, kalah penasaran.

      Delete
  9. Sebagai blogger saya belum pernah membuat tulisan untuk sponsor, jadi saya tidak bisa berkata banyak. Namun alasan utamanya mungkin bagi saya, meskipun dibayar, saya terlalu malas untuk menulis sesuai pesanan.

    Terkait konten placement, saya tak banyak mematok harga, toh saya ngga perlu mikir, tinggal posting doang. Justru yang paling utama bagi saya adalah jenis konten yang diposting.

    Untuk situs-situs yang tidak jelas dan meragukan, akan langsung saya tolak. Situs judi kalo perlu langsung blokir. Nilai ini memang tak bisa dilanggar.

    Saat membaca tulisan ini, saya baru tahu bahwa dunia periklanan tidak sesederhana yang saya pikirkan. Ternyata ada orang-orang yang menggunakan cara yang tak pernah terpikirkan oleh saya itu beriklan. Tentu saja saya tak akan mengikuti mereka.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Placement juga saya usahakan diedit lagi biar sesuai sama gaya tulisan sendiri.

      Jika mau masuk lebih dalam ke dunia itu, akan semakin banyak menemukan hal-hal menyedihkan.

      Delete
  10. Wooww..
    Jadi bisa dibilang blog ini sumber penghasilan nomor satumu dong?
    Kereeen!!

    I mean, sebagai orang yang ngeblog untuk hobi, mengkomersilkan blog menyenangkan tapi buatku terasa berat di saat yang bersamaan. Aku harus menulis sesuatu yang notabene bukan inginku. Ini lumayan bikin stres sih, apalagi waktu ikut beberapa komunitas blog dulu. Tekanan untuk monetasi kuat banget, rasanya idealismuku mulai goyah karena blogger satu komunitas berorientasi mencari uang dengan blognya, bukan untuk hobi. Jadi aku salut buat orang-orang yang bekerja sesuai passionnya, karena sebenernya ini g mudah, tabrakan banget dengan idealisme dan prinsip tapi kudu profesional.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, Pit, pada masanya. Tiap bulannya ada tawaran kerja sama. Nominalnya lebih tinggi dari kerjaan lepas saya yang di luar tulis-menulis. Pokoknya waktu itu blog ini membantu banget dalam penghasilan. Jadi pilihan buat berhenti mendadak itu cukup berdampak sama pemasukan bulanan.

      Makasih pujian kerennya. Tapi setahu saya mah banyak yang jauh lebih keren dan hebat dalam mengomersialkan blog. Haha.

      Seperti yang kamu resahkan, dulu saya juga sering terjebak di situasi itu. Hingga akhirnya pilih cabut. Karena kesenangan saya dalam menulis lama-lama memudar.

      Satu-satunya cara saya saat ini agar bisa berkompromi antara idealis dan realistis, ya dengan terima tawaran kerja sama yang sreg. Kalau untuk meliput acara lagi dan live twit, saya masih belum bisa kembali ke jalan itu.

      Delete
  11. Kalau udah ngomongin duit dan prinsip pekerjaan rasanya pengen menghilang aja dari dunia.

    Sekarang apa-apa butuh duit dan patokan sukses juga dari duit dan menghasilkan duit.

    Lelah.

    Eh tapi ini lagi ngomongin prinsip nulis ya, selama prinsip itu dalam koridor mah sah-sah saja sih bang.

    Tapi emang udah ada haditsnya juga "akan tiba satu zaman yang ketika itu orang tidak peduli lagi bagaimana ia mendapatkan harta, apakah dari sumber yang halal ataukah yang haram."

    Semangat bang

    ReplyDelete
    Replies
    1. Seakan-akan diperbudak uang gitu, ya? Budak-budak kapitalis kalau kata netizen. Tapi mau bagaimana lagi, itu semua demi memenuhi kebutuhan hidup.

      Saya juga pernah sih rasanya ingin mengasingkan diri jika orang-orang di sekitar selalu menuntut kesuksesan dengan patokan banyak uang itu. Selama saya enggak merugikan mereka, apakah tak boleh bisa tetap main bareng tanpa memandang kondisi finansial? Tapi hal itu udah berlalu sih. Kawan-kawan juga mulai berganti jadi yang satu frekuensi atau senasib. Haha.

      Semangat juga, Sep. Semoga kita semua bisa bertahan di situasi krisis akibat pandemi.

      Delete
  12. Lika liku dunia bloging ternyata segubrak itu ya?.. gak nyangka ada yang mengiklankan produk selucknut itu, Hadeuh gak tahu mau marah apa ketawa, btw salam kenal dari newbie "D

    ReplyDelete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.