Cerita dan Derita Metropolitan (VI)

—Jakarta, Juli 2018 




Alam bawah sadarnya seakan-akan membuat Arman mengetikkan kalimat dalam bahasa Inggris selepas membaca cerita pendek yang ditulis Sahid, kawan baiknya. “Aku kebangun tengah malam dan baru baca fiksi kilat di blogmu, lalu teringat mimpiku barusan yang buruk banget.” 

Akhir-akhir ini Arman memang sedang berlatih membaca cerpen maupun novel yang berbahasa Inggris. Tapi, apa yang sesungguhnya memicu dia sehingga berkomentar menggunakan bahasa asing, padahal kemampuannya masih sangat pasif dan kisah yang dibacanya kali ini merupakan bahasa Indonesia? 

Merasa ada yang tidak beres dengan kelakuan temannya, Sahid pun menanggapi, “Kau lagi mabuk ya, Man? Tiba-tiba kirim pesan pas dini hari, sok-sok pakai bahasa Inggris pula.” 

“Aku dalam keadaan sadar. Aku enggak lagi mabuk. Aku hanya sedang marah,” tulisnya dalam bahasa Inggris. “Mimpiku tadi dan ceritamu entah mengapa memicuku akan sesuatu hal. Ada kabar tentang Gina yang perlu kau ketahui.” 

“Maksudmu pakai bahasa Inggris apa, sih? Kau habis mimpi buruk apaan? Kau marah kenapa? Gina kenapa juga? Jangan buat orang panik dan penasaran tengah malam beginilah.” 

Masih tetap menggunakan bahasa Inggris, Arman merespons, “Kau nanti juga akan mengerti mengapa aku menggunakan bahasa Inggris. Soal Gina, sebentar lagi akan kuberi tahu, tapi tolong jangan kasih tahu hal ini ke siapa pun.” 

Sahid menjawab oke. 

“Apa kamu sama Gina masih saling mengikuti di Twitter?” 

Sahid heran mengapa pertanyaan yang sudah jelas itu segala dilontarkan lagi. Jelas-jelas dia merasa masih berkawan baik dengan Gina, tak ada masalah apa pun akhir-akhir ini kecuali mulai jarang bertemu lantaran Gina bilang pekerjaan di kantornya lagi padat dan sering lembur. Namun, atas rasa penasaran yang menggebu-gebu, Sahid pun membuka aplikasi Twitter dan mencari nama Gina Rahmawati.

Hasil pencariannya nihil. Sahid lantas terkejut tak bisa menemukan akun teman baiknya itu. Sahid pun mengecek daftar orang yang dia ikuti. Angkanya berubah. Dari yang semula 222 menjadi 221. Kala itulah Sahid tersadar dan mengetikkan kalimat, “Loh, si Gina tutup akun ya, Man?” 

Arman menjawab iya dan kali ini sudah ketiga kalinya, lalu mengirimkan tautan yang menjelaskan bahwa Gina sebetulnya punya akun Twitter kedua. Akun yang menampilkan sisi gelapnya.

“Waktu akun Gina hilang, aku segera mengecek ke akun itu. Kau bisa baca curahan hati Gina di sana. Kebetulan akunnya enggak diproteksi. Meskipun sekarang jumlah pengikut maupun yang diikutinya nol, dia kayaknya lupa kalau aku sempat tahu akunnya yang itu. Jadi, kuharap kau nanti juga pura-pura enggak tahu sehabis membaca twit-twitnya.”

Akun kedua Gina baru bergabung sekitar enam bulan silam dan twitnya hanya berjumlah 53. Biarpun baru sedikit memuntahkan kata-kata, Sahid langsung menelan ludah begitu membaca twit terakhirnya yang berbunyi: “Aku rasanya pengin mati aja setiap kali mengingat dosa itu. Tapi kalau aku memilih mati, bukannya aku semakin berdosa? Ya Tuhan, masih pantaskah aku buat bertobat?” 

Sahid lekas mengeklik twit itu dan membaca utas lengkapnya. 

1. Lagi-lagi aku dikatain lonte sama pacarku. Ah, mungkin lebih tepatnya mantan. Kami baru aja putus kemarin sore gara-gara dia melihat InstaStory aku yang katanya mengenakan pakaian pengundang nafsu. Aku rasa pakaianku masih normal selayaknya mbak-mbak kantoran pada umumnya. 

2. Tapi kenapa dia bilang aku ini ganjen dan mau tebar pesona? Mungkin dianya aja yang nafsuan, ya? Aku enggak paham lagi sama sifat dia. Yang aku tahu, aku sedih banget dihina-hina pacar sendiri terutama soal kata lonte itu. Ya Tuhan, sebinal apa sih memangnya aku? 

3. Aku capek diatur-atur pakaiannya sama dia setiap kali mau keluar rumah, padahal tiap kali aku main ke indekosnya juga palingan disuruh cepat-cepat telanjang. Ternyata aku memang lonte, ya? 

4. Namun, aku kayak begini juga karena dia, sih. Baru sama dia aku sampai berbuat sejauh itu. Aku menyesal banget menerima ajakannya balikan kalau ujung-ujungnya seperti ini lagi. Sudah dua minggu kami putus-nyambung dengan permasalahan yang itu-itu aja. 

5. Aku selalu dilarang main sama teman-teman cowok, sekalipun itu sahabatku sendiri yang sudah akrab sejak SMP. Aku kan jadi enggak enak sama Arman dan Sahid kalau keseringan menolak buat ketemuan. Mana bisa-bisanya aku berbohong lagi sibuk dengan pekerjaan di kantor pula. 

6. Kami berteman sudah sekitar 9 tahun, tapi gara-gara cowok bangsat yang baru aku kenal setahun justru bikin persahabatan kami retak begini. Aku kebangetan banget sama mereka. 

7. Mana selagi aku terkekang begitu, mantanku malah bisa bebas main sama cewek mana pun. Mungkin dia diam-diam juga mengajak cewek itu ke indekosnya. 

8. Tololnya, setiap kali aku cemburu dan ngambek, dia pasti mengancam aku buat putus. Dia licik banget, ya Tuhan. Setelah apa yang dia perbuat sama aku, dia kok bisa-bisanya gampang banget buat pergi? Apa dia lupa ya sama janjinya sewaktu kami pertama kali melakukannya

9. Dia bilang, dia enggak akan pernah meninggalkan aku sampai kapan pun. Bakalan tetap ada dalam suka maupun duka. Janji bakal nikah sama aku. Karena itulah aku percaya dan mau-maunya melepas hal sakral yang sudah aku pertahankan selama 22 tahun hidup di dunia berengsek ini. 

10. Nyatanya, dia sekarang lupa sama janji manis itu. Semuanya cuma omong kosong. Benar ternyata kata kedua sahabatku, kalau mantanku ini sebetulnya bajingan. Awal-awalnya doang baik, setelah dia dapat apa yang dirinya mau, langsung deh berubah banget sifatnya. 

11. Tapi kenapa dulu aku lebih percaya sama mantanku itu ketimbang sahabatku sendiri? Apa aku terlalu dibutakan cinta? Mestinya cinta itu enggak buta, kan? 

12. Aku tiba-tiba teringat lagu Efek Rumah Kaca, Jatuh Cinta Itu Biasa Saja. Liriknya menohok banget buatku: “Jika jatuh cinta itu buta, berdua kita akan tersesat. Saling mencari di dalam gelap. Kedua mata kita gelap, lalu hati kita gelap.” 

13. Kenapa aku baru sadarnya sekarang, sih? Semua itu sudah kadung terjadi. Aku enggak bisa memutarbalikkan waktu. Segelku sudah rusak. 

14. Adakah seseorang yang nanti sudi menerimaku dalam keadaan begini? Aku sejujurnya berusaha percaya bahwa masih ada cowok baik di luaran sana. Tapi untuk saat ini, bagaimana caranya aku sanggup menerimanya? Tolong, ajari aku buat ikhlas. 

15. Setiap kali aku meyakinkan diri kalau aku masih berharga sebagai manusia, aku otomatis teringat ucapan mantanku: “Kamu tuh harusnya merasa beruntung bisa pacaran sama fotografer kayak aku. Kalau kamu enggak kujadikan model foto-fotoku, kamu mah cuma cewek culun yang minderan.” 

16. Sumpah deh, kata-katanya nyelekit banget. Dia pikir dirinya itu ganteng kali? Tampang dekil dan mesum begitu kok banyak lagak. Begonya, kenapa aku pernah sayang sama dia? Sialan! Aku masih belum rela rasanya menyerahkan hal yang berharga bagiku itu ke manusia berengsek kayak dia. 

17. Aku rasanya pengin mati aja setiap kali mengingat dosa itu. Tapi kalau aku memilih mati, bukannya aku semakin berdosa? Ya Tuhan, masih pantaskah aku buat bertobat? 


Tanpa perlu membaca sisa twit Gina, Sahid sudah paham apa yang Arman maksud, bahkan mengerti kenapa dia bisa semarah itu sampai-sampai menggunakan bahasa Inggris untuk mengekspresikan emosinya. Karena saat ini, Sahid pun merasa untuk pertama kalinya dalam hidup bisa kelewat murka sampai tak mampu berkata-kata lagi dalam bahasa Indonesia. Dia hanya bisa melontarkan kata fuck sebanyak tujuh kali dalam pesan tersebut. Itu pertama kalinya juga dia merasa hatinya hancur tak keruan hingga lupa caranya menangis.

--

Sejak di Twitter ramai dengan utas-utas yang menyangkut urusan surga dunia, saya jadi sering berpikir: Kenapa sebagian besar yang menulis ceritanya seolah-olah merasa keren memiliki pengalaman tersebut, bahkan sepertinya juga bangga jika diketahui banyak orang, padahal mereka sebenarnya sedang membongkar aib sendiri? Saya entah mengapa sedih dengan hal semacam itu. Belum lagi terkadang muncul keraguan, apakah kisah itu benar adanya? Bukan karangan fiksi agar ikut-ikutan viral ataupun dicap nakal? Lantas, saya jadi bingung seandainya suatu hari nanti ada korban pelecehan seksual atau pemerkosaan yang bersuara di platform itu. Apakah yang ditulisnya sungguh terjadi? Tidak melebih-lebihkan cerita? Bukan memfitnah demi membalas dendam karena tak terima dengan keputusan sang lelaki?

Saya tak bermaksud menyalahkan pihak perempuan, hanya saja dari beberapa utas yang pernah saya baca itu melahirkan kesimpulan begini: Ketika kedua pihak melakukannya secara sadar dan sama-sama mau, kenapa giliran hubungan itu tak berakhir dengan pacaran dan cukup sebatas teman enak-enak, atau putus, atau apa punlah yang tak berlanjut sesuai kehendaknya, ada perempuan yang mengutuk habis-habisan si lelaki ini? Ingin memberi tahu kepada seluruh dunia kalau cowok yang meninggalkannya itu bajingan paling anjing, penjahat kelamin, manusia termesum sejagat raya, dan seterusnya. Bukankah itu konsekuensi dari pilihan mereka sendiri? Beda urusan jika si perempuan tidak dalam keadaan sadar, dipaksa, diancam, dan sebagainya.

Sebagai lelaki saya juga tak habis pikir, kok bisa ya mereka segampang itu buat celup sana-sini? Apalagi buat yang melakukannya tanpa ada konsen, kenapa bisa setega itu, sih? Mengapa mereka tak mampu mengontrol berahinya sampai-sampai merugikan orang lain? Apakah ini percis dengan apa yang saya baca di novel Eka Kurniawan, Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, bahwa 'kemaluan bisa menggerakkan orang dengan biadab' dan 'kemaluan merupakan otak kedua manusia, seringkali lebih banyak mengatur kita daripada yang bisa dilakukan kepala'?

Dari pertanyaan-pertanyaan itulah lahir sebuah gagasan, bagaimana kalau saya bikin cerita sejenis dengan kondisi yang saya temukan di sekitar? Jadilah cerita yang barusan kamu baca. Angka enam romawi pada judulnya merujuk pada beberapa cerita di kumpulan cerpen David Foster Wallace, Brief Interviews with Hideous Men, yang diberikan angka seperti itu. Saya tak tahu apa maksud dan tujuannya. Kalau saya sendiri sih karena ini versi keenam dari berbagai cerita serupa yang telah saya bikin. Saya kira ini cerita yang paling aman buat dipajang di blog. Lima lainnya terlalu vulgar untuk ditampilkan.

Gambar saya comot dari Pixabay.

16 Comments

  1. Arman kayak saya banget pas tahu sahabat sendiri ngalami itu ama pak pulisi.

    saat kita mengatakan "tidak pernah nonton porno" "nggak mau berbuat begituan" atau hanya kalima "nggak berani" saat diminta melakukan hal gaboleh kalo belom nikah tadi, tanggapan orang-orang adalah "sok suci" "alah munafik" "cupu", yang mana tanggapan dengan kalimat seperti itu dianggap kehinaan paling-paling, ya, orang jadi lebih memilih buka aib.

    munafik, bahkan kalimat itu ada di kitab suci, masuk dalam daftar golongan paling hina. sedangkan kegiatan melacur, masih sering dibaik-baikkan "pelacur yg memberi minum anjing saja bisa masuk surga". gak ada ceritanya orang munafik masuk surga. bukankah munafik jadi dianggap lebih buruk?

    saya beberapa kali mencoba meluruskan membuat artikel ttg lebih baik munafik, atau ngapain buka aib, tapi gak bakal ngaruh, teman-teman saya yg baca sudah pada baik. yang gabaik, gak ada yg mau baca, berasa sia-sia, tapi yaudahlah. kali aja ada alur yg bisa bermanfaatnya.


    kadang saya bingung kalo melihat thread hal begitu. antara emang gak ada konsen, atau emang tujuannya konten.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Pilih buka aib atau sok-sok bikin citra mesum/nakal, padahal mah sebatas bacot dan tak punya pengalaman selain dari tontonan film dewasa atau dengar cerita kawan yang gemar pamer kenakalannya.

      Bicara munafik ini, tapi ya kalau ditanya perihal begitu, masa terus terang jawab jujur? Kalau bohong termasuk munafik, mending diam saja.

      Semoga tetap bermanfaat.

      Anehnya, konten seperti itu ramai terus.

      Delete
  2. Kontemplatif sekali. Cerpen terbaik yang saya baca sebulan terakhir. Thank you, Yog!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah, ini berlebihan kayaknya dalam memuji. Atau sebulan ini yang lu baca kurang banyak. Biar bagaimanapun, nuhun ya, Gip.

      Delete
  3. Duh, celup sana sini sekarang emang udah biasa ...
    Gue tinggal di kampung, sekarang banyak hotel merambah kampung.

    bahkan grup fb penikmat dunia malam membernya udah ribuan.... anak2 kampung semua.
    Tanpa sungkan, apalagi malu,mereka posting ttg TARIF ESEK/jamnya.

    Yg nyari lobang celupan pun tanpa sungkan posting .. ckckkckcckk...

    Mereka masa depan bangsa:(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tapi itu konteksnya kan yang berbayar atau bisnis, Mas. Di tulisan ini lebih ke kemauan si pelaku yang mayoritas sama-sama mau. Berawal kenalan dari Twitter, hingga akhirnya terjadi hubungan itu, dan berakhir dengan thread.

      Delete
  4. Yang lebih vulgar kelasnya sampe mana yog...

    Ckck, serem ya kebebasan bersuara era sekarang, bukannya gw sok berpikiran sebagai ancient people alias orang kolot, tapi bercerita terlalu bebas mengenai kehidupan diri di ranah publik, misalnya kayak tokoh gina ini, andai2 pake akun asli bukannya malah membunuh karakter sendiri di masa depan ya, bisa sudah mau ngapa2in ke depannya. Jangan suka berlindung dari kata biar ga dicap munafik deh huahaha...#soyes amat gw

    Soalnya apa? Sekalipun misalnya sekarang ngelurin uneg2nya dengan alasan healing dari mantan or apalah, tapi tetep aja kan ke depannya ngaruh juga, palagi sekarang hrd klo mau recruit orang liat2 dulu tingkah di media sosialnya kayak apa huhuhu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ada yang sampai mengisahkan adegannya. Masih belum jago bercerita, jadi rasanya terlalu vulgar.

      Yah, saya juga kurang paham kenapa bisa sesantai itu menceritakan aib. Sekarang kan apa-apa bisa di-SS. Menghapusnya juga percuma kalau rekam jejak digitalnya sudah tercatat.

      Delete
  5. Lah gw typo...mau ngetik bisa susah malah bisa sudah, wkwkkk...sorry yog

    ReplyDelete
  6. inilah alasanku lamban membalas komentar di media sosial
    gatau kadang malah triggered aja baca yang speak up kayak gitu
    aku juga ragu kadang juga cerita mereka fiksi dan ujung ujungnya pas tritnya rame malah nitip jualan

    yaudahlah nulis di blog sahaja

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sekarang setiap ada utas ramai seringnya pada nitip lapak dagangan. Betulan sudah malas main medsos selain buat mencurahkan keresahan, lalu tutup lagi.

      Delete
  7. Aku aja ga kebayang bakal mau tulis begituan di medsos, kalo sampe kebaca ortu kan cari mati namanyaaaa :p.

    Kok ikut sebeeeeel sih baca di atas :DM lgs kebayang Ama mantanku yg suka banget nyela dan nuduh kalo aku flirtinglah dll :p. Padahal ujug2 dianya aja yg suka selingkuh. Biasanya cowo yg banyak ngelarang2, itu Krn dia sadar diri sering ngelakuin yg dia tuduhkan :p. Makanya takut pasangannya gitu

    Sejak udh bhaaay Ama cowo gila itu, aku ga Sudi lagi dilarng2 yg ga masuk akal. :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Meski orang tua enggak main medsos, yang namanya berita viral mah bisa sampai aja ke kuping mereka. Hm, jadi kudu berpikir ulanglah membagikan hal-hal yang sifatnya terlalu pribadi.

      Mayoritas yang protektif tuh ternyata menyimpan kebusukan ya. Salah satu mantan saya juga ada yang begitu. Dia gemar menuduh, eh tiba-tiba dia yang berbuat. Wuahaha.

      Delete
  8. Waaa makasih Yog menyuarakan ini. Aku sempat mau ngetweet atau ngeblog dengan pemikiran yang sama: tidak ada di pihak manapun, cowoknya salah, ceweknya juga salah. Tapi gak pernah jadi karena kalau ngetweet kaya apaansi berisik fasy, terus kalau ngeblog apaansi males ah mo rebahan aja. Gitu Yog wkwkwkwkwk.

    Tapi inti dari komenku, aku setuju akan tulisan ini.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ini draf udah lama juga sih, Sya. Baru berani menampilkan sekarang karena kok thread semacam itu kian banyak dan semakin bikin jengkel. Setelah beberapa kali percobaan, jadinya fiksi singkat kayak begini tanpa penyelesaian masalah, lalu ditambah pandangan pribadi tentang hal itu buat renungan diri sendiri. Haha.

      Nuhun juga sudah membagikan tulisan saya di media sosial.

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.