Menangis di Pangkuanmu

Seusai menonton enam film pendek bertema romansa di Youtube, Farhan bertanya kepadaku, “Kapan terakhir kali kau menangis karena cewek?” Biarpun nenek, ibu, dan tante juga termasuk perempuan, tapi kayaknya maksud Farhan bukan menyangkut anggota keluarga semacam itu. Ini pasti berurusan dengan gebetan atau kekasih. Maka, pertanyaan itu tentu tak bisa kujawab dengan lekas. Aku perlu mengecek satu per satu laci kenangan di dalam kepala terlebih dahulu.



Sebelumnya, Farhan sering memuji memori otakku yang sanggup menggali kenangan-kenangan lawas dalam waktu singkat. Ketika kami sedang membicarakan kenangan masa kecil, misalnya, aku sudah membagikan enam cerita, sedangkan Farhan baru dua. Dalam waktu kurang dari 30 detik selepas aku berkisah bagaimana dulu dia pernah menangis kejer lantaran gagal melulu mengalahkan Oxide dalam gim CTR (Crash Team Racing) di Playstation, aku menambahkan dia juga pernah menangis seperti itu saat melempar mainan Crush Gear milik kawannya, menirukan aksi para karakternya di televisi. Hasilnya: tentu saja mainan itu langsung rusak dan akhirnya disuruh ganti rugi.

Farhan pun mengakak, tidak menyangkal sama sekali, dan berkata, “Kalau kau enggak cerita, Bar, aku pasti sudah lupa pernah segoblok itu zaman bocah. Daya ingatmu luar biasa, ya.”

Sayangnya, kali ini aku betul-betul gagal mempertahankan kehebatan daya ingat yang sempat Farhan ucapkan. Barangkali pujian itu terlalu berlebihan. Mungkin juga karena pikiranku bekerja secara otomatis untuk mengunci rapat hal-hal yang menyakitkan—yang dulu ingin sekali kulupakan.

Berhubung aku tak ingin membuatnya menunggu, aku hanya bisa merespons singkat: lupa. Farhan tidak terima dengan jawaban tersebut, bilang kalau aku berpura-pura sebab malu menunjukkan sisi melankolis, dan tetap memprovokasiku supaya terus menggali ingatan sampai ke akar-akarnya.

Aku mencoba meyakinkannya bahwa sekarang ini kepalaku sedang tidak berfungsi dengan baik karena mulai mengantuk, lalu balik bertanya kenapa dia tiba-tiba mempertanyakan hal itu. Farhan bercerita mengenai dua bulan silam habis ketahuan selingkuh oleh pacarnya.

Aku sangat terkejut begitu mendengarnya. Jika ingatan ini tak berdusta, seminggu yang lalu aku sempat melihat mereka mengunggah cerita di Instagram sedang berkencan di sebuah kafe. Aku kira hubungan mereka yang telah berjalan tiga tahunan itu juga baik-baik saja tanpa kendala dalam belakangan ini, sebab mereka tak pernah lagi mencurahkan persoalan itu ke media sosial.

Sampai tiga bulan silam, setahuku mereka masih gemar saling sindir jika sedang bertengkar. Contohnya, sewaktu Farhan ada reuni bersama kawan SMP-nya, Nadia—pacarnya—dengan konyolnya bikin twit begini lantaran teringat Farhan saat masa sekolah dulu sempat jadian dengan teman sekelasnya: “Asyik ya yang lagi nostalgia sama mantan. Sampai lupa kasih kabar.”

Farhan lantas membalas, “Enak banget jadi manusia yang suka menuduh-nuduh sembarangan tanpa ada bukti, padahal orang yang dimaksud juga enggak datang ke reunian. Udah jelas-jelas salah, enggak mau minta maaf pula. Kocak.”

Entah kini mereka sudah bertambah dewasa dan sadar betapa tololnya hal itu sehingga malu buat memamerkan problem hubungannya lagi, atau mereka sama-sama lupa kata sandi akun Twitter-nya. Tanpa perlu menebak-nebak, aku akhirnya bertanya kepadanya, “Terus kalian sempat putus atau gimana, Han?”

“Putus tiga hari doang, terus balikan.”

Dalam keadaan sama-sama rebahan beranjak tidur, Farhan kemudian mengisahkan kepadaku kronologi kejadiannya secara berantakan. Mungkin karena dia sudah mengantuk atau memang tak pandai bercerita. Beginilah kisahnya setelah kususun ulang dengan versi lebih ringkas:

Merasa jengkel dengan tuduhan pacarnya yang kian lama bikin jenuh, lebih-lebih tak mau meminta maaf atas prasangka buruk itu, Farhan jadi kepikiran untuk memasang aplikasi Tinder di ponselnya buat menghibur diri sekaligus mencari teman bercerita. Satu jam berselang, dia akhirnya berteman dengan seorang perempuan bernama Indira dan mulai mengobrol. Mulanya niat Farhan hanya iseng mencari pelarian sejenak dengan berbincang-bincang via aplikasi bersama perempuan lain (karena sedang jeda komunikasi sama pacarnya) tanpa ada niat bertemu langsung. Namun, begitu Indira tiba-tiba memancing Farhan dengan bilang lagi butuh teman nonton film Joker sebab malas menonton bioskop sendirian, keisengan itu berubah jadi hal yang tak terduga.

Penampilan Indira saat perjumpaan hari itu mirip sebagaimana potret dari samping yang dia pajang di Tinder: berparas khas Arab dengan hidung mancung, berambut lurus sepunggung, warna kulit kuning langsat, dan bertubuh montok berisi. Intinya, tak ada satu pun kepalsuan dalam foto tersebut kalau dibandingkan dengan sosok aslinya. Melihat perempuan seaduhai itu, Farhan pun seolah-olah lupa akan fakta bahwa dia telah memiliki kekasih.

Sepulangnya menonton bioskop di mal Taman Anggrek, mereka melanjutkan agenda hari itu dengan makan sore di warung Sambal Super area Tanjung Duren. Dari sanalah perselingkuhan itu dimulai. Memang, Farhan dan Indira belum pernah bersua kembali, apalagi melakukan hal yang bukan-bukan, hingga Nadia berhasil mengetahui perbuatan biadab mereka. Tapi banyaknya rekam jejak digital, yakni obrolan mesra via teks, telepon, dan panggilan video yang lupa Farhan hapus, sangatlah membuat Nadia murka. Perselingkuhan tetaplah perselingkuhan sekalipun tak ada sentuhan fisik.

Saat hari pertama ketahuan selingkuh, pada Minggu siang yang cerah—yang niatnya untuk berkencan lalu mendadak berubah menjadi momen berengsek, Farhan jelas langsung meminta maaf kepada Nadia. Tidak lupa dia menghapus bukti-bukti yang Nadia temukan, memblokir kontak Indira, serta memberi penjelasan tentang hubungan mereka yang belum terlalu jauh. Tapi sebagaimana orang-orang yang amarahnya sedang di puncak, Nadia tidak mau mendengar penjelasan apa pun. Dia hanya ingin menyebutkan daftar binatang yang lazimnya digunakan untuk memaki, lalu meminta putus.

Pada keesokan harinya, Farhan tetap berusaha menghubungi Nadia, meminta maaf semampunya, dan mengajak rujuk kembali. Tak ada satu pun respons. Farhan sangat frustrasi akan sikap Nadia yang mengabaikannya. Hingga hari ketiga, sepulangnya dari kantor, Farhan nekat mampir ke indekos Nadia.

Begitu dibukakan pintu oleh Nadia, Farhan langsung memeluknya, berlutut, sampai akhirnya menangis di pangkuan Nadia. Dengan terisak-isak, Farhan mengaku itu pertama kalinya dalam seumur hidup dia khilaf selingkuh selama berpacaran. Dia berjanji enggak akan mengulanginya lagi, berupaya mengubah sifat-sifat buruk lainnya, serta mencoba lebih mengerti Nadia. Nadia pun luluh dengan permintaan maaf tulus Farhan. Sepertinya dia terkejut dengan sisi lain Farhan yang bisa secengeng itu demi cinta. Sampai-sampai air mata yang Farhan jatuhkan itu kalau dikumpulkan mungkin bisa memenuhi sepatu pantofel ukuran 39.

Sejak Farhan menangis di pangkuan Nadia, hubungan mereka semakin lama membaik. Mereka juga mulai introspeksi satu sama lain, khususnya persoalan mengeluh di Twitter seperti sebelum-sebelumnya yang tampak norak.


“Pantas baru dua minggu selingkuh kau langsung ketahuan sama Nadia, Han,” ujarku. “Kau ternyata masih pemula.”

“Anjing!” kata Farhan sembari menoyor kepalaku. “Emang kau sendiri udah ahli, Bar?”

“Sori ya, aku mah enggak pernah ada niat kayak begitu.”

“Kau bahkan udah enggak niat punya pacar, kan?”

Kini, gantian aku yang menyikut kepalanya.

“Gantian dong, Bar, mana ceritamu pas nangis karena cewek?”

“Sabar, Han, ini dari tadi juga sambil diingat-ingat.”


Aku sungguh lupa kapan terakhir kali menangisi perempuan. Maksudku, menangis yang betul-betul keluar cairan. Akhir-akhir ini semakin banyak orang yang mengaku kalau mereka menangis tanpa keluar air mata, kan? Konon itu rasa sedihnya sudah sangat mendalam. Nah, seingatku, setiap kali aku dan pacarku memilih bubar pasti dadaku terasa sesak dan hatiku juga bakal menjerit-jerit. Itu termasuk menangis tanpa keluar air mata, kah? Aku sebenarnya juga ingin menumpahkan air mata, sialnya tak ada setetes pun yang terjatuh, bahkan berkaca-kaca juga tidak. Aneh sekali.

Namun, sehabis mendengar kisah Farhan yang sampai mengorbankan harga dirinya dengan menangis di hadapan pacarnya itu, pecahan-pecahan memori jahanam di kepalaku mulai muncul kembali. Mulutku otomatis mengucapkan, “Han, aku mulai ingat nih.”

Tak ada tanggapan darinya. Cuma terdengar bunyi orang bergumam. Aku menoleh ke kiri. Farhan sudah memejamkan matanya. Sialan, tadi minta gantian cerita, eh giliran aku telah mengingatnya justru dia tertidur pulas.

Meski begitu, aku sudah tidak kaget lagi, sih. Setiap kali menginap di rumah Farhan aku biasanya juga ditinggal tidur seperti ini. Masalahnya, gara-gara berusaha menjawab pertanyaan bedebahnya itu, rasa kantukku lenyap seketika dan tak bisa ikutan nyenyak. Aku juga tak tahu mesti menceritakan kenangan ini kepada siapa. Apakah aku mesti merenunginya sendirian?

Aku lalu mengambil ponsel yang tergeletak di dekat paha kananku. Waktu sudah menunjukkan pukul 02.17. Aku mengecek aplikasi WhatsApp, kemudian membuka kontak Anisa Oktaviani. Di situ muncul percakapan terakhir kami sebulan yang lalu sedang membahas film Pyaar Ka Punchnama (2011).

Itu film yang beberapa bulan lalu Anisa rekomendasikan di Twitter, terus aku iseng menontonnya. Omong-omong, aku dan Anisa baru berkenalan secara digital. Awalnya kami cuma mengobrol lewat media sosial, barulah setahun berikutnya saling bertukar nomor telepon. Kami belum pernah sekali pun kopi darat, padahal sudah berteman selama empat tahunan. Mau bagaimana lagi, aku tinggal di Jakarta, sedangkan dia di Samarinda. Biarpun begitu, kami termasuk kawan yang akrab, khususnya saat membicarakan film dan mengaitkannya dengan pengalaman pribadi.

Jika dibandingkan dengan Anisa, wawasanku dalam perfilman terbilang cetek. Kira-kira 3 berbanding 8. Film-film yang dia tonton dan menjadi kesukaannya jarang sekali kuketahui, sedangkan yang menjadi favoritku kebanyakan juga menjadi idola sejuta umat—dengan kata lain: pasaran. Terus terang saja, mungkin karena selera kami berbeda atau aku kurang cocok dengan seleranya. Aku yang lebih menyukai anime ini memang terlalu pemilih dalam soal tontonan lain. Banyak genre yang aku benci. Misalnya, aku pantang menonton horor dan thriller yang terlalu sadis. Aku juga kurang suka dengan film yang garis besarnya mengisahkan percintaan tanpa ada bumbu lain. Apalagi film yang berasal dari India. Banyak nyanyi dan joget-jogetnya. Asli, bagian itu bagiku sungguh membuang-buang waktu.

Namun, rekomendasi Anisa kali itu entah mengapa malah cocok dan terasa relevan denganku. Dulu, nasibku dalam menjalin hubungan dengan perempuan juga pernah setragis di film. Lima tahun silam, tepatnya sewaktu aku berusia 19, aku betul-betul lelah dengan sifat Nova—pacarku saat itu. Makanya, aku mengakak pada sebuah adegan di film Pyaar Ka Punchnama, ketika Rajat mencerocos selama lima menit hanya buat mengeluh soal perempuan kepada kawannya.



Aku juga sempat melakukan hal itu. Aku mengisahkan permasalahanku kepada Farhan ataupun sebaliknya. Aku muak harus sering-sering mengabari pacarku saat jam kerja. Apalagi aku ini tipe orang yang membuka ponsel cuma pas jam istirahat atau sewaktu pekerjaanku telah rampung. Jika pekerjaan masih menumpuk, aku malas menyentuh gawai itu, bahkan memilih mematikannya. Aku cukup paham sih kenapa Nova ingin sekali kontakan denganku. Dia bekerja sebagai resepsionis di salah satu radio kawasan Jakarta Barat. Kalau tamunya lagi sepi, dia tentu merasa jenuh bukan main. Tapi, bukan berarti dia harus ketergantungan terus denganku. Dia kan bisa cari cara lain buat menghibur diri. Baik itu dengan mendengarkan lagu, membaca buku, atau menonton film di ponselnya.

Nova bilang, aku ini kurang perhatian maupun pengertian, padahal menurutku dialah yang begitu. Sampai akhirnya, hal itu menjadi satu dari sekian banyak alasan Nova untuk menyudahi hubungan kami pada kemudian hari.

Berbeda dengan Farhan yang reunian bersama teman SMP-nya lalu dituduh-tuduh oleh pacarnya sedang bernostagia dengan mantan, padahal nyatanya tidak sama sekali; kejadian reunian teman SMP yang Nova ikuti justru membuat dia dekat dan jadi sering berkomunikasi sama salah satu cowok bernama Agung. Berhubung Agung seorang fotografer lepas, dia memiliki waktu yang lebih fleksibel ketimbang aku yang penginput data dan mesti mengetik sembari menatap layar komputer terus-menerus.

Kekosongan Nova yang tak bisa aku isi karena kesibukan, akhirnya tergantikan oleh kehadiran Agung. Aku pun mulai cemburu, meminta penjelasan dari Nova, dan memintanya buat menjaga sikap. Tapi Nova selalu menyangkal hal itu. Dia bilang tak ada hubungan apa-apa. Percakapannya biasa saja selayaknya teman lama yang lagi bertukar kabar. Aku merasa dongkol tidak keruan. Sialnya, aku masih sayang sekali kepadanya. Aku tak mampu mengakhiri hubungan yang sudah berjalan setahun ini.

Hingga akhirnya, pada suatu malam selepas azan Isya, dialah yang berhasil melontarkan kalimat putus terlebih dahulu, “Kayaknya aku udah enggak bisa sama kamu lagi, Bar. Kamu tuh emosian banget setiap cemburu enggak jelas begini. Aku capek kita berantem melulu setiap hari. Mungkin kita emang udah enggak cocok. Mendingan jadi teman lagi kayak dulu.”

Kala aku membaca pesan itu, terdengar bunyi petir kencang sekali. Kebetulan cuacanya memang lagi hujan deras. Aku berusaha meminta maaf, mencari apa penyebabnya, lalu terburu-buru menyebut nama Agung dalam urusan itu.

“Apaan sih pakai bawa-bawa dia? Ini tuh tentang kita. Dia enggak ada hubungannya sama sekali. Kamu kalau salah tuh ngaku aja kek, jangan malah cari-cari kambing hitam.”

Aku meminta maaf lagi. Tak ada balasan. Aku kemudian meneleponnya. Tetap tak ada respons. Nova lalu mengirim pesan bahwa tak mau mengangkat teleponku dengan alasan takut tersambar petir.

Sehabis salat Isya dan berdoa, aku pun nekat pergi ke rumah Nova.


Sepuluh detik setelah pintu rumahnya kuketuk dan mengucapkan salam, ibunya Nova membukakan pintu. Beliau bertanya ada masalah apa sehingga bersikeras menerobos hujan lebat begini.

“Ada salah paham yang harus dibicarakan langsung sama Nova, Bu.”

“Memangnya enggak bisa lain waktu?”

Mendengar perkataannya, aku langsung bergeming dan merasa tolol. Betul juga. Kenapa tiba-tiba aku datang ke sini cuma untuk membicarakan masalah? Bukankah kondisi cuaca juga sama sekali tidak mendukung? Mana tadi di perjalanan aku mengebut pula. Syukurlah tidak terjadi kecelakaan.

“Ya udah, mari masuk,” ujar beliau sembari mempersilakanku duduk. “Ibu panggilkan dulu ya si Nova.”


“Kamu betul-betul gila ya, Bar?” kata Nova begitu keluar kamar dan duduk di sebelahku. “Aku tuh paling enggak suka sama cowok yang nekat dan berpikiran pendek kayak kamu.”

“Maaf, Nov, tapi menurutku cuma ini caranya biar hubungan kita tetap bertahan.”

“Justru karena kamu begini, aku semakin yakin buat putus.”

“Loh, kenapa? Aku bikin salah apa lagi?”

Nova memberi tahuku tentang status BlackBerry Messenger ibuku: “Ya Allah, hujan deras begini anakku malah kelayapan. Semoga dia baik-baik aja. Aamiin.” Tak cukup dengan status, Nova juga memperlihatkan pesan ibuku, “Nova, memangnya si Barry punya salah apa sampai kamu enggak mau maafin dia?”

Anjing, kenapa orang tua jadi ikut campur masalah begini, sih? Setan. Iblis. Dedemit. Jurik. Kenapa ibuku segala membuat status norak semacam itu? Kenapa pula mereka berteman di BBM?

Ah, aku ingat. Ini semua lantaran Nova yang kurang percaya denganku, sehingga enam bulan lalu dia meminta kontak ibuku. Agar dia bisa memastikan kalimatku bukanlah dusta. Misalnya, sewaktu aku pamit pergi ke suatu tempat, Nova juga akan bertanya kepada ibuku supaya lebih yakin.

Rasanya kurang patut jika aku menyalahkan ibuku dalam kondisi kacau ini. Mungkin dengan nekat datang ke rumah Nova begini aku juga sudah melakukan kesalahan fatal terhadap ibuku. Aku telah membuat ibuku cemas. Aku masih ingat dengan jelas percakapan tadi di rumah ketika sedang memakai jas hujan dan pamit pergi.

“Kamu mau ke mana hujan-hujan begini, Bar?”

Aku menjelaskan ingin ke rumah Nova buat meminta maaf dan bertanggung jawab atas kesalahanku.

“Tanggung jawab apa? Kamu ngehamilin Nova?”

Aku terkejut dengan pertanyaan barusan. Sepertinya aku salah bicara.

“Bar, betul kamu ngehamilin dia?”

“Astagfirullah. Enggak, Bu. Kenapa berpikiran sejauh itu? Ciuman aja aku belum pernah. Ini cuma ada salah paham. Pokoknya masalah anak muda deh.”

Ibuku akhirnya dapat bernapas dengan lega dan mengizinkanku pergi. Tapi setelah aku menutup pintu, aku mendengar beliau berkata, “Kayak enggak ada hari lain aja.”

Di dalam hati, aku teramat menyesal dan meminta maaf kepada ibuku. Aku kini juga hanya bisa meminta maaf kepada Nova akan status BBM ataupun pesan ibuku. Dia memilih tetap membisu. Momen beku tanpa suara yang bikin enggak nyaman ini akhirnya menyelimuti kami.

Keheningan itu kemudian pecah ketika ibunya Nova menyuguhkanku teh manis hangat di meja yang terletak di hadapanku. Beliau menyuruhku untuk segera meminumnya. Selagi aku menyeruput teh itu, beliau menasihati kami berdua agar membicarakannya baik-baik sebelum mengambil keputusan, lalu kembali ke kamarnya.

Aku lagi-lagi meminta maaf dan berusaha mempertahankan hubungan kami. Nova tetap tak peduli dengan perkataanku.

“Jawab dong, Yang.”

“Enggak usah panggil aku ‘yang-yang’ lagi. Aku betulan capek sama kamu, Bar. Aku pengin sendiri aja.”

“Ini bukan alasan kamu karena ada orang lain, kan?

“Terserah kamu mau ngomong apa deh, Bar.”

Aku tak punya pilihan lain selain meminta maaf lagi.


Di film Pyaar Ka Punchnama, ada seorang cowok yang menangis di pangkuan ceweknya karena tidak kuat lagi dengan sikapnya yang kian menjengkelkan. Kenapa cewek itu bisa-bisanya bercerita habis begituan sama cowok lain, apalagi sampai menjelaskan betapa nikmatnya indehoi? Tidak terima akan fakta itu, maka sang cowok pun memohon-mohon kepada si cewek untuk bilang bahwa yang barusan dikatakannya hanyalah kebohongan semata. Tak ada pria lain selain dirinya.



Aku tak habis pikir dengan bagian yang satu ini. Apakah itu karena saking cintanya si cowok sampai dia rela mengorbankan harga dirinya, padahal jelas-jelas sudah dipermainkan sedemikian rupa sama si cewek? Berbeda dengan di film, kisah Farhan yang menangis di pangkuan pacarnya sebab dia telah berkhianat tentu masih terasa wajar buatku.

Terlepas akan hal-hal barusan, pada hari itu aku juga sempat meletakkan kepalaku di pangkuan Nova seperti yang Farhan lakukan ataupun tokoh pria di film itu. Aku mengulang permintaan maafku sampai tiga kali sembari memohon-mohon supaya tidak putus, tetapi tak kunjung mendapatkan titik terang dari hubungan yang sudah di ujung tanduk ini. Seketika itu aku ingin sekali menangis di pangkuannya. Sayangnya, aku tak ingin mempermalukan diri lebih dari ini atau bermaksud menyelamatkan harga diri, jadi kutahan air mataku sekuat mungkin.

Saat itu aku malah teringat kembali dengan status BBM ibuku. Mungkin menjalin komunikasi dengan orang tua pacar itu ada baiknya. Berhubung niat Nova bukan untuk mengakrabkan diri, melainkan krisis kepercayaan terhadapku, aku pikir punya pacar yang overprotektif dan curigaan seperti dia sangatlah merepotkan dan melelahkan. Bisa jadi putus dengannya bukanlah ide buruk.

Jadi, aku pun langsung menegakkan kepalaku, menatap matanya, dan bilang dengan mantap, “Oke, Nov, aku udah paham sekarang. Berarti mulai malam ini kita putus.”

Giliran aku memutuskannya, dia langsung menghinaku dengan “anjing”, “bajingan”, serta “cowok bangsat”.

Aku tak peduli lagi. Aku tak ingin menyesali keputusanku yang sudah bulat itu. Maka, aku hanya bisa menanggapinya dengan senyuman, lalu berterima kasih kepadanya. Baik karena telah menemani hari-hariku maupun atas kebaikan yang dia dan keluarganya berikan selama ini. Aku menutup kalimatku dengan menitip salam kepada ibunya.

Walaupun kondisi di luar masih hujan gerimis, aku sudah tak ada keperluan lagi di rumah Nova. Berlama-lama di sini cuma akan menimbulkan nestapa. Toh, malam juga sudah semakin larut. Aku pun memilih pulang tanpa mengenakan jas hujan. Jadi begitu keluar dari area kompleks rumahnya, aku langsung memacu motor secepat mungkin. Kebetulan suasana jalan raya juga lagi sepi-sepinya. Tak ada mobil melintas di jalur yang kulalui. Hanya ada 2-3 motor yang terlihat di depanku. Ketika itulah tangis yang kutahan-tahan sejak tadi mulai luber begitu saja. Aku menangisi hubungan yang baru saja berakhir seraya kilas balik masa-masa membahagiakan yang pernah kami lewati bersama. Sesudah hatiku terasa lebih plong, aku memaki sekencang-kencangnya, “Cinta tai kotok.”


Satu minggu setelahnya, tai kotok itu tak sengaja terinjak olehku alias sewaktu aku lagi main ke rumah kawan di kawasan Bintaro, aku melihat Nova boncengan naik motor bersama seorang cowok. Yang tidak lain tidak bukan adalah Agung. Nova memeluknya dengan erat seakan-akan tak ingin kehilangannya.

Aku pun berkata lirih, “Katanya waktu itu pengin sendiri, Nov? Kok sekarang berdua? Dasar cewek bajingan!”


Saat mengenang memori sialan itu, gerimis turun begitu saja di sudut mataku. Dadaku sesak tidak keruan. Rasanya seperti menancapkan pisau yang baru diasah ke luka lama yang sudah sembuh. Biarpun menyakitkan, menangis tengah malam menjelang tidur begini terasa nikmat sekali.

“Bar, kau kenapa nangis?”

Aku terkejut Farhan tiba-tiba terbangun. Bangsat, momen begini sungguh bikin malu. Bisa-bisanya aku kepergok lagi meneteskan air mata. Ayo, segera cari alasan, Bar. Lekaslah berpikir. Dengan satu tarikan napas, lalu mengembuskannya perlahan-lahan, aku akhirnya menjawab, “Aku barusan mimpi ibuku meninggal.”

“Ya, Allah.”

“Aku belum siap kehilangan ibuku, Han.”

Farhan menasihatiku bahwa itu cuma bunga tidur. Enggak perlu dipikirkan lebih jauh. Aku mengangguk dan mengelap air mataku. Farhan lantas bangkit dari posisi rebahnya, berjalan ke dapur, dan mengambilkanku segelas air putih. Aku meminumnya hingga tandas. Dia pun menyuruhku tidur lagi, serta jangan lupa berdoa. Aku langsung memejamkan mata saat itu juga.

Malam itu harga diriku berhasil terselamatkan dengan kebohongan tolol semacam itu. Dalam keadaan mata terpejam, aku tersenyum berusaha menahan tawa karena rasanya ingin mengakak sampai mampus.

--

Gambar saya ambil dari: https://pixabay.com/photos/people-man-guy-cry-tears-groom-2566201/

12 Comments

  1. Si cowok di Pyaar Ka Punchnama yang menangis di pangkuan itu aku juga nggak habis pikir sih. Padahal dia menurutku paling macho di antara dua temannya. Memang ya cinta nggak ada logika. Menurutku masalah yang paling bisa bikin ngerasa dekat ya masalahnya si Rajat itu sih. Masalahnya membumi. Btw nonton lagi yang Pyaar Ka Punchmama 2, Yogs. Itu semacam rebornnya gitu sih haha. Jadi bukan film lanjutan. Masalah sama pacar juga tapi masalahnya beda dan lebih ngeselin sih kalau buatku.

    Dramatis bener hujan-hujan itu kejadian putusnya Barry. Huhu semacam film-filmnya Michelle Ziudith huhu tapi lebih tragis. Oh iya kepergok nangis sama temen itu emang maluin ya buat cowok. Kalau aku jadi Barry aku bakal langsung ngaku dan malah anggap itu pancingan buat curhat hahaha. Dasar perempuan.

    Btw si Annisa Oktaviani udah jarang nonton film thriller sadis koks sekarang. Sukanya nonton film India sama Filipina yang receh-receh ahaha soalnya kenyataan yang dihadapinya udah sadis. Oke udah ah komennya ntar lama-lama aku curhat lagi di sini huhu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Eeeh bentar deh. Yang nangis itu si temennya yang punya pacar tukang flirting apa si Rajat itu sih, Yogs? Ahahaanjir aku lupa haha

      Delete
    2. Masalah percintaan yang pernah gue alami juga relevannya sama Rajat. Haha. Gue kurang engeh siapa yang nangis di pangkuan cewek. Kayaknya Rajat juga ya. Berarti emang dia yang banyak mewakilkan.

      Gue kurang tahu kalau cowok lain, Cha. Gue sih malu kalau kepergok sama cowok. Nangis bareng cewek--khususnya pacar--rasanya lebih nyaman bisa sambil meluk.

      Oh, udah mulai bergeser haluan dalam menonton si Anisa? Suruh dia mengulas lagi coba, Cha. Belum pernah nonton film asal Filipina nih. Ada rekomen, kah?

      Delete
    3. Aku jadi mau nonton film yang diceritakan di sini. Aku cuma nonton film india kalo itu rekomendasi dari kak icha. uwuwuwuwu~

      Delete
    4. E icha kemana yak, ichaaaa uda ga nulis2 lagi apa ya sama wulan, aku tuh berhasil nonton film klo uda ditulisin reviewnya ama ichaa

      Delete
    5. Mbak Nita: Icha mengulas filmnya di Letterbox, Mbak. Terus Wulan kemarinan domainnya hangus dan harga nebusnya sampai jutaan, jadi akhirnya beli yang baru. Entah kapan bakal ada tulisan baru. Haha.

      Delete
  2. Can relate from the top to the bottom and what the fuck

    ReplyDelete
  3. Kamvred gw ngebacanya sambil menghayati gini ya hahahha

    Btw gw baca drama percintaannya farhan nadia uda mirip ama adegan2 di katakan putus ekekkeke, tapi emang noraque sih kalau pas lagi berantem pake acara sindir2an di medsos segala, biar apa coba, biar semua dunia tau huahahha, yang ada malah malu kali hahahha

    Tapi seandainyapun cuma makan doang, ya tetep aja nadianya berhak esmosih, secara pake acara diem2 ketemu cewek lain kan vangkeh, walaupun ya antara di foto ama di dunia nyata sama cantik n bohainya hahah

    Terus yang tokoh barry, gw pikir tadinya disapa bar bar namanya akbar, ternyata barry hehe

    Tapi sekilas kek adegan di film2 yang romantis gitu yog, secara nembus ujan demi memberikan sebuah penjelasan. Kalau pakai logika sih kedengerannya memang berpikiran pendek betul, kalau sudah dewasa mah bener cari hari lain buat menjelaskan, biarkan suasana adem dulu wakakkak... ya tapi ada juga sih kalau di film2 adegan kayak gini trasa so sweet banget.

    Tapi kamvred lah gw ngakak bagian endingnya, yang harga diri terselamatkan dari kebohongan tolol macam inih hahhahah

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya kurang tahu sih, Mbak, tujuannya apa. Bisa cari perhatian, biar viral, atau ya sekadar meluapkan emosi.

      Nonton dan makan sama perempuan lain (bukan anggota keluarga) secara sembunyi-sembunyi jelas bikin pacarnya marah.

      Itu kan terjadi sewaktu tokohnya mengenang ketololan dia pada usia 19. Yang mungkin tindakannya berdasarkan insting tanpa berpikir risikonya. Romantis atau so sweet mungkin, tapi ceweknya enggak luluh juga. Mungkin malu sampai ibunya Barry ikut campur. Ahaha. O iya, mungkin aja yang udah dewasa juga bisa nekat, Mbak. Mau bagaimana lagi kalau udah menyangkut cinta, kan? Kecerdasan bisa mendadak tumpul.

      Yang penting enggak ketahuan nangis karena terbius kenangan mantan.

      Delete
  4. Saya pikir yang bisa dipanggil bajingan cuman cowok doang, ehh... ternyata cewek juga bisa disebut bajingan hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Siapa pun bisa menyandang sebutan itu selama kelakukannya biadab.

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.