Selamat Berbahagia, Pelantun Kesedihan

Hari ini Dinda menikah. Atau mungkin seminggu yang lalu. Aku tidak tahu percisnya. Yang pasti sih hari Sabtu atau Minggu—sebagaimana orang-orang pada umumnya, sebab Senin sampai Jumat waktunya bekerja.

Aku baru saja mendapat kabar mengenai hal itu dari tulisan Dinda di blognya. Dinda sebetulnya bukan siapa-siapa di dalam hidupku. Ia cuma orang asing yang kebetulan kukagumi karena teks-teksnya yang berwarna sedih itu kerap mewakilkan perasaanku. Bisa dibilang Dinda cukup berpengaruh seperti Haruki Murakami dan Kawabata, sehingga beberapa kali tulisanku ikut-ikutan bernuansa muram.



Bagiku, Dinda adalah pelantun kesedihan. Sejak aku mengenal sosoknya dua tahun silam secara tidak sengaja di Twitter, lalu iseng mengunjungi blog yang tercantum di profilnya, ia belum pernah sekali pun membuat corak bahagia di kanvasnya. Baru hari inilah aku dapat membaca kegembiraan di dalam hidupnya. Entah sisi melankolis itu sosok sejatinya, atau hanya citra yang ia rancang buat ditujukan kepada pembaca, aku tak pernah tahu pasti.

Namun, setahuku jarang sekali yang membaca tulisan-tulisan Dinda. Jika tak salah ingat, tidak ada komentar yang meramaikan blognya. Sekalinya ada, paling cuma 1-2 orang. Mungkin ia hampir tak pernah membagikan kesedihannya itu kepada khalayak. Aku tebak palingan cuma kawan-kawan dekat Dinda yang mengetahui bagian rapuhnya itu. Jadi, aku menyimpulkan kenestapaan Dinda memang benar adanya. 

Dinda seakan-akan mengingatkan tentang diriku yang dulu. Jauh sebelum hari ini aku bisa asyik saja membagikan kesedihan dan kesepian hidup, aku gemar bersembunyi di Tumblr agar tak perlu ada satu pun manusia yang dapat melihatku menangis dan menjerit. Berkat tangisan-tangisan Dinda, aku jadi paham bahwa sedih itu hal yang lumrah.

“Bukankah wajar karena dia seorang perempuan? Kamu kan laki-laki, kalau kayak begitu artinya kamu lemah dong?”

Apakah pertanyaan itu harus kujawab? Aku tentu tak mau berdebat soal itu. Lagi pula, menangis hak masing-masing setiap orang, bukan? Selama tangisanku tidak mengganggu indra pendengaranmu, aku akan cuek saja. Seperti saat ini, misalnya, sewaktu aku mendengar berita pernikahannya. Entah mengapa rasanya nelangsa sekali. Kau tahu kenapa aku begini? Karena aku tak punya nyali sedikit pun untuk mengenalnya lebih dekat dari pertama kali aku tahu tentang dirinya. Aku sebetulnya sempat berniat untuk menyapanya, tapi begitu keberanianku telah kukumpulkan buat sekadar menekan tombol “ikuti” di media sosialnya sebagai permulaan, aku justru menemukan fakta bahwa kami berbeda agama.

Anjing, kenapa sih perbedaan semacam ini selalu menjadi persoalan pelik untukku? Sebenarnya untuk apa Tuhan menciptakan perbedaan, jika di lain sisi terdapat larangan menikah beda agama? 

Aku tahu, aku mungkin berpikir kejauhan. Tapi aku sudah telanjur suka dengan untaian kata miliknya. Mungkin mulanya cuma suka sebatas tulisan, tapi bagaimana jika itu berlanjut menjadi suka sama penulisnya? 

Aku pun ingin jujur tentang khayalanku terhadap Dinda: sebelum ia menikah, aku pernah membayangkan kalau suatu hari aku menunjukkan diri kepadanya, lalu mengajaknya berkenalan. Rupanya, ia terharu memiliki pembaca setia. Kami lantas janjian bertemu di suatu tempat. Membicarakan tulisan. Mengomentari hal-hal remeh yang mengusik pikiran. Kami pun berjumpa lagi pada kemudian hari. Kami mulai berbagi kesedihan. Bertukar cerita-cerita sendu. Lalu sepakat untuk bersama. Dan seterusnya, dan seterusnya, hingga kami mendadak ragu buat melangkah lebih jauh lantaran perbedaan agama.

Sesungguhnya aku heran, pantaskah aku bersedih pada hari pernikahannya, hari kebahagiaannya ini? 

Aku pernah mendengar kabar tentang mantanku yang menikah, tapi rasanya biasa saja. Kali ini, ketika Dinda—yang sesungguhnya cuma orang asing—menikah, kok perasaanku malah tidak keruan begini?

Apa kau tak percaya aku bersikap masa bodoh ketika mantanku menikah? Baiklah, akan kuceritakan sedikit. 

Pada suatu malam Minggu, saat aku lagi asyik membaca buku Raymond Carver, What We Talk About When We Talk About Love, Farhan mengirimkanku pesan berupa gambar dan pertanyaan. 

“Mantanmu menikah hari ini. Kau diundang?”

“Aku malah baru tahu dari pesanmu itu.”

“Kalaupun diundang, kau mending jangan datang. Nanti kau sedih, terus kayak yang ada di video-video lucu dan viral itu lagi. Pacaran lama untuk jagain jodoh orang.” 

“Ayolah, itu sudah berlalu tujuh tahun lalu. Untuk apa aku harus bersedih, Han? Tanpa harus kau suruh, aku juga tidak mungkin datang seandainya mantanku mengundangku.” 

“Masa sih kau tidak sedih sama sekali? Kenapa kau tak mau datang?” 

“Biasa saja, sungguh. Terakhir kali kami tak sengaja bertemu tiga bulan lalu di pernikahan Meilda (kawanku saat SMA, kawan mantanku juga), aku santai saja melihatnya bersama pacarnya. Justru pacarnya yang kelihatan risih karena harus berjumpa denganku. Sepele sih, sebab aku lagi bokek.” 

“Ya, baguslah. Kau kan jadi bisa memberikan amplop kosong, terus makan sepuasnya. Sekalian balas dendam karena ia pernah menyelingkuhimu dulu.”

“Aku tak sejahat itu, Han. Lagian, buat apa balas dendam? Kemarahanku sudah usang.” 

“Kau betul-betul enggak bersedih sama sekali mengetahui mantanmu menikah?” 

“Aku malah turut berbahagia. Kau kelihatannya senang sekali kalau aku bersedih. Kau kenapa, sih? Lagi butuh hiburan?” 

“Iya nih, aku lagi bertengkar sama pacarku. Nongkrong, yuk! Aku traktir deh.” 

Malam itu akhirnya kami ngopi di Kafe Joni, Bulungan, Jakarta Selatan. Sembari menikmati kopi, Farhan masih saja menggodaku agar bersedih mendengar berita bahagia mantanku itu. Melihat upayanya yang ingin bersenang-senang di atas penderitaan orang lain, sungguh membuatku kasihan terhadapnya. 


Aneh sekali. Ditinggal nikah sama mantan yang jelas-jelas pernah singgah di hatiku malah tidak menimbulkan rasa sakit maupun sedih secuil pun. Namun, giliran mengetahui kabar Dinda yang tentunya cuma alien atau mitos di dalam hidupku justru bisa sesesak ini. Sampai-sampai memaksa diriku yang awalnya sedang ingin jeda menulis, jadi harus bergumul lagi dengan teks demi membuang segala perasaan busuk ini.

Terima kasih, Dinda, berkatmu aku kembali menorehkan tinta berwarna suram lagi. Membuat mataku yang sedang musim kemarau mendadak menurunkan hujan. Membasahi hati yang lecet. Kau seolah-olah bikin aku kepengin menemukan cinta yang baru. 

Selain berterima kasih, aku juga ingin meminta maaf, Dinda. Aku tentu tak bisa hadir di pernikahanmu. Menjabat tanganmu dan mengucapkan selamat. Siapalah aku ini di matamu? Cuma makhluk tak kasatmata. Kau bahkan tidak mungkin tahu bahwa ada seorang aku yang mengagumi sisi gelapmu. Oleh sebab itu, aku hanya bisa bilang lewat tulisan yang tidak beralamat ini: Selamat berbahagia, wahai Pelantun Kesedihan. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu dan memelukmu, lalu biarkan sedihmu itu kutanggung selamanya.

34 Comments

  1. Tulisannya mantap, Yog. Kadang hanya orang tertentu saja yang bisa bikin alasan kita bersedih kehilangan. Bukan sembarang orang walau alasannya logis

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul, Din. Orang-orang yang punya efek magis. Haha.

      Delete
  2. "Sebenarnya untuk apa Tuhan menciptakan perbedaan, jika di lain sisi terdapat larangan menikah beda agama?"

    1) Bagaimana jika sebenarnya Tuhan hanya menciptakan satu agama, dan manusialah yang memecahnya menjadi banyak?

    2) Kalau memang Tuhan yang membuat banyak agama, barangkali supaya kau bersedih. Oh, ayolah, Bung, paling tidak pada akhirnya kau bisa berkarya dan kisah semacam ini jadi ada.

    Tadinya, kukira, Pelantun Kesedihan itu Linda Christanty. Tapi yang ini sudah menikah, sih. Haha. Semoga Dinda berbahagia, mari bersulang untuk Dinda!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah, dijawab serius. Ahaha. Baiklah, gue respons semampunya. Meski gue udah baca kitab yang menyatakan cuma satu agama yang direstui oleh Allah, gue belum menelusuri lebih jauh tentang Nasrani dan Yahudi yang sejak lama udah ada.

      Dan karena ini fiksi tentang orang patah hati ditinggal nikah sama idolanya, isi kepala dan pertanyaan-pertanyaannya tentu mengalir begitu aja karena bentuk protes akan perbedaan. Atau, anggaplah cinta itu sebuah anugerah dari-Nya, tapi kenapa ditujukan buat orang yang kurang tepat? Atau mesti mengajak si perempuan ikut memeluk agama yang sama jika diperjuangkan? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu bakal lahir. Hehe.

      Pelantun Kesedihan emang julukan Mbak Linda. Nama Dinda juga hasil pelesetan dari namanya sebagai bentuk penghormatan.

      Yakali gue tulis pakai nama asli orangnya? Selain biar pada bingung ini fiktif atau nyata, buat jaga-jaga supaya enggak ada yang melacak. Dunia bloger sempit soalnya. Nanti ketahuan tulisan ini terinspirasi dari mana. Wahaha.

      Delete
    2. I see 😂😂😂

      Senang juga bisa ketemu pembaca yang tahu Linda. Maksudnya, di lingkaran pertemanan untuk generasi 94-99, enggak banyak yang tahu Linda. (Tampaknya di jejaring saya lebih banyak pengagum Ika Natassa dan penulis-penulis semacamnya.)

      Memang bukan masalah dan di satu sisi bisa jadi bermanfaat; memperluas bahan bacaan. Cuma, agak susah buat tukar pendapat dan ngobrol banyak ketika di dalam lingkaran enggak punya kesamaan referensi. Makanya pas nemu yang satu bahan bacaan, berasa senang gitu. Haha 😂

      Omong-omong, Sabda Armandio beneran cihuy, Yog!

      Delete
    3. Gue udah beberapa kali menyebut nama Mbak Linda di blog ini, sih. Mungkin jarang yang engah. Emang kenapa sama si Ika, sih? Sejelek itu tulisannya? Atau cinta-cintaannya bikin mual? Gue belum pernah baca bukunya, dan sepertinya emang enggak akan baca.

      Siplah!

      Delete
    4. Soal Ika, dari sisi penulisan, enggak jelek. Cuma, kurang sreg aja dengan gayanya; campur-campur dua bahasa dalam satu kalimat. Terlepas dari itu, genre yang dia bawa juga kurang sreg buat saya. Entahlah. Kalaupun tulisannya lebih rapi, ya, dunia Ika ini enggak jauh berbeda dengan dunia Fiersa Besari, Wira Nagara, atau Brian Khrisna. Ika versi lebih metropop aja. Intinya, bukan selera, sih. Hahaha

      Delete
    5. Oiya masalah selera bacaan, seleraku jg BUKAN buku bukunya ikka, yg which is temen2 cewe yg seumuranku pada baca bukunya dis
      Ga tau knp ku juga agak sedikit annoying dg 2 bahasa dlm sebuah fiksi yg campur2 gitu, hmmm memang bukan seleraku mereun yak bukunya ika natasha, sebenernya dulu pernah punya 1 bukunya gegara orang ribut byk yg ngrekomendasiin tp ntah knapa, baru beberapa halaman langsung close book, ntahlah...aku berpikir aku nggak secepet ini nutup buku di novel yg lain...hahaha

      Klo fiksi fav gw itu fiksinya koran kompas minggu, majalah horison yg banyakan tema surealis

      Delete
  3. Apakah Dinda ini nama lengkapnya Mayang Dinda? Hahahahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tentu saja bukan. Setahu gue yang namanya Mayang mah Mayang Dwinta, Man. Wqwqwq.

      Delete
    2. Sebentar.... apa itu maksudnya Mayang sudah menikah atau akan menikah?

      Delete
    3. Firman pernah ngetwit soal ditinggal nikah, sih. Mari kita tunggu jawaban yang bersangkutan. Seandainya tidak memberikan jawaban, lupakan saja pertanyaan itu. Mari kita doakan semoga keduanya bahagia dengan jalan yang mereka pilih. Aamiin.

      Delete
    4. Ealah apakah namannya aslinya mayang, kok w jadi kepow yak hihihi

      Delete
    5. Wahaha. Malah jadi salah fokus. Kagak ada hubungannya sama dia.

      Delete
    6. *Ninggalin jejak disini dulu ya, Nder. Pengen ngerti cerita aslinya---Begitu kata anak-anak pemburu thread di Twitter

      Delete
  4. syukurnya, untuk saat ini gue enggak merasakan hal itu.
    sedih sih, mungkin ada. sedikit. tapi lebih ke bahagia, karena orang yang di idolakan telah menemukan pasangan yang sekiranya baik menurutnya, dan di doakan yang baik-baik aja.

    engga terlalu pikir pusing soalnya uy.
    ehe

    seru juga cerita fiksinya, yog.
    beneran fiksi kan ya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya, lagian mendoakan yang baik-baik tidak ada ruginya. Malaikat justru menjawab, "Begitu juga denganmu."

      Terserah mau dianggap fiksi atau kenyataan. Haha.

      Delete
  5. Curiga banget ini bukan sekedar tokoh fiksi
    Nyeseg juga yog bacanya hahahhaha, semangat yaaak

    Memendam kata sebelum beraksi, e ternyata uda nikah duluan, mungkin bisa membuat sedikit penyesalan dalam hati
    Tapi emang sik klo udahlah beda keyakinan mah uda babay wae, uda bikin nyeseg dari awal, seolah ga ada harapan lagi huahahhahaha

    Sumpah gw kepo pingin tau blognya dinda yang cuma buat sekedar menumpahkan kegelisahaan tapi ditulis dari hati shingga diem diem ada penggemarnya
    Gitu deh gw pun pingin begitu klo ngeblog, yang penting mah uneg unwg twrsalirkan, entah entar siapa yang mau baca, ga mawi pusing mau ngejemput pembaca, tapi pembaca sendiri yang silakan nemu itu tulisan jadi bacanya ga ada rasa keterpaksaan ahahai

    ReplyDelete
    Replies
    1. Fiksi kan terinspirasi dari kejadian nyata, lalu ditambahkan ide-ide baru hasil berimajinasi. Bisa jadi ini yang mengalami teman saya. Terus saya yang denger curhatan itu mencoba bikin beginian deh. Selalu ada kemungkinan lain, selain pengalaman sendiri. Haha.

      Sebetulnya sih masih ada harapan, Mbak, asalkan sanggup bikin dia ikut agama kita. Masalahnya, saya sendiri jelas enggak suka memaksakan yang semacam itu. :(

      Ehehe. Dia bukan bloger yang aktif setahu saya. Bisa dibilang dia semacam orang yang suka nulis.

      Delete
  6. Tuhan menciptakan perbedaan supaya manusia pusing, trus beli obat pereda sakit kepala, perusahaan farmasi banjir orderan apotek kaya. Padahal bisa aja aslinya cuma perlu kembali ke Tuhan.

    Gampang banget emang bikin manusia bingung.
    Makanya skill bodoamat harus diasah. Hm lol.

    Yasudahlah, tak mungkin menunggu jandanya Dinda kan? Selamat berbahagia untuk semua orang di dunia ini lah.

    Dulu pernah berpikir, apabanget suka lewat blog/tulisan. Tapi nyatanya, buat saya pribadi, sebuah tulisan itu dapat bernyawa itu benar.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bodo amat untuk hal-hal yang tak berguna sih oke. Tapi kalau apatis dan terkesan enggak peduli sama sekitar kayaknya bahaya. Haha.

      Kutunggu jandamu, Dinda~

      Biasanya kalau ditulis pakai hati dan gaya berceritanya asyik bakalan bernyawa.

      Delete
  7. Baru ngeh kalau ini fiksi pas baca komentar-komentar diatas. Memang payah saya ini. Enggak pernah mbaca tag di blogpost ini. Apa karena saya juga mengalami kejadian yang hampir sama kaya tokoh yang ada di tulisan ini, ya? Makanya kebawa suasana. So sad....

    Baru beberapa bulan lalu kejadiannya. Kemudian lupa. Baca tulisan ini, muncul lagi memori sedih-sedih itu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Selama bisa menikmatinya mah enggak usah pedulikan itu fiksi atau kenyataan, Wis. Wqwq.

      Buat para korban patah hati yang ditinggal nikah, mari rayakan kesedihan~

      Delete
  8. Aku terhanyut dengan tulisannya. Kadang-kadang memang ya, ketemu mantan biasa saja, tapi beda lagi dengan orang yang justru asing tapi kita mengaguminya, malah ada perasaan sedih kalau ditinggal dan nggak bisa mengagumi lagi dengan perasaan kita.

    Ini beneran nyata?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bisa karena waktu sudah membuat perasaan itu biasa saja, atau kenangan sama mantannya emang tidak berkesan.

      Tebak dong~

      Delete
  9. Bikin nelangsa bacanya mas.

    Btw nangis emang hak semua orang kok mas, nggak peduli mau cewek atau pun cowok

    ReplyDelete
  10. Gue juga pernah ngalamin ini Yog, sakit pas tau orang yang gue suka nikah hahahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ini siapa? Kok enggak berani menampilkan nama?

      Delete
  11. Aku punya teman namanya Dinda juga, dulu waktu SD.

    "Trus hubungannya sama tulisan ini apa?"

    Mm, nggak ada. Cuma info aja.

    ReplyDelete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.