Jawaban tentang Film (Bagian Kedua)

Sebelum melanjutkan membaca, alangkah baiknya lihat dulu tulisan Bagian Satu.

--

11. Film kesukaan zaman bocah 

Oh, jelas Kungfu Hustle (2004). Saya masih ingat banget pertama kali menonton filmnya bareng Ibu ketika habis salat Isya di bioskop Trans TV. Tapi berhubung waktu itu saya masih SD, pukul sembilan saya malah ketiduran dan tidak menontonnya sampai tuntas. Paginya, sebelum berangkat sekolah, saya sampai harus bertanya kepada Ibu, bagaimana akhir filmnya? 

Si kakek kodok akhirnya kalah, jawab ibu saya. Stephen Chow jadi jago kungfu. 

Saya merasa tak puas diceritakan kayak begitu. Dua atau tiga tahun kemudian pertanyaan itu akhirnya mendapatkan jawaban yang lebih terang sewaktu saya berhasil menyaksikannya sendiri. Selain lucu dan asyik, Kungfu Hustle itu sungguh berkesan dan punya nilai sentimental kala saya masih bocah, sebab akan selalu menjadi memori indah bersama Ibu. Kami semacam punya ritual rutin menonton bareng film tersebut ketika kebetulan lagi tayang di televisi.




12. Film kesukaan zaman remaja 

Usia 17 tahun masih pantas dianggap remaja, kan? Saya punya dua versi, yakni lokal dan asing. 

Indonesia: Serigala Terakhir (2009). Kawan-kawan saya di rumah pun sampai berebutan siapa yang pantas menjadi tokoh Jarot (Vino G. Bastian). Filmnya memang terasa bajinganjing (kombinasi kata bajingan dan anjing untuk memuji) bagi saya dan teman-teman sepantaran saat itu. Film itu menumbuhkan rasa berani di dalam darah kami. Kami pengin menjadi jagoan yang tidak kenal rasa takut. Kami pun sampai membentuk sebuah kelompok atau geng, bukti bahwa kami benar-benar ingin menjadi serigala terakhir seperti mereka. Jika mau membandingkan dengan tokoh-tokoh di Ganteng-Ganteng Serigala ataupun Ganteng-Ganteng Swag, pastilah Serigala Terakhir tidak akan terjangkau buat mereka. GGS malah cuma terlihat seperti sekumpulan sampah. 

Film luar: Scott Pilgrim vs. The World (2010). Di mata saya saat remaja, film ini entah kenapa keterlaluan kerennya. Mungkin karena bercerita tentang perjuangan cinta yang apik dan memesona. Demi bisa mendapatkan seorang cewek bernama Ramona Flowers yang setiap minggu warna rambutnya selalu berganti-ganti, sang protagonis—Scott Pilgrim (Michael Sera) harus bertarung dan mengalahkan mantan-mantan Ramona terlebih dahulu. Mengingat ada beberapa orang yang mengatakan kalau film yang diadaptasi dari buku atau komik itu biasanya jelek, terkadang saya memang cukup sepakat. Tapi, saya harus akui tidak berlaku untuk film ini. Filmnya buat saya sangat berhasil. Selain bagian bertarungnya yang keren sekaligus konyol, saya menyukai bagian konsernya yang menyuguhkan musik-musik asyik. Visualnya pun tak kalah hebat. Ada adegan-adegan yang diberikan efek animasi, mungin bermaksud agar tidak menghilangkan aura komiknya.


13. Film animasi kesukaan 

Saya enggak akan jawab film-film Pixar seperti serial Toy Story, Zootopia, Ratatouille, Up, Inside Out, dst. Itu sudah terlalu biasa, Sayangku. Saya dengan berani akan membusungkan dada sembari menjawab keras-keras: Friends (2011) 



Saya waktu itu menonton filmnya di televisi. Tanpa perlu harus menonton ulang filmnya, saya masih ingat dan bakal berani bertaruh kalau air mata saya akan menetes ketika disodorkan cerita semantap itu. Sebuah pulau monster yang takut dirusak oleh manusia, pada suatu hari justru kedatangan seorang manusia, tepatnya bocah. Beberapa monster takut dengan anak itu karena mereka berpikir kelak akan menimbulkan bencana. Mereka berniat ingin melenyapkannya. Anak kecil yang tidak memiliki dosa apakah pantas dibunuh? Syukurlah di pulau itu ada juga monster yang memiliki sisi baik. Walaupun ini rada mengingatkan saya pada film Monster, Inc., saya tetap lebih cocok sama Friends


14. Film pertama yang ditonton di bioskop 

Sumpah, saya sudah lupa dan kemampuan menggali memori ini terlalu payah untuk menentukan keakuratannya. Saya sebetulnya masih ingat dengan jelas pertama kali pergi ke bioskop itu zaman SMP buat menonton film horor, tapi saya tak tahu percis film yang mana. Apakah itu Pocong (entah seri yang mana), Kuntilanak (ini juga ada serinya), atau Terowongan Casablanca? Bisa jadi di antara ketiga itu ada yang benar. Tapi, takutnya ingatan saya ini justru berkhianat sebab cuma nonton di DVD rumah teman bareng-bareng, sehingga dulu terasa seperti lagi di bioskop. 

Daripada pertanyaan ini tak terjawab, lebih baik saya menyuguhkan jawaban yang lebih pasti saat saya ke bioskop sewaktu baru lulus SMK tahun 2012. Saya tentu masih ingat, bahkan saya juga menyimpan karcis masuknya.



Saya menonton Perahu Kertas bersama pacar dan seorang kawan—yang juga mengajak pacarnya. Kami bisa dibilang lagi double date. Di antara kami, hanya saya yang tahu tentang Perahu Kertas lantaran pernah membaca novelnya. Kalau teman saya katanya ingin menonton film itu supaya bisa melihat kecantikan Maudy Ayunda. Saya akui, dulu saya juga sempat menggemari sosoknya. Tapi setelah menyaksikan film ini dan kecewa sebab Maudy tidak cocok memerankan Kugy, saya mendadak jengkel terhadapnya. 


15. Film terbaik yang ditonton tahun lalu 

Jika saya menjawab Avengers: Infinity War, apakah terlalu biasa? Sejujurnya, pada 2018 saya jarang banget main ke bioskop. Sekalinya datang ke sana, pasti film yang saya pilih adalah pahlawan super, khususnya keluaran Marvel. Film Avengers: Infinity War jelas termasuk favorit saya dan amat berkesan pada tahun itu. Tapi begitu saya ingat film Marvel lainnya, Ant-Man and the Wasp, saya pikir film itu memiliki nilai lebih di hati saya. Lebih-lebih saya juga sempat menorehkan kenangannya di tulisan: Hari Senin, Bioskop, dan Film Semut


16. Aktor favorit 

Tadinya di kepala saya sudah muncul dua nama: Leonardo DiCaprio dan Keanu Reeves. Saya bingung harus memilih siapa di antara mereka berdua. Lucunya, saya tiba-tiba mengingat perjuangan Christian Bale di film The Machinist (2004) yang rela jadi kurus banget, lalu berubah kekar lagi di Batman Begins (2005), entah kenapa saya langsung berubah pikiran dan jadi memilihnya. Apalagi sejauh ini saya paling suka Bruce Wayne versi Bale. Saya juga menyukai perannya di film The Prestige (2006). 



17. Aktris favorit 

Saya sempat malas berpikir jauh-jauh dan spontan ingin menjawab pasangannya Christian Bale di film The Dark Knight Rises (2012), siapa lagi kalau bukan Anne Hathaway—sang pemeran Cat Woman? Di film itu gaya dia asyik banget. Ditambah lagi Mbak Anne wajahnya juga awet muda banget, ya Allah. Siapa sih yang enggak pengin mengidolakannya? Mungkin ada, tapi palingan jumlahnya hanya sedikit (oke, saya sok tahu). 

Namun, seperti yang sudah saya tulis di jawaban nomor 9, aktris idola saya tentu saja Mary Elizabeth Winstead.




Wendy, protagonis dalam film Final Destination 3 yang saya tonton saat SMP, bisa dibilang merupakan seseorang yang membuat saya mengerti lebih jauh apa itu perasaan suka. Secara tak langsung dia mungkin cinta pertama saya—bolehkan jatuh cinta lewat pandangan pertama di layar kaca? Jika pernyataan maupun pertanyaan barusan tampak aneh, anggaplah itu pertama kalinya saya sangat mengidolakan seorang tokoh. 

Paras Wendy mempunyai pesona yang sulit untuk ditolak. Saya ingin terus memandanginya berlama-lama. Tapi karena saya saat itu belum terlalu akrab dengan internet, saya tak punya inisiatif untuk mencari tahunya lebih lanjut. Setiap kali ke warnet pikiran saya cuma buat main online games.

Hingga suatu hari saya kembali melihatnya di televisi, tepatnya di film Sky High. Saya awalnya tidak sadar dengan Gwen—antagonis yang menyamar dalam film itu—ternyata orang yang sama dengan tokoh Wendy. Di Sky High, dia jelas lebih muda dan aduhai. Mendadak terbit sebuah gagasan: saya pengin punya pacar seperti dia (kenapa saya dulu enggak tahu diri, ya?). 

Beberapa tahun setelah hari itu, saya lulus SMK dan menonton film Scott Pilgrim vs. the World. Saya jelas mengenali Ramona Flowers. Dia perempuan yang saya taksir sedari SMP. Dia adalah Wendy dan Gwen. Meski dia semakin tua, pesonanya tetap tidak luntur di mata saya. Menjadi-jadi malah. Akhirnya, saya mulai mencari tahu nama dan usianya: Mary Elizabeth Winstead, lahir tahun 1984. Gawat, saya suka sama perempuan yang usianya terpaut sebelas tahun. 

Namun, hingga hari ini yang ada di kepala saya tentang Mary ialah tiga tokoh fiksi tersebut. Kala dia baru berusia 21, 22, dan 26—berarti dia termasuk seumuran dengan saya hari ini. Kesimpulan dari penjelasan barusan: sepertinya saya hanya mencintai karakter fiksi dari dirinya. Bukan sosok aslinya. Meskipun begitu, saya tetap ingin berterima kasih kepadanya sebab sudah menjadi perempuan yang memikat hati saya. Menghibur lewat perannya di film-film. 


18. Film yang dinilai berlebihan 

Annie Hall (1977). Apa bagusnya film ini, sih? Serius, saya masih bingung. Beberapa orang bilang bahwa idolanya Raditya Dika ini filmnya bagus-bagus, terutama film yang ini. Tapi ketika saya menontonnya, kok malah merasa Woody Allen banyak bacot. Menurut saya, jauh lebih keren monolognya Deadpool. Berhubung saya takut dinilai sok tahu, terus tampak memberikan jawaban bloon, serta belum terlalu paham mengenai film, lebih-lebih baru ini doang film Woody yang saya tonton sampai habis, lebih baik saya ganti saja.

Amazing Spider-Man, khususnya yang kedua (2012 dan 2014). Filmnya tidak seluar biasa judulnya. Andrew Garfield kayak tai. Sok iye. Waktu baru awal-awal tayang, beberapa teman—terutama yang cewek-cewek—bilang film ini bagus banget dan menyuruh saya buru-buru menonton. Kala saya coba tonton, ah, biasa aja. Saya masih lebih sreg sama Spider-Man versi Tobey Maguire. Mungkin karakter Peter Parker yang diperankan oleh Andrew ini menawarkan kebaruan dan kesegaran dengan aksi tengilnya. Tapi itu cuma awalnya saja. Setelah di film kedua, buat saya dia enggak banget. Plotnya terasa kurang seru. Apalagi musuh-musuhnya juga kelihatan terlalu payah. Karakter musuhnya enggak ada satu pun yang terasa kuat. Berbeda sekali dengan Green Goblin di Spider-Man, lalu Doctor Octavius di Spider-Man 2, dan Sandman di Spider-Man 3. Mereka semua memiliki tempat di hati saya. Satu-satunya bagian yang saya sukai dari film Amazing Spider-Man 2 palingan saat detik-detik tewasnya Gwen Stacy (Emma Stone). 


19. Film yang diremehkan 

SLC Punk (1998). Dari semua kawan, baru Son Agia yang tahu film ini dan bahkan jadi favoritnya, lalu merekomendasikannya kepada saya. Filmnya sudah sempat saya jelaskan di tulisan tontonan ciamik. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, ini rasanya bukan jawaban diri sendiri. Baiklah, saya memilih versi saya: Wind River (2017).

Waktu itu, saya cuma iseng mencari tahu apa saja filmnya Elizabeth Olsen karena mulai naksir dia sehabis mengikuti sepak terjangnya di Marvel Cinematic Universe. Setelah dikecewakan oleh Oldboy versi remake (mending enggak perlu dibikin ulang, jelek banget, saya cuma sedikit terhibur karena bisa melihat Olsen telanjang), saya mencoba mengobati kekecewaan dengan memilih Wind River tanpa mencari tahu lebih lanjut atau membaca ulasan tentangnya.

Bagaimana kalau Hawkeye (Jeremy Renner) dan Scarlet Witch dipertemukan ke dalam cerita lain? Apa yang bisa mereka lakukan di kota bersalju ketika ditugaskan untuk mencari tahu pelaku kejahatan tanpa harus menggunakan kekuatan supernya sebagaimana mereka di serial Marvel? 

Penampilan mereka tetaplah memukau buat saya. Tempo filmnya mungkin rada lambat, tapi tetap asyik mengikuti alur demi alur untuk mengungkap siapa pelaku kejahatan atas suatu tragedi kematian seorang gadis saat badai salju.

Saya pun suka kutipan menjelang akhir filmnya: “Luck don’t live out here. Luck lives in the city. It don’t live out here. Out here, you survive or you surrender. Period. That’s determined by your strength and by your spirit. Wolves don’t kill unlucky deer. They kill the weak ones.” 


20. Karakter favorit di sebuah film 

Sampai sejauh ini kayaknya masih Joker dari film The Dark Knight (2008). Joker mengajarkan saya untuk menjadi manusia yang berkelas atau punya nilai jual lewat kutipannya, “If you’re good at something, never do it for free.” Misalnya, jika kamu bagus dalam melakukan sesuatu hal, terus diminta tolong sama kawanmu, apakah kamu rela dibayar gratis atas waktumu yang sudah terpakai itu? Anggaplah kemampuanmu itu di bidang desain. Mungkin ini juga bakal kelihatan pamrih, tapi kalau dia enggak memberikan imbalan sepeser pun dan banyak protesnya, kan rasanya anjing banget.

Joker seolah-olah memberikan petuah: jangan mau dimanfaatkan seenaknya sama orang lain, lebih-lebih teman sendiri yang tak tahu diuntung. Katanya kawan baik, kok minta harga teman? Atau lebih parah dari itu, minta gratisan. Sekalinya bersedia membayar, dia sanggupnya bayar pakai eksposur. Ayolah, coba hargai para seniman yang mencari uang di bidang kreatif, khususnya yang pekerja lepas dan penghasilannya tidak menentu. Bayar mereka dengan harga yang pantas apa salahnya, sih? Jika emang mau kasih eksposur sekalian mengiklankan, seharusnya itu menjadi bonus karena kamu puas dengan hasil karyanya. Bukan malah jadi alat pembayaran utama.

Lalu saya juga menyukai perkataan, Why so serious? Mantra dari Joker ini telah berulang kali menyelamatkan hidup saya yang sungguh bedebah. Apa kamu pernah merasa kalau kehidupanmu itu sering dipenuhi akan kesialan dan kegagalan yang seakan-akan tiada habisnya? Saya pernah beberapa kali merasa begitu. Kemudian saya merenung, mungkin saja Tuhan lagi mengajak saya bercanda. Tertawakan saja masalahmu itu, Yog. Meskipun kamu merasa enggak taat-taat amat beribadah, siapa tahu kelak di akhirat bakalan dikasih hadiah surga. Hahaha. Nanti bisa asyik-asyik sama 72 bidadari kalau kata para ustaz. Oke, itu saya bercanda. Seenggaknya saya jadi teringat sama salah satu ayat di Alquran yang mengatakan, “Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.”

--

Nukilan dari kitab Alquran itu saya ambil dari surah Al-'Ankabut ayat 64.

Sumber gambar:

aoicorner.blogspot.com

https://pixabay.com/photos/night-camera-photographer-photo-1927265/

2 Comments

  1. Ahaha, akhirnya ada juga yang setuju kalau Spiderman versinya Andrew Garfield itu sampah. Wkwkwk.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Lu kayaknya senang betul, Man. Sampai-sampai ketawa di awal dan akhir kalimat. XD

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.