Meski Dibenci oleh Kehidupan Itu Sendiri, Kau Tetap Bisa Mencintainya

“Jangan katakan kau ingin mati.”

“Jangan menyerah pada hidup.” 

Meskipun berbicara hal yang benar, betapa tololnya lagu dengan lirik seperti itu. Sesungguhnya, aku tidak keberatan jika diriku sendiri yang mati. Tapi, aku bakal sedih kalau orang di sekitarku yang mati.

“Aku tak mau itu terjadi,” yang bilang begitu adalah ego. 

Peduli setan dengan hidup orang lain. Membenci seseorang telah menjadi fesyen. Walaupun begitu, kau malah mengatakan, “Mari hidup damai.” Indah sekali, bukan? 

Seseorang tewas di layar yang sedang kaulihat. Lalu seorang yang lain meratapinya dan menyanyikan sebuah lagu. Seorang anak terpengaruh dan berlari sambil menggenggam sebilah pisau. 

Kita dibenci oleh kehidupan itu sendiri. Kita memaksakan nilai dan ego. Dengan mudahnya kita menyebarkan lagu tentang kematian. Kita dengan entengnya mengucapkan ingin mati. Dengan gampangnya meremehkan kehidupan. 



Karena tak punya uang, dalam seharian ini aku pun bermalas-malasan sembari menyanyikan lagu-lagu seperti orang bodoh. Tanpa dapat menemukan arti hidup, aku bernapas dengan kesadaran akan hidupku yang sia-sia. Bolehkah aku mengekspresikan luka ini dengan sepatah kata, “Aku kesepian”? Dengan pikiran angkuh seperti itu, hari ini pun aku terlelap sendirian di kasur. 

Kita yang dulu anak-anak, suatu hari akan tumbuh menjadi remaja. Kita menjadi tua dan suatu hari nanti membusuk tanpa diketahui oleh siapa pun seperti dedaunan layu. Aku mengkhayal tentang situasi fiksi ilmiah. Di mana kita bisa memperoleh tubuh yang abadi dan hidup selamanya tanpa harus mengalami kematian.


Aku tidak keberatan jika diriku sendiri yang mati, tapi aku ingin orang-orang di sekitarku hidup. Hidup dengan membawa kontradiksi semacam itu, aku kira bakal ada yang meneriakiku: 

“Jika tak ingin mati, teruslah hidup.” 

Jika kau menjadi sedih, jika kau tidak keberatan dengan hal itu, teruslah tertawa sendirian. 

Kita dibenci oleh kehidupan itu sendiri. Kita bahkan tidak mengerti apa artinya bahagia. Kita membenci asal-usul kelahiran kita, kemudian dengan mudahnya mengutuk masa lalu. Kita dibenci oleh kehidupan itu sendiri. Kita terlalu sering berkata selamat tinggal, tanpa kita mengerti arti perpisahan sesungguhnya. Kita dibenci oleh kehidupan itu sendiri. 

Kebahagiaan, perpisahan, cinta, dan persahabatan. Semuanya bisa dibeli dengan uang dalam suatu lelucon atau mimpi yang lucu. Besok mungkin aku akan mati. Segalanya mungkin akan jadi sia-sia. Entah pagi ataupun malam, musim semi ataupun musim gugur, di suatu tempat seseorang menutup usianya. 

Impian-impian ataupun hari esok, semua itu tak perlu lagi. Asal kamu tetap hidup, itu sudah cukup bagiku. Ah, itu. Sebetulnya itulah yang ingin aku nyanyikan. 

Kita dibenci oleh kehidupan itu sendiri. Pada akhirnya kita akan mati. Aku dan kamu kelak akan membusuk seperti dedaunan yang layu. Meskipun begitu, kita hidup dengan sekuat tenaga. Kita memeluk kehidupan dan terus hidup sekuat mungkin. Membunuh, berjuang, tertawa, memikul semuanya. 

Hiduplah, hiduplah, hiduplah, hiduplah!




Pada akhir Juni kau rutin memutar musik-musik Jepang secara acak di Youtube selama dua jam lebih. Kau bermaksud menghabiskan sisa kuotamu yang masih tersisa 3 GB karena masa berlakunya akan habis dalam tiga hari ke depan. Kau sebetulnya bukan tipe orang yang perhitungan, tapi entah kenapa kau merasa mubazir jika paket data itu tidak dipakai hingga angka penghabisan. Di antara semua musik Jepang yang kaudengarkan (Minami, Mono, Sayuri, Scandal, Toe, Yui), kau menemukan Hate by Life Itself oleh Hatsune Miku. Kau menyukai irama lagunya. 

Kemudian lagu yang sama terputar kembali. Kau pun bermaksud untuk menekan tombol “selanjutnya”. Tapi sebelum itu terjadi, kau menyadari bahwa suara penyanyinya berbeda. Kau membatalkan niatmu. Kau mendadak ketagihan mendengarkan suaranya. Telingamu juga lebih sreg dengan versi kedua ketimbang yang tadi. Kau langsung melihat namanya: Mafumafu. Namanya sangatlah asing bagimu. 

Kau memutar ulang lagu tersebut. Kini, kau bermaksud mendengarkan lagu itu sembari membaca liriknya dalam terjemahan bahasa Inggris. Kau tak menyangka musik yang menurutmu menyenangkan itu memiliki lirik yang menyedihkan, bahkan depresif. Bukannya berhenti, kau menyetel lagi lagu itu hingga empat kali. Kau akhir-akhir ini memang menggemari tema kesedihan. Kala itu juga kau tiba-tiba jadi ingin memeluk vokalisnya, lalu berbagi penderitaan.

Kau lantas membayangkan pemilik suara cantik ini pasti perempuan berwajah menggemaskan. Kau penasaran dan mencoba menelusuri tentang dirinya di Google. Tidak ada satu pun yang foto asli. Semuanya berwujud animasi. Kau juga sempat heran, kenapa semua gambar kartun itu bersosok laki-laki? Apakah Mafumafu itu seorang cowok? Ah, tidak mungkin. Bunyi vokal yang kaudengar tadi itu jelas suara cewek. 

Kau lalu pindah ke kanal Youtube miliknya. Kau mengeklik video yang bukan musik. Tampak seseorang berambut putih mengenakan masker. Tanpa perlu melihatnya secara jeli, kau tahu dia seorang pria. Ini terbukti karena tak ada getaran sama sekali di hatimu sebagaimana kau memperhatikan perempuan—sekalipun itu perempuan yang kurang elok dipandang. Kau pun merinding. Tanda bahwa alam bawah sadarmu langsung bekerja untuk menolak. Menunjukkan dirimu masih normal seratus persen.

Kau membatin, jadi ini betulan laki-laki yang nyanyi? Kau langsung istigfar sebanyak tiga kali. Ini mengingatkanmu akan persoalan salah seorang kawanmu. Ketika pertama kali mendengarkan lagu Sleeping with Sirens – Roger Rabbit, dia menyangka vokalisnya adalah seorang perempuan. Kau akhirnya sadar, beberapa penyanyi cowok memang suaranya ada yang mirip cewek. Selain itu, kau teringat pula terhadap kasus penulis bernama Tere Liye yang mulanya kautebak ialah mbak-mbak manis usia dua puluhan, tapi belakangan diketahui rupanya bapak-bapak songong. Setelahnya, kau mentertawakan ketololanmu sendiri. 

Namun biar bagaimanapun, akhirnya kau tidak peduli lagi dengan kekecewaaan semacam itu. Kau sudah telanjur memfavoritkan lagunya. Lebih-lebih kau sampai repot-repot mengalihbahasakan lirik lagu itu dengan versimu sendiri, padahal jelas-jelas sudah tersedia terjemahannya dalam bahasa Indonesia di internet. Lalu yang lebih penting dari itu semua, kau mulai menghargai hidupmu belakangan ini. Biarpun kau paham bahwa kehidupanmu kerap terasa memble, tapi kau tidak ingin lagi mengucapkan ataupun berpikiran untuk mati muda. Tentu lagu itu tidak langsung menggeser cara pandangmu. Kejadian berikut inilah yang paling berpengaruh mengenai perubahan di dalam dirimu. 


Seminggu yang lalu, tepatnya pukul satu siang, kau datang ke rumah sakit untuk menggantikan tugas ayahmu (yang mesti berangkat bekerja), yakni menemani adikmu yang sedang menjalani pemeriksaan. Sehari sebelum itu, ibumu yang hadir menyertai adikmu. Kali ini beliau sedang repot, sehingga hanya kaulah yang bisa diandalkan. Toh, saat itu kau juga sedang tidak ada pekerjaan lepas. 

“Tadi kata Ayah tesmu itu positif TBC, betul?” tanyamu begitu kau menemui adikmu di rumah sakit. 

Adikmu mengangguk. “TBC tingkat dua.” 

“Terus, ini kau lagi nunggu apa lagi? Menebus obatnya?” 

“Bukan, tebus obat mah nanti. Ini lagi disuruh tes HIV juga.” 

Kau terkejut. Adikmu pun bilang, dokternya lagian ada-ada saja. Mentang-mentang badan kurus, seenaknya dianggap HIV. Kau refleks tertawa. Adikmu lalu mengulang pertanyaan-pertanyaan dokter yang memeriksanya tadi. 

“Kamu pernah berhubungan seks?” 

“Kamu pernah pakai narkoba?” 

“Kamu pernah ditato?” 

Kau tertawa lagi, tentunya lebih keras. 

“Tolol banget kan, Mas,” ujar adikmu. “Aku aja belum pernah ngewe.” 

Kau kemudian menakut-nakutinya, bagaimana kalau nanti diagnosisnya dokter itu benar? Hasil tes lab menunjukkan positif HIV. 

“Amit-amit, ya Allah.” 

Ada rasa tidak enak di hatimu setelah berkelakar semacam itu. Beberapa minggu sebelumnya, kau juga sempat bercanda mengenai kesehatan—bahkan kematian—adikmu. Saat itu dia sedang menghitung hari dari sekitar puasa hingga sekarang. Dia menyebut angka empat puluh satu. 

“Kau lagi menghitung hari tanda-tanda mau meninggal, ya?” katamu. Kau teringat sebuah artikel yang pernah kaubaca tentang 40 hari tanda-tanda kematian seseorang. 

“Bukan, bego. Ini aku batuk udah lebih dari sebulan belum sembuh juga. Aku takut kenapa-kenapa dah, Mas.” 

“Kalau batuk enggak sembuh-sembuh biasanya paru-paru, kan? Periksa sana.” 

“Aduh, aku takut periksa. Mahal juga pasti biayanya.” 

Adikmu baru lulus SMA setahun silam dan belum memiliki pekerjaan tetap. Selama ini dia mendapatkan uang dari menjual barang-barang miliknya sendiri—yang baru dipakai sebentar—seperti baju, jaket, topi, dan sepatu. Produk-produk itu harganya kisaran 300 ribu sampai sejuta. 

Ketika kau mengomentari kelakuannya yang menurutmu tolol itu, dia menjawab: aku emang sengaja memutar uang kayak gitu. Yang penting, kan, udah merasakan maupun berfoto pakai barangnya. 

Kau mengejeknya lagi, kali ini cukup di dalam hati. 

Singkat cerita, adikmu juga mengeluhkan persoalan batuknya itu kepada kedua orang tua kalian. Respons orang tuamu pun sama sepertimu, yaitu menyuruh adikmu datang ke dokter buat diperiksa atau ronsen. Ayahmu menyebutkan gejala penyakit paru-paru selain batuk yang tak kunjung sembuh, misalnya, tubuh terasa lemah, berat badan menurun, demam, serta tubuh berkeringat berlebihan pada malam hari. 

“Lah, aku kayak gitu, Yah,” kata adikmu. “Aku betulan kena sakit paru-paru nih.” 

Kedua orang tuamu lantas memarahinya, makanya jangan merokok dan begadang lagi. 

“Aku udah lama berhenti merokok. Aku juga udah tidur teratur.” 

Orang tuamu berkata sudah terlambat kalau baru memperbaiki pola hidup sehat ketika telanjur sakit begini. Kemarin-kemarin ke mana saja? 

“Mag belum sembuh, sekarang malah paru-paru,” kata adikmu sembari mengusap-usap badannya sendiri. 

Kau pun berkata, “Mag, paru-paru, jantung, ginjal, usus—“ 

“Apaan sih, Mas?” 

“Aku cuma lagi menyebutkan organ dalam tubuh.” 

“Enggak lucu!” 

Kau cekikikan setelahnya. 


Mengingat semua peristiwa itu, kau kini mengutuk segala leluconmu mengenai penyakit. Kau mungkin memang tidak takut lagi akan kematian. Tapi kau tahu, kau tak mau orang-orang di sekitarmu kenapa-kenapa. Kau tidak ingin melihat mereka pergi mendahuluimu. Apalagi kau tak ingin kehilangan adikmu lagi—seperti yang terjadi pada adik bungsumu sekitar enam tahun lalu. Kau memandangi wajah adikmu. Kau mendoakan dia segera sembuh dan berumur panjang. Kau mengalihkan rasa sedihmu dengan membaca buku kumpulan cerpen A. S. Laksana, Murjangkung, yang sengaja kaubawa dari rumah. 

Dua puluh menit kemudian seseorang memanggil nama adikmu menggunakan pengeras suara. Adikmu langsung bangkit dan berjalan ke lab. Satu menit berselang, dia kembali membawa selembar kertas yang terlipat. Saat dibuka hasil tesnya negatif. Kau bersyukur. 

“Tuh, kan, betul. Aku enggak HIV,” kata adikmu. “Dokternya sok tau, sih.” 

“Habis ini kita ke mana?” 

“Nebus obat.”

Kau lalu mengekor adikmu yang bergegas menuju poli paru. Sesampainya di sana, adikmu langsung disambut dengan ceramah si dokter mengenai TBC dan obatnya. Kau ikut mendengarkan semua perkataan dokternya dengan saksama. Minimal pengobatan TBC ialah selama enam bulan penuh. Tidak boleh ada satu hari pun absen dalam meminum obatnya. Jika teledor, mau tak mau mesti mengulanginya lagi dari awal. Sebaiknya minum obatnya pada pagi hari begitu terbangun dari tidur, sebelum makan apa-apa. Seandainya lupa meminum obat dan sudah telanjur makan, pasien kudu menunggu selama dua jam, setelah itu baru boleh minum obat.

Begitu penjelasan tentang obat itu kelar, dokter menyerahkan obat TBC tersebut untuk waktu seminggu kepada adikmu. Katanya, pengobatan ini mesti bertahap. Dokter tidak bisa langsung memberikan obatnya sekaligus. Dia perlu mengecek kondisi si pasien lagi supaya bisa menyesuaikan dosisnya. Minggu depan adikmu mesti datang periksa lagi. Setelahnya, kalian mengucapkan terima kasih, pamit, dan segera pulang ke rumah.

Itu adalah pertama kalinya kau betah selama berada di rumah sakit. Kalau tak salah hitung, waktunya sudah mencapai dua jam lebih sejak pertama kali kau menginjakkan kaki di sini. Biasanya, kau hanya kuat 10-30 menit. Itu pun sangat terpaksa sebab kau harus menjenguk keluarga atau kerabat atau pacar atau teman. Kau termasuk orang yang jarang sakit. Sekalipun suatu hari ada penyakit yang menyerangmu, kau ingin sembuh dengan sendirinya tanpa bantuan dokter, kecuali ada hal darurat atau penyakit sudah gawat. Syukurnya, penyakitmu memang tak pernah parah. Hanya sebatas batuk, pilek, dan radang tenggorokan. Mentok-mentok kecapekan dan masuk angin. Kau selalu berdoa supaya terhindar dari rumah sakit. Kau pun selalu berusaha menjaga kesehatan. Kau berupaya olahraga rutin minimal seminggu sekali dengan berlari atau joging.

Bisa dibilang kau adalah pembenci rumah sakit; baik itu warna cat temboknya, aromanya, seragam putih dokter, seprai tak bermotif, selimut bergaris, televisi tanpa suara, makanan hambar, suhu ruangan, bunyi berderit roda tempat tidur yang didorong, wajah lesu para pasien—segalanya. Hanya rasa sayangmu terhadap adikmu sepertinya yang dapat memudarkan rasa benci itu. 

Berbicara soal benci, mungkin kau memang dibenci oleh kehidupan itu sendiri—sebagaimana judul lagu pada awal tulisan yang kau terjemahkan. Tiga tahun silam kau pernah depresi berat hingga merasa tak punya tujuan hidup lagi. Meskipun begitu, kau tak ingin bunuh diri. Kau takut menggantung dirimu. Kau takut saat menggenggam sebilah pisau. Kau takut menenggak racun. Toh, mati dengan cara seperti itu bakalan merepotkan orang lain. Kau tak mau membebani siapa pun. Kau cuma dapat berpikir begini setiap menjelang tidur: kau pengin malam itu tertidur dengan nyenyak tanpa bangun lagi keesokan harinya. 

Namun, kau masih hidup sampai sekarang. Depresimu pada hari itu perlahan-lahan membaik hingga sembuh. Kau pun menjalani kehidupanmu lagi. Mungkin depresi telah menghantam hidupmu lagi beberapa kali, tapi kau kini tentu lebih kuat. Beban yang seolah-olah sedang memikul neraka di pundak itu sudah tak seberat dulu. Kini bobotnya terasa jauh lebih ringan. 

Biarpun sudah berusaha semaksimal mungkin, kenyataan tidak berjalan sebaik yang kauharapkan. Ada saja masalah-masalah dalam hidup setiap harinya. Kau sesekali juga masih memikirkan untuk mati muda ketika lagi capek-capeknya sama hidup. Kenapa hidup sebegini bobroknya? 

Sampai akhirnya kau dijotos oleh keadaan adikmu. Kau sedih akan hal itu. Selama ini Allah telah menyuguhkanmu kesehatan. Kau masih diberikan napas untuk menikmati hidup. Adakah rezeki yang lebih baik daripada itu? Pertanyaan itu kaujawab dengan tetesan air mata. Kau jelas mengerti bahwa sehat itu mahal. Apa gunanya punya banyak uang kalau harus berkawan dengan penyakit? Selama ini mungkin kau sering kekurangan uang, tapi kau alhamdulillah sehat-sehat saja. Kau berusaha agar tidak memforsir tubuhmu buat bekerja melebihi batas. Kau membatalkan niatmu untuk buru-buru mati. Kau ingin tetap hidup. Kau pengin kembali bekerja tetap, lalu mencari uang lebih banyak buat pengobatan adikmu, dan tentunya juga untuk kebutuhan dirimu sendiri ataupun tabungan masa depan. Kau ingin membahagiakan orang tuamu. Kau mau merasakan jatuh cinta lagi. Kau pengin membaca novel dan komik bagus lebih banyak lagi. Kau ingin menonton sekaligus menamatkan banyak film dan anime yang asyik. Kau mau menyelesaikan dan menerbitkan buku kumpulan ceritamu. Kau ingin.... 

Intinya, kau membuat konklusi bahwa kau benar-benar masih ingin menjalani kehidupanmu dan, meminjam lirik lagu Fateh garapan Morgue Vanguard x Still, berjanji pada Tuhan untuk menyelesaikan hidup tanpa penyesalan. Kau takkan berhenti meski lapar mengetam. Hingga udara yang kauhirup mengantar pesan sederhana tentang hidup yang menolak padam.

24 Comments

  1. Lu mah selalu, kalo nulis maknanya dalem banget. Kalo bikin novel pasti panjang banget deh.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Gue lebih tertarik nulis cerpen daripada novel, sih. Atau dengan kata lain: belum mampu menggarap novel.

      Delete
    2. Tapi cerpen anda ni panjang sekaliii orang mengira ini artikel republika!

      Delete
    3. Duo Murakami--Haruki dan Ryu, Kawabata, Budi Darma, Eka Kurniawan (yang Cinta Tak Ada Mati) cerpen-cerpennya juga sepanjang ini, kok. Bahkan bisa lebih.

      Delete
  2. Ho'oh bener banget
    Always dalemmmm

    It's okay laah, genre blog masing masing keles ribet aja si Om Riza kwkwkwkw

    Aku suka deh cerpen cerpen begini
    Semacam apa ya, semacam novel metropop tapi versi cerpen

    Narasinya enak

    Enggak banyak bunga-bunga majas
    Enggak halu
    Enggak sok sastrawan

    Tapi pesannya dapet
    Aku jadi semangat hidup lagi deh, hehe

    Salah satu dokter terkenal di twitter pernah bilang "letakkan tanganmu di dada kiri. rasakan. itu adalah sistem dari jutaan sel hidup yang mendukung dan menyemangatimu untuk menjalani hidup. Lalu kenapa kamu menyerah?"

    Btw ini nama tokohnya siapa dan siapa dan siapaaaaa

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih apresiasinya, Ul. Saya cuma berusaha memakai kalimat yang mudah dimengerti. Mungkin kalimat berbunga-bunga juga bukan gaya saya.

      Saya payah dalam memilih nama tokoh, jadi biarkan anonim.

      Delete
    2. Gw justru salut tau Ul sama Yoga ini. Bisa nulis sesuatu dengan pilihan kata yang dalam. Lah gw, baru nengok aja udah kaya lagi ngelenong. Semua pada ketawa.

      Delete
  3. Hemmm iyaa, terkadang sering banget menyalahkan diri sendiri karena sesuatu hal. Akhirnya mengutuk diri sendiri dengan kata kata yang buruk, kata kata yang bodoh lah. Lalu setelah itu menyesal tentang apa yang sudah dilakukan, lalu mencari cari kesalahan. Tapi semenjak saat itu jadi sadar dan berusaha untuk selalu bersyukur atas apa yang terjadi dan kembali bangkit, mencari kegiatan, ikut organisasi, mencari hiburan dan sebagainya.

    Berinteraksi dengan orang lain, dari dulu yang sendiri sekarang jadi punya banyak teman, teman jalan, teman duduk, teman bobo dikos :D, teman blogger, teman lainnya.. Terkadang kalau mau memulai ada lah jalan yang terbuka, jalan yang mungkin belum pernah tersentuh, coba dah :D... ada istilah dari Jepang " IKIGAI ", ada tahap-tahapnya. Mungkin bisa menjadi panduan :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. ((teman bobo di kos)) Ngeri~

      Oh, ikigai. Saya pernah baca tentang itu. Siplah. Nanti coba baca lebih lanjut dan mempraktikkannya.

      Delete
  4. Egois memang. Ga papa aku yang mati.
    Mlaah sering terucap kepada dia, udahlah aku aja yang mati duluan.
    Atau ke ibu, nanti yang mati duluan aku ya.
    Nanti mandiin, kafanin aku dengan cantik.

    Ga mau orang-orang lain disekitar yang mati. Padahal untuk mereka, aku adalah orang lain yang kami saling menyayangi.

    Membuat tulisan bersyukur, saya pernah dan sering malah. Seakan diri sendiri sudah menyadari esensi rasa syukur. Iya memang. Tapi pernah juga beberapa kali masih terjungkang secara tidak sadar, tidak sukur.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bagi orang lain, kita-kita ini juga tentu bakal dianggap penting bagi orang di sekitar. Orang tua juga enggak bakalan rela melihat anaknya pergi duluan.

      Meskipun udah sering bikin tulisan buat pengingat, pada akhirnya tetap bakal khilaf lagi jadi orang yang kurang bersyukur.

      Delete
  5. Ga tau kenapq yog, gw suka cerpen lo yang bernada ainisme gini
    Diksinya selalu ngena, kayak lagi ngomel gitu hahahhaha

    Thats why gw menilainya mirip mirip kanal kontemplasi atau cerita parodi kyk yg ada ditulis samuel mulya, biasanya menertawakan kehidupan isinya

    Tapi bagus aku suka

    Btw mengenai mafumafu jujur gw jadi tertarik ni, emang pernah ya nemu suara yg dikira cewe kyut e taunya yang nyanyi cowo tulen wkwkkw

    Klo yg mengenai lu sebutkan sebagai bapak bapak songong, pendapat ini gw sih mengangguk iya, sorry y buat fansnya, soale untuk beberapa quotenya emang iya songong hahahhahah

    ReplyDelete
    Replies
    1. Udah sinis, cerewet pula naratornya. Makasih udah suka, Mbak.

      Hahaha. Cukup sering. Band indie Indonesia juga ada yang begitu. Figura Renata, misalnya. Kalau enggak lihat videonya dan cuma denger suaranya pasti ngira yang nyanyi dua-duanya cewek.

      Wahaha. Status Facebook dia juga sering belagu.

      Delete
  6. masuk blog ini dari blog Aul membaca tulisan di blog ini blog gue receh banget rasanya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Setiap blog punya gaya menulis masing-masing. Santai aja, Bang. Bagi orang lain, mungkin blog ini juga cuma remah-remah.

      Delete
  7. Abis baca tulisan ini, jadi inget sama komentar Syarifatul Adibah di blig gue, tentang cara bersyukur.

    "Harusnya belajar 'menerima' jadi kalo diobati ternyata tidak bisa sembuh ya tidak kecewa karena mampu menerima. :)" - Adibah

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hei, penyakit yang ada di tulisan ini masih ada obatnya, ya! Wqwq. Kalau kesepian, ya jelas cuma bisa dikecoh, ditipu, dialihkan, dicari pelariannya. Beda konteks.

      Delete
  8. Selain adik, mungkin ketakutan terbesar seseorang akan kematian itu misal ditinggal sama orang tuanya. Dan ini yang sering saya alami. :(

    Saya dulu mikirnya si Tere Liye juga perempuan. Oh, ternyata... Tapi kalau masalah quote-quotenya, saya enggak terlalu paham sih. Nggak ngikutin sosial media beliau. Hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kebanyakan orang pasti takut kehilangan orang-orang terdekatnya, Wis, lebih-lebih kalau hilangnya itu karena habisnya usia. Udah enggak bisa ditelepon dan dikirimi pesan, apalagi berharap respons. Cuma bisa doa. :(

      Saya juga enggak mengikuti. Tapi tetep aja di Twitter, Instagram, dan Facebook ada yang SS atau pakai kutipan dia.

      Delete
  9. "Jika kau menjadi sedih, jika kau tidak keberatan dengan hal itu, teruslah tertawa sendirian."

    Kok ini dalem bener yak artinya :v

    ReplyDelete
  10. Kalo gak punya uang jangan bermalas-malasan atuh.
    Jalan justru kebuka di saat itu. *Eh.. lho???

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul, saat lagi krisis-krisisnya justru mata bisa melihat banyak peluang. Tapi itu saya cuma menerjemahkan liriknya, Ran.

      Delete
  11. baca tulisanmu yg ini aku agak pelan2 nih, soalny lumayan panjang dan daleeem :D. tapi baguuus, dan seperti biasa bukan jenis tulisan yg aku baru baca setengah trus bosen.. tulisanmu ga gitu :). Tapi kalo aku disuruh nulis begini, duuuh nyerah Yog. sepertinya mampet duluaaan wkwkwkwk...

    Aku termasuk yg mengira tere liye itu cewe hahahaha... abisnya keduluan ama penyanyi tere, jd menganggan nama tere itu punya cewe:p

    ReplyDelete
    Replies
    1. Apalagi pembukaannya saya segala menerjemahkan lirik.

      Makasih, Mbak, udah bilang bagus. Wahaha. Pelan-pelan kalo gitu nulisnya. Lagian, saya juga enggak bisa langsung jadi kalau bikin cerpen. Pasti diendapkan terlebih dahulu. Terus sunting berulang-ulang kali.

      Iya, kayaknya terpengaruh dia juga kalau nama Tere tuh perempuan.

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.