Berbincang tentang Musik Asyik Bersama Raka Bagoy

Jika tidak sengaja bertemu dengan kawan lama di suatu tempat, kira-kira apa yang akan pertama kali kamu ucapkan? Apakah menanyakan kabarnya (Apa kabar lu? Sehat?), mengomentari fisiknya (Kok lu berubah gendut/kurus gini?), atau memberi pujian terhadap penampilannya (Gila, lama enggak ketemu jadi makin keren nih)? Dari pengalaman saya yang sudah-sudah, pertanyaannya pasti tidak jauh dari hal itu. Mungkin pertanyaan itu cuma basa-basi yang sudah basi.

Belum lama ini, Raka Bagoy, teman masa kecil yang dulu tinggalnya hanya sepuluh langkah dari rumah saya dan kini pindah ke Serpong, berhasil mematahkan stigma itu. Dia justru bertanya, “Kamu lagi seneng dengerin musik apa, Yog?” ketika kami tidak sengaja berjumpa di Stasiun Jurangmangu. Saya awalnya kaget juga ketika bahu ditepuk oleh orang asing dan langsung bertanya begitu. Ini agak menyedihkan memang. Dia bisa langsung mengenali wajah saya, sedangkan saya mengernyitkan dahi sembari berpikir siapa orang ini?

sumber gambar: https://pixabay.com/photos/music-headsets-listening-to-music-3472184/


“Kamu lupa? Aku Raka,” ujarnya. “Temen masa kecilmu dulu.”

“Raka?” tanya saya, seraya berusaha mengingat-ingat semua kawan masa kecil yang jumlahnya bisa dihitung jari.

“Iya, yang dulu ngerusakin mainan Ultraman punyamu. Kepalanya copot karena enggak sengaja aku injek. Terus kamu nangis, dan kamu getok kepalaku pake mainan itu. Akhirnya, aku nangis juga.”

“Ya Allah, Raka. Iya, iya, gue inget. Gue kira tadi tukang hipnotis.”

Kami kemudian tertawa. Entah untuk mentertawakan lelucon saya, atau masa kecil yang konyol itu.


Omong-omong soal kalimat yang pertama kali dia lontarkan saat bertemu itu, mungkin saja ada sebabnya: 1) Dia melihat saya sedang mendengarkan lagu menggunakan earphone; 2) Raka anaknya musik banget sebagaimana sebuah lirik, Cintaku adalah musik, musik adalah hidupku; 3) Dia hipster, atau malah psikopat? (yang gemar bertanya mengenai lagu kesukaan sebelum membunuh calon korbannya. Kalau selera musiknya menurut dia oke, akan dibiarkan hidup. Kalau jelek, ya mending mati aja, Bangsat!)

Saat saya tanyakan dia bisa mengenali saya dari mana, ternyata dia diam-diam membaca blog saya. Jangan-jangan dia betulan psikopat? Raka kembali mengulang pertanyaannya tentang lagu. Saya pun mesti berhati-hati menjawabnya. Tidak ada salahnya berjaga-jaga kalau dia memang psikopat, kan? Saya lalu menyebutkan lagu-lagu yang instrumental atau nyaris tidak ada vokalnya untuk teman menulis seperti Explosions in The Sky, Caspian, Mono, Sigur Ros, dan Toe.

Saya berhasil hidup sampai hari ini. Itu tandanya saya lolos seleksi dari daftar calon korban yang ingin dia bikin koit. Berhubung hari itu kami sama-sama ada urusan, kami hanya sempat mengobrol ala kadarnya. Raka pun meminta kontak saya. Yang dengan bodohnya, saya kasih begitu saja. Sekalipun dia bukan psikopat, barangkali dia agen MLM yang kelak berupaya menawarkan kekayaan dengan mudah dan bisa membeli kapal pesiar. Kita tidak pernah tahu bagaimana kondisi kehidupan kawan yang sudah lama tidak bersua.

Syukurnya, begitu Raka mengontak saya untuk pertama kali, pesannya begini: Kamu tahu band ini, Yog? Kalo belum, coba dengerin deh.




Dia mengirimkan kalimat itu beserta tautan Youtube. Band yang Raka maksud adalah Godspeed You! Black Emperor. Kala saya dengarkan, jenis musiknya mirip-mirip dengan yang saya sebutkan saat menjawab pertanyaan Raka itu. Saya pun menyimpulkan Raka emang penggila musik. Saya jadi ingin mendengarkan lagu-lagu bagus pilihan dia. Kalau perlu, yang video klipnya tidak kalah menarik. Saya pun memintanya untuk merekomendasikan lagu-lagu kesukaannya sekalian buat mengisi blog ini.

“Indonesia atau luar nih, Yog?” tanya Raka di WhatsApp.

“Bebas.”

“Indonesia ajalah, biar aku kelihatan cinta dan dukung produk lokal.”

“Enggak usah menjilat apa, Rak.”

“Hahaha. Ini aku bebas juga mau menyebutkan sebanyak-banyaknya?”

“O iya, kayaknya kurang enak kalau terlalu bebas. Mending ada syaratnya, ya? Ya udah, cukup lima lagu aja; dua lagu populer, dua lagu indie, dan satu lagi lagu yang asyik tapi kebanyakan temen lu mungkin enggak tahu.”

“Sialan, aku udah lama enggak dengerin lagu-lagu pop.”

“Nah, itulah tantangannya.”

“Ganti lagu luar aja kalau gitu, Yog.”

“Enggak boleh. Tadi katanya mau dukung produk lokal?”


Lagu indie


Efek Rumah Kaca – Di Udara

Sebetulnya aku mau pilih Pasar Bisa Diciptakan, tapi lagu itu termasuk belum lama rilisnya. Orang-orang udah banyak yang dengerin ERK. Kalau lagu yang ini udah menempel banget dari zaman aku SMA tahun 2010. Setiap kali membaca atau mendengar frasa menolak lupa, jujur aja nih, aku pasti ingetnya sama Di Udara. Aku enggak akan pernah bisa lupa sama lagu ini. Aku dengar kapan pun dan di mana pun, pokoknya selalu berhasil bikin merinding. Apalagi pas nonton videonya.


Perempuan yang joget-joget ala balerina itu aku interpretasikan seorang penguasa yang menari-nari di atas penderitaan rakyat. Dengan mudahnya pemerintah menghilangkan nyawa para aktivis atau orang-orang yang mencoba melawan ketidakadilan.

Btw, lagu ini kan ode untuk Munir ya, tololnya waktu pertama kali dengerin aku enggak kenal dia siapa dan belum paham maknanya. Anehnya, aku langsung suka banget sama lirik: “Tapi, aku tak pernah mati. Tak akan berhenti.” Aku enggak akan pernah bisa berhenti kagum sama lagu ini.


The Upstairs - Semburat Silang Warna 



Aku ingin langit memerah. Lelehannya menggembirakan

Lagu baru The Upstairs mampu membuat senja yang tiga tahun belakangan ini kuanggap klise dan nonsens—karena terlalu sering dipakai penyair dadakan tai kuda—menjadi magis kembali. 

Firsa yang kata-katanya sering dapat banyak retwit di Twitter semestinya malu sama Jimi Multhazam dan berhenti sok puitis. Dia digandrungi banyak perempuan palingan cuma karena menang tampang. Dalam urusan merangkai diksi, menurutku si Jimi lebih cocok menjadi seorang penyair ketimbang dia. Penggarapan dan konsep video klip lagu ini juga cihuy uhuy. Tema retro itu membuatku bernostalgia dan jadi pengin main DingDong lagi. Visual lagu ini jelas sangat menggembirakan. Backing vocal Rebecca juga memberikan semburat warna tersendiri.



Lagu populer

Iwan Fals feat NOAH -  Yang Terlupakan



Aku lebih suka versi Iwan Fals yang sendirian alias tanpa ada suara Ariel. Tapi setelah melihat video klipnya, kok terasa dalam dan menyentuh banget. Iwan Fals melihat sosok dirinya ketika muda. Bang Iwan di situ mengepalkan tangan seakan-akan ingin menghantam masa lalunya yang mungkin pernah kelam. Di video itu dia bertemu dan menggendong anaknya, Galang Rambu Anarki, yang meninggal di usia muda. Tiba-tiba dadaku kayak ditikam. Apalagi sewaktu momen Ariel di kasur. Dia mencoba berdamai dan memaafkan dirinya karena melakukan skandalnya yang tersebar luas itu. Paling kena di bagian lirik: waktu aku tertawa, kala memberimu dosa.

Dilanjutkan pula sama ini:

Rasa sesal di dasar hati, diam tak mau pergi. Haruskah aku lari dari kenyataan ini? Pernah ku mencoba tuk sembunyi, tapi senyummu tetap mengikuti.

Anjinglah, Bang Iwan bisa-bisanya menyusun larik sebajingan itu. Dia seolah-olah mengingatkan kita, bahwa enggak bisa menghindari kenyataan. Sejauh apa pun kita lari, lalu ngumpet, pasti realita akan terus mengejar dan menemukan kita. Berat banget mesti bertanggung jawab sama apa yang udah kita perbuat, ya. Syukur aja aku enggak pernah neko-neko.


Ada Band - Manusia Bodoh



Tolong, jangan ketawa. Lagu ini sentimental banget buat aku soalnya. Aku juga pernah ada pengalaman kayak kamu, Yog, diselingkuhin cewek. Tai bangetlah masa-masa itu. Pacaran dua setengah tahun dari SMA, beberapa kali kami putus nyambung. Janji enggak akan pernah ninggalin. Ujung-ujungnya dia pilih temen kuliahnya yang bermobil.

Yang lebih sakit lagi, sih, pas pertama kali mergokin dia di mobil sama cowok lain itu. Aku kan sempet kerja jadi penjaga parkir di mal tuh. Pas aku lagi nunggu karcisnya, si cowok bilang, “Yang, tadi karcisnya kamu taro mana?” Ketika ceweknya nengok dan ngasih karcis itu ke si cowok, ternyata aku kenal dia. Itu pacarku. Kami masih pacaran padahal statusnya, belum putus. Enggak lagi berantem apa-apa juga. Kenapa dia malah main serong? Setan. 

Lucunya, aku dan dia sama-sama sepakat untuk pura-pura enggak kenal. Aku, sih, emang malas melibatkan urusan hati di lingkungan kerja. Aku mesti profesional. Pulang kerja, barulah aku ajak dia ketemu dan kami putus malam itu. Aku emang udah enggak butuh penjelasan apa-apa lagi darinya. Tau apa yang bikin gondok? Dia enggak berusaha menjelaskan sesuatu atau merasa bersalah sedikit pun.

Tai, kenapa aku jadi curhat gini. 

Intinya, lirik “Kau belahan jiwa, tega menari indah di atas tangisanku” bisa dibilang betul-betul menggambarkan suasanaku pada momen itu. Akulah sang manusia bodoh itu. Walaupun aku muak pas denger bagian ini, “Semua kisah pasti ada akhir yang harus dilalui, begitu juga akhir kisah ini. Yakinku indah.”

Aku mendadak pengin protes, indah apanya, Bangsat? Namun setelah putus dari dia, lama-lama aku merasa hidupku lebih indah. Bersyukur bisa ketemu pacar yang lebih baik, ya meskipun sekarang udah putus juga, sih. Aduh, kelepasan curhat lagi. Terus, di video klip itu kan si cowoknya jadi badut. Analogi badut yang jadi bahan tertawaan dunia (dalam konteks ini, menjadi korban perselingkuhan) itu cocok. Sejak hari itu, aku entah kenapa benci sama badut.


Lagu yang kurang naik ke permukaan

Jirapah - Crowns

Ini tahunya masih lumayan baru ketika aku lagi baca artikel di Vice dua tahunan lalu. Mulanya, aku udah pernah dapet rekomendasi band itu dari temen kuliahku. Di kelasku ada satu anak yang wawasan musiknya bajingan anjing alias berkelas. Di kelas kayaknya cuma kami berdua yang manusia, sisanya alien tolol. Eh, aku malah bisa-bisanya salah denger. ”Rak, pernah denger band Jerapah?”

Waktu aku tanya kenapa, dia bilang lagunya asyik-asyik. Mungkin aku bakal suka. Pas aku sampai rumah dan berselancar di internet, kagak ketemu apa-apa. Sekalinya nemu, malah kumpulan anak bocah dan lagunya bikin mual. Pantes aja, aku salah denger nama. Mana aku nyaris menghina selera temenku yang tadinya istimewa itu berubah bobrok. Syukur, aku sempet menahan diri sebelum asal bacot.



Terus terang aja, aku pernah punya pikiran untuk enggak mau nikah karena terlalu sering gagal di percintaan. Aku setiap kali pacaran, meski enggak pengin serius-serius amat yang kaku gitu, tapi untuk urusan ke arah nikah, ya kagak bakalan main-mainlah. Yang bikin aku heran, aku dianggap enggak punya niat ke jenjang yang lebih serius sama beberapa pacarku. Sekalinya ada cewek yang yakin dan udah merencanakannya dengan serius, ada aja problem yang bikin gagal.

Aku bahkan udah pernah bikin tabungan berdua sama pacar. Itu pilihanku dalam hidup yang paling goblok, sih. Pas putus, kami jadi bingung itu uang aku berapa, uang dia berapa. Mau enggak mau, akhirnya kami bagi rata 50:50. Itu kayaknya aku rugi banyak. Karena kalau aku inget-inget, aku yang lebih banyak menabung. Seharusnya mah 70:30 pembagiannya. Cuma ya udahlah, uang kan masih bisa dicari lagi. Anggap aja itu buat membeli pengalaman. Aku udah sok tajir belum?

Tapi alasan itu mungkin belum ada apa-apanya. Aku lebih enggak percaya lagi sama pernikahan sejak orang tuaku cerai tiga tahunan lalu. Divorce is suck. Aku udah dua puluh tahun saat itu. Aku pikir efek sedihnya cuma buat anak-anak. Gila, aku ternyata sampe nangis tiga hari dan mengurung diri di kamar. Semenjak mendengarkan lagu ini, pandanganku terhadap pernikahan mulai beringsut. Coba simak baik-baik video musiknya dan perhatikan liriknya:

Now you're old, tucked away in the ending
Clouded by the charm of your aging
Your wishes have all disappeared
They're rotting in a pile of poems


Mantap banget, kan? Ditambah lagi sama monolog di akhir video yang meresap ke hati. Sayangnya, agak susah didengar. Aku cuma mampu menyimak ini: Menikah itu sama kayak berkesenian. Sebagaimana seniman yang memiliki manifesto, orang nikah juga punya manifesto. Jadi, ini manifesto pernikahan gue: Perkawinan kami tidak mencontoh perkawinan pasangan lain. Kebahagiaan kami akan memantul pada keseharian kami.

Kalau belum puas sama lagu itu, coba dengerin lagu Jirapah lainnya dan tonton video konsernya langsung. Aku jamin bakal ketagihan. Sayang banget kalau band sebagus ini kurang naik ke permukaan.


Eh, udah nih? Tai, segala cuma lima. Aku belum masukin Letto - Sandaran Hati ke lagu populer yang meskipun aku benci setengah mampus sama video klipnya, tapi lagu itu punya makna mendalam, yaitu berdialog dengan Sang Pencipta. Lalu kalo band indienya, Deugalih and Folks. Mereka bisa-bisanya menyanyikan puisi Chairil Anwar, Buat Gadis Rasyid, dengan amat ciamik.


Untuk lagu yang jarang diketahui temen-temenku, ada Sajama Cut – Mari Bunuh Diri



Hai, apa kabar semua? Aku kurang peduli. Ini sama aja kayak habis disapa, eh langsung dihantam. Buat menutup obrolan soal musik ini, aku mau kutip lirik Sajama Cut, ah.

Oh, menyedihkan ... umat manusia. Patut binasa kalian semua!

Aku mungkin juga termasuk menyedihkan karena sok hipster. Sebelum ada yang mendebat lagu-lagu kesukaanku barusan, aku tetap berani beropini bahwa kita berhak menghina selera orang lain yang sampah dan payah. Termasuk preferensi Yoga Akbar Sholihin yang bisa-bisanya menganggap lagu Killing Me Inside – Torment masih enak didenger sampai sekarang. Hahaha. Tobat, woi, inget umur! Kamu bukan ABG lagi.

13 Comments

  1. Tiba-tiba saya berharap Raka Bagoy punya blog karena suka dengan cara bertuturnya.

    Video YouTube di template ini enggak responsive untuk versi mobile, Yog?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nanti gue coba tanya deh. Dia punya blog atau enggak.

      Gue jarang buka blog sendiri pake ponsel. Belum ngecek, sih. Itu videonya berarti kegedean dan keluar batas, ya? Mungkin emang enggak responsif. Maaf buat ketidaknyamanannya. Haha.

      Delete
    2. Thanks udah suka. Aku kadang nulis juga. Dulu pun sempet punya blog, sekarang udah lupa alamat dan password. Pengen buat baru, tapi takut kekerenanku ini tersebar luas.

      Delete
  2. Tak kira si Raka Bagoy ini seorang musikus Indonesia begitu. Oh ternyata, dia seorang kawan lama.

    Fix, saya bukan anak indie dan hanya penikmat lagu-lagu populer saja. Cuma ngerti Ada Band, Letto, sama Iwan Fals & Ariel doang. Hahaha

    Bagoy diambil dari namamu yang dibalik terus ditambahi huruf "B", bukan, Yog? *mulai sok tahu ini anak*

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bukan, Wis. Keren amat temen saya seorang musisi. Haha.

      Boleh kalau mau dianggap begitu, tapi Bagoy itu ada artinya sendiri di kamus bahasa gaul. Coba aja cari.

      Delete
    2. Bagoy itu bahasa gaul dari bagus atau keren.

      Delete
    3. Weh, ternyata beneran ada orangnya. Tak kira cuma tokoh ciptaan di tulisanmu doang, Yog *ini karena lihat tag fiksi di tulisan ini, sih*

      Baik, sudah paham sekarang ^^

      Delete
  3. Gue kalau ketemu temen lama di jalan paling cuma "eh, elu, mau ke mana?" hahaha.

    Gue juga masih suka dengerin lagu-lagu lawas kok yog. Luar sama dalam. Lebih enak aja sih. Beberapa lagu di atas juga masih lagu favorit sampai sekarang.

    ReplyDelete
    Replies
    1. O iya, nanya mau ke mana juga kerap terjadi.

      Gue malah bingung lagu sekarang apa aja yang enak didengerin. Haha.

      Delete
  4. Anjing si Yoga. Aku dibilang psikopat. Kalo gak terima dibilang seleranya sampah, gak gini dong! Hahaha.

    ReplyDelete
  5. dari semua lagu2 di atas, yg bisa masuk ke aku cm letto, ada band,dan iwan fals hahahah.. yg lainnya udh aku dengerin, tp mungkin butih berkali2 yaaa utk bisa suka dan nikmatin :D. beda sih memang genrenya ama yg slalu aku dgr. lah terbiasa ama lagu2 green day, nirvana, motley crue, trus dikasih model aliran gini, kupingku lgs kaget :D.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yang Mbak sebutin itu menurut saya juga bagus. Ini si Raka emang ada-ada aja selera musiknya. Haha.

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.