Variasi Gaya

Ada suatu masa ketika baru banget belajar menulis, saya entah kenapa sering membaca kutipan para penulis. Selain Hemingway (The first draft of anything is shit) dan Pramoedya (Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian—yang justru saya bikin pertentangannya di deskripsi blog), kebanyakan nama mereka sangat asing buat saya, bahkan saya juga tidak mencoba mencari buku-bukunya. Lalu dari sekian banyak petikan itu, ada satu yang selalu berhasil memantik semangat saya hingga saat ini:
A professional writer is an amateur who didn’t quit.” — Richard Bach
Mulanya, saya membuat blog ini hanya untuk jurnal. Mungkin niat itu pun masih belum berubah. Tapi seiring bergulirnya waktu, cara pandang saya sebagai penulis pun perlahan-lahan ikutan bergeser. Saya membutuhkan perkembangan dalam menulis. Saya enggak mau cuma begitu-begitu terus. Saya ingin menyajikan menu yang berbeda-beda di blog ini agar pembaca dapat memilih tulisan sesuai seleranya masing-masing. Sebagaimana bercinta, kita memang membutuhkan variasi gaya saat menulis agar tidak jenuh.



Pada dua tahun terakhir ini, saya pun telah mencoba bereksperimen dengan berbagai jenis tulisan. Memang, sih, tidak semuanya berhasil. Meskipun begitu, seenggaknya saya sudah berani menjajalnya. Kali ini, saya mau menulis ulang puisi kemarin, Aku Memang Tidak tahu Malu, dalam pelbagai bentuk baru.

Narasi 

Ia tiba-tiba merasa tidak ingin menulis puisi lagi ketika membaca ulang semua sajak di blognya. Hal ini terjadi beberapa menit setelah dirinya selesai membaca buku kumpulan puisi SS, Dan Kematian Makin Akrab. Entah mengapa membaca karya bagus kerap membuatnya minder. Perasaan membanding-bandingkan pun muncul begitu saja. Kapan kira-kira ia dapat menulis puisi sehebat idolanya itu? Ia lantas berusaha meninjau ulang puisinya sendiri, dan mendapat kesimpulan: puisi-puisinya jelek semua. Para pembaca pun mungkin bingung, apakah harus sedih atau tertawa saat membaca rangkaian kata miliknya itu. Tidak ada satu pun puisinya yang bisa dinilai bagus, lebih-lebih spesial.

Ia semestinya cepat mengerti dan sadar bahwa dirinya tidak berbakat menulis puisi. Apalagi saat mengingat kumpulan sajak yang ia kirimkan ke media tak ada yang berhasil tembus. Padahal ia juga sudah sempat mengeditnya, lalu mengirimkan ulang ke media lain. Hasilnya ternyata sama saja: penolakan.

Kadang ia jadi suka merenung dan bertanya-tanya, sebetulnya apa yang membuat puisi-puisinya ditolak? Apakah karena terlalu klise? Ataukah karena dirinya bukan siapa-siapa, sehingga pihak media tidak mungkin memuatnya? Sebab baik sajak maupun nama penulisnya sama-sama tidak menjual. Boleh jadi dugaan itu sangat egois karena luapan emosi. Mungkin mereka menolak karena puisi yang ia kirimkan belum memenuhi standarnya. Mungkin juga puisinya terlihat jelas mengekor beberapa penyair. Barangkali nama dan puisi-puisinya bisa bertengger di media lain selain blognya sendiri itu cuma khayalan bodohnya. Ia pun sedih harus menerima kenyataan, bahwa dirinya tidak lagi mendapatkan tempat.

Tapi orang tolol terkadang memang tidak ada kapoknya. Ia kini malah mencoba melarikan diri dari realitas dengan menciptakan puisi baru. Ketika puisi itu selesai ditulis, rupanya muncul keraguan di dalam dirinya. Sajaknya ini masih sama buruknya dengan karya sebelum-sebelumnya. Ia langsung berniat menghapusnya saat itu juga. Ia pun menekan tombol Ctrl + a.

Kala jari tengahnya hampir menyentuh tombol Backspace, ada sesosok anak kecil—yang gemar bermain-main dan tidak kenal takut—di dalam tubuhnya yang segera mencegahnya. Katanya, menulis sajak itu bentuk mengekspresikan diri, bukan untuk mencari uang. Mengirimkannya ke media itu cuma sebuah keisengan. Jadi kenapa harus sedih ketika ditolak? Lebih baik menulis terus saja. Toh, kita enggak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan nanti.

Kebimbangan yang biasa dirasakan oleh orang dewasa itu pun kalah oleh perkataan polos seorang bocah, hasil imajinasinya sendiri. Akhirnya, ia berusaha mengakhiri sajak itu dan menerbitkannya di blog sendiri—sebagaimana lazimnya. Kepercayaan dirinya kembali tumbuh. Ia memang pecundang bodoh yang tidak tahu malu.


Dialog 

“Hei, kau kenapa terlihat bersedih?” 

“Karena aku baru menyadari bahwa puisi-puisi buatanku jelek semua.” 

“Siapa yang bilang begitu?” 

“Diriku sendiri.” 

“Jangan terlalu kejam dengan diri sendiri begitu dong. Enggak baik, tahu.” 

“Kenyataannya memang begitu, kok.” 

“Pasti ada penyebabnya, kan?” 

“Iya, aku tadi habis membaca kitab puisi SS, Dan Kematian Makin Akrab. Tiba-tiba aku jadi ingin melihat kembali puisi-puisiku sendiri. Ternyata keterlaluan busuknya.” 

“Kau tidak perlu membanding-bandingkan begitu.” 

“Masalahnya, aku pernah mengirimkan puisi-puisiku itu ke media. Aku pun mendapatkan penolakan.”

“Coba lagi ke media lain. Buat lagi puisi lain.” 

“Sudah, hasilnya sama saja. Tak ada yang tembus.” 

“Kira-kira apa yang membuatmu ditolak, ya?” 

“Mungkin karena aku belum punya nama. Jadi, siapa coba yang mau membaca dan menikmati puisi-puisiku itu? Apalagi membayarnya.” 

“Intinya, kau mau menyalahkan selera mereka?” 

“Maaf, aku tidak bermaksud begitu. Aku tadi hanya terbawa emosi. Aku yakin mereka punya standar sendiri untuk memutuskan mana yang layak terbit, mana yang tidak. Atau mungkin juga puisi-puisiku terlihat meniru penyair lain. Bisa dibilang emang karyaku itu yang jelek. Terbit di media lain selain blog sendiri kayaknya cuma mimpi bodohku saja. Nyatanya, tak ada tempat untuk tulisanku.” 

“Terus kau mau berhenti bikin puisi?” 

“Penginnya, sih, gitu. Anehnya, barusan aku malah menciptakan yang baru.”

“Nah, baguslah. Kau berarti tidak menyerah.” 

“Celakanya, puisi baruku itu jelek juga. Aku jadi ingin menghapusnya saja.” 

“Jangan!” 

“Kenapa?” 

“Kau selama ini bikin puisi niatnya untuk apa, sih? Buat cari uang? Menurutku, kau pasti punya niat lebih dari itu. Untuk alternatif ketika bosan menulis esai atau cerpen. Untuk bersenang-senang. Kau mengirimkannya mungkin karena ingin mendapatkan pembaca yang lebih luas. Bukan demi uang semata. Jadi, kumohon jangan berhenti menulis. Lanjutkan saja.” 

“....” 

“Kok diam? Apakah kau malu mengakui puisi barumu?” 

“Enggak, sebab aku memang tidak tahu malu.” 


Haiku 

Habis ditolak 
Malah lebih menggila 
Tak tahu malu 


Blurb 

Selalu ada dua reaksi setiap kali membaca karya bagus: Pertama, terinspirasi untuk bikin yang sama bagusnya atau lebih baik; kedua, akan memilih berhenti menulis karena sadar dengan kemampuan diri. Hal nomor dua itulah yang kini menimpa dirinya. Setelah membaca salah satu buku kumpulan puisi penyair idolanya, ia langsung merasa tak ingin lagi merangkai kata-kata. Konyolnya, kemarahan berlebih terhadap sajak-sajaknya yang keterlaluan jelek itu malah mengubah situasi menjadi 180 derajat. Ia pun menciptakan puisi baru sebagai pelampiasan. Tapi bagaimana kalau puisi itu sama buruknya? Apakah yang akan terjadi selanjutnya? 


Analisis Logika 

Membaca. 
Puisi. 
Karangan idola.
Mengevaluasi sajak-sajak ciptaannya.
Membenci diri sendiri. 
Memori tentang mengirim kumpulan puisinya ke media. 
Penolakan. 
Revisi. 
Kegagalan yang sama. 
Kemarahan dan menciptakan sajak baru. 
Keinginan menghapusnya karena jelek. 
Pencegahan dari dalam diri. 
Imajinasi anak-anak. 
Mencoba berdamai dengan diri sendiri. 
Penyelesaian tulisan dengan rasa malu tak tertahankan. 


Endorsement

Puisinya yang satu ini seperti bentuk kritik terhadap semua sajak ciptaannya. Bagi saya, ada dua jenis penulis: 1) Yang sangat memuja dan memuji kata-katanya sendiri; 2) Yang selalu membenci diri sekaligus hasil tulisannya. Yoga adalah yang nomor dua, tetapi entah kenapa malah berhasil membuat saya menyukai puisi-puisinya. Dia seakan-akan punya sihir tersendiri dalam setiap pemilihan katanya. —Agus Suhana, teman penulis merangkap sampah masyarakat. Dibayar 100.000 untuk komentar begini.

--

Tulisan ini berutang ide kepada buku Exercises in Style, Raymond Queneau.

27 Comments

  1. Anak Ini Menjadi Contoh Orang Yang Tak Tahu Malu, Ini Penyebabnya!

    ReplyDelete
  2. Sukaaaa! Pokoknya suka semua variasa gaya tulisannya. Inti yang sama tapi gayanya beda. Huehehe. Mon maap saya jadi terinspirasi nih.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya juga terinspirasi dari karya orang lain, Wi. Monggo~

      Delete
  3. Saya sudah membaca tulisan sebelumnya tentang si Tak Tahu Malu ini di tulisan sebelumnya, di tulisan kali ini, puisi diubah menjadi narasi menggunakan diksi-diksi dan deskripsi yang tepat sehingga menghasilkan karya yang unik. Narasi tapi 'lebih' dari sekedar narasi, bukan narasi biasa (BNB). Saya menunggu untuk variasi berikutnya untuk karya ini.

    -- Andie, penikmat indomie (26 th)

    ReplyDelete
    Replies
    1. ((BNB)) Hahaha. Sekalian BBB, Mas. Bukan Bloger Biasa.

      Penikmat Indomie goreng apa soto?

      Delete
  4. Kayak Vantage Point gitu ya tapi versi tulisan. Btw narasinya kok mirip tulisan racauannya si Niki Setiawati ya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Itu film tentang sudut pandang, kan? Dulu kagak tahu itu awalnya film apaan. Muter-muter rekaman terus. Tulisan ini beda, sih. Lebih ke pemakaian gaya.

      Racauan Niki yang mana? Puisi karena bukunya kagak laku?

      Delete
  5. Saya belum sempat buka blog. Pasti saya hapus komentar dari Nisa AE itu, sih.

    Itu baru enam aja saya udah rada bingung, May. Si Raymond bikin sampai 99 gaya. Anjirlah. Ada yang persamaan matematika pula. Wqwq. Salutlah sama eksperimen dia.

    ReplyDelete
  6. Sama dengan gaya menyunting foto sama dengan gaya menulis.

    Awalnya saya jenis yang kedua, membenci hasil tulisan sendiri. Lebih tepatnya ogah membaca kembali. Selesai tulis, langsung posting. Entah ada salah ketik atau bahasanya tidak efektif, bodo amat.

    Tapi kemudian saya belajar harus self-love, mencintai diri sendiri. Ampuh merembet ke hasil tulisan pula.

    Saya menulis, kalau bukan saya menyayangi tulisan itu siapa lagi? Wkwkwkkw.

    Bagi saya, kalau gaya tulisan Anda di 'manusia'kan, seperti seorang laki-laki bercelana jeans pudar, kaos hitam polos, di kedai kopi yang tidak terlalu ramai, sedang menyeruput kopi tanpa terburu-buru.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Setiap penulis bisa mengurangi kebenciannya dengan membaca ulang dan menyunting, lalu membaca ulang dan menyunting lagi; hingga rasa kebenciannya bisa dimaklumi. Takarannya hanya dia sendiri yang tahu.

      Tanpa tulisan itu harus menjadi manusia, saya sudah cukup mewakilkan jika berpenampilan seperti itu saat ke kafe. Celana jins pudarnya bahkan sedikit robek-robek. Wqwq.

      Delete
  7. Masih ingat yoga yang puisinya ditolak berkali-kali? Beginilah nasibnya sekarang, nomor 4 bikin tak tahu malu.

    Udah keren bang, saya belum tentu bisa nulis kaya gitu, tetap semangat, dan selalu tebarkan tulisan hehe.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nasibnya lebih buruk dari puisinya, Sep? Wahaha. E iya, blog lu ke mana? Kagak bisa dibuka.

      Delete
  8. bang yog selalu eagseslah apapun modelnya
    cuma suka dialog sih
    ngalir gitu....
    eh baru tau judul blognya ganti
    lama gak namu hehe

    ReplyDelete
  9. Baru tau ada gaya namanya analisis logika 😂

    ReplyDelete
  10. aku malah setuju yg ditulis agus suhana :p. ga peduli kamu bayar dia ato ga, tp kamu kan ga bayar aku :p. akh memang ga pinter nulis puisi, dan ga banyak juga puisi yg aku bisa suka. krn kebanyakan ga ngerti wkwkwkwk.. tp kalo baca punyamu, beda. ga lgs bikin aku pgn cepet2 selesai :D. malah kdg sempet utk mikirin kata2nya, "ohhh mksd puisinya yoga mungkin beginii". jd buatku, kalo ada puisi yg hisa bikin aku betah utk baca, ya berarti bagus, versiku :D.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wahaha. Bercandaan doang itu, sih. Banyak yang bilang kalau ada tulisan yang bisa bikin kita betah atau malah pengin baca ulang, termasuk ke kategori tulisan bagus. Walaupun penulisnya sendiri kadang membencinya, tapi ya balik ke pembaca lagi yang lebih pantas menilai.

      Makasih, Mbak.

      Delete
  11. Dihhh si bapak lihay bgt kek nya bercinta, tau bener klau bercinta perlu bnyak gaya. Ti ati keseleo pak, I gak bisa dipake tar.

    Eniwei kl gw skrng lg tergila gila sama cara menulisnya Tere Liye

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya hanya membuat pengandaian, Bang. Hanya karena saya bilang begitu, belum tentu saya pernah melakukannya, kan? Hahaha.

      Delete
  12. Cuma tau Narasi sama Dialog. Dan baru tau ada istilah Haiku sama Blurb di dunia tulis - menulis pas baca post ini *sungguh kau terlalu awam di dunia tulis menulis ini, anak muda-->kata netizen kepada Wisnu.

    Mungkin kalau berhenti menulis, sementara ini belum ada niatan (Berati suatu saat ada dong, ya. Hahaha). Pengennya memang bisa bikin tulisan yang bagus dan enak di baca seperti beberapa bloger di luaran sana. Tapi pas nyoba mengikuti gaya mereka dan nggak bisa, ya Allah, stress minta ampun. Ending-endingnya, ya, kembali ke tulisan receh yang jauh dari PUEBI dan banyak unfaedahnya X(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Haiku itu semacam puisi dari Jepang, Mas Wis. Kalau blurb tulisan di sampul belakang buku.

      Enggak apa-apa, kok. Saya pun sering gitu. Di antara banyaknya gaya, pasti susah buat bisa semuanya. Udah niat buat belajar ini, kan? Seandainya tetap mentok, yoweslah. Mau gimana lagi? Kembangkan yang emang bisa dibikin maksimal dan tulis aja yang kita senangi. Hahaha.

      Delete
  13. Dulu kolom komentarku juga banyak iklan judi poker. Trus abis itu, aku bikin komennya gak langsung muncul. Mungkin spammer-nya bingung... makin massive dong copy-paste spam. Tapi sejak masuk 2019, udah gak nongol lagi. Capek kali udah banyak2 copy paste tapi kayak copy paste di blog hantu. bentuknya ga ada. capeknya dapet.

    ReplyDelete
  14. aku suka gaya kupu2. Eh lho.. O_o

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kuliah-pulang kuliah-pulang? Kurang-puas kurang-puas? Kumis-putih kumis-putih? Kurus-pujangga kurus-pujangga? Apa coba, Yog~

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.