Semalam ada seseorang yang tidak saya kenal mengirimkan DM (Direct Message) di Twitter. Berikut saya tampilkan pesannya dengan sedikit pengeditan supaya lebih enak dibaca.
sumber: https://pixabay.com/id/bulu-burung-musim-semi-kertas-2505306/ |
Hai, Yoga! Aku enggak tahu harus manggil kamu apa. Bingung mau pakai “Bang”, “Mas”, atau “Kak”. Menurutku kita masih seumuran (walau lebih tua kamu 1 atau 2 tahun), jadi aku panggil nama aja, ya? Maaf nih kalau aku sok akrab. Tapi gini-gini aku udah baca tulisanmu dari lama. Biarpun cuma silent reader, aku tetep pembaca setia blog kamu, Yog.
Tulisan kamu kenapa berubah jahat gitu? Ngeri aku bacanya. Di tulisan sebelum-sebelumnya kamu juga kayak ngeluh tentang kesedihan, kesepian, dan kematian gitu. Kamu baik-baik, kan? Nulis kayak biasanya lagi dong. Kayak dulu-dulu yang lucu dan ceria gitu.
Eh iya, aku boleh nanya, kan? Simbol K di foto profil Twitter-mu (yang pernah jadi gambar di tulisan Kenyataan atau Kebenaran di Balik Kisah Fiksi) itu artinya apa? Apakah K buat ketikyoga? Kesedihan? Kesepian? Atau kematian?
Aku kok ngerasa kamu akhir-akhir ini setiap menulis kayak lagi menjerit, tapi enggak ada orang yang mau dengerin. Kenapa aku bisa ngomong begini, karena aku juga sering kayak gitu. Setiap kali mau cerita, pasti jarang ada temen yang bisa jadi pendengar. Kalau kamu mau, aku bisa lho jadi tempat curhatmu.
Umm, apa lagi, ya? Udah deh, itu aja. Semoga kamu baik-baik. Jangan marah-marah dan sedih-sedih terus. Hehe. :)
Seusai membaca pesannya, saya langsung mengetik, Ini apa-apaan, sih? Kok ngatur-ngatur? K di situ artinya kont. Saya langsung menghapus kont yang belum selesai itu, lalu menggantinya menjadi kafir. Saya kembali menghapus, dan kata kafir pun berubah menjadi kebencian. Saya enggak tahu mau menambahkan kalimat apa lagi dan menunda mengirimkannya. Akhirnya, saya menghapus semua kalimat itu.
Sekarang sudah pukul setengah enam pagi. Saya belum tidur dari semalam. Begadang selalu membuat pikiran saya kacau. Sepertinya kondisi begini memang kurang baik untuk berkomunikasi. Apalagi dengan orang asing. Saya butuh istirahat. Saya pun menunda membalas DM tersebut. Lebih baik saya tidur.
Enam jam kemudian saya terbangun. Saya membuka Twitter dan kembali mengecek pesan itu. Kini pikiran saya sudah lebih segar untuk merespons pesannya.
Hai juga. Iya, bebaslah mau panggil saya apa. Panggil sayang juga boleh.
Itu cuma lambang dari tempat saya bekerja dulu. Enggak ada maksud apa-apa. Saya bingung kenapa kamu bisa berpikir sejauh itu. Ya, meskipun kadang-kadang saya juga suka menganggapnya sebagai sebuah simbol bagi diri sendiri, sih. Terlepas dari makna asli suatu media tempat saya bekerja dulu, K di situ bisa menjadi inisial username saya. Bisa seperti yang kamu tulis; kesedihan, kesepian, atau kematian. Bisa juga berarti keren. Kacamata. Kurus. Kangen. Kamu (sumpah, ini saya enggak lagi gombal. Kata kamu bisa merujuk siapa aja).
Boleh juga kayak slogannya presiden saat ini: Kerja, kerja, kerja. Terus bisa juga karya, konten, kreatif, kritik, keluarga, ketulusan, kebahagiaan, kekayaan, kepercayaan, kekuatan, kejujuran, keadilan, kebaikan, kejahatan, kebencian, kesalahan, kebodohan, kemunafikan, kebohongan, kepalsuan, kiamat, dan masih banyak lagi. Pokoknya, bebaslah mau dianggap apa sama kamu ataupun orang lain.
Alhamdulillah saya baik-baik aja dan enggak butuh teman cerita. Tapi makasih banget buat tawarannya. Kalau soal tulisan yang kamu anggap ngeri itu, saya emang enggak sebaik yang kamu pikir. Saya juga punya sisi jahat. :)
Sebenarnya saya agak geli mengakhiri pesan itu dengan emoji senyum. Tapi mau gimana lagi, saya merasa perlu membalas senyumannya. Lagian, senyum itu ibadah, kan? Meskipun penempatan senyum setelah kata jahat itu justru bikin saya terlihat kayak psikopat.
Saya entah mengapa masih mengantuk, padahal sudah tidur lumayan lama. Mungkin ini faktor hari Minggu sehingga membuat saya ingin bermalas-malasan saja. Saya pun menaruh ponsel dan berusaha tidur lagi. Tidak sampai sepuluh menit memejamkan mata, ponsel saya berdering. Saya hafal bunyi itu. Notifikasi Twitter. Ketika saya lihat, ternyata itu pesan balasan darinya. Mau dia apa, sih? Saya sudah malas membuka dan memilih mengabaikannya.
Kala itu juga saya tiba-tiba memikirkan pesan dia sebelumnya. Saya betul-betul tidak mengerti, kenapa dia menilai bahwa tulisan Kumpulan Kalimat Jahanam itu mengerikan? Seram di bagian mananya? Apa karena saya tampak sedang marah-marah saat mengkritisi suatu hal? Apakah tidak boleh memaki hal-hal yang enggak kita sukai? Apa kita mesti terlihat baik melulu? Harus selalu bahagia dan tidak usah menunjukkan kesedihan? Toh, tulisan itu sudah dua atau tiga bulan silam. Itu pun saya telah memolesnya sedikit agar bisa lebih halus. Intinya, kemarahan itu sudah lewat.
Sementara itu, dia malah meminta saya menuliskan cerita-cerita yang ceria dan lucu baginya. Saya pun ingin bertanya kepadanya, apa benar tulisan-tulisan saya yang dulu itu dapat menghibur dirinya? Apakah kini tulisan saya sudah tidak menyenangkan lagi? Kalaupun dia merasa tulisan-tulisan lama saya kocak, itu berarti sama saja dia mentertawakan kesialan atau kepahitan hidup saya.
Lantas, apa bedanya dengan yang sekarang? Saya juga masih menuliskan cerita-cerita yang serupa seperti dulu. Hidup saya belum banyak berubah. Hidup yang berengsek dan memble ini masih saya coba tuliskan penderitaannya (terkadang diolah menjadi fiksi), lalu mentertawakannya. Tujuan menulisnya pun tidak jauh berbeda: saya jadikan bahan olok-olok ketika suatu hari nanti membaca ulang ceritanya. Saya memang gemar menyulap derita menjadi cerita.
Anehnya, kenapa dia protes agar saya menulis kayak dulu, ya? Apa karena saat ini balutan kisahnya berubah lebih gelap?
Namun biar bagaimanapun, saya tetap terharu membaca pesannya. Kenapa dia bisa sepeduli itu dengan saya? Saya pun sedikit merasa bersalah terhadapnya. Lebih-lebih ketika dia telah mengulurkan tangan, tapi saya justru menolak pertolongannya. Saya tahu, saya sudah berbohong tentang diri yang baik-baik maupun tidak butuh teman cerita itu. Tapi saya hanya ingin menutup diri (khususnya dari orang-orang yang belum tentu dapat saya percaya), dan terus meyakinkan diri ini baik-baik saja—secara tidak langsung saya berusaha mendoakan diri sendiri.
Sejujurnya, keadaan saya memang baik. Walaupun ada hal-hal yang terasa getir dalam hidup, saya telah berupaya membuang segala hal buruk itu dengan menulis. Mengetahui kalau tulisan saya masih jauh lebih busuk daripada hidup yang sedang dijalani, rupanya sungguh ampuh untuk mengurangi beban itu.
Konon, menulis merupakan salah satu terapi yang mudah dan murah. Di blog satunya, saya pun membuat slogan: menulis untuk terapi jiwa. Ya, biarpun pada kenyataannya jiwa saya masih saja penuh kebencian. Boleh jadi kegiatan ini tidak sepenuhnya bisa menyembuhkan saya. Saya tidak begitu peduli. Setidaknya, saya bisa sedikit lebih lega dan bahagia melampiaskan kemarahan dengan menulis—baik itu berbentuk esai, cerpen, atau puisi. Bukan dengan membanting benda-benda, menjotos orang lain, atau memakan harta anak yatim.
Berbicara soal melampiaskan kemarahan dengan menulis, saya jadi teringat wawancara Seno Gumira Ajidarma saat beliau membicarakan Saksi Mata, buku kumpulan cerpennya tentang Timor Timur. Dalam interviu itu, Seno bertanya kepada salah seorang temannya, “Apakah tidak apa alasan saya menulis karena marah?” Lalu temannya menjawab, tidak apa, karena yang penting hasilnya.
Akhir kata, jika si pengirim pesan betulan rutin membaca tulisan-tulisan saya, kemungkinan dia juga akan membaca tulisan ini. Anggap saja ini balasan pesan dia berikutnya—yang belum sempat terbaca dan telah saya hapus. Saya sudah masa bodoh akan dinilai apa dan bagaimana olehnya, juga pembaca lainnya. Yang penting setelah ini dia bisa paham, bahwa saya memang tidak sebaik kelihatannya. Lagi pula, apa itu baik? Kata itu terdengar seperti suara kentut sehabis bangun tidur setiap kali saya begadang. Mungkin simbol K itu bisa melambangkan kentut. Bisa pula bermaksud kemarahan. Atau paduan keduanya: kentutnya orang marah.
--
PS: Tafsir huruf K dalam tulisan ini hanya gurauan semata dan tidak ada maksud apa-apa dengan simbol asli media itu.
27 Comments
Saya pikir, tulisan mas yang "Kumpulan Kalimat Jahanam" itu tidak ada mengerikannya sama sekali. Malah saya pikir, mas baik-baik saja mampu mengekspresikan kekesalan atau apapun itu dalam bentuk tulisan sehingga dapat dibaca oleh orang lain. Tentu mas sudah memperkirakan memilah bahasa mana yang patut dibaca orang lain.
ReplyDeleteNah ketika kita sudah mampu mengekspresikan kekesalan atau apapun itu, sepertinya kita tidak butuh pelampiasan lain. Karena yang bikin kesel beneran itu, udah kesel tapi tidak bisa mengekspresikannya. Misalnya noyor orang yang bikin kesel.
Tapi benar, sepertinya your secret admirer benar-benar memperhatikan mas. Ajak kopdar gih wahahaha..
Sepemikiran...��Apalagi yang paling bawah�� K:Ketemuan K:Kamu K:Kita K:KUA K:Keluarga...wkwkwk
DeleteElah ngomong apaseh *efeksore haha✌Ga...��
Andie: Mungkin dia belum terbiasa membaca kalimat kasar--setidaknya bagi dia. Di kenyataan kayaknya sulit mengekspresikan kekesalan dengan menoyor kepala orang begitu. Cuma bisa terjadi di dalam kepala atau khayalan.
DeleteYeni: Ini kok mengarahnya jauh banget? Wahaha.
Sama kayak ketika MLI berencana menjadikan kata "Roasting" sebagai produk mereka dan semua komedian harus izin kalau mau bikin acara rosting. Waktu itu ada komika nelepon MLI, nanya kenapa begini kenapa begitu. Adriano Qalbi (perwakilan MLI) bilang, "Supaya lo kalau mau bikin acara jadi aman. Boleh kok bikin rosting, tapi harus bla bla bla dan jangan bla bla bla."
ReplyDeleteKomika itu jawab, "Lah, kenapa jadi elo yang ngatur-ngatur orang stand up?"
Pesan moral: beberapa pembaca (terutama yang lama) lo mungkin merasa genre lo begini, gaya lo begitu. Jadi ketika lo nulis sesuatu yang beda, dia kaget dan sedikit komplain, "Kenapa lo nulis itu? Lebih baik nulis yang kayak biasa aja." dan ya, lo bisa balikin mereka dengan, "Kenapa jadi elo yang ngatur-ngatur orang ngeblog?"
Toh, lo punya hak untuk nulis apa pun dan mereka punya pilihan untuk tetap mengikuti atau berhenti. Omong-omong, tulisan lo yang kemarin itu bagus. Banyak bagian yang kita sepemikiran, meski ada juga sebagian kecil yang kurang setuju—dan enggak perlu dibahas juga karena enggak penting-penting amat.
Terakhir, setuju, kalau mau nulis mah nulis aja. Semua hal boleh kita tulis kok. Urusan orang lain bakal suka atau enggak, itu beda soal. Cheers.
Gue sejujurnya enggak mengikuti MLI, tapi pernah denger permasalahan itu. Sama kayak kasusnya Papa Ramon soal open mic berarti.
DeleteEnggak semua yang tertulis di sini harus disepakati sih, Gip. Bebas banget kalau mau mendebatnya, sekalipun itu kurang penting. Hahaha.
Yang penting nanti berani mempertanggungjawabkannya.
Hallo silent reader blog Yoga, K itu artinya Kresnoadi.
ReplyDeleteTq.
Kirain mau ngetik K itu Kafe (terus tambah WIRDY).
Deletehah gimana?
DeleteGimana apanya, Bah?
DeleteAkhirnya yoga muncul lagi. Kemarin-kemarin kemana aja hilang diem-diem bau kentut hiuuhiuuu.
ReplyDeleteBanyak kata-kata disini yang jadi kesukaan gue. Dari pelampiasan marah ke menulis, menyulap derita jadi cerita, dan yang lainnya. Anehnya, semua perpaduan kata itu serupa yang gue alami, konteks masalahnya aja yang berbeda sesuai taraf masing-masing.
Itu orang yang DM di twitter siapa gerangan btw? Yang pasti bukan gue ya yoggg, gue mah enggak begitu orangnya. Gue cuma penikmat tulisan, bukan penganalisa tulisan (terkadang) kayak pengagum rahasia lo di DM twitter sana hueheheee.
Jangan ilang-ilangan lagi yoggg biar gak ada yang rindu disiniii
Kapan saya menghilang? Kayaknya aktif terus, Na. Pas vakum kan bulan November itu. Desember udah langsung balik lagi.
DeleteAda pokoknyalah. Seseorang yang tidak perlu disebutkan namanya (udah kayak Voldemort). Wqwq.
K itu Klarifikasi.
ReplyDeleteSaking ribetnya manusia-manusia, apa-apa pake klarifikasi. dah gtu aja cukup.
VNGNC bilang, "Klarifikasi akan menjadi tren baru di Youtube."
DeleteMasa gak tau, K tuh huruf ke 11. 1 dan 1 angka kembar. Sama kaya jam postingan ini, pukul 13.13. Kembar. K = Kembar!
ReplyDeleteBangkai curut, segala cocoklogi sama jam tulisan ini.
DeletePas tak baca, tulisan mu yang sebelum ini menurutku juga nggak ada serem-seremnya, Yog. Itu kan tentang keresahanmu sama dunia blog saat ini, kan, ya? Kalau dari tingkat "ke-serem-an", mungkin lebih serem tulisanmu yang isinya bunuh diri - bunuh diri itu. Menurut ku, sih.
ReplyDeleteMungkin penggemarmu ini, belum sempet baca tulisanmu yang membahs tentang "mengapa tulisanku berubah" itu, Yog. (Eh, judulnya bener itu bukan, ya? Pokoknya tulisan yang itulah). Coba kemarin pas bales DM nya sekalian di kasih link blogpost-mu yang itu. Mungkin bisa membantu. Hehehe...
Lah, banyak "itu"-nya
DeleteIya, Wis. Biasa aja padahal. Hm, dia juga sempet nyenggol yang kematian itu. Mungkin karena perempuan yang kirim DM itu belum terbiasa ditegur seperti di tulisan. Wqwq. "Mengapa Tulisan Saya Berubah" lebih tepatnya.
DeleteAku kira K itu Kampret, Yog. Mumpung deket pilpres. Eh, Kecebong bisa juga sih... tapi kalo di kepalaku, tiap ada K sehurup doang, bayangannya langsung ke nama agen Men In Black. K, O, J, Z...
ReplyDeletePadahal udah menahan-nahan diri supaya enggak melibatkan politik, eh kamu malah komentar itu, Haw. Wqwq.
DeleteAnjir, saya kayaknya enggak mengikuti atau udah lupa sama film itu. Justru ingetnya sama tokoh di buku Proses karangan Franz Kafka, Josef K.
" Nulis kaya yang dulu lagi dong yang lucu dan ceria "
ReplyDeletewaduuw jadi beban moral juga nih kalo di rekues haha
Amazing pembaca ada yang sedetail itu menanyakan makna dari sebuah huruf haha.
fyi aja buat sillent reader blog ini, K itu untuk K-Pop. Oppa!!
Kalau request terus dibayar enggak apa-apa, ya? :))
DeleteBoom boom ba, Oppa~
Sensornya harus Jepang banget, May?
ReplyDeleteJadi dulu lo kerja di Kont?
ReplyDeleteEh gue kok enggak pernah kentut setiap begadang ya.
Kok bisa? Setahu gue kalau habis begadang dan kurang tidur kan bangun-bangun anginnya pada keluar. Mencegah masuk angin.
DeleteHalo, ka Yoga! Aku gak bingung mau manggil pake “Bang”, “Mas”, atau “Kak”. Karena aku yakin umur kakak jauh dari aku huahaha gak deng becanda tapi manggil Bang asik juga tuh biar kaya setongkrongan.
ReplyDeleteKayanya aku sudah sangat lama gak mampir di tulisan kakak karena tulisan terakhir yang kubaca seingatku masih menertawakan hidup dengan balutan komedi. Iya, aku dulunya pembaca setia loh._. tapi kayanya emang udah terlalu lama ga mampir sih jadi gatau kalau tulisannya sudah berubah jadi jahat:(
Yasudah kalau begitu aku akan mulai membaca tulisan-tulisan jahat itu. Daah!
Tapi kamu emang seumuran adikku. Sekitar beda 4-5 tahun, kan? Haha.
DeleteIya, udah lama banget enggak membalut tulisan dengan komedi seperti dulu. Sekalipun pakai, saya selalu berusaha bikin lebih halus atau satire.
—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.