Sebuah Ucapan Terima Kasih untuk Bolt dan Kisah Cinta yang Mungkin Cuma Fiksi

Tahun ini sepertinya akan menjadi tahun pertama saya mengalami kesulitan mengakses internet ketika menggunakan laptop. Apakah saya lagi bikin resolusi mengurangi membuka media sosial, dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk membaca buku-buku? Sayangnya bukan. Apakah karena saya mulai bekerja di hutan? Tentu saja tidak mungkin. Menjalani program guru relawan dan mengajar di daerah-daerah pelosok? Maaf, saya belum semulia itu. Lantas apa? Kamu sebenarnya enggak perlu berpikir jauh-jauh, sebab hal ini sangatlah sepele. Apa lagi kalau bukan karena tidak memiliki kuota?

Silakan mengumpat sesukanya.

Tapi sebelum kata anjing, bangsat, berengsek, kampret, kunyuk, setan, sialan, dan sejenisnya itu keluar; saya ingin menjelaskan bahwa ini semata-mata terjadi bukan karena saya bokek—walaupun kenyataannya hampir bisa dibilang begitu. Ini terjadi lantaran pada tanggal 28 Desember 2018, Bolt—provider yang saya gunakan sekitar empat tahunan ini—resmi menutup layanannya. 

sumber PNG Bolt: http://www.chodirin.or.id/ lalu saya modifikasi sesuka hati


Mundur seminggu sebelum Bolt mengumumkan informasi itu, pada malam hari saya sedang menemani Farhan, salah seorang kawan sekaligus tetangga, menyusun skripsi di Kafe Datocar yang lokasinya tidak jauh dari rumah kami. Ketika ia lagi fokus menggarap naskahnya itu, saya terlihat seperti orang tolol yang enggak tahu harus melakukan apa. Seolah-olah ada peraturan tertulis di jidat Farhan: Saya tidak boleh mengajaknya mengobrol. Saya perlu menyibukkan diri sendiri.

Sialnya, saya malah lupa membawa buku bacaan pada malam itu. Jadi satu-satunya penyelamat saya hanyalah ponsel. Baru saja saya ingin internetan, ternyata paketnya malah habis. Syukurlah kafe itu menyediakan Wi-Fi. Sebagaimana Wi-Fi kafe yang banyak pemakainya, kecepatannya pun ala kadarnya. Tidak sampai sepuluh menit saya menaruh kembali ponsel itu ke meja.

Di tengah kebingungan mencari cara supaya enggak jenuh, saya lalu teringat dengan kebiasaan bikin catatan di tempat makan. Akhirnya saya mengambil ponsel itu lagi, membuka aplikasi Notes, dan mulai mengarang cerita.

Satu hal yang saya pelajari selama menulis di kafe: tidak semua kafe bisa jadi tempat yang asyik untuk merangkai kalimat. Terutama kafe yang suka memutar musik EDM. Nah, kafe ini termasuk ke dalam jenis itu. Entah kenapa konsentrasi saya selalu buyar setiap kali mendengarkan jedag-jedug-nya. Saya sebetulnya dapat menyiasatinya dengan menggunakan earphone dan menyetel musik sendiri. Sayangnya, earphone saya rusak sebelah, dan kebetulan saya juga tidak membawanya. 

“Lu bawa kertas, pulpen, atau apaan kek gitu buat coret-coret?” tanya saya kepada Farhan. 

Sambil tetap menatap layar laptopnya, tangan kanan Farhan masuk ke dalam tasnya mencari-cari sesuatu. Ia memberikan saya buku tulis dan pulpen. Saya lalu merobek selembar dan mencoret-coret kertas tersebut. Pada lembaran depan, saya menggambar asal saja dan hasilnya juga tidak jelas. Yang penting saya bisa mengusir kebosanan. Hal yang tidak terduga, saya justru mendapatkan inspirasi untuk menyiapkan tulisan lomba. Di lembaran baliknya, saya berhasil menuliskan poin-poin dan draf mentah yang kelak menjadi artikel Mainan Lego Tidak Hanya untuk Anak Kecil

Kafe Datocar tutup pukul satu malam. Setengah jam sebelumnya kami sudah siap-siap membayar pesanan, terus pulang. Tapi sesampainya di parkiran motor, tiba-tiba Farhan bilang lagi malas balik ke rumah dan kepengin makan mi instan. Jadilah kami pindah ke warkop.

Seusai menyantap mi goreng jumbo, Farhan membuka obrolan dengan sebuah cerita tentang dosen pembimbing yang sulit ditemui hingga kuliahnya kemungkinan kudu menambah satu semester lagi. Saya pun gantian curhat kenapa akhir-akhir ini jadi orang yang gemar menutup diri. Khususnya terhadap perempuan. Saya bahkan sudah betul-betul lupa kapan terakhir kali mendapat kenalan baru dan mengobrol via WhatsApp. 

“Lu masih normal kan, Yog?” 

“Masihlah, Setan!”

Mendengar saya mengumpat begitu, Farhan semakin senang meledek saya. Kami pun tertawa bersama. Kenapa lelucon dari orang terdekat (walaupun sebenarnya garing) tetap bisa memancing tawa? 

“O iya, kemaren-kemaren gue mau ngenalin lu ke cewek,” kata Farhan. “Gue udah sempet kasih foto lu juga.”

“Anjing, gue paling males dah sama yang begini-begini. Berasa enggak laku aja.” 

“Bangsat, denger dulu apa cerita gue.” 

Apa boleh buat, saya pun menyimak kisahnya.

Dalam dua bulan terakhir ini, Farhan lagi dekat dengan Indah, seorang perempuan yang ia kenal lewat media sosial. Pada awal-awal masa pendekatan, mereka kerap teleponan daripada chatting. Tidak jarang pula mereka video call. Di suatu malam, ketika Farhan sedang melakukan panggilan video, di kamar indekos Indah terdapat sepupunya yang lagi menginap. Farhan mulanya biasa saja dan tidak risih dengan kehadiran orang lain, toh Indah juga menggunakan earphone dan suaranya tidak akan terdengar oleh sepupunya itu. Namun, sepupunya ini senang meledek Indah dengan beberapa kali muncul di layar.

Lama-lama Indah jadi sebal dan menyuruh sepupunya ini jangan merecoki dirinya lagi. Makanya cari gebetan sendiri. Tanpa disangka, sepupunya Indah justru meminta tolong buat mencarikannya. Indah pun langsung bertanya kepada Farhan, “Kamu punya temen yang cakep?”

“Terus kenapa gue?” ujar saya. 

“Lu bisa diem dulu, enggak? Entar aja protesnya. Sedikit lagi kelar nih cerita gue.”


Farhan bilang dirinya enggak bisa menilai cowok. Semacam ada pantangan untuk memuji perihal fisik kepada sesama jenis. Indah pun mempermudah perkara ini dengan bertanya siapa teman yang paling sering main sama kamu. Maksud Indah itu biar nanti ketika double date bisa terasa asyik. Otomatis terpilihlah saya. Farhan pun memberikan foto saya kepada Indah dan sepupunya. Respons yang Farhan dapatkan adalah: “Mukanya kayak anak baik-baik. Dia pasti Islam, kan?” 

Farhan terkejut mendengar jawaban itu. Farhan pun meminta penjelasan kepada Indah. Ternyata Indah lupa bilang kalau sepupunya ini beragama Kristen.

“Gagal dah, Yog. Cakep banget padahal.” 

“Emang foto mana yang lu kasih ke dia? 

“Foto profil WA lu.” 

Saya jadi bertanya-tanya, memangnya orang baik-baik dapat terlihat dari wajahnya? Sambil mempertanyakan kepada diri sendiri, apakah saya pantas dinilai baik oleh orang asing yang baru sebatas melihat foto, mulut saya refleks mengucapkan, “Belum apa-apa udah ditolak, ya.”

“Bersyukurlah, Yog, seenggaknya yang nolak lu cakep.”

Saya tadinya sempat penasaran ingin melihat wajah si perempuan, cuma entah mengapa saya segera menyingkirkan gagasan konyol itu. Kalaupun tahu, buat apa? Mungkin yang ada hanya menambah rasa sakit. Meskipun perihnya itu palingan sedikit saja, tapi hal ini berhasil mengingatkan saya akan pengalaman pahit tentang kisah romansa beda agama. Mau bagaimana lagi? Kenangan itu memang suka datang semaunya.

Selain topik itu, kami mengobrol segala macam hal—dari yang normal hingga yang kacau—sampai pukul empat pagi. Azan Subuh mulai berkumandang, menyudahi malam panjang kami. 

“Mampir ke Alfamart dulu, ya. Gue mau beli pulsa Bolt,” kata saya, begitu membonceng di belakang Farhan.

“Ya udah, gue juga sekalian mau isi bensin.” 

Kami menuju pom bensin yang di dekatnya terdapat Alfamart 24 jam. Saat Farhan mengisi bensin, saya menyeberang jalan dan masuk ke minimarket. Terlihat seorang cowok seumuran saya sedang mengepel lantai. Saya mengucap permisi dan mengatakan keperluan saya. Lagi enggak bisa, Mas, katanya. Saya pun keluar dari Alfamart, menemui Farhan, dan menjelaskan yang terjadi barusan. 

“Coba entar siang aja kalau gitu,” kata Farhan. 


Saya bangun menjelang pukul tiga sore. Selesai mandi saya berniat mencari lauk sekalian mampir ke Alfamart. Saya bertanya kepada kasirnya (seorang perempuan berjilbab yang wajahnya terlihat imut, mungkin ia baru lulus SMA atau kuliah semester awal), apakah bisa isi pulsa. Ia awalnya menjawab bisa, tapi begitu saya menyebutkan kata Bolt, ia langsung buru-buru meralatnya, “Wah, kalau Bolt mah enggak bisa, Kak.” 

“Emang kenapa? Udah putus kontrak kerja samanya?” 

“Bukan. Bolt kan lagi diblokir, Kak.”

“Diblokir gimana?” 

“Enggak tahu juga, sih. Coba Kakak tanya ke pegawai Bolt-nya aja.” 

“Itu dari kapan diblokir?”

“Udah mau sebulan deh. Kakaknya emang enggak baca berita?”

Saya menggeleng. Di dalam hati saya berkata, Aku malas baca berita karena isinya politik melulu. Baca garis tanganmu aja, boleh? Siapa tahu kita jodoh.

Saya lalu mengucapkan terima kasih dan pergi membeli ayam geprek. 


Sesampainya di rumah, saya langsung menumpang Wi-Fi tetangga sebelah demi mencari tahu berita tentang Bolt yang diblokir itu. Kelar membaca warta di salah satu media daring, saya langsung merasa heran. Saya ke mana aja sampai ketinggalan berita hampir sebulan begini? Hal yang enggak bisa saya pahami berikutnya, kenapa Bolt masih repot-repot mengingatkan pemakaian kuota telah mencapai sekian persen (lazimnya pas 70% atau lebih) kepada pelanggannya, lalu menyuruh segera beli paket internet. Sementara itu, ini saya mau isi ulang aja enggak bisa sebab perusahaannya sedang bermasalah. Saya berpikir, barangkali notifikasi itu adalah sistem otomatis dari Bolt. Sebulan belakangan ini yang menjawab keluhan-keluhan di akun Twitter mereka mungkin juga bot.

Sejauh ini—sejak pertama kali beli pada Agustus 2014 sampai Bolt tutup—saya nyaris enggak pernah komplain karena pelayanannya di Jakarta Barat (terutama daerah rumah saya) termasuk baik-baik saja. Saya pun tidak pernah menduga kalau Bolt ternyata memiliki utang senilai tiga ratusan miliar, hingga berujung bangkrut seperti ini.

Awalnya saya merasa biasa aja, saya pun berpikir tinggal cari provider baru. Tapi yang akhirnya terjadi sampai hari ini, saya masih belum tahu mesti ganti kartu apa. Apakah mi-fi bekas Bolt saya ini masih bisa di-unlock? Seandainya bisa, 4G-nya pasti bakalan hilang. Kayaknya saya perlu beli mi-fi baru yang fiturnya sudah 4G. Kampret, saya harus keluar duit yang jumlahnya lumayan.

Sebetulnya masih ada cara lain untuk mengakses internet di laptop, saya tinggal tethering dari ponsel. Masalahnya, ponsel saya ini juga masih butut. Belum bisa 4G. Apakah ini berarti saya juga perlu ganti ponsel yang lebih canggih? Sontoloyo, kenapa semua ini ujung-ujungnya duit lagi, sih? 

Kehilangan sesuatu (dalam hal ini: penyedia layanan internet) secara mendadak begini rupanya juga bisa bikin sedih. Saya kayaknya belum siap menerima kenyataan. Tapi saya tahu, saya perlu mencari penggantinya. Entah itu dalam keadaan siap ataupun tidak. Kesedihan ini pun menyeret saya ke waktu pertama kali menjadi pelanggannya.


Kala itu, jika tidak salah ingat pada 1 Agustus 2014, saya lagi jengkel bukan main sama modem colok SmartFren yang lemotnya keterlaluan. Iklan mereka sih bagus: anti lelet. Tapi kenyataannya, kecepatan internet mereka itu omong kosong belaka. Salah seorang kawan saya sempat menjelaskan, di mana-mana kalau unlimited mah emang begitu. Pemakaian lebih dari batasnya, ya bakalan jadi lemot. Saya pun protes kalau dari awal juga sudah lambat.

Enam hari setelahnya, ketika saya sedang makan-makan merayakan turunnya gaji bersama teman sekelompok di kantor, Panjul—yang bernama asli Irfan Julianto—mengeluhkan Wi-Fi di Warung Steak yang lelet. Ia bilang, mending pakai Wi-Fi sendiri. Saat itulah ia mengeluarkan modem Bolt ZTE dari dalam tasnya.

“Bolt emangnya bagus, Jul?” tanya saya kepadanya. 

“Bagus, di rumah gue kenceng banget.” 

Saya menanyakan harga modem dan paketnya. Ia menjawab Rp299.000, lalu paket kuota 4 GB harganya 50 ribu. 

“Enak ya pakai mi-fi, bisa dibawa ke mana aja. Enggak kayak modem USB yang harus dicolok dulu.” 

“Lebih enaknya lagi pas pembelian awal, Yog. Dapet bonus kuota 8 GB buat sebulan.”

Jika tidak salah ingat, saya membeli modem colok SmartFren seharga Rp199.000 sudah terhitung PPN dan gratis kuota 4 GB selama 30 hari. Untuk kebutuhan selanjutnya, saya mengisi paket unlimited 2 GB seharga 49 ribu. Kalau tahu harganya cuma beda seratus ribu begini mah semestinya dari awal saya langsung beli mi-fi Bolt. Paket yang Bolt tawarkan pun terasa lebih mantap.

Berhubung rumah Panjul hanya berjarak tempuh sekitar 10 menit dari rumah saya menggunakan motor, yang berarti koneksi internetnya pasti akan sama berdasarkan lokasi, saya jadi mulai tergoda dengan perkataannya.

“Lu beli modem itu di mana, Jul?” 

“Sebenernya ini dikasih kakak gue, sih,” kata Panjul. “Cuma gue tau tempatnya, Yog. Mereka biasanya jualan di pinggiran jalan deket Binus Anggrek.”

Meluncurlah saya ke sana sepulang acara makan-makan bersama teman kantor.


“Itu mah pas pertama keluar. Sekarang udah enggak diproduksi, Mas.” Begitulah jawaban yang saya dapatkan ketika bertanya mengenai mi-fi Bolt ZTE kepada penjualnya. “Adanya yang Huawei,” lanjutnya. 

“Harganya masih sama 299 ribu, kan?” 

“Sama, cuma yang Slim lagi habis. Ini adanya yang Max, Mas. Harganya nambah seratus ribu.” 

“Terus yang Slim besok stoknya ada?”

“Saya kurang tahu. Daripada nunggu besok, mending beli yang ini, Mas. Bagusan yang ini juga. Baterenya lebih awet.” 

Mulut penjualnya terus-terusan memuji produk dagangannya sendiri. Pokoknya, ia berusaha meyakinkan saya supaya membeli mi-fi Bolt Max itu.

“Duit saya kurang, Bang. Saya ke ATM dulu,” ujar saya.

Saya tidak langsung ke ATM, tentu saja. Saya coba mencarinya ke toko di dekat-dekat situ, tempat saya dulu pernah membeli modem SmartFren. Saya senang mengetahui di toko itu tersedia Bolt Slim. Tapi sayang, kegirangan saya datangnya terlalu cepat karena di toko itu adanya yang sudah di-unlock. Lebih-lebih begitu saya tanya soal harga, ternyata harganya sama kayak Bolt Max. Di telinga saya terngiang kembali kalimat penjual mi-fi Bolt itu, Bagusan yang Max. Enggak usah sering-sering di-charge kayak yang Slim. Saya pun mengulang alasan yang sama kepada penjaga toko itu, seperti yang saya bilang kepada penjual Bolt di pinggiran jalan sebelumnya.

Akhirnya, jadilah saya ke ATM dan kembali ke pedagang yang di pinggiran jalan. Malam itu saya pun resmi menjadi pengguna Bolt.



Dalam setahun pertama pemakaian, saya berusaha memaklumi hilangnya sinyal di daerah-daerah luar Jakarta, khususnya tempat saya kuliah dan nongkrong bersama teman-teman kampus di sekitaran Tangerang Selatan, Depok, dan Bogor.

Beberapa bulan berikutnya, saya gembira sekali karena jaringan Bolt mulai meluas. Tempat-tempat yang tadinya susah sinyal berubah jadi stabil. Apalagi ketika mereka menyediakan paket kuota malam yang berlaku pada pukul 1-8. Tahun 2015 akhir hingga 2016 adalah masa-masa saya menjadi pengangguran dan makhluk nokturnal. Tersedianya paket itu bagaikan harta karun buat saya. Cukup dengan mengeluarkan uang 25 ribu, saya sudah bisa menikmati 1 GB kuota utama dan 2 GB kuota malam. Mungkin bagimu itu biasa saja, dan cenderung kurang. Tapi bagi orang seperti saya yang lebih suka membaca blog daripada menonton Youtube, kuota segitu sudah lumayan. Sebagai pengangguran saya memang perlu berhemat dalam hal apa pun.

Kebiasaan menghemat kuota ini bahkan terus berlanjut sampai 2017 dan 2018. Bedanya, saya sudah jarang begadang. Hal itu pun membuat saya mesti mengganti paket yang waktunya normal. Saya pindah ke paket seharga Rp29.000 dengan kuota 1,5 GB demi bisa menyesuaikan isi dompet. Sewaktu muncul bonus 4 GB pada harga Rp49.000—yang kuota utamanya juga 4 GB, saya langsung beralih saat itu juga.



Terlepas dari paket-paket internetnya yang buat saya menggiurkan itu, Bolt secara tidak langsung pernah berjasa kepada saya dalam urusan perempuan.

Saya pikir kenalan yang berawal dari tabrakan itu cuma terjadi di FTV atau sinetron saja. Tapi begitu mengalaminya sendiri, saya masih tetap enggak percaya. Saya seolah-olah mengalami mimpi lagi syuting dan memerankan salah satu tokohnya.


Hujan deras dan lupa membawa jas hujan membuat saya harus pulang agak larut dari Mekdi daerah Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Pukul setengah 12 barulah hujan mulai mereda. Itu pun masih rada-rada gerimis. Saya ingin memilih nekat. Basah-basahan sedikit bukanlah masalah. Yang penting saya pakai helm, sehingga kepala nanti tidak pusing.

Di pintu keluar, seorang perempuan tidak sengaja menyikut pipi kiri saya. Ia kaget, segera menoleh, dan berkata, “Aduh, sori ya. Sori banget.” 

Tadinya saya udah pengin marah, tapi seketika melihat parasnya yang menggemaskan dan mengenakan kacamata, saya spontan bilang, “Enggak apa-apa. Gue juga yang salah, sih. Tadi jalan sambil lihat HP.”

Ia sekali lagi meminta maaf. Saya lantas iseng bertanya itu tadi maksudnya lagi ngapain? Ia menjawab sedang cari sinyal. Biasalah kalau hujan suka gangguan. Tanpa saya bertanya lebih lanjut, ia malah bercerita lagi menunggu temannya yang niatnya mau menjemput. Bodohnya, temannya kurang paham daerah sini dan kesasar entah di mana.

“Terus pas gue mau share loc. malah enggak bisa-bisa,” katanya.

Saya mengusulkan kenapa enggak ditelepon aja. Kan masih bisa kasih patokan. Katanya, ia lupa isi pulsa. Kemungkinan temannya juga enggak punya pulsa. Saya awalnya mau menawarkan pakai ponsel saya, tapi pas dicek ternyata pulsa saya juga sedang habis. Syukurlah saat itu saya teringat dengan mi-fi Bolt.

“Ya udah, pake Bolt gue aja nih.” 

Ia langsung tertawa kikuk dan bilang jadi enggak enak. 

“Udah tadi nyikut, sekarang malah ngerepotin,” katanya. 

“Ha ha ha. Santai aja.” 

Ia mengatakan pesannya telah terkirim dan mengucapkan terima kasih. Saya pun entah kenapa bisa-bisanya bilang begini: “Mau nunggu bareng? Gue mau mastiin temen lu bisa sampe sini. Mungkin lu butuh internet juga biar enggak bete.”

“Ya Tuhan, beneran? Lu enggak kemaleman? Boleh aja kalo lu mau mah.” 

Suaranya merdu sekali di telinga.

“Rumah gue masih deket-deket sini, kok,” kata saya.

“Oh, ya udah.”

Saya betul-betul enggak menyangka kalau dirinya juga tidak keberatan. Di tengah momen hening yang bikin canggung itu, saya mengajaknya berkenalan. Ia bernama Diana Amelia—saya lebih suka memanggilnya Amel. Seorang mahasiswi semester dua di Universitas Desa Tunggul.

“Loh, kirain kita seumuran,” kata Amel begitu mendengar bahwa saya sudah semester lima. Ia semakin kaget saat saya menjelaskan sempat menunda kuliah satu semester untuk menjawab pertanyaannya kenapa pada semester genap begini, saya malah semester ganjil.

Lima belas menit berselang, temannya Amel—seorang perempuan juga—akhirnya datang mengendarai Honda Jazz biru.

“Makasih banyak, Yog. Duluan, ya,” kata Amel sambil dadah-dadah dari dalam mobil yang kacanya setengah terbuka.


Tiga minggu sehabis kejadian malam aduhai itu, Amel menegur saya di Mekdi itu lagi. Ia menepuk bahu saya, menanyakan bagaimana kabar saya, dan apakah masih ingat sama dirinya. Saya bertanya dari mana ia tahu kalau saya berada di sini. Apakah ini kebetulan?

“Gue emang suka ke sini. Tadi Wi-Fi lu masih nyambung ke HP gue karena belum dihapus. Terus gue coba cari-cari lu. Ketemu deh.”

Amel akhirnya pindah ke meja saya dan kami mulai mengobrol. Saya membuka obrolan dengan bertanya, kenapa setiap ke Mekdi selalu sendirian? 

“Ke mana-mana juga sering sendiri. Lebih enak sih lagian, enggak ribet.”

Saya sepakat dengannya.

Singkat cerita kami bertukar kontak. Kami juga berteman dan akrab. Beberapa kali kami janjian main ke Mekdi itu lagi. Tidak jarang pula kami mengunjungi kafe yang Amel rekomendasikan di dekat-dekat situ. Kami pernah mengunjungi toko buku bersama dan bertukar referensi bacaan. Kami pun pernah menonton bioskop sekali, film The Revenant. Dari pertemuan-pertemuan itu, bibit-bibit sayang di hati saya mulai tumbuh terhadapnya. Perasaan itu datang begitu saja dan tidak bisa saya cegah.

Biasanya, perempuan yang pakai kacamata, begitu kacamatanya dilepas wajahnya bakalan terlihat aneh di mata saya. Amel adalah salah satu dari sedikit perempuan yang tergolong pengecualian dari pernyataan barusan. Ia sungguh berbeda karena nyaris tidak ada bedanya antara pakai kacamata maupun tidak. Cantiknya tidak berubah sama sekali. Mungkin ini faktor potongan rambutnya yang juga agak ikal. Entah ini termasuk persoalan selera atau bukan, intinya selalu ada nilai tambah buat perempuan yang rambutnya tidak lurus-lurus amat. Perempuan berambut lurus itu terlalu biasa, Sayangku. Terus botak cantik banget, dong?


“Kita ini sebenernya apa sih, Yog?” tulisnya di WhatsApp.

Saya membaca pesan itu berulang-ulang kali dan tetap kebingungan harus menjawab apa. Semestinya jawaban itu bisa dengan mudah saya ketik kalau saja empat hari sebelumnya saya tidak mencari tahu lebih lanjut tentang Amel. Kami sudah berhubungan sekitar empat bulan, dan saya baru tahu ternyata kami berbeda agama. Ia adalah perempuan yang pada awal cerita sempat saya singgung dan menjadi pengalaman pahit itu.

Dengan penuh pertimbangan bagaimana ke depannya hubungan kami nanti, saya akhirnya membalas, “Maksud lu gimana, Mel? Kita temenan, kan?”

Saya membohongi perasaan saya sendiri. Saya pengecut. Belum apa-apa sudah takut memulai. Saya hanya berharap kami bisa tetap berteman baik seperti sebelumnya.

Tanda dua ceklis biru akhirnya muncul di samping penanda waktu. Amel telah membaca pesan saya, tapi ia tidak mengirimkan balasan. Sejak hari itu, bahkan enggak ada lagi pesan-pesan dari Amel yang masuk ke ponsel saya.

Fotonya di WhatsApp tidak terlihat. Kata salah seorang teman saya, itu tandanya kontak saya dihapus atau diblokir olehnya. Lalu saya sempat mengomentari fotonya di Instagram, tapi belum ada lima menit komentar saya itu langsung lenyap. Ia pun menghilang dari daftar pengikut maupun mengikuti. Sepertinya saya diblokir lagi sama Amel. Saya sudah sempat menebak hal ini akan kejadian.

Sekarang saya cuma bisa menyesal mengapa saya dulu bisa-bisanya membalas pesannya dengan kalimat tolol itu. Sepatutnya saya tidak perlu repot-repot mengubek-ubek data tentangnya. Sebaiknya kami tidak usah berteman. Semestinya pada malam yang hujan deras itu, saya enggak usah menawarkan bantuan. Seharusnya saya juga tidak mendengarkan lagu Chiodos – Baby, You Wouldn’t Last a Minute on the Creek versi akustik, yang bikin air mata saya menetes.

Tapi saya sedikit-sedikit mulai mengerti, bahwa menyesal tidak akan pernah membawa saya ke mana-mana, selain cuma bisa bersembunyi di bawah atap dan mengetik tulisan ini sembari meratap.

Apa yang terjadi itu mungkin memang sudah jalannya. Maka FTV yang saya mainkan ini artinya sudah selesai. Kini, semua itu hanya tinggal kenangan. Tapi apakah ingatan saya ini tidak sedang berkhianat? Apakah cerita ini betul-betul terjadi? Mungkinkah ini semua cuma fiksi? Apa pun itu, terima kasih, Bolt, telah menemani saya ngeblog selama ini. Makasih juga sudah berhasil membuat saya menuliskan omong kosong yang terlalu panjang ini, sampai-sampai cerita berkelok tanpa saya sadari.

--

/24 Desember 2018 - 6 Januari 2019

Maafkan saya wahai cees Agia kalau cerita ini belum ada perkembangan yang signifikan. Ini draf sebagian udah tertulis sebelum kita ngobrol. Seenggaknya saya telah berusaha mendengarkan saran-saranmu dan coba mempraktikkannya. Semoga tidak khilaf terlalu parah. Jangan sungkan-sungkan memberikan masukan lagi sekiranya tulisan ini masih jauh dari kata menarik. Nuhun.

16 Comments

  1. Aku malas baca berita karena isinya politik melulu.

    Lo kayaknya harus ganti tempat baca berita, Yog. Kalau baca Tempo ya isinya berita politik mulu, wajar. Coba baca yang lain, misalnya Anmo Domino atau N Firmansyah dot kom.

    Anw, semesta selalu punya cara yang unik untuk mempertemukan dan memisahkan dua orang ya, Yog.

    Btw, lu nggak pengen memperjuangkan Amel, Yog? Siapa tau dia masih sering nongkrong di Mekdi? Kok bacanya jadi ikutan sedih sih anjir. HUAAAAHHHH

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, AnmoDomino bagus, tuh. Pertama tahu kirain cabangnya toko pizza. Ternyata bukan.

      Kalau NFirmansyah enggak bagus. Lebih bagus SampahmuID (apa, ya, lupa, pokoknya tentang sampah-sampah gitu).

      Soal Amel, um, enggak mau komen. Toh, Allah bisa membolak-balikkan hati manusia. Cielah. :p

      Delete
    2. Firman: Anmodomino punya lu atau gimana, Man?

      Ketemu sama seseorang emang bisa gimana aja caranya. Banyak malah yang unik. Enggak, ah. Biarkan saja yang berlalu. Mungkin Amel juga cuma fiksi. :p Gue udah rada males main ke situ maupun restoran cepat saji lainnya. Wahaha.

      Gigip: kirain itu situs judi.

      Delete
  2. Daripada baca berita yang gak jelas, mending baca garis tangan siapa tau kita berjodoh, anjay, boleh juga bang wkwkwk

    Cewek berkacamata, beda agama hmmm bedanya dia di esa unggul ini di.. situlah pokoknya wkwk. Enak sih bang kalo punya wajah ganteng mah ada kejadian kaya gitu cewek gak risih. Coba kalo saya, cewek takut duluan, dikira saya mau nyopet wkwkwk.

    Btw, modem smartfrennya masih ada gak? Kan bisa ditukerin jadi mi-fi smartfren 4G, buat kualitas udah agak mendingan ah smartfren saat ini, soalnya paket kuota 16GB 40ribu, ada juga yang 8GB 30ribu. Tapi tergantung daerah sih ya haha.

    Saya juga kaget loh bolt bisa bangkrut. Mungkin gak lama lagi internet bakal gratis, kalo google udah bisa ngembangin teknologinya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Padahal gue enggak punya kemampuan baca garis tangan. :(

      Kayaknya udah hilang. Baru tahu bisa dituker. Dulu jelek, sih. Mungkin karena dulu belum 4G juga. Berarti sekarang udah lumayan bagus? Bolehlah nanti dicoba.

      Masa iya gratis? Terus pada tutup semua dong perusahaan di bidang itu?

      Delete
  3. Ini yang mention bareng Dian Hendrianto itu, ya? Awalnya kalau enggak salah soal nomor telepon gitu. Dian malah ngasih nomor modem Bolt-nya, yang jelas-jelas enggak bisa dikontak. Hahaha.

    ReplyDelete
  4. Panjang, ya?


    Tulisannya.
    Mau cerita dan ngucapin terima kasih sama Bolt, tapi bisa dikembangin hingga beribu-ribu kata gini. Terniyat sih ini.

    Saya juga baru tau kalau Bolt bangkrut, pas baca twitt mu, Yog. Kemudian coba googling. Lah, beneran pailit. Padahal kalau lihat iklannya dulu di tv-tv, Bolt ini provider yang nawarin kecepatan akses data yang ekstra wus-wus-wus. Tapi sayang, baru di beberapa kota aja sih.

    Amel, beneran apa fiktif? Pas baca komentar di atas, kok jadi penasaran. Hahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya nih, sekitar 3.000 kata kalau enggak salah. Bukan niat sih tepatnya, tapi kelamaan dipendam terus idenya bercabang. Haha.

      Jeleknya Bolt ini emang cuma terbatas lokasinya, baru Medan dan Jabodetabek.

      Terserah pembaca mau menganggapnya gimana. :D

      Delete
  5. Kok jadi penasaran kenapa bolt bisa bangkrut dan memiliki hutang sebanyak itu. Hmmm...

    Enak sekali jadi orang cantik itu, udah nyikut masih dapet Wi-Fi gratis. Eehh...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Biarkan itu jadi rahasia mereka. Anggap aja rezeki buat dia. Hahaha.

      Delete
  6. Amel kayak Bolt ya; diawali dengan awal yang manis, diakhiri dengan perpisahan yang tragis.

    dan gue mengerti gimana perasaan pas ceklis doang itu. hua hua.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Apa diblokir juga setelahnya? :(

      Tulisanmu yang Kaleidoskop kenapa hilang, Yan?

      Delete
  7. yg gini nih, jd nebak2, cerita beneran ato fiksi ato setengah2 hahahaha. Ylbisa aja deh kamu ngembangin cerita. dr bolt lgs panjang kemana2 tp tetep menarik. krn aku ttp mau baca sampe abis :D.

    dan jd tau juga bolt bangkrut hahaha.. pantesan ada 1 temen jrg beli pulsanya lg lwt aku. kirain dia udh menghilang kemana. trnyata memang udh ga ada brgnya :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Memadukan fiksi dan kenyataan adalah cara bermain-main saya setiap kali menulis cerita, Mbak. Wahaha.

      Nah, yang jual pulsa aja juga ketinggalan berita. :p

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.