Aku Ingin Menyusul Kepergian Kakak

Aku masih tidak menyangka bisa mengeluarkan air mata sewaktu mendengar Oki, seorang kakak sekaligus saudara kandungku satu-satunya, termasuk korban yang tewas saat Bus Yanti Grup masuk jurang pada tahun 2009. Sejujurnya, aku tidak dekat dengan kakakku. Usia kami terpaut lumayan jauh, tiga belas tahun. Sebagaimana kakak-beradik laki-laki yang biasanya sering bertengkar, kami malah tidak pernah. Setidaknya, begitulah yang terekam di ingatanku. Lagi pula, aku memang tidak memiliki banyak kenangan bersamanya.

Kakakku meninggalkan rumah atau merantau entah ke mana begitu dirinya lulus SMK pada usia delapan belas. Kakak pun jarang di rumah ketika kami masih tinggal satu atap. Sampai hari kematiannya itu, ia bahkan belum pernah sekali pun kembali ke rumah orang tua dan bertemu aku lagi.

Soal selama ini ia pernah mengirimkan uang kepada orang tua atau tidak, itu bukan urusanku. Aku juga tidak mau menanyakan hal itu kepada Ayah dan Ibu, apalagi bertanya tentang kabar Kakak. Aku bahkan sempat lupa kalau diriku ini punya seorang kakak. Satu-satunya momen singkat yang berkesan dan mampu kugali dari memori itu saat kematiannya hanya ketika aku dulu senang memboncengnya naik sepeda setiap hari Minggu. 

sumber gambar: https://pixabay.com/id/anak-sepeda-bersepeda-abendstimmung-2062707/

Aku belum berani membonceng di belakang dengan menginjak jalu. Seandainya aku berani, Kakak tentu akan melarangku karena takut kakiku terkena jari-jari. Jadinya aku duduk menyamping di besi depan—yang sudah dimodifikasi oleh Ayah, sehingga ada dudukan khusus supaya terasa empuk ketika ban melindas polisi tidur.

Suatu hari pas kami lagi asyik jalan-jalan sore, ia entah mengapa mengajakku ke jalanan yang belum pernah kulewati sebelumnya. Ia katanya mau memperlihatkanku kereta api. Aku memang belum pernah melihatnya langsung. Selama ini baru dari gambar dan televisi. Setelah sepuluh menit menggowes pelan-pelan sembari menunggu kereta melintas, apa yang kami tunggu-tunggu itu akhirnya tiba. Bunyi konstan yang khas terdengar saat palang pintu diturunkan. Kakak memberhentikan sepedanya dan kami memandanginya dari pinggiran jalan raya. Aku masih belum mengerti kenapa senang sekali ketika itu cuma dengan memperhatikan kereta api yang lewat. 

Begitu gerbong terakhir sudah tidak terlihat dari pandanganku, sepeda mulai melaju pelan. Tiba-tiba pintu mobil di samping kiri kami yang lagi parkir itu terbuka. Kakakku pun kaget dan banting setang ke kanan dan kami terjatuh. Dari posisi yang agak jauh, Kakak bertanya apakah aku terluka, lalu kujawab dengan geleng-geleng kepala yang berarti: aku enggak kenapa-kenapa. Meski sebenarnya siku kananku besot sedikit, tapi aku bisa menahan rasa perihnya. Aku bingung kenapa tidak menangis pada waktu itu.

“Sekarang kita pulang aja, ya,” ujar Oki. 

“Iya, Kak.” 

Beberapa detik saat kami ingin bangkit dan pulang ke rumah, terdapat motor yang melaju kencang sekali. Motor itu nyaris menabrakku. Kakak segera berlari ke arahku, memelukku erat sekali, bermaksud melindungi kepalaku.

Aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya karena kepalaku sangat pusing. Kakak bilang kami terserempet motor itu. Jika tidak salah ingat, kami bahkan terpental enam meter dari posisi sepeda yang masih tergeletak—tempat kami pertama jatuh. Yang bikin kepalaku pening mungkin sebab badan kami sempat terguling-guling di jalanan. 

Syukurnya kami berhasil sampai ke rumah dengan selamat sehabis kecelakaan itu. Di perjalanan pulang, ia mengatakan kalau aku hebat dan kuat karena enggak menangis. Malam harinya, kala Kakak sedang diurut, aku sempat melihat bagian pantatnya biru keungu-unguan. Kakak menjerit-jerit ketika tukang urut menyentuh luka itu. Aku langsung berlari ke kamar dan mataku mengeluarkan tangisan yang deras. Ia tersiksa seperti itu karena berusaha melindungiku. 

Kakakku ternyata keliru. Aku ini lemah dan cengeng. Yang hebat dan kuat itu justru dirinya. Ia mampu menyembunyikan rasa sakitnya di hadapanku dan lebih mengkhawatirkanku. Aku menangis sampai lelah dan jatuh tertidur.

Tangisanku cuma reda sementara, sebab berlanjut lagi keesokan harinya pas mengetahui bahwa Kakak kira-kira harus bolos sekolah selama sepuluh hari. Ia tidak bisa berjalan untuk sementara. 

Gambaran dari masa lalu itu berhasil menumpahkan air mataku. Kakakku pergi meninggalkan rumah dua tahun sesudah tragedi sialan itu, tepat ketika ia berusia delapan belas. Begitu aku berumur delapan belas, ia meninggalkanku untuk selama-lamanya. Walaupun sudah lama tidak berjumpa, kenangan indah bersama Kakak tetap menempel di benakku. Rasanya seperti baru kemarin. 


Sekitar sepuluh tahun telah berlalu sejak kematiannya. Aku semalam baru saja memimpikan Kakak. Mimpi saat kami naik sepeda dan kecelakaan. Semua terulang kembali, tapi kali ini aku dapat melihatnya dengan begitu detail.

Ada satu kejadian yang sempat kulewatkan pada hari itu. Aku heran kenapa dulu tidak sempat bertanya mengenai pantatnya yang bisa sampai lebam itu. Di dalam mimpi itu, sehabis kami guling-gulingan di aspal karena Kakak bermaksud menyelamatkanku, ia ternyata tertabrak lagi oleh motor lain. Sebelum bokongnya tertabrak, ia sempat mendorongku menjauh darinya agar aku selamat. Bangun-bangun aku langsung menangis. 

Malam berikutnya aku mendapatkan mimpi yang mirip. Bedanya, Kakak gagal menolongku dari awal. Peristiwa itu pun membuatku sampai dilarikan ke rumah sakit dan berujung kepada kematian. Aku terkejut dan terbangun dengan tubuh penuh keringat dingin.

Aku tidak bisa tidur lagi, lantas memikirkan ini: seandainya Kakak tidak berusaha menyelamatkanku untuk kedua kalinya pada tragedi kecelakaan naik sepeda itu, mungkinkah aku yang sekarang juga seharusnya sudah mati? 

Aku betul-betul tidak habis pikir, ia mempertaruhkan nyawanya hanya demi aku. Sedangkan aku sendiri marah kepadanya sampai-sampai tidak ingin menganggapnya lagi sebagai seorang kakak cuma lantaran ia pergi dari rumah. Sedikit pun aku tidak berusaha mengkhawatirkannya di luar sana. Saking murkanya diriku, aku bahkan memantapkan keyakinan untuk tidak peduli lagi apa pun yang terjadi dengan dirinya. Aku sekarang benar-benar menyesal. Kenapa seseorang terasa amat spesial setelah dirinya tiada?

Malam ini aku sangat cemas, apakah besok aku akan kembali bermimpi tentangnya? Aku jadi takut tidur. Aku tidak mau perasaan bersalah ini terus-menerus menghantui dan menyiksaku. Aku akhirnya menggantung diriku malam itu juga untuk menyusul Kakak. Toh, semestinya aku memang sudah mati sejak 25 tahun silam. Sayangnya, Kakak malah memperpanjang usiaku. Ia pasti telah bernegosiasi dengan Izrail untuk menukar sisa umurnya itu agar dapat diberikan kepadaku, sehingga dirinya mati lebih cepat.

24 Comments

  1. Maaf ingin sedikit berbagi ketidaktelitian membaca paragraf awal. 'Bus Yanti' dalam pikiran saya, Bu Yanti masuk jurang.

    Trus ngakak miris menyadari ketidakseimbangan berpikir itu :(

    Seperti biasa, ada plot twist di akhir--atau kalau tidak mau disebut begitu, tidak membiarkan cerita ini berakhir dengan 'biasa' yada yada.

    Seperti penyesalan 'aku' terhadap kakaknya semasa hidup, baru dirasakn ketika sudah tidak di dunia, saya rasakan kepada orangtua....'bagaimana bila nanti'. Belum sih, tapi rasa itu seirng muncul. Akhirnya jadi lebih bisa menghargai keberadaan mereka.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kasihan Bu Yanti dibawa-bawa ke jurang. :( Iya, pikiran kayak gitu tentu ada. Makanya sekarang mesti menghargai siapa pun yang menurut kita berarti. :D

      Delete
  2. Gue merinding pas bagian ini, "mungkinkah aku yang sekarang juga seharusnya sudah mati?"

    Ini kisah nyata Yog? Sedih banget. Beruntung lo punya kakak begitu. Kejadian sepeda pas umur berapa Yog?

    25 tahun?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Itu ada labelnya fiksi, Rih. Tapi boleh kalau mau anggap ini nyata. Wahaha. Di cerita ini si "aku" kecelakaan sepeda pas umur tiga tahunan.

      Delete
  3. Kalau baca tulisan sedih gini gue suka pengen nampol penulisnya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ampun, Bang. :( Jangan kasar gitu dong, mending traktir penulisnya makan. Wqwq.

      Delete
  4. Bus Yanti masuk jurang hmm kek pernah baca dimanaa gitu yak

    ReplyDelete
  5. Awalnya sya byangin pantatnya biru kakaknya krna bekas tanda lahir. Trnyata luka serius ya Yog. Maafkan imajinasi sya 😂

    Eniwei, ceritanya cukup tragis Yog. Walaupun sya msih merasa emosi, depresi dan rasa frustasi apa yg dialami si tokoh aku ini sehingga memutuskan buat bunuh diri blum terlalu kuat. Gokil. Udah kyak kritikus sastra gue hahaha.

    Iya, soalnya di paragraf2 awal kan dia kyak merefleksi ingatan gitu kan. Klo dia pngin bunuh diri krna rasa bersalahnya dari mimpi itu, ada range wktu yg cukup lama di situ Yog. Nah dia ditahun2 itu ngapain aja. Ga mungkin dong kerjaannya cman meratapi kehilangan. Cman itu sih Yog. Selebihnya feel 'kehilangan' dan 'pengorbanan' seorang kakaknya tetep dapet. Gw tetep suka.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah, iya. Niatnya pengin bikin cerita yang ringkas, karena sebelumnya terlalu banyak detail dan bertele-tele. Tapi ini saya malah luput sama bagian itu. Betul yang kamu bilang. Selain rasa bersalah dari masa lalu dan mimpi, pasti ada penyebab lain. Cerita saya berlubang. Haha. Makasih, Rey.

      Ya elah, enggak harus menjadi kritikus sastra untuk komen begitu. Lain kali kasih tahu gini lagi, ya. Saya justru suka diberi masukan. :D

      Delete
  6. Sumpah gue kira ini non fiksi, Yog :')
    Feelnya dapat huhuhu lu selalu always gila kalo nulis beginian

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ini cerita buangan sejujurnya dari tulisan utama yang gue anggap kepanjangan. Buru-buru juga nulisnya. Gilanya kenapa, Lan? Masih banyak lubang, kok. Kurang dikembangin lagi. :)

      Delete
  7. skr kalo baca tulisanmu, aku hrs liat tagnya dulu, fiksi ato bukan :D. krn seperti biasa, kadang suka jd kebawa ama alurnya hahahaha...sedihnya dpt nih yog. ngebayangin kalo punya kaka yg sebaik itu :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sedihnya lagi, di kehidupan nyata saya emang enggak punya kakak. :(

      Delete
  8. Udah baca sampe akhir, udah sedih-sedihan. Pas mau komen, "Yoga, sabar ya.. semoga bla bla bla...." Eh kebaca kata-kata fiksi di komentar atas... astaga. Sedih banget ceritanya... you were born to be a good writer or story teller.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih udah bilang bagus, Ran. Tapi saya mesti mengakui, cerita yang ini masih banyak kekurangan. Ada bagian-bagian yang luput dari perhatian saya.

      Delete
  9. Agak kurang bisa menerima (halah) yang bagian kakaknya kesrempet motor lagi pas mau mbangunin sang adek. Pengendara motornya yang ugal-ugalan, jalanan yang terlalu ramai, atau karena sang kakak yang kurang berhati-hati? Sehingga bisa tertabrak lagi?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ada yang engah juga akhirnya. Kamu betul, Wis. Bagian itu enggak logis dan kurang bisa diterima. Sehari setelah tulisan ini terpublikasi, saya membaca ulang dan baru sadar sama bagian itu. Cuma apa yang udah kadung dipos, saya malas otak-atik lagi. Kalaupun nanti mau direvisi, palingan dalam bentuk lain.

      Kesalahan saya adalah menggabungkan antara fiksi dan kenyataan, tapi saya malah lupa kalau cerita ini berwujud akhir fiksi--yang mana harus logis. Di kenyataan hal semacam itu bisa terjadi kalau orangnya lagi sial banget. Di dunia fiksi, semuanya harus masuk akal. Itu latarnya terjadi sebelum tahun 2000. Kondisi pengemudi motornya emang ugal-ugalan. Orang yang baru bangun dari terjatuh biasanya masih kaget dan enggak akan sempat lihat-lihat keadaan sekitar.

      Delete
    2. Adegan tabrakannya banyak banget ya

      Delete
  10. Gue masih engga kebayang kalo beneran ada di kehidupan nyata yg mendapatkan kesialan seperti itu. Keserempet mobil, ditabrak motor dua kali.
    Tapi endingnya ngenes juga ya.hahah

    Pengen juga nih ikutan nulis cerpen gini.semoga aja ada beberapa cerpen d blog gue d tahun ini.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sebetulnya mah ada aja. Namanya nasib buruk. Orang yang jadi korban ledakan bom atom di Jepang dua kali itu salah satu contohnya, Zi.

      Yowes, tulis gidah. Dari tahun lalu mau ikutan bikin tapi enggak jadi-jadi. Wqwq. :p

      Delete
  11. Kalo gak baca komentar, gak bakal tau nih kalau ini fiksi saking 'hidup' nya. Udah kebawa-bawa sedih sampai merinding loh di paragraf terakhir. Hedeuh, Kak Oki, Kak Oki.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Itu di label juga tercantum fiksi, kok. Meskipun itu juga belum tentu berpengaruh akan kebenaran ceritanya. Beberapa penulis bikin cerita fiksi dari pengalamannya, pengalaman orang lain juga bisa.

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.