Mengubah Dunia dengan Imajinasi

Apa yang kauharapkan begitu membuka mata setelah terbangun dari tidur? Apa kau pernah membayangkan seorang lawan jenis berbaring di sampingmu tanpa busana? Kau tersenyum kala mendengarkan desah napasnya yang pelan dan teratur. Lalu, kau perhatikan pula wajahnya yang begitu damai dalam tidurnya itu. Kau tidak ingat mengapa dia bisa-bisanya tidur di sebelahmu. Apa sebelumnya kalian habis melakukan hubungan seks? Untuk kalimat selanjutnya, kau dapat berimajinasi sendiri.

Namun, apakah kau juga pernah membayangkan dirimu ketika terbangun justru langsung disodorkan pertanyaan oleh malaikat di alam kubur, “Man Rabbuka?” Meskipun pertanyaan itu sekarang tampak sepele dan kau yakin dapat menjawabnya, tapi bagaimana jika kau kelak malah bilang begini: “Buka? Buka apa? Buka sitik jos?” Kemudian, malaikat itu segera menghantam kepalamu menggunakan batu hingga kepalamu pecah. Apakah itu mengerikan? Seandainya belum, kau pun bisa mengkhayal yang lebih sadis daripada itu. 

Terlepas dari hal baik dan buruk yang mungkin pernah kau bayangkan itu, sore ini yang pertama kali kaulihat hanyalah tulisan Make Your Move! di kemasan susu. Kotak susu itu berdiri di samping kasurmu dan letaknya sejajar dengan matamu ketika melek. Kau memang gemar tidur miring menghadap kanan (mengikuti sunah Rasulullah), sehingga kau hampir tidak pernah melihat langit-langit kamar setiap kali bangun tidur dan membuka mata.

Lalu kau baru sadar, tadi sebelum mengistirahatkan diri, kau sempat mampir ke warung dan membeli susu itu. Setelahnya, tangan kirimu berusaha meraih kotak susu tersebut. Tapi sayang, jangkauan lenganmu terbatas. Kau pun mesti menggerakkan tubuhmu yang masih malas bergerak itu demi bisa menggapainya. Kotak susu itu sudah sangat ringan, tanda isinya telah kau minum. Kau kemudian duduk dan menggoyang-goyangkan kotak itu. Masih terdengar bunyi air di dalamnya. Ternyata, susu itu belum benar-benar tandas. Sesudah itu, kau membaca kalimat lain di bawahnya: “Tubuh sehat buat aksimu makin dahsyat.” Kau pun menyedot habis sisanya sampai kotak susu itu menghasilkan bunyi yang aduhai. 

Kau membuang kotak susu itu ke tempat sampah di pojokan kamar dan berjalan ke kamar mandi untuk mencuci muka. Saat sedang membasuh wajah, kau teringat kembali dengan tulisan di kemasan susu itu. Lalu otakmu menyimpulkan bahwa kau harus membuat pergerakan atau perubahan. Kau tiba-tiba membatin, Masalahnya, apa yang harus kulakukan sekarang? Mengubah bangsa ini menjadi lebih baik?

sumber: https://pixabay.com/id/tangan-dunia-peta-global-bumi-600497/


Kau langsung terkekeh setelahnya karena menyadari hal itu merupakan urusan yang sangat rumit. Tentu membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mengubah suatu bangsa. Toh, apa yang bisa kauharapkan dalam waktu dekat ini dari negara yang memiliki semboyan “Berbeda-beda tetapi tetap satu”, tapi kebanyakan warganya justru sulit menghargai perbedaan itu sendiri? Lebih-lebih mereka yang fasis. 

Sambil menatap wajahmu di cermin, kau bermonolog, “Baru bangun tidur kok mikirin yang berat-berat, sih?” 

Lalu, kau merespons pertanyaanmu sendiri dalam hati, Tapi memang begitu kan fungsi otak? Kalau tidak buat berpikir, buat apa lagi? 

Namun, pikiran-pikiran di kepalamu terkadang seperti punya kehendaknya sendiri. Dia bisa menjadi sangat liar dan tak terkendali. Oleh sebab itulah, di kepalamu saat ini bisa-bisanya muncul kalimat dari Leo Tolstoy: “Semua orang berpikir untuk mengubah dunia, tetapi tak seorang pun yang berpikir untuk mengubah dirinya.” Masih tetap dalam keadaan menatap cermin, tawamu kemudian kembali meledak. Kali ini lebih keras dari sebelumnya. Pertanyaanmu tentang mengubah bangsa secara tidak langsung sudah terjawab dengan sendirinya. 

Akhirnya, kau memilih keluar dari indekosmu. Kau berniat mencari udara segar sambil menenteng harapan. Semoga dengan melihat dunia luar, pikiranmu tidak sekacau sebelumnya dan bisa lebih stabil. Kau tidak lupa untuk mengambil dompet dan kunci motor yang tergeletak di kasurmu. 


Sudah sekitar 15 menit kau mengendarai motor tanpa tujuan. Kau mungkin tampak fokus menatap jalan, tapi kau tetap tidak dapat membohongi perasaan di hatimu yang mulai gundah mempertanyakan, Duh, yang enak ke mana, ya? Kau tidak sedang lapar dan haus. Makanya, kau berkali-kali melewatkan beberapa tempat makan favoritmu. Kau bahkan tidak memilih singgah ke minimarket. Biasanya, kau akan membeli es krim ketika merasa tidak keruan begini. Sejak dulu es krim selalu bisa menentramkan hatimu. Tapi, tidak kali ini. 

Kau seakan-akan sedang tidak memiliki hasrat akan apa pun. Di benakmu saat ini saja, kau tidak mampu memikirkan atau mengkhayalkan satu pun orang yang mungkin kelak bisa menjadi kekasihmu. Nafsu berahi pun rasanya sedang tidak muncul dalam seminggu belakangan ini. Mulanya, niatmu keluar dari indekos itu supaya terbebas dari pikiran yang aneh-aneh. Tapi, kau malah semakin bingung dengan dirimu akhir-akhir ini dan merenungi pelbagai hal.

Konyolnya, dua puluh tiga detik kemudian entah datang suatu ilham atau ada bisikan setan dari mana, kau mendadak belok ke tempat pangkas rambut. Begitu kau masuk ke dalam, cuma ada seorang pria berumur empat puluhan yang sedang dilayani oleh tukang cukur. Tidak ada orang-orang yang mengantre di kursi tunggu. Berarti setelah bapak itu ialah giliranmu. 

sumber: https://pixabay.com/id/penata-rambut-gaya-rambut-3572053/


Sekitar sepuluh menit telah berlalu. Kini, bapak itu sedang membayar upah cukur. Kau pun siap-siap berdiri dan pindah tempat duduk. Baru saja pantat kaubenamkan ke kursi, tukang cukur itu segera bertanya, “Mau cukur model apa?” Kau cuma menjawab dipotong rapi, tapi jangan terlalu pendek. Sembari rambutmu dipangkas, tukang cukur itu membuka obrolan dengan bertanya kau itu mahasiswa atau sudah bekerja. Lalu, dengan entengnya kau menjawab, “Aku nganggur, Mas.” 

“Kenapa?”

“Ya, belum ada perusahaan yang nerima.” 

“Memangnya masih tinggal sama orang tua?” 

“Enggak, aku ngekos.”


Kemudian, tukang cukur itu mulai bertanya lebih lanjut. Mulai dari dapat pemasukan dari mana, apa bisa bayar sewa indekos, sejak kapan menganggur, hingga ke pertanyaan-pertanyaan yang membuatmu risih. Namun, kau entah kenapa malah meresponsnya. “Rezeki kan sudah diatur dan bisa datang dari mana saja.” Kau mengawali cerita dengan kalimat bijak selayaknya orang-orang yang taat beragama. “Sebetulnya, aku tidak betul-betul menganggur saat ini, Mas,” ujarmu setelahnya. Kau bilang biasanya mendapatkan upah dari membantu temanmu yang membuka bisnis online shop. Kau bertugas sebagai admin; menerima dan membaca pesan-pesan yang masuk, melayani permintaan dan keluhan pelanggan, mencatat pesanan, hingga membungkus dan mengirimkan barang-barang itu lewat kurir dan memastikan produk itu sampai ke tangan pembeli. 

“Bisnis apa temanmu?” 

“Kaos oblong yang ada tulisan-tulisannya gitu, Mas.” 

“Seperti kaos yang kaupakai sekarang?” 

Kau pun refleks melihat kaos hitam yang kaukenakan saat ini seraya memperhatikan teks-teksnya yang berwarna putih. Kau lalu mengangguk. Tukang cukur itu terkejut dan bilang, “Jangan gerak-gerak, nanti kupingmu kegunting.” Kau pun meminta maaf, sebab bisa-bisanya lalai kalau sedang dicukur. Kemudian, dia bertanya memang apa tulisan di kaosmu itu.

“Menulis bukan untuk abadi, tapi hanya siasat mengecoh kesepian,” ujarmu. 

Tukang cukur itu pun semakin kaget dan menanyakan apakah dirimu seorang penulis. Kau malah bertanya balik, memang kenapa? Tukang cukur itu lalu bilang dirinya memiliki hobi membaca buku ketika tidak ada pengunjung yang datang. Lumayan untuk mengisi waktu. Dia kagum kepada orang-orang yang menulis. Terutama penulis cerpen dan novel. Katanya, cerita kerap bisa menghiburnya dan menyelamatkan dirinya dari rasa cemas berlebihan.

“Kau masih suka nulis?” tanya tukang cukur itu. 

“Udah jarang banget.”

Kau lalu memikirkan hobi yang mulai kautinggalkan itu. Sekarang ini, kau hanya menulis jika ada pihak yang mengajak bekerja sama. Intinya, kau cuma mau melakukan hal-hal yang bisa mendatangkan uang.

“Yah, sayang banget. Kenapa enggak nulis lagi? Siapa tahu ada yang terhibur baca tulisanmu.” 

Kau sedang malas membahas persoalan itu. Akhirnya, kau berusaha mengalihkan pembicaraan, “Mas sendiri udah nyukur dari lama?”

“Alhamdulillah udah dari SD.” 

Kau terheran mendengar jawaban itu dan langsung bertanya, “Serius? Mas jago cukur rambut dari masih kecil? Sejak kapan belajar cukur? Dari balita?” 

Tukang cukur itu pun tertawa mendengar pertanyaan boronganmu tersebut. “Oh, bukan-bukan. Maksud saya tadi itu sejak kecil udah diajarkan untuk bersyukur.”

Anjing! 

“Aku nanya soal cukur rambut, Mas. Bukan bersyukur.” 

“Tapi nyukur juga bisa berarti bersyukur, kan?” 

Kau mendadak teringat kalimat itu kayaknya pernah kaubaca di cerpen Agus Noor. Kau akhirnya memilih diam saja.

Barulah sesudah itu si tukang cukur menjelaskan dirinya mulai bisa mencukur rambut setelah lulus SMA sekitar belasan tahun lalu. Katanya, kemampuan cukur rambut itu didapatkannya secara tidak sengaja. Dia pernah mencukur rambut, lebih tepatnya merapikan, beberapa rambut teman sekelasnya yang terkena razia dan dipotong asal-asalan oleh guru. 

Lalu, Budi, salah seorang dari teman sekelasnya, sempat memuji kalau cukuran dia kualitasnya sama seperti tukang cukur rambut di tempat pangkas rambut langganannya. Singkatnya, hasil cukuran orang ini boleh juga. Sejak kejadian itulah, tukang cukur ini mendapatkan rasa percaya diri bahwa dirinya bisa memangkas rambut dengan bagus.

“Enggak tertarik kerja kantoran, Mas?” tanyamu. 

“Waktu itu saya udah coba cari kerjaan, tapi enggak dapet-dapet. Ya, kayak kau sekarang inilah.” 

Setelah itu dia mulai mengisahkan perjalanan hidupnya. Berawal dari menawarkan diri untuk membantu sebuah tempat pangkas rambut milik tetangganya. Hingga dirinya enggak sadar bahwa dia telah menggeluti profesi itu sampai lima tahun tanpa rasa bosan. Dia lalu berpendapat, mungkin udah takdirnya jadi tukang cukur rambut. Dia pun pindah ke salon yang bayarannya lebih menggiurkan. Setelah merasa lelah bekerja ikut sama orang mulu, dia sempat memikirkan ide untuk membuka tempat cukurnya sendiri. Sayangnya, baru tiga tahun terakhir ini, tepatnya setelah menikah dan tabungannya terasa aman, dia berhasil mewujudkan mimpinya itu. Cerita pun berakhir bersamaan dengan selesainya kau dicukur. 

Lalu, kau membayar sesuai tarif dan segera pulang ke indekosmu. Sesampainya di kamar indekosmu, kau langsung berjalan ke arah kamar mandi. Rambut-rambut bekas cukur tadi itu pasti masih menempel di leher dan badanmu. Kau ingin menghilangkan rasa gatal itu. Lagi pula, badanmu juga terasa amat lengket. Kau melepas pakaian satu per satu. Kau mulai membasahi tubuhmu dengan segayung air. Sehabis itu, kau mengusapkan sabun ke bagian leher, badan, tangan, dan kaki. Kau tidak lupa juga untuk keramas.

Seusai mandi, kau terpesona melihat dirimu sendiri di cermin. Memotong rambut entah mengapa bisa membuat wajahmu tampak lebih muda dan segar. Kau pun merasa terlahir kembali. Rasanya, kau sudah siap mengubah dunia. Walaupun saat ini baru sebatas dunia di dalam kepalamu yang berantakan itu. Kau pun tentu dapat menyusun pikiran-pikiran yang kacau balau itu menjadi lebih teratur dalam bentuk tulisan.

Kenapa enggak nulis lagi? Siapa tahu ada yang terhibur baca tulisanmu

Kalimat dari tukang cukur itu hadir kembali di kepalamu. Mungkin perkataan tukang cukur itu benar. Kau sudah lama sekali tidak menulis. Boleh jadi, pikiran-pikiran liar yang terlalu sering muncul dan mengusikmu belakangan ini karena kau tidak menuliskannya. Rasanya, nanti malam kau ingin menuangkan segala gagasan di dalam kepalamu ke sebuah kertas ataupun perangkat lunak pengolah kata. Kau tidak terlalu peduli kelak hasilnya akan bagaimana dan seperti apa. Barangkali kau justru dapat menghasilkan sebuah cerpen. Kau pun mulai bergairah untuk menulis setiap hari. Toh, menulis juga tidak ada ruginya.

Kau masih merasa nyaman berlama-lama di kamar mandi. Lalu, kau tiba-tiba menyenandungkan potongan lagu kesukaanmu tujuh tahun lalu, tepatnya zaman kau masih SMA. Tak lagi aku ‘kan menerka hari esok tanpa arah. Ku pastikan hari ini ‘kan kumulai segalanya. Tak lagi aku ‘kan menerka hari esok tanpa arah. Ku pastikan hari ini ‘kan kugenggam segalanya.

-- 

*) Lirik Still Virgin – Merangkai Imajinasi.

24 Comments

  1. waduh sampai saat ini sih, belum sampai memikirkan sesuatu hingga serumit itu. duh....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya, enak dong enggak punya pikiran berlebih. :D

      Delete
  2. Gue ngebayangin tidur bareng cewek seksi tapi sama-sama ngikutin sunnah rassul: yang gue liat pas bangun adalah punggung dia (kan keduanya ngadep kanan).

    Wah, jadi bad mood. Bangun-bangun udah dipunggungin kayak orang lagi musuhan.

    Btw, nyukur bersyukur itu bagus. Keren. Catet ah. :p

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalo ceweknya ada di sebelah kiri lu, gimana? Bukan punggung dia jadinya. Lu melihat tembok atau apalah yang lain. :p

      Delete
  3. Sering banget itu, keluar dari kost'an karena gabut. Ending-endingnya, ya, kaya yang ada di tulisan ini. Keluar naik motor, tapi nggak jelas tujuannya mau kemana. Hahaha. "Menulis kalau ada yang ngajak kerjasama doang"--kemudian melihat update'an blogpost di blog sendiri. Weh, lha kok bener ini. 2 tulisan di blog ku isinya "titipan" semua. Terus 2 sebelumnya lagi tulisan buat lomba. Besok nulis curhatan lagi, lah.

    Ya, lebih fresh memang kalau habis cukur rambut. Tapi nggak jarang juga, kalau saya pribadi tiba-tiba sering merasa "Kok jadi aneh, ya?"

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yok, mari curhat lagi, Mas Wis~

      Iya, terkadang juga bisa merasa aneh. Terutama kalau cukurannya enggak cocok atau kependekan.

      Delete
  4. Nah jadi ingat suatu hari dalam perjalanan ke Malang, terus lihat truk air Cleo. Tulisannya, 'saatnya jadi pintar'. Super sekali. Pintar apa? Pintar minum dari botol? Karena selama ini minum dari dot.

    Bagus sih, kan mungkin ada orang yang melihat, kebetulan sedang berada di titik terendah. Melihat motto Cleo jadi lebih semangat, positif.

    What a beautiful way to curhat.

    Apakah bekerja di perusahaan karena memang ingin kerja di sana sesuai dengan ijazah pendidikan, atau menyesuaikan dengan apa yang terjadi di sekeliling; pekerjaan itu apa yang biasa tertulis di buku?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ehehe. Tulisan-tulisan pendek di beberapa produk terkadang memang bisa bikin lebih semangat. Paling sering nemu orang yang mengutip slogan Nike. :)

      Di era yang sudah digital ini, semestinya orang-orang sudah mulai sadar bahwa bekerja enggak melulu berada di kantor. Setiap manusia pun boleh memandang dan melakukan pekerjaan sesuai kemauan dirinya (syukur-syukur hal yang baik). :)

      Delete
  5. Dunia imajinasi itu memang mengasikkan, apalagi kalau imajinasinya dituangkan dalam bentuk buku. Wah... pasti keren banget tuh :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kok enggak nyambung? :( Kamu setiap komentar di blog ini karena senang baca tulisan saya atau supaya dikunjungi balik sih, Mbak? Wqwq.

      Delete
  6. Itu lebih mirip Tyler Durden di film Fight Club sih. Ngebayangin diri juga, bangun2 jatuh dari motor dalam keadaan slow mo. Lalu bangun2 kaget~

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bukannya si narator yang kehilangan minat akan apa pun? Kemunculan Tyler baru deh yang bikin si narator bergairah lagi.

      Delete
  7. "Isi kepala yang berantakan, mungkin karena belum kau tuangkan dalam tulisan." ada benernya kak. Tapi kadang justru karena kepala isinya berantakan, mood nulis malah jadi hilang, dan akhirnya tetap tidak bisa diutarakan dalam media apapun. Pelik banget. Tapi emang jalan keluarnya harus jalan-jalan sebentar sih. Meskipun pas sampai rumah, masih belum tahu bisa nuangin isi kepala yang tadi ke tulisan apa enggak :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jalan-jalan ke luar rumah, terutama jalan kaki, emang sering membuat pikiran jadi segar lagi. Dalam salah satu esainya, Budi Darma pernah mengungkapkan kalau ide dan tokoh-tokoh di cerpennya itu berasal dari hobi dia berjalan kaki. Dia melihat kejadian di sekitar, memperhatikan manusia, lalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan lain hingga menjadi tulisan. :)

      Delete
  8. Bangke nih. Yang buka sitik jos bikin ngakak. Udah serius-serius juga bacanya, Yogs. Soalnya ada bawa-bawa man robbuka itu hahaha.

    Ini jadi si tokoh utamanya semacam dapat hidayah buat kembali nulis gitu ya? Memang bener ya hidayah bisa datang kapan saja dan dari siapa aja~

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, ide maupun hidayah tentu bisa datang kapan saja, di mana saja, dan dari siapa saja. Tinggal diri kita ini yang kudu lebih peka untuk menangkapnya~

      Delete
  9. Jadi enak aja gitu baca tulisan ini sambil ngebayangin angan-angan jalan cerita isi tulisan. Jadi kebawa imajinasi bagai realita, tapi posisi sebaagai cewek. Hemmmm...... jadi malu lagi tidur polosan dengan damai seperti malaikat tapi diliatin begitu. Loh(?) XD

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kebetulan cerita ini enggak disebutkan jenis kelaminnya juga. Tapi sayang, bagian potong rambutnya mengarah ke laki-laki. :)

      Kenapa malu? Kan enggak sadar kalau lagi dilihatin? :p

      Delete
  10. You know what.. sepertinya kita punya kesamaan dalam cara berpikir: overthinking.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Lebih tepatnya sama seperti tokoh di cerita ini. Saya mah enggak overthinking. :p

      Delete
  11. kok sereeem sih baca yg bangun2 udah ditanyain malaikat aja -__- . lgs berasa niat mau tobat gitu :D. duluuuu ya Yog, aku srg mikir gmn sih supaya Indonesia ini bisa semaju negara2 yg udh lebih dulu maju, gmn sih supaya orang2nya sadar kebersihan seperti masy jepang, gmn sih supaya para pemimpinnya dr berbagai kalangan malu untuk melakukan korupsi dan bukannya malah dadah dadah pas ditangkap kpk. itu duluuuuu

    skr, udah capek sih ;p . susah kalo mau maksain sekaligus gitu... sebagai gantinya, aku ga pgn ngerubah dunia. tp aku pgn, ngerubah dan membentuk mindset anak2 ku supaya kelak mereka bisa jd orang yg aku harapin. udahlah itu aja... berharap, dari hal yg kecil2 gini, bisa bergulir jd besar :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdulillah kalau sekarang udah enggak terlalu mikirin, Mbak. Suara rakyat jarang didengar juga. Halah. XD

      Sebetulnya memulai dari hal-hal kecil itu memang perlu, kan. Aamiin.

      Delete
  12. Bakatmu memang di menulis, yoga. Pernah kepikiran nulis buku gitu gak sih? Aku suka pemilihan kata-katamu itu dan caramu bercerita. Ada tulisan-tulisan yang ketika aku baca, ya udah cuma selewatan doang bacanya. Ada juga bacaan yang ketika aku baca, bikin aku ikut membayangkan situasinya seperti apa, percakapan antara tokohnya seperti apa. Kalo aku menikmati suatu bacaan, ya biasanya aku ikut membayangkan. Sama seperti baca novel, baca tulisanmu ini bikin aku ikut membayangkan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kebetulan saya anaknya emang seneng nulis, Ran. Cuma kadang minderan sama hasilnya. XD Enggak nyangka setiap ada yang bilang bahwa bakat saya emang di situ. Saya akan berusaha mengamini. Namun, sejujurnya saya susah bisa PD menganggap punya bakat di tulis-menulis, sih. Ini masih perlu belajar lebih banyak. Jadi, saya lebih percaya dengan berlatih dan bereksperimen. Terus, ini masih terus menulis karena udah telanjur kecebur terlalu dalam. Mungkin karena enggak ada pilihan lain, atau udah bingung juga menemukan bakat di bidang lainnya.

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.