Hari Senin, Bioskop, dan Film Semut

Semua berawal ketika kau membuat twit: Mau nonton Ant-Man aja nunggu Senin dulu. Saat itu hari Sabtu dan teman-temanmu sudah banyak yang menonton filmnya. Di Twitter, mereka berpendapat kalau filmnya sangat bagus dan menghibur. Sebetulnya, kala membaca kalimat itu kau langsung ingin pergi ke bioskop, sebab rasa penasaran sudah di ujung tanduk. Namun, sebagai pegawai lepas kau selalu menerapkan sebuah prinsip, “Kalau bisa nonton dengan cara hemat, kenapa harus repot-repot bayar mahal?” 



Pemikiran seperti itu telah tertanam sejak kau menjadi mahasiswa Fakultas Ekonomi. Berusaha untuk selalu menonton pada hari biasa supaya lebih murah. Pantang pergi ke bioskop saat hari libur. Ya, kecuali kondisimu pada hari biasa memang sangat sibuk, atau nontonnya bareng pacar yang lagi sayang-sayangnya.

Berhubung keadaanmu kala ini sedang cukup longgar lantaran proyek kerja lepas itu telah selesai dan belum mendapatkan tawaran kerja baru, lalu kau juga sudah putus sekitar empat bulan yang lalu dan kini kurang berminat untuk memiliki kekasih, sehingga kau bepikir kalau menonton pada hari Senin adalah pilihan yang tepat. Sendirian pun bukanlah masalah bagimu.

Tak disangka, akhirnya ada seorang kawan yang merespons twit itu. Desi Wulandari—yang akrab disapa Eci—bertanya kepadamu tentang promo. Kau dengan jujurnya menjawab bukan, tapi biar murah aja. Percakapan pun terus berlanjut, hingga dia menawarkan diri untuk menjadi teman nontonmu. 

Kau tentu mengira itu sebuah candaan, sebab berpikir kalau Eci sedang menjalani kuliah di Purwokerto. Setelah bertanya lebih lanjut, rupanya dia belum merantau lagi dan masih berada di Bogor. Kau pun berujar, jika memang mau nonton bareng, sih, ayo-ayo aja. Dia pun menjawab bisanya nonton siang karena paginya masih ada urusan bersama temannya, yakni berkunjung ke UI (Universitas Indonesia). Nanti berkabar lagi deh, katanya.

Tak lama setelah itu, Afrianti Eka Pratiwi—setelah ini akan ditulis Tiwi biar lebih singkat—ikut nimbrung dalam obrolanmu dengan Eci, “Jadi kalian mau nonton bareng? Aku ikut boleh?” Kau entah mengapa tertawa membaca kalimat tersebut. Mungkin merasa heran dengan pertanyaan boleh ikut itu. Sudah jelas tidak ada larangan dalam nonton bertiga. Memang kalau nonton bertiga, nanti salah satunya ada yang mati? Kau tiba-tiba teringat mitos tentang foto bertiga. Di mana orang yang saat difoto berada di tengah, kabarnya akan meninggal duluan. 

Eci kemudian merespons untuk menunggu kabar selanjutnya. Pada hari berikutnya, Hawadis, teman blogermu yang berdomisili di Pontianak, memintamu untuk mengajaknya juga. Kau jelas kaget, lalu setelahnya berpikir, apakah Haw sedang berada di Bogor—tempat saudaranya itu? Balasannya ternyata lebih mengejutkan, Haw saat ini lagi tinggal di Tanjung Duren, Jakarta Barat. Lokasi itu termasuk dekat dari rumahmu.

Kau akhirnya mengundang mereka bertiga dengan membuat percakapan di DM Twitter agar tidak perlu mengotori beranda Twitter ataupun membuat risih orang lain yang membacanya. Setelah berunding panjang lebar mau nonton di mana dan ketemuan jam berapa, kalian pun sepakat menonton di Depok Town Square (biasa disingkat Detos), lalu janjian pada pukul 13.00. 


Kau sudah tiba di Stasiun Tanah Abang, dan saat ini sedang bersandar pada tempat duduk besi sambil menunggu kabar Haw yang katanya masih menanti datangnya kereta komuter di Stasiun Grogol. Kau mengeluarkan buku kumpulan puisi Sebelum Sendiri (Aan Mansyur) dari dalam tas agar penantian itu tidak terasa membosankan. Akibat semalam kurang tidur, matamu pun terasa semakin sepet kala membaca teks. Kau mengedipkan matamu berulang-ulang kali berupaya mengusir kantuk. Begitu merasa lebih baik, kau melanjutkan membaca dan kemudian terpukau pada salah satu lariknya: “Kalau hidup ialah permainan, aku kalah setiap hari oleh diri sendiri.” 

Selagi kau menertawakan dirimu yang merasa tersindir dengan sajak itu, kau menghirup aroma parfum yang menyegarkan. Di sebelah kanan dan kirimu sekarang terdapat dua perempuan—yang kau tebak mereka ialah mahasiswi. Kau tak mengerti mengapa mereka tidak bersebelahan dan justru mengapitmu begini. Kau melirik keduanya, lalu menyukai penampilan salah satu dari mereka. Dalam posisi ini, entah mengapa zodiak Gemini—yang sering dinilai bajingan, bangsat, dan playbloy—seakan-akan terasa cocok untukmu.

Ponselmu bergetar, kau segera merogoh kantong celana sebelah kiri dan membacanya. Haw mengabarkan kereta komuter sudah di Stasiun Duri dan sebentar lagi akan berangkat ke Tanah Abang. Kau memasukkan buku itu ke dalam tas untuk bersiap-siap. Kau dan Haw kemudian saling bertanya enaknya bagaimana. Kau yang langsung naik begitu keretanya tiba atau dia yang turun dahulu, baru nanti naik sama-sama. Kesepakatan pun akhirnya diambil, lebih baik kau yang naik dan ketemuannya nanti di dalam gerbong.

Kau menaiki gerbong yang kebetulan banyak tempat duduk kosongnya. Dua perempuan yang tadi berdiri di sebelahmu kini sudah duduk bersebelahan dan mengeluarkan laptop. Mungkin mereka sedang mengerjakan atau mengoreksi tugas kuliahnya. Kau sendiri langsung memilih tempat duduk yang sekiranya masih muat untuk empat orang sembari mengecek ponsel buat memastikan Haw berada di gerbong mana.

Haw bilang gerbongnya cukup padat dan dia harus berdiri, sehingga kau berkata alangkah baiknya pindah ke gerbongmu. 

Kini, Haw sudah duduk di sebelah kananmu. Kau bertanya dia ke Jakarta dalam rangka apa. Kau menduga dia sedang ada urusan kerjaan di sini. Tapi seperti biasanya, dia selalu menjawab cuma sedang main. Kalian pun mengobrol berbagai macam hal yang rasanya tidak perlu dituliskan di sini. Di sela-sela obrolan itu, kau sempat menceritakan tentang dua mahasiswi yang mengapitmu tadi. Di dalam kepalamu terbesit untuk mengajak mereka berkenalan. Mulai membuka diri lagi sama orang baru mungkin tak ada salahnya, pikirmu. Toh, sekarang keadaannya sudah pas dua dengan dua. Kau tentu tak mau serakah melirik keduanya dan bermaksud berbagi dengan Haw. Namun, ide untuk berkenalan ini mesti pupus karena dua mahasiswi itu sudah kadung turun duluan di Stasiun Universitas Indonesia, sedangkan kalian turunnya masih di Stasiun Pondok Cina.

*

Sesampainya di Detos, Haw bilang sudah tiga kali main ke mal ini. Mendengar pernyataan itu, kau merasa gagal sebagai anak Jakarta. Jarak antara Jakarta dan Depok cukup dekat, tapi kau baru pernah ke sini dua kali. Apakah karena jarak yang terjangkau ini membuat orang-orang sepertimu berpikiran kalau bisa mengunjunginya kapan saja, dan berbeda dengan pendatang seperti Haw yang memaksimalkan waktu untuk menjelajahi tempat-tempat yang tak mungkin dikunjungi sesukanya?

Kalian kemudian bertukar kabar kepada Eci dan Tiwi. Eci bilang dirinya masih di UI, sedangkan Tiwi sudah berada di masjid yang terdapat di parkiran mal Detos. Berhubung tadi sudah salat di musala Stasiun Pondok Cina, kau dan Haw lantas memilih menuju Cinemaxx. Saat berada di eskalator, kau mengutarakan pikiran isengmu kepada Haw, “Syukur Cinemaxx itu huruf X-nya cuma dua, ya. Kalau tiga pasti isi filmnya jadi ....” 

“Kamu masih aja ya, Yog,” ujar Haw. 

Kau kemudian tertawa. 

Begitu tiba di Cinemaxx, rupanya suasananya lumayan penuh. Antreannya sudah agak mengular. Ketika itu jam menunjukkan pukul 13.40. Jadwal Ant-Man and The Wasp yang paling dekat ialah pukul 14.00. Kau langsung mengontak Tiwi, kayaknya nggak akan kebagian tempat duduk di tengah seandainya tetap memaksakan menonton. Mending nonton yang sore, pikirmu. Sekalipun mau nekat dan nonton di kursi depan, Eci pun belum berada di lokasi. Tiwi kemudian protes kalau dirinya nggak bisa pulang malam-malam.

Kau mengatakan persoalan itu kepada Haw. Dia segera merespons: emang malamnya cewek jam berapa, sih? Kau akhirnya berpendapat kalau setiap mengajak perempuan keluyuran, biasanya pukul 10 atau 11 sudah memulangkannya ke rumah. Nggak mau lebih dari itu, kecuali sudah izin dari awal.

“Yah, anak Jakarta mah beda, Yog. Kamu emang nggak tau soal anak IPB (Institut Pertanian Bogor) yang jam malamnya tuh jam sembilan?”

Haw lalu bercerita memiliki seorang teman yang pukul sembilan malam sudah nggak bisa kontakan lagi. Kalau nggak boleh bertamu atau main ke indekosnya mah masih mending. Ini dia udah nggak bisa dihubungi ponselnya. Kebangetan. Kau hanya bisa tertawa mendengar kisah itu. 

Selepas tawamu, entah mengapa kau iseng berspekulasi, “Jangan-jangan jam malamnya si Tiwi ini sehabis Isya ya, Haw?” Untuk jaga-jaga dan takut jika omonganmu ada benarnya, Haw tentu menyuruhmu untuk menanyakan lebih jelasnya lagi kepada Tiwi. Kalian berdua juga sudah pesimis kalau rencana menonton berempat ini akan batal. Ujung-ujungnya nanti malah nonton berdua. Tidak ingin berpikir yang tidak-tidak, akhirnya kau mengecek ponsel dan melihat balasan Tiwi. Ke sini dulu aja deh, Tiw, biar enak, tulismu di WhatsApp, bermaksud menyuruhnya segera ke Cinemaxx karena kau bingung saat mengobrol di teks terus-terusan begitu. 

Kala Tiwi datang, kau dan Haw bersalaman dengannya dan langsung membahas persoalan. Sekarang sudah pukul 13.53 dan kau menjelaskan tidak akan sempat jika ingin tetap menonton yang pukul 14.00. Tiwi memberikan alternatif untuk pindah ke mal Margo City. Kau berkata seandainya betulan mau pindah, harganya lebih mahal lima ribu dan jadwal tayangnya pasti nggak jauh berbeda. Intinya, sih, nonton di sini atau di sana akan sama saja. Apalagi Eci masih belum terlihat batang hidungnya. 

“Lu bisanya sampe jam berapa, Tiw?” ujarmu kepada Tiwi. “Kalau kita nonton yang jam empat, kira-kira kelarnya sekitar magrib nih. Setelah Magriban kita bisa langsung pulang. Untuk urusan ngobrol-ngobrol, kita masih punya waktu dua jam dari sekarang sebelum nonton. Kayak gitu mau, nggak?” 

Tiwi akhirnya sepakat dengan usulanmu itu. Kalian bertiga pun mulai mengantre untuk beli tiketnya. Ketika penjaga loket itu bertanya mau duduk di mana, kau dan Haw sama-sama memilih kursi E 7-10—yang posisinya tepat di tengah. Setelah urusan tiket ini selesai, kalian memilih duduk-duduk di area food court.

Awalnya, kalian hanya ingin duduk-duduk santai sambil minum. Tapi karena semuanya sudah membawa minuman dari rumah dan merasa nggak enak kalau tidak memesan apa-apa, kau pun mengitari area itu untuk melihat-lihat makanan yang tersedia. Merasa harganya lumayan mahal, kau pun kembali ke tempat duduk. Kau lalu menanyakan kepada Haw, mau pesen makan atau nggak? Haw menjawab bisa menahan lapar sampai malam. Tapi kalau kamu mau makan, katanya, nanti aku temenin.

Kau jelas tak bisa membohongi perutmu yang keroncongan. Akhirnya, kalian berdua memilih menu termurah seharga Rp15.000. Kau pesan nasi ayam bakar dan Haw nasi soto ayam. Selagi menunggu makanan diantar ke meja kalian, kau berpendapat kalau Tiwi ataupun perempuan lainnya ketika nggak pesan makanan itu selalu bisa pakai alasan lagi diet. Kau tentu tidak bisa menggunakan kata itu, sebab tubuhmu sudah terlalu kurus.

Kala makanan sudah tersaji di meja, kau dan Haw segera melahapnya. Kelar makan, kau bertanya kepada Haw apakah rasa sotonya enak karena mangkuk dan piringnya bersih tak bersisa. Haw menjawab rasanya biasa saja. Porsinya, kan emang sedikit. Dia gantian bertanya kepadamu kenapa nggak dihabiskan. Di piringmu masih tersisa sebuah tahu yang baru sekali gigit. Kau dengan jujur bilang kalau tahu itu keasinan dan yang masak mungkin lagi kebelet kawin. Kalian bertiga pun menertawakan mitos tersebut.

Setelahnya, kalian terus mengobrol dan tidak terasa waktu sudah memasuki jadwal salat Asar. Kalian pun menuju masjid yang terdapat di parkiran mal, dan kala itulah Eci mengabarkan dirinya sudah sampai. Haw lalu bilang, “Syukur tadi kita nggak pesen yang jam dua. Kan kasihan Eci udah buru-buru mau nyusul, tapi cuma kedapetan nonton after credit-nya.”

Dalam perjalanan menuju masjid, kau, Haw, dan Tiwi dibuat kesal oleh mal ini. Salah satu lantainya terdapat eskalator yang dua-duanya malah naik. Kau berujar itu yang bikin pasti salah rancang. Untuk mendapatkan eskalator yang turun, kalian mesti berputar arah lagi ke bagian ujung satunya. Masalah sepele ini bertambah lagi ketika kalian sudah berada di lantai paling bawah, dan Tiwi justru lupa di mana letak masjidnya. Persoalan tersesat di mal ini ada-ada saja. Kau pun berinisiatif untuk bertanya kepada salah seorang pramuniaga hingga memperoleh jawaban jelas.

Seusai salat, kalian segera bergegas menuju Cinemaxx karena sepuluh menit lagi pukul 16.00. Sesampainya di sana, kalian bingung mencari di mana Eci berada. Setelah dua menit memperhatikan keadaan sekitar, akhirnya Tiwi berkata dan menunjuk, “Itu Eci yang lagi duduk bukan, sih?” Haw jelas tidak mengenal Eci karena belum pernah bertemu dan foto Eci di Twitter berwujud anak kecil. Kau sendiri berujar kalau dalam jarak ini—yang kira-kira tujuh meter lebih—tidak bisa melihat wajah orang dengan jernih. Penglihatanmu sudah kabur. Kacamata yang kaukenakan saat ini hanyalah kacamata anti-radiasi. Kacamatamu yang minus patah dan belum sempat memperbaikinya.



Begitu sudah kumpul berempat, kalian semua segera memasuki studio dua. Saat berada di dalam dan sudah duduk di tempat yang sesuai tiket, ternyata ruangannya sangat dingin. Kalau dipikir-pikir pasti enak untuk berpelukan. Sayangnya, sebelah kananmu kosong, sedangkan sebelah kirimu Eci. Kau juga tidak mungkin memeluknya. Sekalipun dia juga sama-sama kedinginan, kau bukanlah tipe orang yang seperti itu. Bahkan seingatmu, kau tidak pernah memeluk pacarmu sendiri di dalam bioskop. Jadi, yang bisa kaupeluk sekarang ini hanyalah tas ranselmu.

Selagi lampu-lampu telah dipadamkan dan film akan dimulai, tiba-tiba ada gerombolan bocah beserta dua orang dewasa (mungkin pengawasnya) yang baru masuk. Kehadiran mereka sangat mengganggu penonton yang lain. Sampai-sampai penonton di sekitarmu risih dan membuka mulutnya untuk mengeluarkan bunyi “Sssttt!” berulang-ulang kali. Kau pun langsung menyeletuk, “Kok anak-anak PAUD boleh masuk, sih? Minimal usia nonton film ini setau gue tiga belas tahun dah.” Eci pun tertawa mendengar celetukanmu.

Syukurnya selama film tayang, bocah-bocah itu anteng menonton dan tidak berisik seperti tadi. Kalian berempat pun keluar bioskop dengan perasaan sangat puas dan terhibur. Ya, meskipun dirimu sendiri masih merasa kesal akan after credit kedua yang bedebah itu. Sudah menunggu lama-lama, ternyata hasilnya bikin pengin mengucapkan sumpah serapah.

Hawa dingin di bioskop otomatis mengarahkan pikiranmu ke toilet. Tanganmu begitu kaku karena kedinginan dan hasrat ingin kencing juga sudah tak tertahankan lagi. Mereka ternyata juga merasakan hal yang sama.

Setelah itu, barulah kalian berjalan menuju masjid untuk menunaikan salat Magrib. Yang salat hanya kalian bertiga, sebab Eci sedang halangan. Dia pun menanti kalian di kursi tunggu yang berada di dekat teras masjid.

Berhubung masih belum ingin pulang, kalian berempat berniat main-main sebentar ke toko buku di mal tersebut. Lucunya, kalian semua kebingungan di mana letaknya, padahal tadi ketika berjalan menuju masjid jelas-jelas melewati TM Bookstore. Namun, sekarang kalian mendadak pikun. Kau pun berpikiran kalau kalian semua nggak cocok menjadi anak mal sebab sedikit-sedikit nyasar begini.

Kalian hanya melihat-lihat dan tidak membeli satu pun buku. Buku-buku yang terdapat di rak diskon bahkan tidak menarik minat kalian secuil pun. Akhirnya, kalian berempat memutuskan untuk pulang. Tiwi berpisah di pintu masuk mal karena dia pulang dengan naik angkot. Sementara kau, Haw, dan Eci berjalan kaki menuju Stasiun Pondok Cina.

Di tengah jalan, kau bertanya kepada Eci tentang film Ant-Man and The Wasp itu. Dia menjawab walaupun bukan penikmat Marvel dan belum menonton yang pertama, tapi bisa menikmati alur ceritanya. Apalagi banyak bagian lucunya yang mengundang tawa. Sebagai penggemar Marvel, kau cukup puas dengan jawaban itu.

Sewaktu tiba di Stasiun Pondok Cina, kini gantian Eci yang harus berpisah karena dia menuju arah Stasiun Bogor. Eci lalu menyeberang untuk menunggu di peron satunya. Kau dan Haw menanti kereta komuter yang ke arah Stasiun Angke.

Ketika kalian berdua sudah menaiki kereta itu dan berpegangan pada segitiga bertali yang digantung sepanjang gerbong—alat pegangan khusus bagi penumpang yang berdiri, Eci bertanya kepadamu di WhatsApp, “Kalian udah naik?” Kau pun segera membalas sudah dan bertanya balik kepadanya. Rupanya, Eci masih di stasiun karena tidak berani naik kereta yang terlalu padat dan sesak. Keadaan jam pulang kantor memang seberengsek itu.

Mengingat jarak Stasiun Bogor ke rumah Eci itu bisa memakan waktu dua jam dan hari semakin malam, kau pun mengetik, “Naik aja, Ci. Modal bismillah.” Karena tidak ada balasan lagi darinya, kau berpikir mungkin dia sudah berada di dalam gerbong. Kini, kau dan Haw kembali bertukar cerita. Dari yang awalnya obrolan sepele, lama-lama beralih ke topik pernikahan. Bagaimana kau merisaukan ajakan-ajakan nikah muda ataupun remaja-remaja yang kebelet kawin di media sosial belakangan ini. Lebih-lebih di kepalamu terngiang-ngiang kalimat, “Halalin aku, Mas.”

Halal tai kambing.

Kau dulu memang sempat berpikiran nanti pada usia 24 atau 25 untuk berniat menikah. Tapi sedihnya, orang pertama yang pernah berjanji tua bersamamu itu justru selingkuh. Kekasihmu selanjutnya juga gagal, padahal kau dan keluarganya sudah sangat dekat, serta merasa diterima oleh mereka. Lalu perempuan yang berikutnya, ternyata kau sendiri yang belum siap. Kenyataan tidak semanis yang kaubayangkan. Getir sekali malah. Pada usia 23 ini kau masih belum ada apa-apanya. Jangankan untuk hidup berumah tangga, bisa membantu keuangan orang tua pun masih sulit, sebab untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri juga masih pas-pasan.

Tanpa kauduga, Haw juga ikutan berbagi cerita tentang kisah cintanya yang berakhir menyedihkan. Kau tentu tidak akan menuliskannya di sini secara detail demi kepentingan privasi. Intinya, kalian berdua sama-sama paham bagaimana menemukan jodoh dan berusaha untuk komitmen itu tidak segampang kayak ucapan orang-orang yang seenak jidat menyuruh buruan nikah daripada zina.

Saking keasyikannya mengobrol, tau-tau terdengar suara perempuan dari pengeras suara yang mewartakan kalau sebentar lagi akan memasuki Stasiun Tanah Abang, yang artinya kau mesti turun. Meskipun masih butuh teman mengobrol, mau tak mau kau harus berpisah dengan Haw.

Saat kakimu mulai menginjak peron, kau segera melangkah dan pindah ke jalur lima (yang keretanya menuju Stasiun Palmerah). Sesampainya di tujuan, kau memilih berjalan kaki dari stasiun tersebut ke rumah. Tidak lupa untuk memasang earphone, lalu menyetel lagu Saosin – You’re Not Alone.

You're not alone
There is more to this, I know
You can make it out
You will live to tell 

Saat tiba di rumah, kau pulang dengan tersenyum puas. Hari Senin yang biasanya menyebalkan, kini menjadi sangat menyenangkan. Meskipun melelahkan dan kurang tidur, tapi ada rasa bahagia dalam diri saat menjalani harimu barusan. Kau benar-benar tak menduga kalau twit iseng-iseng itu bisa bikin orang lain mau nonton bioskop bersama dirimu. Kau pun segera mengucapkan terima kasih kepada mereka atas hari ini.

Kau beranjak ke kamarmu, lalu merebahkan tubuh yang sangat letih di kasur kesayangan. Seraya menatap langit-langit kamar kau berpikir, mungkin suatu hari twit iseng-iseng seperti itu bisa juga membuatmu bertemu seorang perempuan yang barangkali menjadi kekasihmu, bahkan jodohmu. Kau cengengesan membayangkan hal itu. Beberapa menit kemudian, kau akhirnya ketiduran.

Celakanya, pukul satu malam kau malah mendusin. Biasanya, kau akan terbangun saat subuh pada keesokan harinya. Tapi kali ini tidak. Kau pun merasa jengkel karena tumben banget bisa terbangun seperti itu ketika sedang capek-capeknya. Sadar bahwa dirimu sulit untuk tidur lagi, kau mendadak mengetik beberapa paragraf tentang kejadian dan momen nonton bareng itu, yang kelak menjadi tulisan ini.

--

Sumber gambar: 

1) https://vignette.wikia.nocookie.net/marveldatabase/images/3/38/Ant-Man_and_the_Wasp_%28film%29_poster_002.jpg/revision/latest?cb=20180430180151

2) https://pixabay.com/id/bioskop-balai-film-pecinta-bioskop-2502213/

26 Comments

  1. Hahahaha saya sangat terhibur dengan cerita ini. Tapiii saya baru sadar kalau saya ketemu kamu di hari Senin lagi. Sebelumnya kita ketemu hari Senin di Perpusnas, kemudian Senin lagi di Detos. 😂😂

    Dan saya auto ngakak pas baca soal AC bioskop yang dinginnya bikin minta peluk gebetan hahaha. Kasian kamu hanya memeluk angin kosong di sebelah kanan. Sabar, ya.

    Senoga twit iseng2nya bisa mendatangkan jodoh. Senoga saya juga berlaku begitu ah. Wkwk.
    Terima kasih juga Yog sudah mau jonton sama kami.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kebetulan hari Senin jadwal saya lagi kosong terus. Haha. Saya masih bisa memeluk tas ransel, kok~ :)

      Lah, dia ikutan berharap. Wqwq. Tapi ya udah, aamiin. Oke, sama-sama.

      Delete
  2. Entah kenapa kok gue paling enggak tertarik sama Ant Man ya. Jadi, meskipun foto tiket nonton film itu udah berseliweran sekian lama di beranda media sosial, tetap enggak tergugah. Hm.
    Btw, udah lama enggak ke sini, tulisannya emang makin panjang apa perasaan gue aja? :/

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yah, mungkin masalah selera aja, Wi. Saya kan emang ngikutin film-film Marvel dari awal dan udah telanjur suka. :D

      Tulisan ini emang panjang banget. Sekitar 2.000 kata lebih. Tulisan lainnya masih normal dan termasuk pendek. Ehe.

      Delete
  3. Suka banget sama slogan “Kalau bisa nonton dengan cara hemat, kenapa harus repot-repot bayar mahal?”

    ReplyDelete
  4. nyebelin. di bioskop kotaku film ini nggak ada. masih sibuk murerin film horor indonesia

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bioskop kotamu memang nggak menayangkan film luar atau gimana dah?

      Delete
    2. menayangkan sih, infinity war kemarin sempat tayang. cuma mungkin karena aku tinggal di kota kecil dan bioskop di sini sama kecilnya cuma ada 2 studio dalam 1 bisokop dan hanya 2 bioskop dalam 1 kota jadi dari lebaran kemarin yang tayang cuma film film horor indonesia yang emang lagi getol belakangan ini tayangnya. padahal 15 juni kemarin nunggui the incredible 2 tapi juga ga ditayangin. ga tau deh ini nasib ant man gimana.

      Delete
    3. Oalah gitu toh. Pantes banyak orang yang akhirnya milih nonton streaming. Filmnya nggak tersedia ternyata di bioskop daerahnya. :(

      Semoga film itu bisa tayang ya, atau jumlah bioskopnya bisa nambah. :D

      Delete
  5. Duuuuhhhhh kapan ya terakhir pelukan di bioskop sama gebetan, kayaknya sudah lama banget. Perlu di refresh lagi nich 😁😁😁😁😁

    ReplyDelete
  6. Filmnya Ant-man udah main yah? waduh telat banget saya nih dapat infonya. Pengen nonton sih tapi belum nemu waktu, masa sendiri lagi. Bener tuh, saya juga gitu sih kalau mau nonton mending pilih hari kerja aja supaya ongkosnya murah plus yang nonton juga dikit. Hehehe... sekali-kali ajakin meet up deh kalau saya dah di jakarta. Tapi saya belum punya kontakmu yog.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sendiri juga bisa menyenangkan, Mas Bim. :D Iya, nggak sepadat hari Sabtu-Minggu. Paling barengannya orang yang libur pada hari biasa atau pelajar dan mahasiswa.

      Nanti kabarin aja kalau lagi di Jakarta. Di laman "tentang saya" ada kontak yang bisa dihubungi. Selama jadwal saya kosong, sebisa mungkin saya temui. Atau, bisalah nanti atur jadwalnya. Ehe.

      Delete
  7. Waahh, sudah lama tida mampir. ini pake sudut pandang org kedua bukan sih?
    Ant man yaa.. Hmm.. Yg ke satunya udh nnton pdhal, pgn bgt nntn kdua ini mskipun ada hubungan cerita sama civil war ya? blm prnah nntn civil war jg soalnya. halah, aku gaperna apdet soal marvel :'D beberapa doang yg dmenn.. trmasuk ant man sbnernya. mau nnton sih, tp bln ini sprtinya gak bisa. gatau bulan depan. :'D ribet bner dah. wwkwk.

    berawal dari twit iseng jd bsa mengumpulkan 3 org buat nntn bareng. asik juga euy. dulu peraasan gue klo mo nonton ngajak tmen aja susah mnta ampun :(
    eh, btw, krna gapernah keluar malem.. jam 7 udh trmasuk malem jg sih buat gue. apalagi klo jaraknya sampe ke depok gitu. sereum. wahahaa

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yap, itu sudut pandang orang kedua. Semua film Marvel memang berkaitan, Lu. Ehe. Apalagi Ant-Man kena kasus sewaktu bantu Captain America di film Civil War.

      Itu saya juga nggak nyangka ada yang mau bareng. Biasanya mah sendirian. Wq. Kalau bagi saya (yang pernah kuat melek dan nongkrong sampai pukul tiga pagi), jam segitu masih termasuk sore. :(

      Delete
  8. Sebuah prinsip ekonomi yang juga saya terapkan dalam kehidupan. Berhubung saya nggak terlalu minat sama si manusia semut, jadi ya lebih baik nunggu film dari web sebelah aja nontonnya. Tapi kok pas baca part after credit yang katanya bedebah itu, jadi pengen nonton juga *heish, mudah sekali tergiur dengan tulisan orang XD

    Nah, banyak juga nih yang beginian. Anak-anak di bawah batas usia sering diajak nonton film-film dewasa. Misal si anak anteng sih nggak papa. Parahnya sering nemu anak balita yang tiba-tiba nangis atau ribut dan bikin ngganggu konsentrasi penonton.

    BTW-BTW, after creditnya cuplikan scene dari film Marvel yang apa, Yog? Captain Marvel lagi, kaya pas Infinity War atau apa? Hahaha...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nunggu film dari web streaming keburu keseruannya berkurang, Mas Wis. :p

      Nah, itu dia. Kadang saya nggak ngerti kenapa mereka bisa tetep dibolehkan menonton, padahal ada batasan usia. Cuplikan itu berhubungan sama Infinity War. Kenapa Ant-Man nggak hadir di perang itu~

      Delete
  9. terkahir nonton bioskop waktu masih pacaran, setelah menikah gak pernah ke bioskop lagi, gak tahu kenapa lebih sering nonton di netflix atau gak tv kabel :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya termasuk jarang pergi ke bioskop, kok. Seringnya bela-belain nonton di bioskop kalau pas ada film Marvel aja. :)

      Delete
  10. Gila pas baca bagian lagu Saosin - Youre Not Alone, kok gue jadi kepikiran, "Apa mayoritas introvert generasi 90an suka lagu ini ya?" Eh tapi lo introvert nggak sih?

    Soal film, sumpah, gue belum nonton. Udah ada di Hooq belum? Gue makin sini jadi makin jarang ke bioskop soalnya.. -__-

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hm, mungkin saya introvert. Selama ini lebih sering bahagia kalau mengurung diri di kamar, daripada main sama temen-temen. Haha. Tapi lebih tepatnya lagi, saya ini textovert. :)

      Kagak tau. Biasanya muncul di Hooq kalau udah beberapa bulan, kan. Ini film baru tayang, jadi nggak mungkin langsung ada deh.

      Delete
  11. Gue berhenti lama di kalimat "...dua orang perempuan ...yang adalah seorang mahasiswi."

    Yog, kalau Detol apakah singkatan mol juga, atau?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah, makasih koreksinya, Man! Intinya itu mau nebak kalau mereka mahasiswi. Haha. Salah merangkai kalimatnya.

      Emang Detol ada juga di Depok? Saya nggak tau, Man. Kalau Dettol baru saya tau, yakni merek sabun.

      Delete
  12. Cerita simpel ala2 buku harian, tapi bisa bikin aku baca sampe habis dan ga ngerasa bosan :p.

    Dan sampe skr, aku yg juga penyuka marvel, malah blm nonton film ini huahahah. #fansgadungan

    ReplyDelete
    Replies
    1. Syukurlah kalau nggak membosankan. Saya sebelumnya ragu mau posting sepanjang ini. Tapi kadang saya emang pengin detail supaya suatu hari bisa dikenang lagi. Mumpung masih inget banget momennya. Hehe.

      Mungkin Mbak Fanny telanjur suka gaya bercerita saya. Haha. :p

      Segera tonton, Mbak. Sejauh ini, Ant-Man and The Wasp ialah film Marvel paling menyegarkan buat saya. :D

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.