Tidak Apa-Apa

Cerita sebelumnya: Pesta Netizen

*

“Blogmu yang mana, Bang?” tanya Lukman. 

“Pokoknya yang header-nya gambar otak dan kunci, terus ada tulisan ‘Mengunci Ingatan’ deh,” jawab saya mantap.

Namun, gambar-gambar yang ditampilkan itu ternyata sudah selesai. Hanya ada tiga blog. Nggak ada blog saya di salah satunya. Saya sejujurnya sedikit merasa sedih. Tapi entah mengapa sekaligus merasa begitu lega setelah sadar saya nggak menang. Saya pun refleks tertawa. Mungkin sedang menertawakan nasib ini. 


“Kenapa, Bang?” 

“Blog gue kagak muncul.” 

Ia lalu menepuk pundak kiri saya dua kali dan bilang, “Sabar, Bang. Yang penting jangan nyerah. Suatu hari pasti menang.” 

“Iya, nggak apa-apa.” 

Saya nggak tahu mesti merespons apa selain kalimat itu dan cuma bisa mengamini dalam hati. Pengumuman juara 1-3 pun dibacakan secara dramatis. Saya tetap menyimaknya dengan tenang. Saya tadi merasa lega mungkin karena jantung nggak perlu lagi berdebar nggak keruan. Seenggaknya ini termasuk pencapaian bagi saya, sebab seumur-umur ikut lomba baru kali ini terpilih menjadi finalisnya. Toh, saya juga telah menang melawan diri sendiri. Mengalahkan rasa takut kala mencoba sesuatu.

Jadi, nanti kalau ikut lomba lagi saya bisa lebih santai. Nggak usah terbawa beban seperti yang sudah-sudah kalau saya harus menang. Karena belum bisa memenangkan perlombaan pun ternyata tidak apa-apa. Lalu pengumuman pun berlanjut ke lomba vlog dan film pendek. Para pemenang kemudian diajak foto bersama-sama. 

Sesudah itu, acara berakhir dengan meriah. Kami diberikan kejutan dengan penampilan band Kahitna sebagai penutupan. Saya pun langsung merasa nostalgia. Ya, meskipun saya mesti mengakui jika sudah banyak lupa akan lagu-lagunya. Beberapa orang langsung mengeluarkan ponselnya untuk foto-foto ataupun merekam video. Namun, sebelah kiri saya tidak melakukan itu. Ia menikmati acaranya cukup dengan menyimpannya di dalam otak. Saya kemudian berkata, “Ini mah bukan nonton konser, ya. Nontonin tangan orang-orang.”

Ia lalu tertawa. Menyampaikan pendapatnya kalau momen seperti ini seolah memang sudah wajib untuk direkam, lalu pamerkan ke InstaStory. Apalagi bagi teman-teman sepantarannya. Kala saya bertanya mengapa ia tidak melakukan itu, ia kemudian memberikan jawaban yang sama dalam pikiran saya. Nggak semua hal yang terjadi dalam hidup ini mesti dipertontonkan ke orang banyak. Jika sedikit-sedikit bikin InstaStory, terus di mana letak privasi dan kebahagiaan hakikinya? 

Sehabis kami membicarakan hal sok tahu itu, suasana di panggung semakin memanas. Beberapa orang mulai berdiri dari kursinya dan mendekati panggung. Para vokalis Kahitna juga mengajak para penonton menyanyi bersama. Lukman pun akhirnya pamit untuk bergabung dengan teman-temannya. Jadilah saya duduk sendirian. Nggak tau harus tetap duduk atau ikut bergabung bersama yang lain. Namun, sejujurnya saya ini juga nggak terlalu menyukai jenis musiknya. Tiba-tiba saya merasa asing berada di tempat ini. Saya berniat ingin pulang. Apalagi ketika melihat jam tangan, waktu terasa sudah kemalaman dan saya takut ketinggalan kereta. Saya kemudian bangkit dari tempat duduk dan berjalan meninggalkan area panggung. Di deretan bangku paling belakang, saya melihat Herland dengan temannya sedang asyik ngopi. 

“Lu mau balik?” tanya Herland. “Sertifikat sama uang transport baru bisa diambilnya pas selesai acara.” 

Bangsat. Saya baru ingat kalau para finalis nanti akan mendapatkan sertifikat dari Bank Indonesia. Terus lumayan juga, sih, dapat uang pengganti transport. Lalu akhirnya saya berbohong dan bilang, “Nggak, mau ngambil teh ini.”

Saya kemudian berjalan ke meja prasmanan yang menyediakan kopi dan teh. Kembalinya dari meja itu dengan membawa secangkir teh manis hangat, saya pun duduk di samping temannya Herland. 

“O iya, ini temen gue yang finalis film pendek juga,” kata Herland. 

Kemudian kami berkenalan. Saya kembali menjelaskan kalau saya finalis lomba blog. Ia bertanya, apakah menulis itu hobi saya? Saya pun menceritakan sedikit tentang awal mula menulis dan apa saja isi blog saya. Setelah itu keheningan menyelimuti kami. 

“Kira-kira berapa lagu lagi nih?” tanya saya kepada Herland. 

“Kurang tau juga. Semoga aja ini lagu terakhir.” 

Tebakannya tidak meleset jauh. Lagu yang sedang dinyanyikan adalah lagu sebelum terakhir. Seusai acara, kami bertiga pun bergegas mencari-cari di mana tempat mengambil uang transport dan sertifikatnya. Kami betul-betul dibikin kebingungan hanya demi mendapatkan lembaran kertas bernilai itu. Baik itu sertifikat, maupun rupiahnya (oh, ini mah jelas karena kami cinta rupiah). Apalagi pihak panitianya tidak membalas ketika dihubungi. Setelah keluar masuk gedung dua kali dan sekali bertanya kepada finalis lain, kami akhirnya berhasil menemukan tempat yang dicari-cari. 

Selesai menuliskan nama dan paraf di kertas yang disediakan, saya menerima secarik amplop berisi sejumlah uang yang kira-kira cukuplah untuk makan sebulan. Makan kuaci tapi. Lalu sesudahnya saya pun bermaksud mengambil sertifikat yang sudah dipisah-pisahkan sesuai abjad. 

“Punya saya kok nggak ada ya, Mbak?” tanya saya kepada salah seorang panitia yang mengurusi bagian administrasi ini. 

Ia lalu bertanya siapa nama saya dan mulai membantu mencari-cari sertifikat dengan nama “Yoga”. Bingung karena nama saya tetap nggak ada, Mbak Panitia itu pun menanyakan kepada saya apakah sudah mengirimkan data diri pada bulan Februari? Saya kemudian menjelaskan tentang email yang telat masuk itu. Sehingga saya pun terlambat mengirimkan datanya. 

“Ya udah, ini saya kasih sertifikat yang namanya kosong. Mas tulis aja sendiri namanya. Maaf ya, sebelumnya.” 

“Oh, nggak apa-apa, Mbak. Makasih.” 

Sekali lagi, saya mengucapkan tidak apa-apa. Padahal dalam hati ini saya agak kecewa. Atau mungkin bukan agak lagi, tapi memang kecewa. Cuma, ya sudahlah. Entar di sertifikat, kan, saya bisa mengisi sendiri dengan nama sesukanya: “Yoga Akbar Sholihin (Bloger Ganteng Idaman yang Belum Bisa Memenangkan Lomba. Fak Perlombaan!)” 

Saya terus cengengesan sendiri membayangkan hal itu. Tapi kalau saya pikir-pikir lagi, kayaknya nama itu nggak muat deh. 

Di pintu keluar, saya berpisah dengan Herland dan temannya. Mereka berdua membawa kendaraan pribadi. Saya sendiri kudu berjuang melawan letih dengan naik kereta komuter. Di sepanjang perjalanan, saya tiba-tiba menertawakan nasib konyol ini. Dari yang awalnya mendapatkan pengumuman menjadi finalis lomba yang infonya terlambat. Sehingga data diri yang saya kirim tersebut berakhir dengan sia-sia, sebab tidak ada nama saya di daftar sertifikat itu.

Saya turun di Stasiun Manggarai. Dengan cepat saya segera bertanya kepada salah seorang petugas kereta api, apakah kereta yang melintasi Stasiun Palmerah pada pukul setengah dua belas malam ini masih ada? Ia menjawab kereta pada jam terakhir itu tujuan akhirnya ialah Stasiun Tangerang. Saya nanti bisa turun di Stasiun Tanah Abang. Kalau kereta ke arah Serpong—yang juga melewati Palmerah—sepertinya sudah nggak ada. 

Di stasiun itu, jadilah saya pasrah menunggu kereta terakhir dan nantinya turun di Stasiun Tanah Abang. Saya lalu mencoba menelepon orang rumah untuk menjemput di Tanah Abang. Tidak ada jawaban sama sekali. Mungkin sudah pada tidur. Kereta terakhir itu pun telah tiba, saya langsung menaikinya.

Begitu keluar dari Stasiun Tanah Abang, saya melihat jam tangan yang jarumnya menunjukkan kalau waktu hampir berganti hari. Keadaan trotoarnya masih cukup ramai. Terdiri dari beberapa pedagang, bapak-bapak nongkrong, dan pelacur. Ada sedikit rasa ngeri ketika berjalan tengah malam sendirian begini. Saya terus memandang ke depan dengan langkah cepat tanpa melirik ke arah mereka. 

Saya terus berjalan sampai ke jalanan yang biasanya dilalui angkot. Saya sudah hampir sepuluh menit menunggu, tapi saya belum juga melihat angkot dari kejauhan. Saya pun memutuskan berjalan kaki lagi. Tak lama setelah itu, saya mulai mendengar suara kendaraan. Saya menoleh. Sesuatu yang saya tunggu-tunggu itu akhirnya datang juga. Saya lalu naik angkot. Turun di tempat yang sudah cukup dekat dengan rumah, terus berjalan kaki lagi. Sesampainya di rumah, saat saya membuka tas dan ingin mengeluarkan isinya. Saya melihat sertifikat yang sudut-sudutnya terlipat dan lumayan lecek. Ya ampun. Haruskah saya bilang tidak apa-apa kali ini? Saya pun ingin menertawakan nasib lagi.

--

Sumber gambar: https://pixabay.com/id/mengapa-tanda-tanya-unknown-2028047/

36 Comments

  1. Sertifikat namanya kosong kok kamu ambil yog?
    Nama kamu kan bukan kosong tapi yoga
    Nanti si kosong nyari2 sertifikatnya, gimana hayo?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nanti si Kosong bisa ambil ke rumah saya, Nik. :)

      Delete
  2. Sabar ya Yog. Terus belajar bikin konten yang lebih lebih lebih menggelegar

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, terus belajar sekali pun nanti berhasil menang. :p

      Delete
  3. Yah, gapapa bang belum rezeki berarti. Kalo udah berharap tapi gak dapet emang bikin kecewa plus dongkol sih. Ya paling tidurlah yang dapat mengobati.

    Emang bener tuh, gak harus setiap momen diabadikan lewat instastory. Apalagi ada keluarga yang meninggal malah dibikin tiktok. Kesel aja gitu.

    Untung waktu itu ada kereta terakhir pas mau pulang. Kalo gak ada bisa gawat masa ke bogor ngeteng angkot -_-

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tidur, baca buku, nonton film, main game, makan, dst. Akhirnya saya tahu momen orang meninggal yang kamu maksud itu. Kok kebangetan betul, ya? :')

      Cobain dong sesekali, Sep. :p Saya pernah coba ngangkot dari Manggarai dulu karena kehabisan kereta. Zaman kereta komuter belum sebanyak sekarang. Jalan kaki dulu, terus naek TJ, begitu udah deket daerah sekitar rumah, ngangkot lagi, jalan kaki lagi. Hehe.

      Delete
  4. Lu udah keren yogs. Udah masuk sebagai finalis lomba blog ketika itu.
    Tidak apa-apa :)

    Tetep semangat ikut lomba nulis~
    Kalo menang, nanti kita kopdar di pantai.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, nggak apa-apa. Selama temanya suka, nanti ikutan. :) Pantai mana, Lan?

      Dian: Mau jadi donaturnya?

      Delete
  5. Yang penting cukup nekat buat ikutan lomba.

    Semakin sering ikut lomba juga enggak bakalan kaget kok yog.... Ga kaget kalo kalah.

    Enggak apa apak....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wqwq, iya semakin sering kalah, semakin terbiasa juga, ya? XD

      Delete
  6. gue dikasih tau sama temen soal lomba ini, udah nulis beberapa paragrap, tapi gak dilanjut. gak tau juga wakeu itu kenapa kagak lanjut. hehe.

    yaudah, mungkin belum saatnya aja menang lomba. kapan2 semoga berhasil ya, Yog. kan lumayan juga nonton konser sama uang makan buat sebulan.

    iya makan kuaci.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Males? :p

      Aamiin. Ya, lumayan. Dapet pengalaman dan ada cerita yang bisa saya tulis. Hahaha. Kuaci enak juga, sih. :D

      Delete
  7. Ya ampun mas Yoga turut prihatin mas. Semoga kedepan-depannya mas Yoga bisa menang lomba blog lagi. Kalo saya yang ada di posisinya mas Yoga pasti BT se BT BT nya sih. Tapi yah, untung dikasih uang saku yah mas. Lumayan. Hehe.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nggak usah membayangkan, nanti BT beneran. Ehehe. Yap, lumayanlah. Meski saya juga telat tahu soal uang saku dan sertifikat itu.

      Delete
  8. Baca-baca dari Blog anak-anak WIRDY, katanya seorang Yoga sering gagal dalam urusan percintaan ya? Apakah kegagalan-kegagalan itu yang membuat seorang Yoga bisa kuat untuk berkata "Tidak Apa-Apa" di kekalahan lomba ini? Peace! Btw, ceritanya detail ya. Jadi pelajaran juga untuk gue yang jarang ikutan lomba. Keep moving forward!

    ReplyDelete
    Replies
    1. MUAHAHAHA. Sering gagal urusan cinta. Bangke sekali~ Ini dapet info dari tulisan mana, ya? Yang proyekan awal-awal WIRDY roasting itu?

      Thanks~

      Delete
    2. Dari blog Wulan yang paling banyak. Dia memang berani sekali untuk mengumbar kebenaranmu, bang.

      Delete
  9. Tertawakan saja mas, asal jangan ditertawakan sambil menangis ya, nanti saya ikutan menangis juga. Hahaha tak apa lah nasib tak lancar atau belum beruntung juga pasti ada pointnya yang bisa dipetik. Pointnya bisa berupa pelajaran rasa sabar, ikhlas, pelajaran untuk menerima bahkan pelajaran dari rasa takut berjalan sendirian dimalam hari dikelilingi orang-orang malam seperti orang-orang nongkrong, pelacur dan sebagainya.

    "Nggak semua hal yang terjadi dalam hidup ini mesti dipertontonkan ke orang banyak. Jika sedikit-sedikit bikin InstaStory, terus di mana letak privasi dan kebahagiaan hakikinya?" mba nana sukak sama itu kata-kata, bikin ini tangan pingin apdet kata-kata itu ke instastory rasanya. LOH? lagi-lagi pingin update, memang sudah kebiasaan memamerkan bahagia sampai melupakan hakiki bahagia sepertinya hahaha.
    willynana.blogspot.com

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nangis, sih, kagak. Paling cuma kecewa dan sedih sesaat aja. Wuahaha. Pelajaran soal jalan di malam hari itu apa? XD

      Sebetulnya bebas orang mau update InstaStory apa nggak. Saya sama Lukman, kan, hanya merasa nggak setiap hal mesti dipamerin. Kalau ada orang yang lebih bahagia dengan pamerin itu di media sosial, ya bukan urusan saya. Haha. :))

      Delete
  10. Permulaan, lgs msk finalis, udh bagus yog :). Kalo aku mah boro2 bisa masuk itu :D. Next lomba, semoga bisa jd rezekimu :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, sih. Sebuah permulaan bisa lolos gitu. Haha. Coba dulu aja, Mbak. Siapa yang tahu kalau belum mencobanya? :p

      Aamiin. Makasih, Mbak Fanny. :)

      Delete
  11. kemenangan yg tertunda itu gan tenang aja, tapi selalu ada hal positif yg bisa dipetik pengalaman yg didapat dan stok kuaci untuk 1 bulan lumayan lah :)

    ReplyDelete
  12. Kata orang sih kekalahan itu kemenangan yang tertunda bro, heheh.
    Siapa tahu aja besok2 giliran kamu yang menang, asal gak langsung putus asa aja.
    Ya namanya perlombaan kan ada yang menang atau kalah.
    Tapi kalo soal kecewa mah manusiawi.
    Kalo sertifikatnya lecek, coba dicuci trus di setrika ����

    ReplyDelete
    Replies
    1. Perlombaan nulis bukan pertandingan, sih. Nggak kayak sepak bola, catur, gulat, dll. Jadi kayaknya nggak ada yang kalah. Cuma nggak terpilih aja sebagai tiga besar.

      Habis dicuci bukannya dijemur dulu, ya? :)

      Delete
  13. weh.. mantep nih.. ajarin lah bang.. saya baru belajar nge-blog.. nulisnya masih ngasal bang..

    ReplyDelete
  14. Udah keren Bang yoga masuk Finalis
    saya belum pernah masuk finalsi sekalipun selam ikut lomba hahaha
    mungkin memang blu rezeki aja

    Sampe putus asa ikut lomba -_-, tapi kalo liat yg menang-menang gitu jadi pengen ikut lagi.
    Semoga aj nanti ada lomba yg bisa di menangin bang yoga
    termasuk saya juga, juara harapan jg gpp la xD

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, mungkin rezekinya belum bisa datang lewat perlombaan. :)

      Ya, ikut terus aja. Meskipun kalah tetep merasa penasaran juga, kan. Siapa tahu selanjutnya menang. Aamiin.

      Delete
  15. Di cerita sebelumnya kayaknya gak ada yang namanya Lukman deh. Tiba-tiba di sini ada terus jadi rada bingung gitu. Muehehehe. Yang penting mah seru-seruannya aja yog. Hohohoo. Gue malah suka jalan-jalan jam segitu. \:p/

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau di ctrl + f, terus cari nama Lukman pasti bakal ketemu di cerita sebelumnya, sih. :)

      Iya seru-seruannya dapet. Walaupun dalam hati butuh duitnya juga, Di. Wqwqwq. Kalau jalan kaki dan tempatnya cukup rawan, saya ngeri euy.

      Delete
  16. Kirain GENBI itu semacam sepupunya GENPi dari Kementerian Pariwisata, Bang? Ternyata beda ya, Bang?

    *Setelah baca part pertama yang masalah dipanggil "Bang" sama peserta lain, kemudian saya nyoba iseng-iseng buka tab "Tentang Saya" di blog ini. Ya Allah, tua-an saya ternyata. Hahaha. Baiklah, sekarang saya kalau ngomen coba langsung sebut nama saja, daripada sih empunya blog bete pas dapet sebutan "bang" dari saya xD

    Saya kalau kalah lomba malah sering baper barang sehari-2 hari. Kalah lagi kalah lagi. Tapi habis itu juga nerima dg ikhlas sih, lhawong kualitas tulisan yang menang memang saya akui lebih bagus dari tulisan yang saya kirim. But, setelah itu malah sering kepancing buat ikutan lomba-lomba lainnya. Kudu bisa menang! Walaupun endingnya juga kalah, LAGI :(

    Mayan....dapet transport sama sertifikat tanpa nama. Ini naik angkot, muntah gak Bang? Wqwq

    *Lah....bahas muntah dia?
    *Lah....manggil bang lagi dia?

    ----Kemudian akun ini di blok----

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bukan, Mas Wis. Nggak ada hubungannya. Hahaha.

      Kalau dipanggil di kolom komentar, ya oke-oke aja, sih. Mungkin pembaca nggak tahu atau gimana. Nah, kalau secara langsung nggak tau kenapa saya merasa aneh gitu. :(

      Apakah perlombaan itu seperti perjudian yang menang ketagihan dan kalah penasaran? :p Iya, lumayanlah. Mesti saya syukuri juga. Alhamdulillah baik-baik saja pas naik angkot malam itu.

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.