Membandingkan Solo dengan Jakarta

Cerita Bagian Satu: Prolog

*

“Jangan membandingkan dirimu dengan siapa pun di dunia ini; jika kamu melakukannya, kamu menghina dirimu sendiri.” —Bill Gates

Gue terkadang masih suka membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Ya, itu berarti gue telah melakukan penghinaan terhadap diri sendiri. Semoga hal ini tidak gue ulangi kembali. Hal yang paling sering gue bandingkan dengan orang lain adalah, kenapa gue sering banget menunda sebuah tulisan? Ketika beberapa teman berusaha menulis secepatnya agar tidak lupa dan kehilangan feel tulisan itu. Sedangkan gue ini justru butuh waktu yang agak lama untuk menuliskannya sampai hal itu memang benar-benar menghantui dan mengacak-acak isi kepala gue, kecuali lagi dikejar deadline.

Ide-ide yang ada di kepala ini biasanya hanya gue catat poin-poinnya di sebuah buku atau notes hape. Gue jarang banget bisa langsung nulis ketika mendapatkan sebuah ide. Kalau kepala gue sudah sering kepikiran akan suatu tulisan, barulah gue memulai menuliskannya.

Cerita perjalanan ke Solo cepet kelarin woy!

Ingatan-ingatan soal liburan gue ke Solo muncul begitu saja tanpa diingat-ingat. Lalu, ada rasa ingin main ke sana lagi, bahkan sampai kebawa mimpi. Barulah gue tergerak untuk menulis. Contohnya seperti itu.

Sebenarnya, dari bulan Januari gue sudah menuliskannya. Tulisan ini sudah tersimpan rapi di draft. Sayangnya, saat itu memang belum selesai diedit. Memasuki bulan Februari, gue pengin ngelanjutin ceritanya, tapi entah kenapa jadi gak sreg. Bulan Maret juga sama. Gue malah semakin males buat nerusinnya. Namun, gue inget perkataan seorang filsuf, “Selesaikanlah apa yang sudah kamu mulai.”

Hm, baiklah. Meskipun ini sudah telat dan basi. Gue akan tetap mempublikasinya.

--

Hari pertama.

Satu hal yang sering gue lupakan saat menyewa penginapan; entah itu di hotel, losmen, vila, atau homestay, waktu untuk check out adalah pukul 12 siang. Peraturan itu berlaku hampir di semua tempat. Bodohnya, gue sering lupa akan hal itu. Meskipun gue semalam baru check in pukul 2 pagi, tapi bukan berarti itu akan dihitung 24 jam dan bisa keluar dari penginapan ini pada malam hari.

Maka, mau nggak mau itu membuat kami harus segera mandi dan tidak bisa leyeh-leyeh. Haris memilih untuk mandi duluan. Setelah dia selesai, barulah sekarang giliran gue. Namun, saat gue baru mulai melangkah ke kamar mandi, Haris bilang kepada gue untuk mengunci pintu terlebih dahulu. Karena dia ingin pergi bersama Ilham untuk menyewa motor—yang nantinya akan kami gunakan untuk keliling daerah Solo.

Setelah mandi, sembari menunggu mereka kembali, gue duduk di teras depan penginapan ini sambil membaca sebuah novel.



Sekitar 2 bab novel itu telah terbaca, akhirnya Haris dan Ilham pun datang. Kami segera beres-beres tas untuk check out lebih awal. Sekitar pukul setengah sebelas, kami pun meninggalkan penginapan itu dan berharap nggak ada yang tertinggal. Belakangan diketahui, handuk gue ternyata ketinggalan karena tadi habis dijemur setelah mandi.

Seperti kutipan di awal tulisan, menurut gue, membandingkan seseorang atau sesuatu memang rasanya nggak etis. Namun, kalau membandingkan Jakarta—tempat tinggal gue, dengan kota Solo yang sedang gue jelajahi ini, kok rasanya sungguh perlu. Terutama soal harga makanannya.

Jadi, setelah gue bertanya kepada Haris mau ke mana aja hari ini, maka tujuan pertama kami (gue, Haris, Ilham, dan Tiwi) adalah tempat makan. Urusan perut memang perlu diutamakan. Sebab, di penginapan tadi kami hanya mendapatkan gorengan yang buat gue sama sekali tidak bisa mengganjal perut. Gue pikir, mereka pasti merasakan hal yang sama: lapar.

Oleh karena itu, di sinilah kami sekarang. Duduk menunggu makanan yang harganya begitu murah.



Kalau membandingkan dengan tempat makan di Jakarta, biasanya es teh manis itu harganya bisa sampai 5 ribu, ya kecuali di warkop atau warteg yang paling hanya 3 ribu. Namun, di sini cuma 2 ribu. Terus mana ada makanan di Jakarta yang sudah sama nasi beserta minum es teh manis, tapi harganya tetap di bawah 10 ribu? Warteg pun sepertinya nggak mungkin. Makan nasi pakai cilok mungkin baru bisa.

Sebelum menyantap hidangan yang sudah tersaji di meja, seperti biasa gue memfotonya terlebih dahulu. Lagian, makanannya masih terlalu panas saat gue memegang mangkuknya dan juga terlihat dari asap yang mengepul.

nasi timlo


Kelar makan, kami segera pergi ke indekos Hana. Di indekos Hana ini, mereka semua sedang asyik berkumpul sambil tertawa-tawa. Selain Hana, ada Bena, Mia, Jaimbum, kemudian ditambah Justin—yang memang berdomisili di Solo. Mereka ternyata sedang asyik video call dengan teman-teman di grup yang tidak ikut. Kami banyak tertawa. Apalagi mendengar suara Justin yang logatnya cukup lucu. Terlebih lagi pas dia berkata “teleq pitiq”. Nggak tau kenapa itu langsung menimbulkan refleks tawa.



Nggak banyak yang bisa kami lakukan di indekos ini. Gue sendiri memilih tiduran di teras ketika yang lain pada ngobrol. Maklum masih belum puas tidur karena semalaman susah tidur dan anginnya juga bikin ngantuk.

Pas gue kebangun, tiba-tiba sudah ada Jung yang katanya baru selesai mengisi materi yang bertajuk Serba-serbi SEO. Gue masih tiduran dan berusaha menyimak obrolan Jung bersama Justin dan Jaimbum. Namun, makin lama gue kurang ngerti obrolan mereka yang menggunakan bahasa Jawa. Duh, dasar 3J.

Begitu sore, Justin dan Jung pulang. Kemudian kami mulai gantian mandi satu per satu. Kala giliran gue yang mandi, awalnya gue sempat merasa risih. Karena sebelumnya emang gak pernah numpang mandi di indekos cewek. Indekos cowok malahan juga gak pernah deh. Maka, inilah pertama kalinya gue mandi di indekos cewek.

Selesainya gue mandi, berarti tinggal si Haris yang belum mandi. Kami pun menyuruhnya supaya cepet mandi.

“Buruan mandi, Ris. Kita mau jalan nih nanti malem,” kata Bena kepada Haris.
“Gak usah, ah,” jawab Haris. “Begini aja terus pakai parfum juga beres.”
“Dih, jorok amat deh lu!” ledek gue.

“Saya biasanya kalau di rumah cuma mandi sekali. Sorenya emang gak pernah mandi,” ujar Haris terlalu jujur.

Kami terpukau akan pengakuannya itu. Setelah diledek dan dihina oleh yang lain, dia pun mandi dengan terpaksa. Ya, Haris ternyata sejorok itu. Mungkin seperti inilah wajah Haris kalau dia memilih tetap gak mandi.



Setelah semuanya rapi, seusai salat Magrib kami segera berangkat ke Lotus. Tempatnya, sih, lumayan nyaman. Ada colokannya pula. Tapi sayang, penyajian makanannya tuh lama banget. Mana wifi juga gak bisa terkoneksi. Padahal harga-harganya hampir sama kayak di Jakarta, tapi pelayanannya kurang baik. Tempat ini sepertinya gak akan membuat gue untuk mendatanginya lagi.

Begitu kenyang, kami kemudian pindah ke Kafe Lattetude. Di kafe ini, kami melakukan banyak hal. Dari mulai ngobrol random, bikin mannequin challenge, sampai bercanda yang agak kelewatan, yaitu menarik jilbab Jaimbum.




Ketika melihat jam tangan telah menunjukkan pukul 23.00 dan merasa puas nongkrong di kafe, kami pun pulang. Yang cewek-cewek kembali ke indekos Hana, sedangkan yang cowok harus mencari penginapan baru.

Di penginapan yang sekarang, harganya tetap sama 100 ribu seperti sebelumnya, tapi kali ini ada AC-nya. Hoho. Awalnya gue pikir Ilham tidak ikut menginap. Lalu dia pun mengonfirmasi kalau di rumahnya sedang repot dan lagi banyak saudara. Sehingga memilih ikutan tinggal. Di penginapan yang sekarang juga boleh bertiga. Gak mesti satu kamar cuma untuk berdua.


Sebenarnya agak seram, sih, di penginapan yang sekarang. Apalagi berada di lantai 3. Namun, gue gak peduli. Yang penting hari ini bisa beristirahat dengan nyaman. Tidurnya juga pasti lebih cepat karena ada AC. Mantap!

***

Hari kedua.

Bangun-bangun, gue langsung merasa kedinginan dan matiin AC. Sial. Percuma juga pakai AC kalau pas paginya menggigil begini. Kampungan! Saat sudah benar-benar tersadar, gue perhatikan Haris sudah bangun duluan dan sepertinya sedang teleponan dengan pacarnya. Itu sepertinya menjadi kebiasaan rutin Haris. Berbeda sekali dengan gue yang jarang menelepon pacar. Kalau kangen, lebih baik temuin langsung. Ya, risiko menjalani LDR memang seperti yang dilakukan Haris itu. Begitu ingat kalau belum Subuhan, gue  pun beranjak untuk ambil wudu, salat, dan kemudian tidur lagi.

Setelah puas ngulet, kami bertiga berniat untuk mencari sarapan. Tapi sebelumnya kami memutuskan untuk mandi terlebih dahulu. Gue yang mandi untuk pertama kalinya. Sehabis mandi, gue malah melihat Haris dan Ilham yang kembali tidur lagi.



Saat gue mandi, gue curiga mereka telah melakukan skandal. Coba perhatikan saja tangan Ilham yang berada di selangkangan itu. Mereka pasti langsung pura-pura tidur ketika gue kelar mandi. Sepertinya alasan Ilham menginap karena di rumahnya banyak saudara itu palsu. Yap. Pastilah itu. Mereka berdua ingin memadu kasih. Kasihan ya, si Tiwi dibohongin Ilham seperti ini. 

Pagi itu, kami bertiga sarapan di sebuah warung nasi pinggiran jalan. Gue memilih nasi soto, tempe goreng, dan teh manis hangat. Lagi-lagi harganya tidak sampai 10 ribu. Sumpah, makanan itu ternyata cuma seharga Rp9.500,-. 


Kayaknya kalau gue tinggal di Solo kira-kira sebulanan bisa gemuk deh ini. Terus pas balik ke Jakarta, ya tetep kurus lagi. Setelah sarapan, kami pun kembali main ke indekos Hana. Gue merasa nggak enak sebenarnya sama Hana. Kami ini datang liburan pada waktu yang tidak tepat. Sebab, Hana itu sedang mengerjakan tugas akhirnya. Dan kami di sini sepertinya malah bikin recok. Wahaha.

Kalau dipikir-pikir, liburan ke Solo ini kebanyakan ngumpul di indekos Hana aja. Ya, mau gimana lagi. Di Solo tempat wisatanya gak begitu banyak. Di sini lebih banyak tempat kulineran gitu. Jadi, kerjaan kami hanya bolak-balik mencicipi aneka makanan yang ada di Solo, dan tentu saja leyeh-leyeh di indekos Hana karena bisa numpang wifi.

Namun, pada sore hari, akhirnya kami bisa menyempatkan diri untuk main ke Pasar Triwindu—yang lebih dikenal dengan nama Pasar Antik. Yuhu. Main ke Pasar Antik buat gue seperti kembali ke masa lalu. Banyak hal-hal kuno yang bisa ditemukan di sini. Dari mulai suasana pasarnya yang begitu tradisional, benda-benda yang memiliki nilai seni klasik, dan aroma masa lalu yang kuat. Tapi tenang aja, aroma masa lalu yang kuat ini tentunya bukan bau ketek mantan. 





Yang gue suka dari pasar ini, tentunya gak ada mbak atau mas yang teriak-teriak, “Mari, Kakak. Boleh barangnya dilihat dulu, Kak.”; “Ayo-ayo, dipilih dulu aja. Buat Kakaknya mah kita kasih murah deh (padahal harganya udah dinaikin duluan atau emang dari sananya segitu)”; atau “Ini cangkir antik. Asli punya. Pernah dipakai minum sama Raja Keraton Solo.” 

Ya, promosi seperti itu gak bakalan ada di pasar ini sebagaimana yang sering gue temukan di pasar-pasar Jakarta. Di sini hening banget. Mereka membiarkan pelanggan untuk melihat-melihat dan memperhatikan barang dagangannya. Mungkin mereka telah pasrah dan percaya kalau rezeki memang sudah ada yang ngatur. Gak ada pula ocehan sinis dari penjaga tokonya, “Kalo gak beli, mending gak usah megang-megang.”

Duh, membandingkan Solo dengan Jakarta ini mungkin gak akan ada habisnya. 

Ketika hasrat cuci mata sudah terpenuhi; kini kami, gue, Haris, Ilham, Tiwi, Mia, dan Jaimbum, berfoto-foto di luarnya. Kala gue sedang fokus memotret bagian depan Pasar Antik. Mereka malah berpose. 




Seperti anak gaul pada umumnya, kami tentu akan berfoto di sebuah papan nama jalan. Yoih. Kalau di Jogja ada Jalan Malioboro, di Solo ada jalanin dulu aja, nanti sayangnya belakangan. Duh, gak gini.



ini ngapa gaya sok striptis coba?

Begitu selesai berfoto, kami pun kembali ke indekos Hana. Namun, Ilham dan Tiwi nggak tau kenapa memilih pergi lagi berduaan. Pada hari kedua ini, malamnya nanti Mia akan pulang. Oleh karena itu, kami harus membuat malam terakhir Mia (anjis, kok malah serem jadinya) supaya menyenangkan. Salah satu dari kami mencoba untuk mengontak Ilham, tetapi sepertinya ada masalah dan mereka berdua nggak bisa ikutan. Haris kemudian bilang, “Wah, mereka balik ke penginapan kali. Kunci sama Ilham soalnya.” 

Haris tiba-tiba mengepalkan tangan kirinya kemudian memukulkannya ke telapak tangan kanan sehingga membuat gerakan maju-mundur dan sampai berbunyi pok-pok-pok. 

“Waduh,” ujar gue, kemudian tertawa karena mengerti maksud Haris. 

Malam itu kami kemudian makan di SS tanpa Ilham dan Tiwi, kemudian dilanjut nongkrong di Lattetude Cafe (lagi). Barulah setelah itu kami mengantar Mia ke Stasiun Solojebres. Pulang dari stasiun, gue dan Haris bingung karena lupa jalan pulang menuju penginapan. Bagusnya, Hana dan Jaimbum berbaik hati untuk mengantarkan kami pulang. 

Lucunya, sudah mondar-mandir berapa kali, penginapan itu tetap tidak ketemu. Padahal kami sudah mengikuti peta ketika gue update location di Path saat sarapan pagi tadi. Di pertengahan jalan, gue coba mengontak Tiwi, tapi nggak ada respons. Yang gue nggak habis pikir, kok Hana yang sudah lama tinggal di Solo pun bisa ikutan nyasar.  Setelah lelah tersesat, entah kenapa penginapan itu bisa ketemu juga akhirnya. Alhamdulillah. Malam itu adalah malam terpanjang selama gue di Solo. 

Sesampainya di kamar, Tiwi dan Ilham sedang menonton film di laptop milik Ilham. Tidak ada hal-hal yang terlihat mencurigakan. Ya, bercandaan jorok Haris dan gue emang kelewatan. Lalu, Hana dan Jaimbum tidak langsung pulang ke indekosnya setelah mengantar gue dan Haris. Mereka memilih untuk mampir sebentar, kemudian bercerita dan mendengarkan. Dari yang awalnya sebuah curhatan sampai ke cerita horor. Bahkan, pintu kamar mandi sempat tertutup dengan sendirinya. Yang tentu saja membuat kami semua lumayan terkejut.

Namun, rasa takut itu hanya sebentar. Kami pun tetap bercerita. Saking asyiknya bercerita, nggak terasa jam sudah bergerak mendekati pukul 3 pagi. Waktu benar-benar membunuh kami. Kemudian, Hana dan Jaimbum pun kembali ke indekos.

Gue nggak tau kenapa ngerasa susah tidur. Padahal, siang nanti adalah hari terakhir gue berada di Solo. Ya, sebab sore harinya gue harus kembali ke Jakarta. Dan sejujurnya, gue masih merasa belum puas menjelajahi kota ini. Uh, gue cuma bisa berdoa semoga nanti akan menjadi lebih baik, kemudian memejamkan mata. Tapi sayang, mata ini masih sulit untuk dimeremin. Sepertinya satu-satunya hal yang gak bisa gue bandingkan dengan Jakarta adalah kebiasaan tidur gue. Di Solo gue tetap aja tidur larut seperti di Jakarta. Asu!

Bersambung....

Bagian terakhir: Pergi dan Kembali

72 Comments

  1. Di Jakarta ada kok Yog, makan nasi plus teh manis di bawah 10rb. Tuh warteg deket kosanki. Cilincing emang beda! Love Cilincing! 😍😍😍

    Itu Tiwi sama Ilham kesian banget yak. Foto aja gak boleh deket-deketan. Udalah LDR. Wkwkwk. 😂😂😂 Pukpuk!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Di deket rumah gue, wartegnya mahal berarti, ya. :( Nantilah kapan-kapan gue main ke Cilincing. Penasaran. Pengin membuktikan dengan uang 10 ribu bisa makan dan minum es teh manis apa nggak.

      Wqwqwq. Parah lu, Kak Beb. XD

      Delete
  2. TAHIK WAKAKAKA

    Banyak yang bisa dikunjungi di Solo ternyata. Seru. Pengin lagi. Ehe. Nagih. Ehe.

    Mau bikin berapa part lu? Hm.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, kemarinan kan gak sempet explore lebih jauh. :| Kayaknya satu lagi deh biar jadi trilogi gitu. Halah.

      Delete
    2. "Butuh 3 part untuk menjelaskan ini semwah."

      Delete
  3. Jung ampuh tenan ya, ngisi workshop SEO.

    Yog, kamu jangan membelokkan realita. Aku dan Haris memilih tidur lagi karna dari kamar mandi denger kamu yang mendesah-desah dengan suara kecipak-kecipuk tak beraturan. Kadang sedikit mengerang juga. Jadi daripada jadi saksi tindakkan itu, kami memilih tidur saja....sambil menikmatinya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya juga denger tuh. Kirain mau bikin telor dadar.

      Delete
    2. ra dijak dolan nang kraton ham? XD

      Delete
    3. Ilham: Suara kecipak-kecipuk apaan aduh? Gak ada suara kayak gitu heh! :(

      Haris: Mana ada bikin telur dadar di kamar mandi!

      Wisnu: Ada kok nanti di tulisan selanjutnya. :D

      Delete
  4. Baca ini jadi kangen Solo waa...!! Aku belum bisa mupon dari tengklengnyaaa....

    Iya, di solo makanan murah meriah. Cuman 2 ribu, ya Allah..

    Yaahh.. aku belum sempat ke pasarnya itu...

    Jalanin aja dulu, sayangnya belakangan. Kalo gak sayang sayang tinggal di buang.. yhaa.. apaan dah...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Gue malah belum bisa cobain tengkleng itu, Rum. :( Yah, sayang banget belum sempet main ke pasar itu. Asyik loh! :p

      Wahaha. Anjir sampe dibuang. XD

      Delete
  5. Gokil. Bercandaan saya yang tak pantas memang cocok diceritakan di sini. 😆

    Lanjutannya pasti dipost setengah tahun lagi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bercandaan itu ada yang kuhapus. Udah janji mau tobat. Sorry. :(

      Tahun depan dong sekalian!

      Delete
  6. Apakah salah, jika saya tertawa melihat ekspresi muka Haris, tapi didepan orangnya?

    "Anjis" - Agia efek.

    Btw, katanya di bawah kasur penginapan ada obat kuat yah? Ena.

    Kayaknya daerah solo, Jogja dan sekitarnya pada murah-murah gitu ya kalo soal makanan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wkwkwkwk. Gokil si Dian. Cerita saya tentang benda misterius di kolong ranjang ditulis di sini. 😅

      Delete
    2. Nggak dong. Daripada ngomongin dan ngetawain di belakang? :) Iya, kalo gak salah, Yan. Gak tau itu punya siapa. :|

      Murah kalau dibandingkan dengan Jakarta. :D

      Delete
  7. Yang aku suka dari solo, orangnya selow-selow banget :D

    ReplyDelete
  8. Haha.. kenapa ya, Mas. Aku aja jadi pengen ketawa dengar telek pitik.. :D
    Itu tempatnya kurang nyaman mas, apalagi gak ada wifi, dan yang paling aku gk suka juga penyajiannya lama itu..hehe
    Kadang kalau udah laper suka kesel nunggunya.. haha

    Memang murah makanannya mas, sepertinya betul tuh kalau sebulan di Solo aja, gemuk tuh.. hihi Aku yang belum kecumponan itu ke pasarnya, meskipun tahu pasar itu seperti apa tapi tetep penasran pengen masuk dan beli sesuatu gitu..he

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jadi pelayanannya emang lama begitu ya ternyata? Kirain gue aja yang ngerasain. :D

      Cobain main dong, Mas Andi. Kan deket dari Jogja. :)

      Delete
  9. Memandingkan kota jakarta dan solo memang tidak ada habisnya. Pastinya jakarta lebih berkesan, duit sepertinya mudah didapat, jadi harap maklum saja jika harga es teh lebih mahal. Disolo murah, pakai air sumur gratis, di jakarta ? air PAM bayar kan ?
    ternyata sama hobynya dengan saya, suka baca novel.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul sekali. Iya gitu, Mas. Ini maksudku sebenarnya buat jangan membandingkan Solo dengan Jakarta, sih. Wahaha. Jelas beda dari pendapatan dan biaya hidupnya.

      Delete
  10. bukan menunda tulisan sih kalo aku, emang sering ngga punya bahan buat nulis XD
    sekalinya ada bahan, ntar bingung buat kalimat openingnya. tulis-baca-hapus. tulis-baca-nggak sreg-hapus lagi. *gitu aja terus

    nongkrongnya di tempat-tempat hits semua. aku ngga mudeng dimana itu lotus, apalah itu kafe latitude. taunya warung viens doang wkwk
    *harap maklum, bukan anak hits*

    ReplyDelete
    Replies
    1. Itu juga ke kafe karena diajak, Mas. Sebenernya mah gak ngerti tempat-tempat hitz di sana. Loh, gue malah lebih suka main ke warung Viens. Tentu saja karena murah. XD

      Delete
  11. w sampe ngakak pas ngeliat foto-foto si Jaimbum waktu Bena ngasih liat, kemarem gwa sempet pergi sma mereka ke Malang... dan SEMUA MENYENANGKAN.... hehehe...

    ReplyDelete
  12. WUAAAAAAHH ITU GADO-GADO CUMA DELAPAN RIBU. DI KAMPUS AKU TIGA BELAS RIBU!!! KALO SAMA MINUM, BELI AIR PUTIH DI KOPERASI, JADI TOTAL ENAM BELAS RIBU!

    -_-

    Seruuuuuu euy liburan sama temen-temen gituuu. Pengen :")

    Entah kenapa daku merasa akan tidak bisa tidur kalo di hotel itu. Takut._.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jelas beda bangetlah, Bil. Kampus kan kebanyakan emang mahal-mahal juga. Bahaha. Nah, liburanlah bareng temen-temen. :p

      Takut kenapa dah? :(

      Delete
  13. Sok striptis apaan, bapak-bapak tukang becak dibelakang woles-woles aja. Wakakakak...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Karena gue laki, Mas Jung. Bapaknya gak akan nafsu. :(

      Delete
  14. jangan ditunda-tunda mas, eh apanya yang ditunda
    wah solo, keseringan lewat belum pernah mampir
    murahnya harga makanannya itu lho
    btw aku paling suka foto striptisnya #eh

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, semoga ke depannya gak suka nunda tulisan lagi. :)

      Coba mampir sesekali. :D

      Delete
  15. asyiiik kan kampungku ;)??? semuaaa serba murah.. makanya aku suka takjub kalo lg di solo... kulineran di sana berasa kyk balik ke jaman pak harto, murahnya kebangetan hahahaha ;p

    tp memang wisatanya g banyak yog.. jauh2 dari pusat kota solo... kyk museum sangiran orang purba, ato air terjun grojogan sewu... 1 jam -an dr solo lah..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kelamaan tinggal di Jakarta, terus main dan makan di sana jelas terasa murah banget, Mbak. Bahaha.

      Iya betul, gitu juga kata temenku yang tinggal di sana. Tempat wisatanya pada jauh. Waktu liburannya juga gak cukup. :/

      Delete
  16. yang di pasar tu keren. sumpah.

    emang murah kalo di jawa tengah. gatau kenapa. waktu aku di jogja juga gitu. murah abis!

    ReplyDelete
  17. waah jadi kepengen juga main ke solo
    harga makanan nya sangat terjangkau ya hihi

    ReplyDelete
  18. Belum pernah ke Solo. Selalu ada niatan tiap kali ke Jawa..tapi ngga pernah kesampaian. Mungkin suatu hari kelak bisa ke sini.

    ReplyDelete
  19. Solo. Sonoan dikit nyampe rumahku, Wonogiri. Emang murah2 sih makanannya. Di Wonogiri sarapan nasi masih dapet 5ribuan. Itu udah pake es teh manis.

    Berbicara tentang kota Solo, memang tak bisa lepas dari jalanan yang kadang membingungkan. Wajar kalo Hana yang emang tinggal di situ lupa jalan ke kosan. Ini permasalahan kita bersama. Kuncinya adalah keberpihakan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wih, mau dong main ke sana! Mantap tenan itu, Mas Renggo. Cuma 5.000 pula. :)

      Keberpihakan gimana? Bingung malah sama komenmu. :(

      Delete
  20. Mo nanya nih. Di Solo banyak kuliner kan yak. L makannya abis nggak tuh seporsi? Hehehe. Cnd.

    Misalnya ada pembaca blognya Mbak Dian yang trip ke Jogja. Nah, terus baca ini yang trip ke Solo. Asumsi pembaca itu: suatu hari Mbak Dian dan rombongan di postingan ini ketemu di Ponorogo. Anjis, ini komen asal-asalan amat. :'D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Asssyuu.. Komentar opo iki? Hahahahaha

      Delete
    2. Gak usah ditanya. Seporsi malah kurang. :) Kenapa jadi Ponorogo dah? Itu kota kelahiran gue. :|

      Delete
  21. Berbicara kuliner dan penginapan di solo emang murah murah mas...apalagi batiknya :D mampir di PGS solo mas buat beli batik lumayan setengah harga di jakartalah hehehe....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah, nanti deh kapan-kapan, Mas. Batik saya kebetulan juga masih sedikit. :D

      Delete
  22. ya emang klo harga-harga di daerah terutama yang masih di Pulau Jawa lebih murah ia, dijakarta juga beberapa masih ada yang murah tapi ia Limited nih ....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, gak sebanyak di daerah yang murah-murah. Sebab, Jakarta juga Ibu Kota. Ahaha.

      Delete
  23. di dekat kantor gue ada yang 9k bray, nasi ama ayam goleng :D hehe

    ReplyDelete
  24. haha gokil emang dibawah 10 ribu sih kak tapi tetep aja juga 9500 cuma beda 500 wkwk.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tapi kalau di Jakarta susah dapet kayak gitu, Kak. Apalagi udah sama es teh manis. :p

      Delete
  25. Orang Jakarta kalau misal makan di kota lain kayak Solo atau Jogja kayaknya bakal ngerasa jauh lebih murah gitu deh ya. Di Klaten tempatku KKN kemarin, soto itu ada yang harganya cuma 3000 satu porsi -_- gilaaak. KKN kemarin makmur aku

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, karena di sini harganya gitulah. Disesuaiin sama UMR. Tapi kan yang mahasiswa atau anak kos belum tentu ngerasa harga itu standar. Gokil! Makin subur deh dirimu, Mas Feb.

      Delete
  26. Ini ngelanjutinnya rada lama ya yog, sampe lupa-lupa inget cerita awalnya kaya gimana hehehe

    Aku ga pernah ke solo, tapi banyak yg bilang kalau idup di sana mah niscaya dompet ga kering-kering banget, abis ya itu harganya murah. Itu poto makanannya enak, jadi leper~

    Btw mau nanya, itu poto yg kamu sama bang haris muka kamunya lucu ya, kaya bocah lagi ngambek :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya lama banget, Nad. Udah 3 bulanan baru dipublikasi. XD
      Pas bacanya belum sarapan mungkin. :p

      Emang bocah lagi ngambek fotonya gitu, ya? Wqwq.

      Delete
  27. Kok sekilas bang Hanung Bramantyo mirip bang Haris y

    ReplyDelete
  28. buruan selesein yg kedua. buruan!

    ReplyDelete
  29. Atuh Yoooog mana lagi jalan2nya, indekos terus nih? Hahaha. Aku masih butuh hal yang membandingkan solo - jekardah :P

    ReplyDelete
    Replies
    1. Huhuhu. Sedih ya di indekos doang. :( Makanya bingung mau bandinginnya apa.

      Delete
  30. Kok ceritanya di dalem kamarnya gini yak :))
    Niwei, sebagai orang yang pernah tinggal di kedua kota itu, beneran deh kerasa murahnya makanan di Solo kalau udah ngerasain mahalnya Jakarta :))

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wahaha. Buat jokes aja, sih. :p

      Hooh. Berasa banget. Pulang dari Solo rasanya males jajan di Jakarta. :(

      Delete
  31. Bhahahak. Saya baru baca ini. Kenapa ya pas mengingat kejadian bergerilya nya anak2 wwf ke solo saya paling ngakak liat fotonya jaimbum, Hahahh. Kasian sih. Tapi anehnya kok malah banyak diketawain, jadinya kan saya juga ikutan ketawa. Hahahhh

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kasihan, ya, dia jadi korban. Hahaha. Tapi emang lucu banget ekspresinya, sih. XD

      Delete
  32. Saya pernah ke Solo sekali, menurut saya sih Solo itu suasananya lebih nampak kebudayaannya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sama dong! Saya juga baru sekali ke Solo. :D Yap, masih kentel ya, Mas? :)

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.