Manifesto Pernikahan

“Menikah itu sama kayak berkesenian. Jadi kalau seniman punya manifesto, orang nikah juga punya manifesto.”

Potongan monolog dalam lagu Jirapah - Crowns yang aku dengarkan pertama kali pada 2019 itu rupanya pada kemudian hari juga membuatku iseng bikin semacam manifesto pernikahan. Aku tak bisa membagikan semuanya karena itu privasi, tapi inilah salah satu yang ingin kubagikan:


Bebas Utang untuk Awal yang Kokoh

Kami berkomitmen untuk memulai kehidupan pernikahan tanpa beban finansial yang memberatkan kami ke depannya. Kami berprinsip bahwa tak boleh ada utang demi membiayai resepsi. Pesta pernikahan harus sesuai dengan kemampuan finansial yang kami miliki, sebab perjalanan hidup setelahnya jauh lebih panjang dan penting.

Setelah enam bulan menjalin hubungan dan berniat serius bersama pasangan, kami—khususnya aku—mulai menabung secara konsisten dengan target nominal yang jelas dan realistis selama 1,5 tahun.

Konsep resepsi pernikahan kami tidak ingin mencontoh pasangan lain yang terlihat wah karena kami memang enggak mau bermewah-mewah. Konsep kami adalah perayaan cinta yang tulus dan sederhana, bukan ajang pamer kekayaan.

Andaikan tabungan kami kurang dari target (yang alhamdulillahnya pada acara kemarin kami mampu mencapai target), kami tetap tak ingin berutang kepada pihak-pihak lain, apalagi pinjol. Meski begitu, sekiranya ada pihak keluarga yang berkenan menyumbang dana, kami tentu menerimanya dengan senang hati dan rasa terima kasih yang mendalam.

Kami fokus pada elemen-elemen resepsi yang paling esensial dan berdampak langsung pada pengalaman sakral kami. Kurang lebih inilah daftar yang merupakan investasi utama kami dan mesti diusahakan mendapatkan yang terbaik sesuai budget:


1. Venue



Selain desain atau dekorasi gedungnya yang apik, kami juga memikirkan aksesnya mudah bagi para tamu, khususnya tidak menyulitkan beberapa tamu yang membawa mobil (berarti kami menghindari lokasi gedung yang harus melewati gang), serta tersedianya lahan parkiran untuk banyak mobil.


2. Katering



Hidangan kudu layak dan berkualitas bagi para tamu, dan sediakan lebihan buat jumlah porsi. Kalau kami, sih, memberikan 25% lebihan dari total daftar tamu. Misalnya, kami mengundang 250 orang (kami benar-benar menghitung si tamu dan partner itu 2 orang meski hanya 1 undangan), berarti 125%-nya sekitar 312,5 dan kami pun menyiapkan 320 pax.


3. MUA (jasa rias & busana)




Karena ini untuk momen sekali seumur hidup, kami tentu ingin tampil dengan riasan dan busana terbaik.

4. Dokumentasi


Kami ingin menyimpan momen-momen penting dalam bentuk foto dan video yang berkualitas. Maka, kami jelas mencari jasa fotografer maupun videografer yang mumpuni.


Jadi, terkait undangan (baik fisik maupun digital), suvenir, MC, organ tunggal, janur, dan segala pernak-pernik lainnya, kami bisa menyesuaikan dengan sisa budget yang ada.

Omong-omong, inilah jasa yang kami pakai saat resepsi:

Venue dan katering: @dapoerkanjengmamih

MUA: @by.larasmakeup (bisa langsung cari di Instagram sekiranya tautan tak tersedia).


Fotografer dan videografer: @muhakiem_ & @zania_photography


Kami menyadari bahwa resepsi hanyalah permulaan. Inti dari pernikahan adalah hubungan sehari-hari antara kami berdua yang meliputi komunikasi, kejujuran sekaligus kepercayaan, serta sikap saling menghargai dan respek satu sama lain. Namun, jika kami sejak awal sudah memulai suatu hubungan pernikahan dengan acara resepsi yang sungguh memaksakan diri hingga harus berutang (apalagi kalau jumlahnya bisa puluhan juta), lantas bagaimana kami bisa tetap melanjutkan kehidupan rumah tangga?

Barangkali utang yang digunakan untuk resepsi itu justru menjadi konflik berkepanjangan bagi sebagian pasangan beserta keluarganya. Mulai dari salah-salahan siapa yang mengusulkan berutang, lalu bergeser ke salah satu pihak yang menginginkan harus resepsi di gedung dengan dekorasi mewah, tuntutan orang tua yang harus mengundang 500-1.000 tamu, dan seterusnya.

Alih-alih memikirkan bagaimana cara melunasi utang itu, mereka malah meributkan hal-hal yang sejak awal semestinya bisa didiskusikan atau dipikirkan secara matang dengan melihat berbagai risiko atas segala pilihan. Alhasil, hubungan si suami-istri ataupun perbesanan menjadi retak sejak awal. Mereka tak bisa rukun, dan bahkan mungkin bisa berujung perceraian.

Kami bersyukur sejak awal telah berniat untuk mengadakan resepsi secara intim dan tak mau mengundang banyak tamu. Kami bahkan tadinya ada niatan untuk menikah di KUA saja. Tapi mengingat aku anak pertama, begitu pula istriku yang anak satu-satunya, kami mencoba mengambil jalan tengah dengan berdiskusi bersama orang tua agar tercipta win-win solution.

Walaupun konsep resepsi pernikahan yang terjadi lumayan berubah dari rancangan awal kami, setidaknya kami bisa tetap puas dengan hasil akhirnya. Syukur-syukur para keluarga juga ikut merasa bahagia, apalagi para tamu juga bisa menikmati seluruh rangkaian acara.

Setiap kali muncul keinginan ini dan itu untuk resepsi yang tentunya membutuhkan banyak biaya, apalagi sampai harus menguras tabungan, kami selalu merenungi pertanyaan berikut: “Apa sih esensi dari pernikahan?”

Yang kemudian aku simpulkan bahwa inti pernikahan bukan sekadar tentang resepsi atau hubungan yang terikat hukum, melainkan tentang membangun mitra hidup yang kokoh, di mana dua insan berkomitmen untuk saling mencintai, tumbuh bersama, saling mendukung, dan memelihara sikap saling percaya sekaligus respek, serta komunikasi yang jujur dan terbuka secara terus-menerus, sehingga menjadikan pernikahan sebagai sebuah perjalanan jangka panjang untuk menciptakan kebahagiaan dan kesejahteraan bersama.

0 Comments