Ruang Kosong Berjudul: Merindukanmu

Hai, Ayu,

Apakah kau berasal dari antah berantah? Terbuat dari serpihan apakah dirimu? Ketika “kita” mulai terucap dalam doaku, dan bukan lagi “aku” dan “kau” yang terpisah, lantas ada bisikan cinta yang seakan menyentuh ubun-ubunku. Bagaimana bisa sepotong kebaikanmu itu dikirimkan kepadaku?

Kau seperti benda asing mengagumkan di tengah keraguan yang menggerogoti. Kau seolah tahu tentang berbagai retak pada keyakinanku menulis. Kata-kata saat ini bagaikan potongan teka-teki yang mustahil ditebak.





Namun matamu, Ayu, adalah kamusku yang pernah hilang, dan sanggup menyusun kembali huruf-huruf yang berserakan, hingga mengembalikan degup pada kalimat-kalimatku yang mati suri. Jika boleh diadu, kutukan medusa itu pun rasanya bisa kalah melawan tatapan matamu.

Mengapa tiba-tiba jariku ini menari di atas kertas, dan merangkai sajak-sajak cinta yang terasa dungu? Mungkin karena pesan singkatmu menjelma candu. Setiap barisnya adalah sebentuk hadiah yang kupeluk erat.

Tapi, Ayu, siapa sangka cermin di kamarku terlalu jujur. Dia bilang, kita adalah dua garis yang takkan pernah bertemu di satu titik. Kau adalah jejak kaki di pasir yang hanya indah bila kukagumi dari kejauhan, dan aku adalah ombak yang justru akan merusaknya.

Setiap cerita yang kau bagi merupakan perih yang kurayakan diam-diam. Getar suaramu menanam akar di kedalaman yang tak terperi.

Kini layar percakapan itu membeku, dan hari ini adalah ruang kosong berjudul: “Merindukanmu”.

Tak ada tutorial di dunia ini untuk menuntunku bagaimana bersikap denganmu, Ayu. Haruskah kupecahkan sunyi dengan sebuah pesan yang bernyanyi?


Terlepas dari segalanya, semua tentangmu masih berbentuk fragmen yang kukumpulkan sedikit demi sedikit. Tak banyak yang aku ketahui tentangmu, Ayu. Mungkinkah telah ada tangan lain yang menggenggam erat tanganmu? Mungkinkah ada mulut lain yang merapalkan mantra-mantra kebaikan untukmu? Aku tak pernah tahu.

Maka, izinkan surat atau puisi atau omong kosong tolol ini menjadi sebuah jejak yang sengaja kubiarkan tertulis hanya demi menghibur diriku sendiri.

Salam,



Anton


*


Segala tentang rumah sakit selalu terasa dingin dan asing bagi Anton. Dia sungguh benci aroma antiseptik yang tajam dan menusuk hidung. Namun, dalam empat bulan terakhir ini, aroma itu justru menjadi bagian tak terhindarkan dari kesehariannya. Dua anggota keluarganya, adik dan ayahnya, masih menjalani rawat jalan, dan itu berarti Anton mesti meluangkan waktu buat menemani mereka setiap kali berkunjung ke rumah sakit.


Malam ini, kenyataan pahit justru semakin menghantam dirinya. Ayahnya, sosok kuat yang selama ini menjadi pelindung keluarga, kini terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Dokter berujar, paru-parunya terkena infeksi dan saat ini sudah semakin mengganas. Masalah penyakit adiknya sebetulnya juga sama di bagian paru-paru (Anton berasumsi bahwa sang adik saat itu tertular dari ayahnya), tapi berhubung usianya masih muda, penyakitnya tak separah ayahnya.


Pukulan kenyataan tentang betapa gawat kondisi ayahnya itu membuat Anton tersentak. Usia memang tak bisa dibohongi. Kedua orang tuanya kini telah memasuki usia senja, fase kehidupan yang rentan terhadap berbagai penyakit. Anton tahu, garis hidup setiap manusia merupakan rahasia Tuhan. Namun, berada di rumah sakit pada larut malam seperti ini selalu membangkitkan momok yang sama, yakni kematian.


Meski kecemasan akan maut menyelimuti dirinya, setidaknya Anton masih bisa bernapas lega soal biaya rumah sakit. Kartu BPJS menjadi penyelamat di tengah situasi genting ini. Tapi tetap saja hatinya nelangsa saat mengingat jumlah saldo di rekeningnya yang kian menipis. Bagaimana jika saat ini tidak ada BPJS? Apa yang bisa Anton lakukan untuk membayar biaya rumah sakit yang jelas-jelas berjumlah jutaan itu?


Pikiran Anton lantas melayang pada enam tahun silam. Rumah sakit yang sama menjadi saksi bisu saat ibunya berjuang melahirkan adik bungsunya. Kenangan pahit itu kembali menyeruak: sang adik yang keluar dari rahim tapi tak pernah sempat menghirup udara di dunia, lalu disusul pendarahan hebat yang mengancam nyawa ibunya. Saat itu, Anton bersyukur memiliki tabungan yang cukup untuk menutupi semua biaya rumah sakit.


“Kamu ada duit ‘segini’?” tanya ayahnya kala itu, dan nada suaranya terdengar begitu lemah. “Ayah pinjam dulu, nanti gajian diganti.”


Matanya terasa panas mendengar permintaan tersebut. Ayahnya, yang selalu berusaha mencukupi kebutuhan keluarga, sampai harus berpikir untuk meminjam uang kepada Anton, sang anak yang pada momen itu baru bekerja selama 8 bulan. Gaji ayahnya yang nyaris tak pernah bersisa untuk disimpan ke dalam tabungan adalah potret perjuangan orang tuanya selama ini.


“Ada, Yah. Enggak usah pinjam. Pakai aja,” ujar Anton dengan suara tercekat. “Itu kan buat Ibu juga.”


Waktu itu Anton tentu masih memiliki pekerjaan tetap dengan gaji yang lumayan. Beban biaya kuliah yang dia biayai sendiri di awal-awal semester juga belum terlalu memberatkan dirinya. Intinya, saldo di rekeningnya masih cukup untuk menghadapi keadaan darurat semacam itu.


Namun, kini situasinya jelas berbeda. Jika ibunya kembali membutuhkan bantuan biaya rumah sakit, sementara keadaannya sendiri sedang sulit, apa yang bisa Anton berikan? Hanya tetesan air mata penyesalan karena tak memiliki tabungan yang cukup dan permintaan maaf karena tak berdaya sebagai anak pertama? Membayangkannya saja sudah membuat Anton merasa malu sebagai seorang anak.


Anton merenung dan bertanya-tanya, kenapa malam ini terasa sungguh jahanam? Pada malam sebelumnya, di tengah kelelahan yang mendera dan pikiran kalut akan masa depan, Anton memang sempat mencoba mencari pelarian akan sosok perempuan yang belakangan ini mengusik hati dan otaknya.


Paras Ayu yang samar-samar entah bagaimana hadir kembali dalam benaknya, lantas menjadi oase di tengah gurun kecemasan. Beberapa hari sebelumnya, Anton sempat memikirkan buat menghapus Ayu dari hidupnya. Anton sudah kelewat capek, bahkan terasa mengganggu keseharian, hingga jadi susah tidur akibat imajinasinya sendiri terhadap Ayu. Anton benar-benar lelah memikirkan sekaligus berkhayal bagaimana mereka bertemu kelak—jika Tuhan mengizinkan pertemuan itu.


Namun kenapa pelarian itu justru membawanya pada musibah yang menimpa keluarganya? Di tengah situasi seperti ini, Anton berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran aneh tentang gadis tersebut, tapi lagi-lagi Ayu malah menjadi obat bagi Anton yang ironisnya membenci rumah sakit dan obat-obatan. Bagaimana bisa senyum manis Ayu seolah mampu menghilangkan kecemasan di hati ataupun beban neraka kecil yang Anton pikul di pundaknya? Bahkan, saat menunggu hasil tes darah ayahnya keluar, Anton masih sempat-sempatnya mengedit puisi tentang gadis manis itu.


Anton jelas tak yakin apakah tindakannya itu etis atau tidak. Yang jelas, perasaan aneh yang menyesakkan dada, rasa sulit menangis yang entah disebabkan oleh malu atau perasaan yang bercampur aduk, sedikit demi sedikit terobati.

Apakah Anton memang seseorang yang ahli dalam mengecoh kesedihan dan kesepian? Anton tahu bahwa menulis memang tidak mengubah keadaan. Tapi barangkali ini merupakan satu dari segelintir cara untuk melarikan diri sejenak dari rasa sakit yang mendalam. Dengan menyalurkan energi negatif dalam pikiran dan hati ke dalam rangkaian kata rupanya benar-benar mujarab bagi kondisinya saat ini. Menulis puisi tentang Ayu adalah penyelamat darurat agar ia tidak terperangkap dalam kepanikan dan kegelisahan.


Sayangnya, pikiran tentang kondisi keuangan yang kritis masih tetap sulit diusir dari benaknya. Anton kini dihadapkan pada persimpangan jalan. Apakah dia harus bersabar, fokus pada kesehatan ayahnya sambil terus dihantui kekhawatiran soal uang, baru kemudian mencari pekerjaan lagi? Ataukah dia harus segera bergerak cepat mencari pekerjaan tetap baru, mengirimkan lamaran ke berbagai tempat, menghadiri wawancara, sambil berusaha mencari pemasukan dari berbagai cara, tapi dengan risiko tidak bisa sepenuhnya mendampingi ayahnya di rumah sakit?


Anton tak tahu jawaban mana yang benar. Yang dia butuhkan saat ini hanyalah kasur di rumahnya. Dia ingin segera pulang, merebahkan diri dan menangis sepuas-puasnya, meratapi hidup yang terasa begitu berat. Berdoa dan berharap agar penderitaan keluarganya segera berakhir. Namun, tiba-tiba sebuah gagasan melintas di benaknya: bukankah sebelum roh meninggalkan jasad, penderitaan itu tidak akan pernah benar-benar berakhir?


--

Semua tulisan di atas hanya draf lawas yang coba dipoles kembali. Gambar cewek di atas juga cuma pemanis.

0 Comments