Menulis Puisi di Kamar Tanpa Lampu

Aku ingin selalu menceritakan
kisah ini kepadamu, Sayang,
dalam kondisi tanpa lampu,
dalam kegelapan kamar yang
sanggup memudarkan rasa malu.

Aku terkadang suka bertanya:
Apakah saat lampu mati
tata bahasa akan ikut padam?

Sebab aku ingin menulis puisi cinta
yang norak, yang identitasnya
tak bisa dikenali oleh siapa pun.

Aku pernah berjalan di atas pasir
dengan langkah kaki yang kian berat.
Hanya berjalan tanpa arah dan kelelahan.

Lama-lama pasir itu bagaikan pasir hisap.
Ia menelan tubuhku hingga setinggi leher.

Namun, saat aku mulai memutuskan
untuk melihat ke arahmu, menemuimu,
dan tentunya ingin bersamamu,
pelan-pelan keberanian memaksaku keluar
dari penjara yang kurancang sendiri.

Selangkah demi selangkah,
aku mulai memangkas jarak
di antara kita. Tapi entah kenapa
aku bagaikan berjalan di tempat.

Pada malam itu, Sayangku,
Sang Mimpi dengan wajahnya yang mengerikan,
sering membuatku tak bergerak,
bahkan membuatku berpikir:
Apakah hari esok masih
akan datang menyambutku?


Tapi setelah suatu pagi, ketika kita berjanji
akan berjumpa di Stasiun Sudirman,
setiap malam aku senang bertemu Mimpi.
Ia kini hadir dengan wajah tersenyum,
juga dengan sayap—yang tercipta dari
berbagai hal yang pernah kita percakapkan.


Dari banyaknya kenangan buruk/trauma,
yang membuatku tak mau mengintip
daftar film di kepalaku, kini akhirnya
aku justru sering memutar film terbaru:

Perjalanan pertama seorang lelaki naik MRT,
makan ramen berdua di lokasi elite
yang sistemnya menolak uang tunai,
mencari buku bekas original di antara
kepalsuan-kepalsuan teks di Blok M Square,
jajan telur gulung—yang penjualnya tak paham
apa itu tata busana, tata krama, dan tata bahasa,
memotret tiket Guardian of the Galaxy volume 3,
layar kaca yang menampilkan kisah Rocket Raccoon
yang bikin mata kita berkaca-kaca,
dua piring nasi goreng di warung steik,
makanan yang seakan-akan salah alamat, dan
sebaris sajak yang muncul dari kejujuran hati.




Aku ingin terus hidup menuju setitik cahaya
yang berada di ujung gua ketidakpastian.
Mari berjalan tanpa kecemasan dan ketakutan.
Karena seandainya lilin ini mati,
atau senter ini kehabisan baterai,
dan kita terjebak dalam gelap,
setidaknya kita telah berpegangan tangan.

Sebab tangan kita telah disegel oleh api,
dan gelap akan mulai terlelap,
lalu ia bangun menjadi gemerlap.

/2023

0 Comments