Setelah Kamis Manis

“Kata orang yang menerima hadiah ini: kawaii. Jadi saya pikir barangnya sesuai dengan gambar dan bagus. Proses pengirimannya juga cepat. Mantaplah.”


Saya tersenyum-senyum sendiri membaca ulasan yang saya tulis tersebut. Lantas, saya juga mendadak teringat dengan secarik kertas yang saya kirimkan untuknya, semacam surat pengantar untuk kado ulang tahun, yang kurang lebih berbunyi begini:

Sejak usia 23, saya mulai memandang ulang tahun sebagai hal yang tidak lagi spesial. Tanggal itu sama saja seperti hari-hari lain. Meski begitu, ternyata tetap ada kegembiraan-kegembiraan kecil ketika ada orang lain yang repot-repot mengirimkan saya hadiah.

Saya tak tahu apa hukumnya membalas kebaikan orang lain, apakah mubah, sunah, atau wajib? Yang saya tahu, berbuat baik selama dilakukan dengan senang hati, bukan karena terpaksa, itu juga berdampak pada kebahagiaan diri sendiri.

Maka, beserta surat ini saya coba mengirimkan kado yang mungkin tampak remeh, bahkan juga bukan barang baru, tapi semoga ada manfaatnya. Saya sengaja memilih dua buku yang berhubungan dengan dunia kreatif, sebab saat ini kamu bekerja di bidang tersebut. Siapa tahu bisa menambah referensi dalam berkarya. Buku satunya lagi berbentuk novel, saya pilih secara acak dari beberapa buku yang masih tersampul plastik sebagai pelengkap karena katanya Tuhan suka angka ganjil.

Selain kado ini kamu juga bakal menerima kiriman yang lain. Yang awalnya saya tanya: Kamu kepengin kado apa? Semoga kamu suka dengan kadonya. Sekali lagi, selamat ulang tahun.



Draf barusan tersimpan hampir dua tahun di blog tanpa pernah saya publikasikan. Mirip sebagaimana perasaan suka saya terhadapnya yang saya pendam sejak hari itu karena perkara-perkara krusial.

Terus terang, saya sempat ragu dengan apa yang saya rasakan saat itu. Apakah saya sungguh menyukainya? Keraguan itu muncul begitu saja karena kami sudah lama tak berjumpa. Ditambah lagi, waktu itu merupakan masa pandemi, sehingga saya tak bisa bertemu dan tentunya mesti menutup diri dari dunia luar. Selain karena pandemi sialan (saya memaki begini karena belakangan diketahui saya rupanya terinfeksi virus bedebah itu, dan bahkan sempat berpikir bakal mati lantaran gejala yang saya alami tergolong parah), saya waktu itu sengaja menjauh dari masyarakat atas dasar malu dengan kondisi hidup saya yang memble sekaligus berantakan. Oleh sebab itu, saya berusaha mengubur perasaan tersebut tanpa pernah berkata jujur kepadanya. 

Looking at the stars, admiring from afar~

Toh, saya sangat sadar bahwa keadaan mental yang sedang gawat pastilah tak layak buat menjalin hubungan. Saya jelas ingin hidup dia baik-baik saja, dan saya tak ingin membawa masalah kepadanya. Yang perlu saya lakukan adalah membenahi hidup sendiri terlebih dahulu.

Hari-hari terus berlanjut dan rupanya saya masih sanggup bertahan. Sedikit-sedikit saya dapat mengurangi kebencian terhadap diri sendiri, serta saya mulai menyayangi diri sendiri. Lebih-lebih saya kembali berani memajang foto diri saya di media sosial yang sempat saya telantarkan (sebelumnya, saya entah kenapa membenci potret diri).


Kala saya kembali melihatnya muncul di media sosial, saya pun masih merasa tertarik dengan sisi kawaii di dalam dirinya. Yah, saya terkadang memang memperhatikan aktivitasnya di Story, yang sering tampak lucu di mata saya. Lalu, entah dia sadar atau enggak, berbagai kebaikan dan beberapa kalimat yang pernah dia lontarkan baik di pesan/telepon itu termasuk satu dari sekian banyak alasan saya agar tetap hidup dan berhenti meratap ataupun putus asa. Saya sangatlah berterima kasih.

Jadi, sekeras apa pun saya berusaha mengubur perasaan itu, terus mengelak, membohongi diri sendiri, bahkan mencoba naksir orang lain (yang entah mengapa saya selalu suka dengan perempuan yang saya tahu tak akan pernah bisa diraih alias mustahil, misalnya saya menyukai seorang selebritas, atau orang yang saya tahu berbeda agama dengan saya), pada akhirnya sosok dia selalu berenang di dalam kepala saya, tak pernah mau pergi, bahkan hingga hari ini, ketika saya mencoba jujur buat memetakan seluruh pikiran dan perasaan saya lagi setelah sekian lama tidak menulis.

Oh iya, baru-baru ini saya akhirnya berhasil mengutarakan perasaan saya secara langsung, bahwa saya mulai menyayanginya. Mulanya, saya jelas sempat ragu buat jujur akan hal ini, sebab saya masih punya suatu masalah yang perlu dibereskan hingga Desember nanti. Namun, saya seakan-akan mendapatkan kesempatan kedua dari Allah, tepatnya ketika saya bisa kembali berkomunikasi dengannya, bisa merasa dekat lagi dengannya.


Sebelum sampai ke titik itu, saya telah berusaha menjangkaunya dengan berbagai cara. Bahkan saya masih ingat betul, salah satu caranya dengan menggunakan wajah seseorang yang sekilas mirip dengannya hanya demi memujinya cute.

Dia sempat kaget lantaran foto itu—yang dia bilang sendiri—sekilas mirip dengan foto lawasnya. Selain itu, dia juga berkata: “Aturan mah chat aja coba. Siapa tau jodoh. Wkakaka.”


Jadi, dia menyuruh saya buat menghubungi orang yang fotonya sekilas mirip dengannya, padahal seperti yang saya bilang sebelumnya: Saya melakukan hal konyol itu agar bisa mengobrol dengannya. Terlebih lagi, masa iya saat itu saya langsung merespons: “Justru karena saya suka sama kamu hingga selama ini, dan berpikir kita ini jodoh, makanya saya chat kamu.” Itu rasanya terlalu cepat, bukan?


Terlepas dari hal itu, saya sungguh senang karena dia masih merespons pesan saya dengan baik. Saat saya ajak bertemu, dia juga bersedia. Berkat dua kali pertemuan itulah saya jadi kian sadar bahwa saya benar-benar menyayanginya.




Kala saya jauh dengannya, saya merasa rindu. Ketika baru saja sampai rumah sehabis bertemu, saya bahkan langsung kangen lagi kepadanya. Ini benar-benar perasaan orang yang sedang jatuh hati alias kasmaran, kan? Oke, yang barusan pertanyaan retoris.

Bicara soal pertanyaan, saya tak bertanya apakah dia mau jadi pacar saya, dan saya juga tak menuntut apa-apa kepadanya. Saya juga sepertinya tak sempat bertanya, apakah dia juga memiliki perasaan terhadap saya? Yang jelas, saya mengungkapkan semua ini hanya untuk menjelaskan hal-hal yang mungkin tak sempat terucap oleh mulut.

Kami sadar akan usia kami yang terbilang tak muda lagi. Beberapa teman sepantaran pun juga sudah banyak yang menikah. Masalahnya, saya belum berada di dalam kondisi buat melangkah ke arah sana. Apalagi setelah saya menceritakan suatu kisah sedih, dan dia pun akhirnya tahu bahwa saya sedang ada problem finansial. Tapi di luar persoalan itu, kala saya bilang sayang kepadanya, saya amatlah serius.

Sejujurnya, saya sudah lama tak menjalin hubungan. Terakhir kali putus itu kisaran 2018. Berarti hampir lima tahun saya beberapa kali gagal dalam percintaan dan memilih sendiri karena malas dengan hubungan yang cuma main-main.


Oleh karena itu, andaikan saya bisa menjalin hubungan lagi, tentunya saya punya niat serius dan berusaha berkomitmen dengan pilihan saya tersebut.


Maka, untuk sementara ini, sembari memperbaiki diri dan keadaan, saya ingin tahu lebih banyak tentang dia, saya mau mengenalnya lebih dekat lagi, dan sejak saya bilang bahwa saya menyayanginya: diam-diam saya berjanji kepada diri sendiri buat berhenti melihat ke arah perempuan lain (tentu bukan secara harfiah, karena ibu dan bude saya juga perempuan, kan?). Saya tak menyangka bakal berada di titik ini, bisa merasakan kebahagiaan semacam ini lagi, dan akhirnya mulai berani membuat keputusan untuk melabuhkan hati saya kepadanya.

--

When you love someone just be brave to say~

3 Comments

  1. Asyik, gimana rasanya kasmaran setelah sekian lama mati rasa bang? Berasa hidup kembali muda gak? Wkwkwkwkwk

    Kayanya hampir rata-rata cowok yang memilih belum ke tahap jenjang pernikahan problemnya paling banyak emang karena ekonomi sih.

    Tapi yaudahlah kalau hati kepalang kadung sudah mencintai, daripada menyesal di kemudian hari emang sebaiknya sat set sat set diungkapkan saja.

    Tapi gatau deng, tiap orang beda pemikiran dan beda cara mengungkapkan ekspresi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Selama bisa lihat dia tersenyum, dunia bakal terasa baik-baik aja walau lagi punya masalah krusial. Haha.

      Mental saya mungkin juga belum siap, sih. Tapi ya persoalan utama itu tentu finansial.

      Iya, dulu saya pernah menyesal karena cuma memendam. Jadi selagi ada kesempatan, saya akhirnya ngomong. Terlepas nantinya bakal gimana, toh saya udah berkata jujur. Itu jauh bikin lega.

      Delete
  2. Berarti udah jadian ya? Oke semoga langgeng ditengah gempuran ayang tiktok sama perselingkuhan dan perceraian, Bang.

    Menarik. Mental dan finansial, duo al yang berkolaborasi menjadi monster bagi kehidupan. Meskipun ada juga yang pernah bilang, sebenernya kalau pernikahan itu gak yang benar-benar siap.

    Entahlah.

    Ditunggu cerita hasil kejujuran-kejujuran selanjutnya, Bang wkwkwk

    ReplyDelete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.