Kondensasi Cinta

1


Jika kau memberiku afeksi,
apakah aku akan menjadi sebuah buku
yang terdiri dari berbagai puisi—yang tak
akan pernah dibaca ataupun ditulis
oleh siapa pun di dunia ini?


 
 
Setiap lariknya akan memunculkan warna
kegembiraan, warna kesedihan, warna kehidupan,
dan warna kematian.

Katamu, aku hanya orang tolol
yang gemar membaca/menulis
dan tak becus melakukan pekerjaan lain,
khususnya menjaga cintamu.

Tapi, apa itu cinta? Di buku puisiku,
cinta telah menjelma kata yang benar-benar
tak dapat diterjemahkan, dan konon cinta ingin
berevolusi menjadi kata kerja, sedangkan aku
lebih suka ia tetap menjadi kata sifat, atau
sekalian saja ia menjadi kata benda.

Sejak jatuh cinta, katamu, hidup terasa lebih gampang,
lalu kubalas: Bukankah hidup sudah tidak ada?
Sebab hidup hanya serangkaian kebohongan
yang diulang-ulang setiap harinya.

“Kau terlalu sering menderita, ya?” tanyamu.
“Jawabanmu kayak makhluk dead inside.”

“Ya, karena aku cuma sebuah puisi murung
—memodifikasi sajak Afrizal—yang keluar
dari mulut mayat seorang penyair, yang kelak
menjadi dokumen kesepian di dalam kisah-kisahmu.”


2

Batas keberanianku dan kecantikanmu
dipisahkan oleh segelas milkshake
atau seekor kucing tanpa nama.


Kuakui, diriku saat ini sungguh seorang pengecut.
Kondisiku sementara ini juga tak mendukung
buat menjalin hubungan.

Tapi bagi seseorang yang nyaris pikun
seperti apa rasanya jatuh cinta,
kehadiranmu akan selalu menjelma
oase di setiap hati yang tandus.

Sejak memandang parasmu
untuk yang pertama kalinya,
ada dua hal yang tak akan pernah lenyap
dari memoriku: rambut sebahu dan berkacamata.

Awalnya, kukira debaran itu cuma kegugupanku belaka,
tapi hingga perjumpaan kedua, ketiga, keempat, dst.,
lalu kini entah yang keberapa, terjebak dalam hening di lift
saat tak ada makhluk lain selain kita berdua dan
hantu-hantu tak kasatmata, berpapasan di pintu gerbang kantor,
pertemuan di bawah tenda pecel ayam/lele, dan tempat-tempat lain
yang belum bisa kutuliskan karena ingatanku sedang payah,
aku yakin inilah yang disebut kasmaran.

Namun, kautahu, pada akhirnya aku adalah manusia tolol
yang terlalu sering jatuh cinta kepada perempuan
yang tak akan pernah bisa kuraih karena perkara-perkara krusial.

Pesanmu lewat mimpi sudah menjawab segalanya.
Kita bagaikan bumi dan langit, terlebih lagi tempatmu
adalah langit ketujuh atau Sidratul Muntaha,
atau dengan kata lain: Langit telah menjadi sebongkah berlian.
Terlalu keras dan menyilaukan bagiku.

Aku membutuhkan Buraq untuk bisa menjangkaumu,
dan itu sangatlah mustahil. Namun, untuk saat ini
biarkan aku tetap naksir kamu meski itu terasa mustahil,
sebab jatuh cinta ternyata membuatku lebih berani
menjalani hidup yang bernilai nihil.

0 Comments