Saat Menjelang Kematian

Saat menjelang kematian,
aku ingin melihat momen
yang hilang dimunculkan lagi.

Duduk anteng di depan TV
saban Minggu pagi, kemudian
tenggelam bersama film animasi.

Melupakan sejenak pertanyaan:
Apakah sudah mengerjakan
PR buat hari Senin?

Jajan kue cubit setengah matang
seloyang di abang-abang bertopi
(penjual favorit yang telah menemani
masa kecilku hingga quarter life crisis,
dan kini dia tak pernah lewat lagi
di depan rumah karena konon telah
berpulang digerogoti virus).

Meninggalkan luka di Jakarta
dengan bertamasya ke Yogyakarta
bareng kawan-kawan kuliah
tanpa harus memusingkan
tagihan uang semester
yang belum terbayar, sebab
yang terpenting ialah kesembuhan
hati yang baru saja hancur
dikhianati oleh kekasih lacur.




Seorang gadis lain datang
membawakanku payung.
Dia tidak memperbolehkanku
menangis sendirian.

Jangan membunyikan/menyembunyikan
tangis di balik hujan, katanya.

“Sebab aku ingin melihat keindahan
puisi yang jatuh dari matamu.”

Aku membalas dengan pertanyaan:
“Tapi sudikah kau menjelma lirik
Desember - Efek Rumah Kaca untuk
setia menunggu hujan reda?”

Saat menjelang kematian,
aku tiba-tiba ingin menjadi
seekor kucing hitam
yang bernyawa sembilan.

Agar setelah mati
aku masih bisa menjalani
delapan kehidupan, dan
semoga salah satunya
aku bisa bersama gadis manis
berhati pelangi yang selalu
menerangi sisi gelap ini.

*

Puisi atau racauan barusan pernah saya tampilkan di Instagram pada bulan Agustus (lebih tepatnya itu pos terakhir saya sebelum memutuskan jeda membuka IG), dan berhubung salah satu lariknya terkait dengan Desember, saya kira tak ada salahnya menampilkan ulang di blog buat menutup akhir tahun.

2 Comments

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.