Selamat Jalan, Mbah

Seusai azan Subuh, seseorang mewartakan kabar duka melalui pelantang suara masjid. Saya menyimak ucapan demi ucapan dan terkejut dengan nama yang disebutkan. Saya sebetulnya tahu bahwa beliau telah menderita sakit sekitar tujuh bulan (walau saya tak pernah tahu apa penyakitnya, dan sesungguhnya malas mencari tahu tentang penyakit yang kemungkinan besar hanya bikin sedih setelah mengetahuinya), tapi masih tak menyangka kalau sekaranglah saatnya beliau berpulang.




Lebih dari dua bulan saya tak pernah bertemu beliau. Terakhir yang saya ingat, suatu sore sepulangnya saya membeli ayam goreng tepung dengan berjalan kaki, saya melihat beliau duduk di samping teras rumahnya, dan kala itulah saya memperhatikan kalau tubuhnya lebih kurus dari biasanya, serta wajahnya membengkak bagai orang habis dipukuli.

Saya baru tahu tadi tentang usianya yang menginjak angka 80. Selama ini, saya kira umurnya baru 60-an sebab tubuhnya tampak segar bugar. Setahu saya, beliau memang gemar berolahraga seperti joging tiap pagi selepas Subuhan maupun latihan angkat beban saban sore sehabis Asar, dan mungkin itulah yang membuatnya terlihat awet muda.

Beliau bukanlah keluarga maupun kerabat saya, dan cuma tetangga biasa yang bahkan beda RT. Namun, ada semacam rasa kehilangan yang cukup sentimental seolah-olah beliau adalah orang dekat saat kabar duka tersebut diumumkan. Jika mengacu ke jarak rumahnya yang hanya selemparan batu dari rumah saya, tentu hal itu bisa disebut dekat. Tapi seingat saya, kami nyaris tak pernah berbincang selain tegur sapa ketika sedang berpapasan.

Satu-satunya obrolan panjang bersamanya yang mampu saya gali dari memori ialah pada Maret 2021, sewaktu saya menjadi petugas protokol kesehatan di acara pernikahan dekat rumah, yang memastikan setiap tamu undangan mengenakan masker dan suhu tubuhnya normal, lalu beliau hadir sebagai orang yang dituakan sekaligus dimuliakan buat menyambut tamu. Memasuki jam makan siang, saat saya sedang jeda makan sate ayam plus lontong, beliau tiba-tiba bertanya saya sekarang bekerja di mana. Saya menjawab sejujurnya hanya pekerja lepas yang lebih cocok disebut pengangguran. Masa pandemi bikin saya gagal memperoleh pekerjaan baru.

Memang sebelumnya kerja di mana? katanya. Begitu saya menyebut nama perusahaan, beliau langsung memotong: Loh, itu cucu saya sekarang kerja di sana. Kenapa kamu keluar? Saya berusaha menjelaskan walau saya terhitung lama bekerja di sana, tetapi statusnya pun tergolong pegawai lepas juga. Jadi, tak cocok kalau disebut keluar. Tak ada proyek pekerjaan yang ditawarkan lagi buat saya mungkin lebih pas.

Saya tak terlalu ingat bagaimana percakapan itu berakhir. Apakah masa istirahat saya telah habis dan saat itu rombongan tamu lagi banyak-banyaknya, atau ada bapak-bapak lain yang mengajaknya mengobrol? Yang saya ingat, sepertinya beliau sempat memberikan wejangan agar saya tak usah malu memulai karier dari awal lagi atau dari yang paling bawah atau bahkan mengambil pekerjaan-pekerjaan yang kerap dipandang sebelah mata oleh khalayak.

Cuplikan-cuplikan memori tentang beliau saling berebut tempat, dan saya mendadak merasa berdosa karena pernah berbuat kurang ajar kepadanya. Saya entah kenapa baru ingat hal ini sekarang, setelah dua puluhan tahun berlalu. Kala itu usia saya baru kisaran 4-6 tahun. Saya sedang main ke rumah seorang teman bersama kawan yang lain. Rumah teman saya ini berada di gang sempit (gang di dalam gang) yang kebetulan pintu depannya berhadapan dengan pintu belakang rumah beliau.

Selagi bosan memainkan orang-orangan atau robot-robotan di kamar si pemilik rumah yang berada di lantai dua, kawan saya satunya pun mengajak kami ke balkon. Di sana, dia tiba-tiba kencing seakan-akan itu toilet. Kawan saya yang satu itu memang termasuk bandel (bahkan tujuh tahun lalu saya sempat mendengar gosip tentangnya yang menginap di penjara selama beberapa hari sebelum akhirnya ditebus puluhan juta oleh orang tuanya supaya bebas alias bandelnya semakin menjadi-jadi).

Mendengar bunyi pancuran air yang mencurigakan di belakang rumahnya, otomatis beliau langsung mengeceknya, dan di sinilah sebuah dosa saya perbuat, yakni tak sengaja mengencingi kepalanya. Entah saya waktu itu terlalu polos (atau goblok?) dan mau-maunya disuruh ikutan kencing, atau saya berada di bawah ancaman kawan yang nakal, yang jelas saya masih tak habis pikir dengan kilas balik memori hina ini.

Beliau pun langsung mengomel, menyebut-nyebut nama kawan saya yang satu itu, dan menyuruhnya turun, padahal sayalah pelaku sebenarnya. Dulu saya memang dikenal sebagai anak baik pendiam yang bahkan dianggap tak berani berkata ah kepada orang tua.

Astagfirullah. Sampai tulisan ini saya ketik, tentu tak pernah ada yang tahu kalau saya sempat menjadikan kepala seseorang (yang saya hormati) sebagai lubang kakus. Saya sungguh baru ingat hal ini tadi. Saya sepertinya tak pernah meminta maaf kepada beliau, bahkan hingga orang itu berpulang. Maafkan saya, Mbah.

Banyak orang berkata soal telah memaafkan bukan berarti melupakan, sedangkan di sisi lain saya teringat cerpen Borges berjudul Legenda yang berujar bahwa melupakan berarti memaafkan. Hal-hal yang terlupa oleh ingatan sama saja seperti memaafkan, atau bisa dibilang saya telah memaafkan kesalahan masa bocah itu.

Satu demi satu kenangan baik tentang beliau bermunculan, dan saya akhirnya paham mengapa ada rasa sentimental ketika mendengar kabar kepulangannya. Semua itu karena beliau telah berjasa kepada ayah saya sekaligus menenangkan perasaan saya pada masa SMP. Sekitar 15 tahun silam, kala asma Ayah sedang parah-parahnya, saya sungguh ketakutan bakal kehilangan orang tua. Beliau yang saya ceritakan sejak tadi, saat itu berusaha mengobati ayah saya dengan membaluri dada Ayah dengan ramuan dedaunan. Beliau yang mungkin peka dengan tatapan nanar saya, lantas berkata sembari mengusap-usap kepala saya: Tenang aja, ayahmu bakal sembuh, kok. Kejadian itu kini mengingatkan saya terhadap adegan film Batman Begins, persisnya ketika James Gordon berkata it's okay kepada Bruce Wayne kecil yang baru saja kehilangan orang tuanya. Meski konteksnya cukup beda, seenggaknya kalimat sederhana itu sungguh menenteramkan hati.

Walaupun saya mengerti bahwa ucapan beliau tak sepenuhnya benar, sebab sejauh yang saya pelajari asma itu tak bisa sembuh total, seenggaknya terapi yang beliau coba lakukan kepada ayah saya bisa membuat gejalanya menjadi kian ringan dan alhamdulillah sanggup memperpanjang usia Ayah sampai hari ini.

Sementara beliau, orang yang saya kenal sebagai tetangga paling sehat, justru yang akhirnya ambruk duluan karena digerogoti usia, dan pagi ini Maut pun merangkulnya.

Akhir kata, beliau adalah orang baik. Selamat jalan, Mbah.

2 Comments

  1. Rasanya memang akan menyesakkan dada di saat mengetahui orang yang dikenal dengan baik telah mnutup usia.

    Dan fikiran-fikiran apakah diri kita melakukan kesalahan terhadap orang tersebut akan mulai muncul.

    Tapi untuk saat ini yang bisa dilakukan adalah mendoakan agar orang tersebut diampuni Segal dosa nya serta ditempatkan di tempat yang terbaik. Gfd

    ReplyDelete
  2. Si Mbah bener-bener baik pasti. Terkadang aku sendiri ngerasain kayak sedih yg kuat tiap kali ada pengumuman orang meninggal, dan kebetulan memang dikenal sebagai org yg baik. Rasanya walo mungkin ga deket2 amat, tapi Krn kebaikan beliau yg sudah menyebar, bikin orang2 di seluruh lingkungan itu ikut merasa kehilangan ya..

    Tapi aku mendadak ketawa sih baca kenakalan kalian 😅. Cuma ya gimana, masih umur segitu hahahaha. Kasian banget si Mbah 😅

    ReplyDelete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.