Bagaimana Itu Dimulai dan Bagaimana Itu Berakhir

Esai Umberto Eco berikut terhimpun di buku How to Travel with a Salmon and Other Essays. Diterjemahkan dari bahasa Italia ke Inggris oleh William Weaver, sementara dari Inggris ke Indonesia oleh penerjemah gadungan.




--

Pernah ada drama dalam hidupku. Aku melanjutkan studi lanjutanku sebagai tamu Perguruan Tinggi Universitas Turin, tempat aku memenangkan beasiswa. Pada tahun-tahun itu, aku telah menyimpan kenangan terindah dan ketidaksukaan yang bertahan lama terhadap ikan tuna. Kebetulan ruang makan kampus tetap buka tepat satu setengah jam untuk setiap kali makan. Mereka yang tiba dalam setengah jam pertama disajikan hidangan khas hari itu; yang terlambat diberi tuna. Kecuali untuk liburan musim panas dan hari Minggu, selama empat tahun itu aku menyantap 1.920 makanan dengan ikan tuna. Tapi bukan itu drama yang aku maksud.

Dramaku muncul dari kenyataan bahwa, sementara kami siswa tak punya uang, kami masih haus akan film, musik, dan drama. Jadi kami akan tiba di teater sepuluh menit lebih awal dan mendekati sang pria—siapa ya namanya?—pemimpin claque*, menjabat tangannya dan menyelipkan seratus lira ke telapak tangannya. Dia lantas akan mengakui kami. Kami adalah claque yang membayar.




Ini juga terjadi bahwa pintu kampus terkunci pada tengah malam tak bisa dielakkan. Setelah jam-jam tersebut, mereka yang berada di luar tetaplah di luar, sebab tak ada kewajiban tempat tinggal, dan jika siswa mau, dia bisa absen bahkan selama sebulan. Berbicara praktisnya, ini berarti bahwa pada sepuluh menit sampai tengah malam kami harus meninggalkan teater dan bergegas ke tujuan kami. Tetapi pada sepuluh menit hingga tengah malam, pertunjukan belum berakhir. Dan begitulah, selama periode empat tahun, aku melihat mahakarya teater dari setiap waktu dan tempat, kecuali sepuluh menit terakhir mereka.

Jadi aku telah menjalani seumur hidup tanpa mengetahui apakah Oedipus menghadapi kebenaran yang mengerikan, atau apa yang terjadi dengan enam karakter yang mencari seorang penulis, apakah Oswald Alving disembuhkan berkat penisilin, jika Hamlet akhirnya paham bahwa lebih baik menjadi seseorang daripada enggak jadi apa-apa. Aku masih tak tahu siapa Signora Ponza yang sebenarnya, jika Ruggero Ruggeri/Socrates meminum hemlock**, kalau Othello meninju Iago sebelum berangkat bulan madu kedua, jika kesehatan orang cacat imajiner membaik, jika semua orang melemparkan beras sepeninggal Romeo dan Juliet, dan siapa Bunbury. Kupikir aku adalah satu-satunya manusia yang menderita oleh ketidaktahuan ini sampai, dengan santai menghidupkan kembali kenangan lama dengan temanku Paolo Fabbri, aku menemukan bahwa selama bertahun-tahun dia telah menderita penderitaan yang sama secara terbalik. Selama tahun-tahun mahasiswanya dia bekerja di teater, diorganisir dan dijalankan oleh mahasiswa; tugasnya adalah berdiri di pintu dan mengambil tiket. Berhubung banyak pemegang tiket datang terlambat, dia tak pernah bisa duduk sebelum adegan kedua dimulai. Dia melihat Lear, buta dan mengoceh, berkeliaran dengan mayat Cordelia di tangannya; tapi dia tak tahu apa yang membawa mereka berdua ke jalan yang mengerikan itu. Dia mendengar Blanche Dubois menyatakan kepercayaannya pada orang asing, tapi dia memutar otaknya untuk mencari tahu mengapa wanita manis seperti itu dibawa ke tempat sampah. Dia tak pernah mengerti mengapa Hamlet begitu kecewa pada pamannya, yang tampaknya pria yang sangat baik. Dia melihat Othello melakukan tindakan yang menakutkan, tetapi tak mengerti mengapa istri kecil yang penurut ditempatkan di bawah bantal dan bukan di atasnya.

Singkat cerita, Paolo dan aku bertukar cerita kepercayaan. Dan kami menemukan bahwa usia tua yang indah terbentang di hadapan kami. Duduk di tangga depan rumah pedesaan atau di bangku taman, selama bertahun-tahun kami akan saling bercerita: dia mengakhirinya; aku memulainya, di tengah tangisan keheranan pada setiap penemuan pendahuluan atau katarsis.

“Kau tak bersungguh-sungguh! Apa yang pria itu katakan?”

“Dia berkata: 'Ibu, aku menginginkan matahari!'”

“Ah, kalau begitu dia sudah berakhir.”

“Ya, tapi ada apa dengannya?”

Aku membisikkan jawaban di telinganya.

“Ya Tuhan, sungguh sebuah keluarga! Kini aku mengerti....”

“Tapi ceritakan tentang Oedipus!”

“Tak banyak yang bisa diceritakan. Ibunya bunuh diri dan dia membutakan dirinya sendiri.”

“Anak malang itu. Bagaimanapun juga ... mereka mencoba memberitahunya dengan segala cara yang memungkinkan.”

“Benar, aku hanya tak bisa menebaknya. Kenapa dia enggak paham?”

“Tempatkanlah dirimu di posisinya. Penyakitnya bermula. Dia seorang raja, menikah dengan bahagia....”

“Jadi ketika dia menikah dengan ibunya, dia tidak—”

“Tentu saja tidak! Itulah intinya.”

“Ini seperti sejarah kasus Freud. Jika mereka memberitahumu, kau tak akan percaya.”

Akankah kami lebih bahagia setelahnya? Atau akankah kami kehilangan kesegaran mereka yang memiliki hak istimewa untuk mengalami seni sebagai kehidupan nyata, di mana kami masuk setelah truf dimainkan, dan kami pergi tanpa mengetahui siapa yang akan menang atau kalah dalam permainan?


--

*) Claque: kumpulan tepuk tangan profesional yang terorganisir di teater dan gedung opera Prancis.

**) Hemlock: cemara beracun.

0 Comments