Memanjat Hujan dan Minus Endorfin

Memanjat Hujan
 
Aku ingin memanjat hujan.
Menangkap airnya satu per satu,
seakan-akan ia bisa kupegang
dan membawaku ke langit.
 
 

 
Di atas, akan kucari tahu kebenaran hujan.
Benarkah ia berasal dari tangisan Tuhan?
Atau seperti ucapan teman masa kecilku,
bahwa hujan pasti terjadi ketika
malaikat/bidadari sedang mandi.
Aku bahkan pernah mendengar
hujan adalah air kencing iblis.
 
Namun, tak akan pernah ada jawaban,
karena keinginan memanjat hujan
sama seperti mencari kucing/perempuan
hilang di semesta fiksi Haruki Murakami.
 
Sebagaimana harapan mengamen puisi
bakal disawer sampai jutaan, tapi realitas
akan selalu berkata: Tiba-tiba pembaca buta,
sedangkan lapar masih terus menghantam,
doa-doa menghitam, dan gelap menerkam.
 
Dalam sebuah sajak yang ditolak surga
dan diasingkan neraka, memanjat hujan
selalu diartikan mustahil atau hasil nihil.
Maka, alangkah baiknya kita menengadah
ke langit dan menangis bersama hujan.
 
/2022
 
 

Minus Endorfin

Akhir-akhir ini aku memperhatikan
berbagai hal yang gampang patah.
Seperti dahan pohon saat musim hujan,
kacamata yang tak sengaja terinjak, dan
hatiku sendiri kala kau memilih beranjak.


 

Barangkali aku hampir gila, sebab masih sibuk
mencari pelukmu di sini. Dari aroma-aroma
parfum yang memudar, dari sebuah refrein
lagu cinta yang mengirim kesedihan ke dalam
hati orang lain, dari nota pembelian sweter
bergambar kucing, dari nama seorang penulis
favoritmu yang puisi-prosanya selalu jelek
dan kuejek, dari jam tangan yang jarumnya
ingin berputar ke arah kiri, dari berbagai kerja
serabutan yang upahnya pas-pasan, sehingga
gagalnya rencana berubah menjadi bencana.

Di luar sana, orang-orang terus beriman
pada harapan dan kebahagiaan, bagai
khatib yang berkhotbah tentang surga
dan 72 bidadari. Tapi kenapa aku masih
menenggelamkan diriku dalam layar laptop
yang menampilkan kertas putih dan
garis hitam berkedap-kedip?

/2020

0 Comments