Ngamen Puisi

Berakhirnya Februari membuat saya menyobek kalender sembari menyambut datangnya hari serta harapan baru di bulan Maret sekalipun saya mengawalinya dengan buruk: Enggak tidur sedari malam hingga pagi lantaran menonton serial Peaky Blinders. Omong-omong, serial ini dalam satu musimnya berjumlah 6 episode, dan setiap episodenya berdurasi sekitar 50 menit. Niat saya yang awalnya cuma ingin menonton satu episode kemudian beranjak tidur, tapi yang akhirnya terjadi: otak saya malah mengajak berkompromi dengan gagasan tolol satu episode lagi deh, tanggung. Baru habis ini tidur, dan begitu terus berulang-ulang sampai saya tak sadar telah menonton sebanyak empat episode. Kalau saja saya tak tersindir dengan salah satu adegan yang mengejek bahwa seorang penulis berarti tak punya uang, mungkin saya benar-benar menamatkan satu musim hari itu juga.
 

 
 
Subuh telah berlalu dan saya masih belum bisa memejamkan mata. Saya tak mengerti kenapa rasa kantuk tidak kunjung muncul walaupun cuacanya sedang hujan, padahal biasanya hujan membuat saya cepat pulas. Lalu, saya masih melek hingga pukul sembilan, dan saat itulah saya menerima surel dari salah satu perusahaan yang sempat saya lamar. Saya mengira itu merupakan kabar gembira, tapi baru sampai kalimat pembuka saya justru disodorkan kata-kata permohonan maaf. Mereka sudah menemukan kandidat yang mereka cari dan lowongan itu otomatis tertutup sebelum saya sempat dipanggil wawancara. Saya pun refleks mentertawakan kegagalan, lalu mencoba mengubah kekecewaan menjadi sebuah puisi.
 
Mundur ke beberapa hari sebelumnya, pada akhir Februari saya sempat nekat bikin puisi atau racauan sebanyak-banyaknya dan berharap di antaranya ada yang menarik, sehingga kelak bisa saya pajang sekaligus jual di platform KaryaKarsa—dan siapa tahu banyak yang mendukung. Sekiranya tak ada yang bagus dan saya benar-benar malu dengan hasilnya, paling enggak blog ini masih sudi menampung racauan tersebut. Dari sekian banyak puisi ampas yang bikin mual ataupun yang belum rampung ditulis, saya merasa ada satu yang paling mendingan di antara yang lain dan memberanikan diri buat menerbitkannya di KaryaKarsa. Walaupun saya paham kalau puisi merupakan jenis tulisan yang paling susah dibuat maupun dijual (setidaknya buat saya), serta teringat celetukan seorang teman, “Hari gini siapa, sih, yang mau membeli puisi dari penyair antah berantah?”, saya tetap berbuat nekat, lebih-lebih mencoba ngamen puisi.
 
Ide itu terlahir begitu saja ketika saya sedang menyalin dua buah puisi dari catatan ke platform KaryaKarsa. Biasanya saya cuma mengisi 1-2 kalimat di kolom penjelasan tentang karya tanpa perlu berbasa-basi, tapi niat itu ternyata melenceng dari harapan. Entah kenapa saya spontan mengisi kolom tersebut menjadi tempat curhat seenak jidat.
 
Seperti salah satu puisi yang saya beri judul harapan kosong, saya jadi ingin melantur sedikit atau membicarakan omong kosong. Akhir-akhir ini, saya tengah berusaha mengomersialkan puisi saya dengan metode ngamen 1-2 puisi (minimal 100 kata) sebagaimana pengamen-pengamen jalanan yang pernah saya temui, baik itu di tempat umum ataupun angkutan umum. Sepertinya asyik juga, ya, pikir saya, setiap kali melihat mereka cukup membawakan 1-2 lagu dan langsung memperoleh uang receh, lantas turun dari bus atau pindah ke bus lain tanpa pernah peduli apa komentar orang-orang yang mendengarkannya—apakah suaranya merdu atau sumbang?
 
Saya kira, dalam urusan menulis, saya sudah kehabisan energi maupun tenaga buat bersabar sekaligus menunggu hingga puisi-puisi itu terkumpul menjadi satu buku, kemudian barulah menjualnya seperti yang pernah saya terapkan di proyek Disforia Pengusik Kenangan (ini malah sempat saya gratiskan pada mulanya) dan Merayakan Puisi.
 
Selayaknya seorang musisi, saya pikir adakalanya mereka tak bisa merilis satu album, baik itu karena faktor ekonomi, ide lagi mampet, atau hal lain, dan terpaksa mengeluarkan single terlebih dahulu demi mempertahankan eksistensinya, atau bahkan itu metode ampuh demi bertahan hidup di dunia musik. Kala merenungi hal tersebut, saya selalu sadar diri bahwa keberadaan saya sebagai seorang penulis ini mirip pengamen numpang lewat yang sempat mampir di depan rumah warga dan cuma menyanyikan potongan-potongan lagu. Jika saya ingat-ingat lagi, menemukan pengamen yang rela menyanyikan satu lagu penuh untuk setiap rumah, khususnya di Jakarta, itu terhitung langka. Seandainya mereka bernyanyi satu lagu sampai selesai, waktu mereka mungkin akan terbuang banyak dan uang yang mereka dapatkan jadi tak sepadan dengan rasa capeknya. Namun, pemikiran barusan hanyalah dugaan awal. Saya tak pernah menjajal hidup sebagai pengamen ataupun riset secara mendalam.
 
Setidaknya, saya kian sadar kalau banyak dari mereka yang terabaikan setiap kali berusaha mengamen dari rumah ke rumah. Tanpa perlu bersikap sok, saya sendiri juga bukan orang dermawan yang selalu rela memberikan uang kepada setiap pengamen yang mampir ke rumah. Jika di kantong saya tak ada uang 500-2.000 rupiah, saya dengan tegas akan bilang maaf kepada mereka. Pada lain waktu, kadang-kadang pintu maupun jendela yang tadinya terbuka pun bakalan saya tutup kalau lagi makan atau baca buku atau menonton film, sebab saya terlalu malas untuk mencari receh ataupun bilang maaf.
 
Terlepas dari hal itu, dalam satu tahun terakhir setiap kali mengisi waktu dengan menerbitkan tulisan di blog, saya mulai terbiasa dengan kolom komentar kosong. Yah, terus terang saja, adakalanya saya malas dikomentari oleh pembaca. Soalnya saya sendiri belakangan ini juga lebih senang menyimak tulisan mereka tanpa perlu meninggalkan jejak. Dalam situasi pandemi yang semakin lama terasa menghancurkan semangat hidup, saya sering cuma kepengin menulis dan bersikap bodo amat dengan tanggapan orang lain. Begitu pun sewaktu saya menulis untuk mencari uang sembari menunggu kabar dari perusahaan yang saya kirimkan lamaran. Rasanya saya mirip seorang pengamen yang hanya ingin menyanyi saja tanpa berharap apa-apa lagi lantaran sudah terlalu sering kecewa. Seumpama ada penumpang bus atau pemilik rumah atau siapa pun yang saya temui mau berbaik hati memberikan uang alias mengapresiasi lagu yang saya nyanyikan, saya akan bilang alhamdulillah. Kalaupun enggak, ya santai aja, sebab bernyanyi itu sendiri sudah meringankan beban hidup.
 
Berhubung saya tak pandai menyanyi, dan mampunya menulis puisi/racauan, maka inilah metode yang saya coba lakukan di platform KaryaKarsa untuk mencari uang sekaligus bersenang-senang.
 
--
 
Sampai hari ini baru ada tiga konten yang saya terbitkan dalam proyek Ngamen Puisi. Untuk bisa mengaksesnya, para pembaca mesti membelinya secara satuan senilai goceng (dapat diakses penuh) atau memberi dukungan minimal seharga 13.000 dengan memilih paket “Traktir Nasi Padang” (cuma bisa diakses selama 30 hari). Saya tak tahu rencana ini akan terus berlanjut atau mandek dengan sendirinya. Namun, selama saya belum juga memperoleh pekerjaan tetap, sepertinya saya akan menggila di internet dengan menjual berbagai tulisan. 

Proyek Ngamen Puisi yang saya maksud:


1. Hanya Hari Lain

2. Hujan Awal Maret dan Harapan Kosong

3. Gadis Peminum Darah, Membakar Puisi, dan Pertanyaan Kelabu

 Bonus yang gratis: Mendesain Puisi

0 Comments