Penderitaan hidup yang terjadi dan menimpa saya belakangan ini entah kenapa mengingatkan saya dengan esai-esai Arthur Schopenhauer yang sempat saya baca empat tahun silam. Saya pun memutuskan buat membaca ulang dan mulai merenung bahwa penderitaan hidup memang tak pernah lekang oleh zaman. Sejak dulu hingga kini, manusia tetaplah menderita. Mau itu dalam kondisi kaya atau papa, pasti ada aja suatu hal yang bikin nestapa.
Berhubung saya lagi malas mengisahkan diri sendiri, apalagi terkadang muncul sosok lain di dalam diri yang sok kuat atau yang membenci sisi lemahnya dengan memprotes: Heh, masa blog isinya sedih-sedihan terus? Kalau belum mampu menuliskan kesedihan dengan keren, mending tunda aja keluhannya, maka saya tengah bermaksud meminjam kata-kata si filsuf asal Jerman buat membahas penderitaan hidup, tentunya dengan menerjemahkan fragmen esainya sesuka hati.
--
Jika tujuan dan keberlangsungan hidup kita bukanlah penderitaan, maka keberadaan kita merupakan yang paling tak sesuai dengan tujuannya di dunia: sebab konyol untuk menganggap penderitaan tanpa akhir yang penuh dengan dunia di mana-mana, dan yang muncul kebutuhan dan kesusahan yang berkaitan dengan kehidupan, harus tanpa tujuan dan murni kebetulan. Setiap kemalangan individu, tentu saja, tampaknya merupakan kejadian luar biasa; tapi kemalangan secara umum adalah aturannya.
*
Penghiburan paling efektif dalam setiap kemalangan dan setiap penderitaan adalah dengan mengamati orang lain yang lebih sial dari kita: dan semua orang bisa melakukannya. Tapi apa yang dikatakan untuk kondisi keseluruhan?
Sejarah menunjukkan kepada kita kehidupan bangsa-bangsa dan tidak menemukan apa pun untuk diceritakan kecuali perang dan huru-hara; tahun-tahun damai hanya muncul sebagai jeda dan selingan singkat sesekali. Dengan cara yang sama, kehidupan individu adalah perjuangan terus-menerus, dan bukan hanya perjuangan metaforis melawan keinginan atau kebosanan, melainkan juga perjuangan aktual melawan orang lain. Dia menemukan musuh di mana-mana, hidup dalam konflik terus-menerus, dan mati dengan pedang di tangan.
*
Enggak sedikit dari siksaan yang mengganggu keberadaan kita merupakan tekanan waktu yang terus-menerus, yang tak pernah membuat kita menarik napas kecuali mengejar kita semua seperti seorang pemberi tugas dengan cambuk. Dia yang berhenti menganiaya hanyalah satu-satunya yang telah membawanya pada kebosanan.
*
Namun, sama seperti tubuh kita yang akan pecah jika tekanan atmosfer dihilangkan darinya, demikian pula arogansi manusia akan meluas, kalau tak sampai pada titik ledak kemudian pada kebodohan yang paling tak terkendali, bahkan kegilaan, jika tekanan keinginan, kerja keras, malapetaka, serta frustrasi telah dihapus dari kehidupan mereka. Seseorang bahkan dapat mengatakan bahwa kita membutuhkan setiap saat sejumlah kepedulian atau kesedihan atau keinginan, seperti sebuah kapal membutuhkan pemberat, untuk tetap berada di jalur yang lurus.
Pekerjaan, kecemasan, jerih payah, dan masalah memang menjadi beban hampir semua manusia sepanjang hidup mereka. Namun jika setiap keinginan dipuaskan segera setelah kemunculannya, bagaimana manusia akan menjalani hidup mereka, bagaimana mereka akan menghabiskan waktu? Bayangkan ras ini diangkut ke Utopia ketika segala sesuatu tumbuh dengan sendirinya dan kalkun di sekitar siap-panggang, saat kekasih menemukan satu sama lain tanpa penundaan dan menjaga satu sama lain tanpa kesulitan: di tempat seperti itu beberapa orang akan mati kebosanan atau menggantung diri sendiri, beberapa akan berkelahi dan membunuh satu sama lain, dan dengan demikian mereka akan menciptakan lebih banyak penderitaan bagi diri mereka sendiri ketimbang yang ditimpakan alam kepada mereka sebagaimana adanya. Jadi untuk ras seperti ini tanpa taraf, tak ada bentuk kehidupan yang cocok selain yang sudah dimilikinya.
Pekerjaan, kecemasan, jerih payah, dan masalah memang menjadi beban hampir semua manusia sepanjang hidup mereka. Namun jika setiap keinginan dipuaskan segera setelah kemunculannya, bagaimana manusia akan menjalani hidup mereka, bagaimana mereka akan menghabiskan waktu? Bayangkan ras ini diangkut ke Utopia ketika segala sesuatu tumbuh dengan sendirinya dan kalkun di sekitar siap-panggang, saat kekasih menemukan satu sama lain tanpa penundaan dan menjaga satu sama lain tanpa kesulitan: di tempat seperti itu beberapa orang akan mati kebosanan atau menggantung diri sendiri, beberapa akan berkelahi dan membunuh satu sama lain, dan dengan demikian mereka akan menciptakan lebih banyak penderitaan bagi diri mereka sendiri ketimbang yang ditimpakan alam kepada mereka sebagaimana adanya. Jadi untuk ras seperti ini tanpa taraf, tak ada bentuk kehidupan yang cocok selain yang sudah dimilikinya.
*
Pada masa muda kita, kita duduk di depan kehidupan yang terbentang di depan kita bagaikan bocah-bocah yang duduk di depan tirai di teater, dalam antisipasi kebahagiaan dan ketegangan dari apa pun yang akan muncul. Untungnya kita tak tahu apa yang sebenarnya akan muncul. Bagi siapa pun yang paham, anak-anak kadang-kadang tampak seperti bocah nakal yang tak bersalah, dijatuhi hukuman tidak mati melainkan seumur hidup, yang belum menemukan apa isi hukuman mereka. Meski demikian, setiap orang ingin mencapai usia tua, yakni suatu kondisi di mana seseorang dapat mengatakan: “Hari ini buruk, dan hari demi hari akan bertambah buruk—sampai akhirnya yang terburuk datang.”
0 Comments
—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.