Batalnya Perjumpaan yang Membawamu ke Ruang Kedap Cuaca

Pada malam Natal 2021 sekitar bakda Magrib, ada seorang teman yang mengajakmu berjumpa ketika dirimu sedang sibuk menjadi joki sebuah permainan virtual. Sebetulnya kegiatanmu tak pantas dianggap kesibukan lantaran itu hanyalah bermain gim, tapi kau sudah telanjur menerima bayaran yang jumlahnya tak seberapa dari kenalan dunia mayamu dan berusaha memenuhi kesepakatan agar karakter dia dapat naik level pada hari itu juga, bahkan sebelum pukul sembilan—jam berakhirnya bonus EXP 300%.
 
Kau sedikit merasa bersalah kepada kawanmu karena tak bisa memenuhi ajakannya. Namun, andaikan kau benar-benar luang pada saat itu, kau juga tak yakin akan berani menemuinya, sebab dia seorang perempuan dan kalian belum pernah bersua sebelumnya—atau dengan kata lain: itu bakal jadi pertemuan pertama kalian. Kau jelas merasa tak siap. Kondisimu pada malam itu sungguh semrawut. Rambutmu belum dicukur selama 8 bulan dan gondrongnya telah menyentuh bahu, motor yang biasa kaupakai buat bepergian sedang digunakan ayahmu yang mendadak lembur Natal, padahal Jumat biasanya adalah jadwal liburnya, dan tak ada uang tunai sama sekali di dompetmu, terlebih lagi kau terlalu malas menarik saldo di ATM yang jumlahnya mengenaskan.




Di lain sisi, entah kenapa ada rasa bersyukur bahwa kau sibuk pada malam itu, sehingga kau tak perlu berdusta kepadanya. Kau tak tahu apakah kelak masih bisa bertemu dengannya pada hari lain atau tidak. Lalu seandainya dia kecewa dan tak mau lagi mengajakmu, akankah kau menyesal karena melewatkan kesempatan itu? Yang jelas, kau tiba-tiba terkenang dengan situasi semacam ini. Bedanya, memori yang datang semaunya ini ialah ingatan lawas, kala seorang teman dari luar kota memintamu untuk bertemu di suatu mal dan saat itu kau lagi kencan dengan pacarmu. Kau pun meresponsnya nanti bakal menyusul setelah mengantarkan pacarmu pulang sekitar dua jam lagi.

Kalau bisa sampai sini sebelum magrib biar kita ketemuannya rada lama, ujarnya menjelaskan kondisinya yang nanti mesti sampai ke bandara pukul 9 malam. Kau menjawab insyaAllah dan kembali menikmati momen bersama kekasihmu. Singkat cerita, pukul 4 sore kau sudah di perjalanan menuju mal Grand Indonesia, titik kumpul yang diberi tahu temanmu, tapi begitu memasuki kawasan Gambir langit mendadak cengeng. Kau tak bawa jas hujan dan terpaksa menepi di halte kawasan sana. Setelah menunggu 20 menit dan tak ada tanda-tanda bakal reda, kau pun nekat menerobos hujan sampai rumahmu. Kau bermaksud mengambil jas hujan sekalian mandi keramas. Kau tentu tak segila itu langsung main ke mal dalam kondisi basah kuyup demi memenuhi sebuah janji.

Ponselmu menampilkan dua buah pesan: 1) dari teman luar kota yang menyebutkan sudah ada tiga anak Jakarta yang datang menemuinya beserta pertanyaan, Kau jadi nyusul?; 2) dari pacarmu yang memberikan perhatian supaya istirahat dan jangan memaksakan diri buat keluyuran lagi sekiranya memang capek.

Kau sebelumnya sudah menjelaskan kepada pacarmu bahwa teman dari luar kota itu seorang laki-laki dan dia menyuruhmu lebih baik istirahat pastilah bukan karena cemburu, melainkan khawatir dan tak mau kau nanti sakit, apalagi tadi kau menceritakannya sempat hujan-hujanan. Alhasil, kau terpaksa membatalkan perjumpaan bersama temanmu demi kebaikan dirimu sendiri sebab sehabis mandi ternyata cuacanya masih hujan deras. Kau benar-benar capek keluyuran sejak pagi hingga sore dan rasanya sudah kehabisan energi buat keluar rumah maupun mengendarai motor.

Seumpama kau rehat sejenak sampai magrib, lalu nanti memilih naik TransJakarta, kondisi hujan pastinya bakal macet dan ujung-ujungnya baru sampai sana pukul 8 lewat. Kemungkinan besar temanmu sudah di taksi menuju bandara. Kau berusaha menjelaskan hal tersebut kepadanya. Dia berkata tak masalah dan coba memaklumi keadaanmu, toh ajakan dia sedari awal juga bentrok dengan jadwalmu.

Atas kejadian lima tahun lalu itu, kau pun selalu berusaha mengerti setiap kali ada seorang teman yang membatalkan suatu pertemuan, sekalipun jadwalnya telah ditentukan dari jauh-jauh hari. Kau tidak kecewa, jengkel, ataupun marah kepada mereka. Kau benar-benar memafhuminya, terutama pertemuan pada Januari 2021 yang akhirnya batal.

Kau masuk ke akun Gmail dan membuka pesan terkirim sekitar satu tahun silam demi bisa mengingat apa yang waktu itu terjadi.

*

Saat saya mengetik surel ini, saya baru saja menerima paket darimu sekaligus membaca suratmu. Sebetulnya saya kaget juga karena kamu tiba-tiba menghilang lagi, soalnya saya pikir kamu benar-benar sudah membaik (meski saya sadar, tak ada jaminan orang membaik benar-benar kembali sehat seperti sediakala, karena selalu ada probabilitas bakal kambuh lagi entah kapan). Saya tak tahu ini kebetulan atau bukan, tapi pada beberapa jam sebelumnya, tepatnya sehabis Subuhan, saya sempat menulis di blog atas rasa terima kasih kepada orang-orang yang pernah mengirimkan saya bingkisan, dan salah satunya jelas kiriman darimu. Lalu, sorenya saya malah mendapatkan paket lagi darimu. Buku Saramago yang sempat kamu janjikan, surat yang ditulis tangan, dua bungkus teh maupun kopi.

Saya enggak masalah jika keadaanmu memang belum bisa kopdar sebagaimana rencana kita hari itu, dan saya juga sempat bilang agar jangan memaksakan diri, serta tak usah menganggapnya sebagai janji. Prioritaskan apa yang memang perlu diutamakan. Jadi, tolong jangan jadikan hal semacam janjian kopdar itu sebagai beban tambahan. Rileks aja ya. Karena justru saya sendiri yang merasa enggak enak, ketika ada kawan-kawan yang main ke Jabodetabek, tapi saya sendiri malah tak bisa menyambutnya dengan baik. Tapi, ya sudahlah, saya menganggap itu belum waktunya. Mungkin kapan-kapan ketika harinya tiba. Kalaupun tak terwujud pun, balik lagi akan saya bilang: ya sudahlah. Berarti saya memang belum diizinkan buat gantian berbuat baik kepada orang lain.

Perkara kamu berhenti menulis dan sejenisnya, itu jelas pilihanmu. Silakan menikmati hidupmu seperti yang kamu inginkan. Jalani apa yang bisa menggembirakanmu. Saya harap masalah-masalahmu pun cepat beres. Keadaan keluargamu lekas membaik juga, dan ke depannya kian membaik. Aamiin.

Saat mengetahui kamu kabur atau melarikan diri dengan menghilang, saya entah kenapa teringat dengan diri sendiri yang pada masanya juga melakukannya beberapa kali. Kala itu saya merasa seperti manusia lemah dan pengecut. Anehnya, ada salah satu teman yang bilang bahwa kabur itu juga metode penyembuhan diri. Jika dengan cara itu kamu merasa bebas, lega, dan pada kemudian hari bisa balik ceria lagi, ujarnya, lakukan aja dan tak usah hiraukan perkataan orang lain. Karena yang terpenting dirimu sendiri bisa sembuh dulu dari segala rasa capek dan sakitmu (mencakup fisik, pikiran, dan hati).

Selepas membaca suratmu yang entah kenapa terasa sangat sedih itu, khususnya pada kalimat 'kuharap surat ini berhenti di kamu', saya sebetulnya bingung kudu membiarkannya atau bagaimana? Perihal merahasiakan kabarmu, okelah sebisa mungkin saya akan menyimpannya sendiri. Tak bilang siapa-siapa atau coba mencari tahu dengan bertanya kepada teman lainnya. Tapi rasanya enggak adil jika saya tak bisa gantian membalas suratmu. Kepala saya langsung kepengin mengetik ini dan itu. Masalahnya, saya juga bingung kudu membalas suratmu ke alamat mana. Kamu tahu alamat rumah saya dan bisa mengirimkan saya paket beserta surat bertuliskan tangan, sedangkan saya belum sempat tahu di mana alamat kamu yang mesti gantian saya kirimkan hadiah, kecuali surel ini. Terakhir kali saya mencoba mengontakmu di WhatsApp, kamu pun tak membalasnya. Yah, saya kira, kamu saat ini memang butuh waktu buat menyendiri. Jadi, surat ini pun tadinya ingin saya batalkan, seolah-olah barusan tak terjadi apa-apa. Tak ada kurir yang datang ke rumah saya. Tak ada paket darimu.

Namun, saya sungguh tak bisa menganggapnya begitu. Maka, saya terpaksa membiarkan teks-teks ini ada. Tidak menghapusnya. Tetap ingin mengirimkannya kepadamu, bahkan berharap akan ada balasan, supaya saya bisa gantian kirimkan paket yang pernah saya bilang sebelumnya. Meski di lain sisi, saya juga berusaha tak mengharapkan apa-apa lagi.

Entah akan ada balasan atau tidak, kamu bakal membacanya atau tidak, saya pun tak peduli. Saya sudah bodo amat. Dibenci karena dianggap mengganggu pun akan saya terima. Barangkali ini mirip saat saya menulis di blog dan mencoba berkarya. Jika saya bisa mendapatkan tempat atau atensi dari orang lain (para pembaca) syukur, enggak pun tak masalah. Saya akan terus menulis selama masih diberikan napas. Mungkin menulis itu sendiri seperti alat bantu bernapas ketika problem hidup membuatnya sesak.

Akhir kata, terima kasih sekali buat segala kebaikanmu. Semoga kebaikan juga lekas menghampirimu, selalu menyertaimu. Aamiin. Semoga kehidupan barumu jauh lebih menyenangkan. Terima kasih sudah repot-repot mengirimkan saya hadiah lagi. Terima kasih sudah mau menyempatkan diri buat membaca tulisan-tulisan saya sebelum akhirnya saya lepas ke publik. Terima kasih pula sudah bertahan di dunia berengsek yang sekaligus indah ini, walau keindahannya mungkin hanya mendapatkan sedikit porsi. Pokoknya, terima kasih karena mencoba menerapkan perkataan Bolaño, Hemingway, Chairil Anwar, atau siapalah tokoh lain, tentang tetap berjuang dan melawan kehidupan yang keras ini sekalipun kita semua tahu kalau pada akhirnya akan kalah. Jadi, teruslah bertarung mengalahkan dirimu sendiri, Kawan.

Hip-hip hura!

*

Pelupuk matamu terasa panas. Setetes demi setetes keringat di sudut mata mulai jatuh ke pipi. Kau baru sadar bahwa kehilangan seorang kawan pada usia segini rasanya amat sentimentil. Kau tak tahu apakah dia masih bernyawa atau sudah dijemput maut, tapi kau sungguh berharap dia masih hidup dan berbahagia.

Kau pikir, sewaktu kita tidak lagi mengetahui kabar dan keberadaan seseorang, entah kenapa seakan-seakan orang itu telah tiada ataupun lenyap dari muka bumi ini. Sialnya, kau sendiri sering melakukan hal tersebut. Sampai-sampai membuat cemas segelintir kawan yang benar-benar peduli kepadamu.

Kau jadi ingat ada kawan di media sosial yang sampai merespons begini setelah dirimu kabur dari kenyataan selama berbulan-bulan: Heh, gila, masih hidup kau rupanya? Baguslah hari gelap itu sudah jauh berlalu. Kau tak pernah tenggelam sampai sebegitunya lagi. Meskipun belum lama ini ada juga seseorang yang mengirimkan pesan seperti ini: Last seen WhatsApp tanggalnya dua minggu lalu, dikontak enggak ada balasan, blog juga enggak ada tulisan baru. Demen banget, sih, ini anak ngilang. Aku sampai sempat mikir kamu meninggal, atau malah bunuh diri.

Tanggapanmu ialah tiga buah emoji kepala miring yang sedang tertawa sampai mengeluarkan air mata beserta penjelasan: Maaf, aku lupa kasih tahu nomor baruku. Nomor yang lama memang jarang dibuka WhatsApp-nya. Kalau aplikasinya enggak kubuka, notifikasinya enggak bakal muncul.

Kau sengaja tidak menceritakan hal-hal pahit yang menimpamu. Kau tak mau bikin mereka semakin cemas. Kau pikir orang-orang di sekitarmu sudah terlalu sering menolongmu, sedangkan dirimu sendiri teramat payah dalam menyembuhkan diri. Sesungguhnya, kau sendiri tak paham kenapa sehabis gagal dan terjatuh dirimu pasti butuh waktu yang lebih lama untuk bangkit ketimbang manusia kebanyakan. Apakah itu tandanya kau terlalu lemah? Kau tak tahu dan malas menjawabnya. Setidaknya, kau memilih menghilang karena tak mau ada orang di sekitarmu yang ikut terluka. Dalam kondisi terpuruk, kata-kata dari mulutmu sangatlah berbahaya. Barangkali itu suatu bentuk ekspresi akan buah harapan yang telah membusuk dan perlaya.

Walaupun kau pernah membaca ujaran Schopenhauer tentang hari ini buruk, esok akan lebih buruk, dan seterusnya dst. akan terlihat paling buruk dari semuanya, kau betul-betul terkejut sewaktu mengalaminya sendiri dan tanpa sadar mengucapkan istigfar sambil bertanya: Apakah ke depannya bakalan ada yang lebih buruk lagi? Kau rasanya ingin mengibarkan bendera putih saat itu juga. Tapi kau langsung kembali menengok kalimat-kalimatmu sendiri, yang kaukirimkan kepada salah seorang temanmu.

Tarik-embus napas berulang-ulang kali masih belum bisa mengurangi beban penderitaanmu. Tai, kenapa memotivasi diri sendiri jauh lebih sulit daripada menyemangati orang lain, sih? Aku ini sebetulnya sedang retret, batinmu, atau hanya berusaha menghindari manusia lain lantaran malu keseringan gagal? Mau sampai kapan begini terus? Bangkit, Anjing!

Oh, Tuhan, aku benar-benar capek. Setelahnya, kau cuma bisa mengeluh atau mengutuk hidup atau mengeluh sembari mengutuk hidup. Kau memang seorang penggerutu yang tak tahu diri dan gemar bersembunyi. Paling tidak kau paham satu hal: Sekiranya sudah tak mampu lagi buat mengangkat diri sendiri, kala itulah kau harus menjerit sekuat tenaga dan semoga mereka mendengarmu, sebagaimana momen Nico Robin berteriak ingin hidup dan para kru Topi Jerami pun berusaha menyelamatkannya.

--

Sumber gambar: SS anime One Piece.


0 Comments