Sebuah Rahasia dari Waktu yang Hilang

[CATATAN 23 SEPTEMBER 2016. DISALIN DARI BUKU HARIAN GEMA PANGESTU, SEBUAH RAHASIA DARI WAKTU YANG HILANG]
 
--
 
Terkadang aku sempat merasa betul-betul sendirian di dunia ini. Pada pukul 2 atau 3 pagi, aku pernah beberapa kali masih duduk sendirian di sebuah restoran cepat saji atau warung kopi di kawasan Jakarta Barat. Biasanya aku ke sana untuk minum segelas es milo sambil mendengarkan sebuah lagu atau justru hanya berdiam diri. Aku tidak sambil membaca, memantau media sosial, apalagi bertukar pesan dengan seseorang di ponselku. Lagi pula, adakah temanku yang masih melek pada pukul segitu?
 
Aku tak tau mengapa memilih menyendiri seperti ini lagi sekarang. Aku tidak sedang bingung dengan hidupku. Aku juga tidak malas akan suasana rumah. Aku pun tidak merasa sedang ada masalah. Tapi, kenapa aku bisa-bisanya mengasingkan diri ke luar rumah sampai selarut ini?

Saat berdiam diri begini pada suasana hening, aku sungguh merasa kesepian. Mungkin awalnya memang ada suatu masalah di hidupku. Lalu, bukannya segera mencari solusi supaya masalah itu lekas tuntas, tapi aku malah mengabaikannya terus-menerus, hingga menganggapnya bukan masalah lagi.


 
 
Aku sadar jika hal semacam itu tak baik untukku. Tapi sebelum memendamnya sendirian, aku mulanya ingin sekali bercerita kepada salah seorang teman. Namun, seperti yang sudah-sudah, teman baik yang tadinya sempat aku percayakan bisa menjadi pendengarku justru bermain ponsel dan tidak terlalu mendengarkan ceritaku. Dia asyik sendiri bertukar pesan entah dengan siapa. Aku menebaknya, sih, seorang perempuan. Barangkali itu gebetannya dan dia sedang masa pendekatan. Atau itu temannya yang lain, yang dia anggap lebih penting daripada aku. Entahlah.

Lantaran hal semacam itu, aku jadi kepikiran: Apakah teman-teman di dunia maya bagi dia terasa lebih spesial? Menengok ke diriku sendiri, aku terbukti lebih sering mencurahkan isi hati di blog ketimbang menceritakannya kepada temanku. Apakah aku mulai tidak percaya lagi kepada beberapa temanku di dunia nyata? Bisa jadi. Karena saat aku depresi dan terpuruk selama tiga bulan kemarin, tak ada satu pun dari mereka yang datang ke rumahku, menghubungiku, apalagi menanyakan kabar. Tak ada sedikit pun kepedulian yang coba mereka tunjukkan kepadaku. Satu-satunya orang yang menghubungiku lewat surel malah salah seorang pembacaku di blog. Itu entah kenapa rasanya menyedihkan sekali, pikirku. 
 
Bagaimana mungkin dari sekian banyak teman yang biasa berjumpa dan main bareng denganku ini tak ada satu pun yang menunjukkan simpati dan empatinya? Sampai-sampai teman yang jaraknya jauh (ini benar-benar jauh karena dia tinggal di Medan) bisa lebih peduli? Saat Cynthia (iya, dia seorang perempuan) mengecek blogku selalu kosong selama tiga bulan, dia pun merasa kehilangan dan berusaha mencari tahu dengan mengirim surel berisi empat paragraf yang intinya bertanya: Apakah aku sedang ada masalah? Kalimat-kalimat yang dia kirimkan spontan membuatku menangis.

Setiap kali aku mengenang memori yang satu itu, kadang-kadang terlintas di pikiranku untuk menghapus seluruh temanku di dunia nyata. Aku tak ingin lagi menganggap mereka teman. Terlebih lagi segelintir teman yang sudah kucoba hubungi duluan, tetapi responsnya malah membuatku kian hancur. Aku tak tahu kenapa sempat berpikir jahat semacam itu. Apakah itu efek dari rasa kecewa yang berlebih?

Barangkali aku memang sudah kecewa berat karena merasa tidak punya siapa-siapa lagi, bahkan juga keluarga. Ibuku minggat dari rumah, Ayah menelantarkanku, serta adik lelaki yang sama sekali tidak peduli. Pada saat-saat suram begitu, aku lantas teringat nasihat seseorang, konon ketika ada masalah keluarga kita masih bisa melarikan diri ke seorang sahabat. Katanya, sahabat bisa menjadi tempat berlindung, tempat berbagi suka dan duka.

Apesnya, aku terlalu cepat menganggap seorang teman dekat sebagai sahabat. Kami berteman hampir empat tahun, tapi pada situasi tertentu, khususnya belum lama ini ketika aku menghadapi persoalan pelik, aku akhirnya mengerti kalau aku tidak benar-benar mengenalnya. Sebab, sahabat macam apa yang tega berkata, “Sudahlah, tak usah kaupikir lagi. Masalahmu itu belum seberapa. Dulu, aku pernah mengalami yang lebih berat daripada kau.” Aku kira dia satu-satunya harapan terakhirku. Nyatanya, sama saja. Daftar teman di dunia nyata yang bisa aku minta pertolongan sudah habis. Aku sudah tidak lagi memiliki teman.

I’m so happy, cause today i’ve found my friends… they’re in my head.

Sampai akhirnya aku menyadari suatu hal, bahwa aku sebetulnya masih memiliki seorang teman. Dia ada di dalam kepalaku. Apa yang Kurt Cobain sampaikan di lagu Lithium, lagu yang sedang kudengarkan saat ini, ternyata ada benarnya juga. Aku dan isi kepalaku sering berdiskusi setiap kali tengah malam begini. Aku sering mengobrol dengan diri sendiri secara tak sadar. Sewaktu aku merasa seluruh manusia menjauhiku, aku sering berbicara kepadanya, mengeluh ini dan itu kepadanya, dan dia pun menanggapiku dengan begitu cerewet seakan-akan menjadi orang yang paling mengerti diriku. Jangan-jangan isi kepalaku ini kalau bisa direkam dan didengarkan mirip seperti musik metal karena saking berisiknya, ya?

Aku tak tahu, apakah orang yang kerap berbincang kepada dirinya sendiri itu aneh? Atau sebenarnya itu semacam alter ego yang tercipta oleh alam bawah sadar setiap kali aku lagi kesepian? Tapi, apakah benar begitu? Aku benar-benar memiliki sisi lain? Misalnya, ada “aku yang pendiam banget”, ada juga “aku yang banyak bacot”? Ada aku yang gemar bercanda maupun bergibah hingga kelewat batas, ada pula aku yang bisa bijak banget—bahkan diriku sendiri suka enggak sadar sekiranya perkataan, perbuatan, dan sikapku bisa sebijaksana itu? Itukah sosok alam bawah sadarku yang mengambil peran?

Aku tak benar-benar tahu.

Yang aku tahu, adakalanya aku merasa butuh seorang teman yang bijak semacam itu. Ketika aku melakukan hal-hal buruk, terus ada seorang teman (di dalam kepalaku) yang menegurku kalau hal itu tidak baik. Dia mencoba mengingatkanku akan suatu kebenaran. Kala aku sedang ragu-ragu, aku juga butuh seorang teman (lagi-lagi di dalam kepalaku) yang berusaha meyakinkanku bahwa aku pasti mampu.

Jadi, lewat tulisan ini aku ingin berterima kasih kepadamu, wahai teman di dalam kepala. Kemarin-kemarin kau pernah menemaniku pada masa-masa berat dan tragis. Aku yakin, sebagian tulisan ini pasti juga tercipta berkat aku berbincang-bincang denganmu. Pada dini hari yang sunyi ini, kita berdialog tentang banyak hal dan rasanya sungguh menyenangkan. 

--

Sumber gambar: andreea79.deviantart.com

0 Comments