Tak Ada yang Tersisa

Dia pernah berjanji buat berhenti menulis sajak. Dia kini tertawa saat mengingat kembali hal itu. Janji, sebagaimana yang dia ketahui sejak dulu, sering berakhir dengan suatu pengingkaran. Janji itu terbukti hanya bertahan dalam sembilan bulan.


 

 

Ada masanya dia merasa sangat tersiksa ketika tidak menulis puisi lagi. Dalam keadaan gamang, dia ingin segera melepaskan beban di hatinya itu tanpa perlu bercerita panjang lebar kepada siapa pun, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Jika dia menuturkannya lewat sebuah puisi (meskipun dia selalu merasa susah betul menyusun diksi yang merdu), setidaknya dia tinggal membuat 1-2 bait, lalu tak perlu memikirkan apakah ada orang lain yang bisa memahami perasaannya. Dia pun mengira orang lain sepertinya akan bingung atas apa saja yang sedang dia gelisahkan itu, karena dia sendiri juga kerap bingung ketika membaca ulang puisinya suatu hari kelak.

Ingatan yang paling menempel tentang berhenti menulis puisi ialah sewaktu janji itu baru berjalan dua bulan dan dia tiba-tiba ingin kembali bersembunyi di balik sajak lantaran kejadian pagi-pagi yang terasa begitu berengsek di rumahnya. Masalah keluarga ini benar-benar sialan, ujarnya. Selain lewat puisi, dengan cara apakah aku kini mesti meringankan beban? Dia jadi sungguh gelisah oleh keputusannya sendiri. Apalagi dia juga tak pernah berani mengisahkan permasalahan keluarga dalam bentuk prosa.

Namun, dia bersikeras untuk mematuhi aturan yang telah dia ciptakan sendiri: Mulai 2020 tak ada lagi puisi-puisian. Di tengah-tengah keyakinan teguh untuk tidak berpuisi lagi, dia justru mengingat bahwa puisi pernah begitu berjasa dalam hidupnya sepanjang 2015-2019. Alhasil, dia benar-benar tak tahu ke depannya pilihan ini akan merepotkan diri sendiri atau justru semakin memantapkan hatinya bahwa puisi memang bukanlah bidangnya.

Dia kala itu teramat yakin dirinya mampu berhenti menulis sajak. Ini hanya masalah waktu, pikirnya. Jadi, saat dia sudah terbiasa buat meninggalkan puisi selama dua bulan, dia cuma perlu mempertahankannya sebulan lagi, sebab dia teringat salah seorang kawannya yang memutuskan berhenti merokok pernah bercerita tentang prosesnya jadi terasa lebih mudah setelah masa tiga bulan. Mungkin berhenti menulis puisi juga demikian.

Lantas, bagaimana cara menyikapi hasrat menggebu-gebu yang muncul saat ini sampai sebulan ke depan? Apakah kini dia harus menganggap ide untuk menciptakan puisi itu semacam godaan setan? Dia kudu berpikir kalau menulis puisi sama dengan dosa?

Pertanyaan itu rupanya bisa terjawab dengan mudah. Hasrat menulis puisi itu malah terkubur dengan sendirinya semenjak pertama kali terdengar wabah Corona memasuki negaranya pada Maret 2020, dan dia mulai menghabiskan waktu-waktu sedihnya dengan melakukan eskapisme ke berbagai tontonan anime. Dia akhirnya bisa menghibur diri tanpa harus menulis puisi. Demi menguatkan perasaan itu, dia juga berupaya agar berhenti membaca buku-buku sajak.

Tanpa terasa sembilan bulan telah terlewati. Dia mulai kehabisan daftar tontonan, begitu pula dengan saldo rekeningnya yang menipis lantaran tawaran kerja lepas selama pandemi yang nyaris nihil. Saat itulah dia mendengar kabar tentang sayembara menulis puisi berhadiah jutaan, dan seakan-akan puisi kembali ditakdirkan menjadi penyelamatnya.

Sebelum dia menciptakan puisi Tempat Pulang Paling Damai dan pada akhirnya gagal memikat juri alias usahanya itu tak membuahkan hasil, dia sempat menulis sajak tanpa judul berikut:

Tak ada yang tersisa dari kesedihan.
Kini hanya ada seorang bocah yang
meniup terompet sebagai tanda
datangnya tenang dan damai.

Tak ada yang tersisa dari kepedihan.
Kini cuma ada sekotak susu cokelat
yang digenggam seorang bocah lain
sambil berlarian hingga lelehannya
tumpah-tumpah dan meninggalkan
noda di lantai yang menjadi rezeki
berlimpah bagi para semut.

Tak ada yang tersisa dari kata maupun
frasa buruk lainnya. Di sini hanya ada
kegembiraan beserta sinonim yang
menawarkan utopia atau surga.

Tapi sebelum kata-kata gelap memilih
lari dari puisi ini, dan agar tak ada lagi
suatu penderitaan yang menimpa
manusia, tiba-tiba saja terlintas
pikiran tentang hidup orang-orang
yang berjuang hingga berantakan
dalam setiap harinya. Itu berarti aku
perlu membenahi kapal pecahku sendiri.
Sampai tak ada lagi sampah yang tersisa.

Dan aku tak pernah tahu membutuhkan
berapa ribu sajak dan tangis demi bisa
melahirkan suatu karya utopis.

Aku sudah membuang segala kata-kata
yang saling tumpang-tindih di kepalaku
ke dalam sajak gagal ini. Hingga tak ada
yang tersisa.
 
--
 
Gambar diambil dari Pixabay.

4 Comments

  1. Kenapa harus berhenti menulis puisi :D? Toh itu bukan suatu dosa, malah hal bagus buat dilakukan. Kegetiran tokohnya berasa banget. Aku ngerasa dia nyaris desperate banget di cerita ini.

    Btw, aku lebih suka tanpa nama ini daripada puisi tempat pulang paling damai :D. Tapi sejujurnya aku pikir Tempat Pulang Paling Damai itu cerita Yog. Tapi ternyata puisi ya ..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tokoh “dia” menganggap itu puisi sekalipun jatuhnya prosa. Haha. Beberapa penulis yang dia kenal, soalnya pernah buat puisi sejenis itu, Mbak. Atau anggap aja puisi yang bercerita. Dia kadang enggak peduli lagi tulisannya berbentuk apa (mau itu puisi atau prosa), yang penting itu bisa meringankan beban di dalam diri.

      Delete
  2. Saya pikir saya hanya terbawa suasana kemudian ikut berlari bersama bocah yang membawa sekotak susu coklat itu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Melihat bagaimana bocah berlarian dengan wajah girang, entah kenapa membuat dunia yang kotor dan penuh kekacauan ini bisa kembali bersih.

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.