Bagaimana Si Miskin Mati

—2025


Adit spontan terkenang sebuah cerita ketika sedang membereskan rak buku—bermaksud menyortir mana buku-buku yang bakal tetap dia pertahankan, yang mungkin bisa dia berikan sebagai hadiah untuk kawannya, ataupun yang dapat dia jual. Buku yang tiba-tiba mengingatkannya akan suatu kisah itu berjudul Bagaimana Si Miskin Mati, kumpulan esai George Orwell. Dari berbagai ekspresi yang mestinya mengarah pada kesedihan lantaran judulnya tampak begitu nestapa, Adit justru tersenyum lebar.

 

*

Pada masanya, Adit pernah beberapa kali menitipkan tautan daftar buku yang pengin dia beli kepada pacarnya. Adit tidak bermaksud apa-apa. Itu sama sekali bukan kode untuk minta dibelikan. Adit cuma ingin jika suatu hari nanti memiliki uang berlebih, maka dia bisa mencarinya dengan gampang karena daftar itu terkumpul di satu tempat.

Adit masih ingat dengan jelas, dari belasan daftar buku yang pernah dia kirimkan, baru dua novel yang berhasil dia beli. Itu pun setelah menundanya selama tiga bulan karena mesti pintar-pintar mengatur keuangan dalam menyisihkan sebagian upah kerja lepasnya. Sialnya, daftar buku yang mau Adit beli justru kian bertambah. Apalagi dia masih mengikuti akun Instagram penjual buku yang gemar menawarkan promo. Itu jelas sebuah ketololan. Keinginan manusia memang banyak, tapi uang yang dimilikinya amat terbatas. Baguslah Adit selalu mementingkan kebutuhan daripada keinginan tersebut.

Selain itu, syukurlah ada aplikasi iPusnas yang menyediakan buku-buku digital gratis untuk dibaca masyarakat umum secara legal. Sekalipun Adit sadar bahwa ada beberapa kekurangan dalam membaca buku digital, seperti mata jadi lebih cepat lelah, ada masa berlaku peminjaman yang terhitung sebentar, dan sebagian buku bagus yang dia minati mesti antre panjang, setidaknya dia girang bukan main masih bisa tetap menikmati bacaan tanpa harus keluar uang dan cuma membutuhkan sedikit kuota.

Berkat aplikasi asyik itu, Adit lama-lama jadi lupa dengan hasrat membeli buku baru, bahkan tak pernah menitipkan tautan lagi kepada kekasihnya. Namun, sewaktu Adit berjumpa dengan pacarnya di kedai Roti Bakar 66 cabang Cempaka Putih, sang pacar tiba-tiba membuka tas selempangnya lantas memberikannya amplop cokelat yang menggelembung sehabis mereka memesan menu. Adit hafal betul dengan amplop cokelat sejenis itu, yang merupakan bungkus dari buku-buku yang biasanya dia pesan di toko buku daring favoritnya.

Adit langsung ingin memeluk kekasihnya saat itu juga. Setelah tiga minggu selalu menolak ajakan kencan dari pacarnya dengan alasan proyek kerja lepasnya lagi padat-padatnya, padahal Adit sebenarnya cuma lagi bokek dan merasa tak enak jika terus-terusan membayar pesanan masing-masing setiap kali wisata kuliner dan belum dalam kondisi mampu mentraktir, dia akhirnya paham bahwa maksud pacarnya mengajak bertemu itu pasti demi menuntaskan rindu sekaligus ingin memberikannya hadiah.

Dari mana Adit tahu? Kala dia membuka amplop cokelat yang berisi buku kumpulan esai dengan kover berwarna putih itu, terdapat juga secarik surat atas rasa terima kasih sudah bersama selama setahun lebih dan beberapa hal lain yang tertulis sekitar tiga minggu silam, sebab sang pacar membubuhkan tanggal saat merangkai kata di surat tersebut. Adit pun terkenang dua bulan lalu sebelum pertemuan hari ini, ketika dia menghadiahkan pacarnya buku kumpulan puisi Joko Pinurbo beserta surat dan puisi cinta yang dia tulis sendiri.

*

Jadi, bagaimana si miskin mati? tanya Adit sembari memandangi buku itu, kemudian menengok ke dalam dirinya. Saat ini, Adit termasuk orang miskin lantaran krisis pandemi berkepanjangan, dan berengseknya wabah Corona masih belum tuntas juga selama lima tahun terakhir akibat pemerintah yang tidak becus menangani persoalan tersebut. Dia sempat terpapar virus terkutuk itu dua kali dan kesehatannya semakin memburuk. Terlebih lagi, seluruh keluarganya sudah tewas karena tak mampu bertahan melawan keganasan virus yang konon melahirkan varian-varian baru itu. Dia juga tak memiliki pekerjaan ataupun penghasilan. Memangnya, apa yang bisa dikerjakan oleh manusia penyakitan sepertinya? Usianya baru 32, tapi seakan-akan dia sudah jompo. Tubuhnya benar-benar tak bertenaga dan gampang capek setiap kali beraktivitas. Kabar berbahaya mengenai efek jangka panjang yang awal-awal pandemi dia dengar ternyata benar adanya. Singkat kata, Adit sudah tak memiliki apa-apa lagi selain rumah peninggalan orang tuanya yang diwasiatkan supaya tidak dijual beserta saldo tabungan dari sisa warisan yang jumlahnya tak seberapa.

Dia juga tak tahu berapa lama lagi dirinya mampu bertahan hidup. Apakah sebulan? Tiga minggu? Dua minggu? Seminggu? Empat hari? Cuma sampai lusa? Atau malah besok hari terakhirnya? Adit lantas termenung selama beberapa menit, kembali mengingat hari-hari yang menyenangkan dalam hidupnya, hingga terlintas pikiran bahwa dia sama sekali tak keberatan seandainya mati hari ini, sebab dia bersyukur pernah mengalami momen membahagiakan bersama seorang perempuan manis dan baik hati yang tujuh tahun lalu memberikannya buku Bagaimana Si Miskin Mati.

2 Comments

  1. Keren sih judulnya membuatku bertanya-tanya, bagaimana si miskin mati? Tidak menutup kemungkinan saat pandemi seperti ini karena krisis ekonomi. Haha, Adit pemikirannya pasrah di sana.

    ReplyDelete
  2. iya, pandemi akan membuat si miskin mati
    btw ipusna sadalah penyelaman saat pandemi begini
    hasrat beli buku benar berkurang

    ReplyDelete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.