Merujak Sajak

Ada masanya kisah curhat tak terlihat penting, tetapi ia bisa menyelamatkan penulisnya dari hal-hal genting. Ada masanya suatu cerpen tak layak baca, tetapi anehnya ia masih dicari-cari sebagian pembaca. Ada masanya sebuah novel tidak laku, tetapi ia berupaya menawarkan kesegaran akan sejarah yang kaku. Ada masanya puisi tidak lagi bermakna, tetapi penyair merasa hidupnya sedikit lebih berguna.

Saya menemukan paragraf tolol barusan di memo ponsel lawas saya: iPhone 4. Saya tak tahu apa maksud dan tujuan saat menuliskannya. Mungkin itu cara saya menyemangati diri sendiri supaya terus menulis sekalipun banyak hal buruk yang terjadi dalam hidup. Berhubung akhir-akhir ini hidup saya tampaknya tak berfaedah bagi siapa pun, bahkan diri sendiri, saya ingin menampilkan beberapa sajak yang juga tersimpan di ponsel lawas tersebut demi mengamini tulisan sendiri: merayakan puisi agar hidup sedikit lebih berguna.

Saya betul-betul lupa kalau pernah menuliskan sajak-sajak ampas berikut. Itu pun jika masih cocok disebut sebagai sajak. Tapi biar bagaimanapun, itu merupakan proses belajar saya. Belajar mempermalukan diri sendiri.





Macet Pulang Kerja

Hari ini aku ingin menjelma macet pulang kerja agar bisa menemani tubuhmu yang letih. Aku cuma ingin mencuri sedikit waktumu, sebelum besok kau akan melupakanku dan menuai rindu sepanjang hari bersama kekasih.

Noda kusam di paras. Aroma kecut kerja keras. Energi yang terkuras. Keluhan memelas. Aku sangat menyayangi bagian-bagianmu yang ganjil itu. Sebab hanya itulah fragmen yang tak mungkin menjadi menu favorit kekasihmu.

/2018


Lukisan Muram

Tubuhmu tercipta dari matahari dan awan
Tanganmu membentangkan sayap burung
Yang menetaskan sehelai bulu ke dalam lautan
Gemercik airnya menuliskan surat bunuh diri
dan mengirimkannya kepada kehidupan

/2017


Mengobati Kesepian

Sepanjang malam suaranya terdengar lagi
Dan dinginnya kembali memeluk
Kesepian ini sungguh hujan yang gigih

Jadikanlah aku basah
Bukan karena tangis
Melainkan mencuci dosa
Di bawah pancuran air keran

/2018


Tangisan Terakhir

Setelah ribuan malam aku terjebak dalam kesadaran tanpa makna, maka akan kuberikan kepadamu sebuah hadiah: tangisan terakhir. Maukah kau menerima dan mencoba memahaminya? Jika bersedia, dengarkan semua nonsens ini, sebagaimana saat kau memakai earphone dan memutar lagu-lagu band indie di Spotify.

Tangisan terakhir adalah saat air mataku mengalir di pipiku, kemudian terjatuh ke pipimu. Tangisan terakhir adalah cicit burung kenari yang muak dengan kehidupan di dalam sangkar meskipun ia terus menari. Tangisan terakhir adalah puisi pincang yang berusaha berdiri tegak tanpa bantuan sahabat sejatinya: rima. Tangisan terakhir adalah seorang calon penulis yang tak mampu menerbitkan buku. Ia malah menggubit ke arah kamera, seperti para peserta uji nyali tak kuasa menahan takut dan terkena efek jera. Tangisan terakhir adalah jawaban “bingung” yang kaulontarkan sebab gagal mengerti semua racauan ini. Adakalanya tangisan terakhir memang tak dapat didengarkan oleh para bajingan yang miskin empati.

/2018


Ledakan di Gramedia

Pada Minggu sore, kau mengajakku ke Gramedia. Seperti biasa, aku langsung berjalan menuju rak novel, sedangkan kau ke rak puisi.

Saat aku sedang asyik membaca sebuah novel yang sampulnya telah terbuka, tiba-tiba kau datang menghampiriku. Kulihat kau membawa dua buah buku. Aku pun bertanya kepadamu, “Itu apa?”

Kau tersenyum dan menjawab, “Kumpulan sajak yang perlu kaubayar.”

Mendengar jawabanmu, aku terkejut dan novel yang sedang kubaca itu pun refleks terjatuh. Seketika buku itu menyentuh lantai, terdengar ledakan yang sungguh dahsyat. Toko buku itu tidak hancur, tapi itu suara dompetku yang pecah berkeping-keping

/2017


Haiku Insomnia


1/
Punggung yang remuk
Pesta panggung kecamuk
Mata mengamuk

2/
Kantuk terusir
Lebur ditelan pasir
Tergigit vampir

3/

Subuh menunggu
Sesak dan terbelenggu
Ditikam waktu

/2018


Kangen Itu Norak

: VJ

Kala kita berkunjung ke kedai kopi, aku bilang ke pelayan itu untuk memesan senyum dan tawamu. Tapi, menu yang tersisa hanyalah tangismu. Karena sudah telanjur haus, dengan terpaksa kita tetap membelinya. Sambil menunggu tangismu reda, aku menuliskan beberapa baris puisi untukmu:

Biarkan aku sesekali norak dengan membunuh jarak. Suara serak bukan halangan untuk bercerak. Sakit adalah corak yang memaksaku terus bergerak.

Aku tak butuh dokter, diagnosis, serta obat yang bikin jemu. Aku hanya ingin sosokmu, senyumanmu, beli susu jahe di Pasar Kemayoran denganmu, hinaan “begitu aja sakit, lemah” yang kuanggap jamu, atau singkatnya cara ampuh yang bisa menyembuhkan kangen: bertemu.

/2017

--

Gambar diambil dari Pixabay.

14 Comments

  1. Woow..
    Aku kalau buka note di hp atau jurnalku, kebanyakan isinya persiapan caption, stok opname, budgeting, sama mind mapping.
    Kayaknya kalau dijembreng g bakal sekeren ini. XD

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau mau lihat catatan yang lebih buruk masih banyak kok, Pit. Haha. Makasih udah bilang keren.

      Lagian, isi catatan tiap orang tentu beda-beda.

      Delete
  2. Keren sekali. Gimanapun juga tulisan adalah salah satu hal yang bakal dikenang kalo kita udah nggak ada (bahkan kita masih ada pun tulisan juga bisa dikenang). Semangat untuk para penulis semuanya. Tulisan adalah nyawa kita.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Apakah tulisan saya sepenting itu buat dikenang?

      Saya kayaknya malah menulis buat mengenang orang lain.

      Delete
  3. Kalau dibilang bagus pun kayaknya penulisnya nggak bakal percaya hehe, entah sayanya yang emang nggak ngerti. Sama kayak mba Pipit kalau buka note hape boro-boro ada sajak yang bagus begini, yang ada palingan mind mapping atau penggalan tulisan random yang saya tulis sebagai ide buat di blog atau sesuatu yang tiba-tiba muncul di kepala. Tapi kalo buka tape alias recording biasanya di situ banyak dark secret haha, nggak tahu kenapa saya suka ngoceh sendiri di hape kalau ngerasa useless atau lagi nggak pede sama diri sendiri. Bagus kok Yoga tulisannya. Keep writing! 😇

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya enggak tahu tulisan mana yang kamu maksud bagus, tapi saya yakin di antara itu ada yang sampah banget dan terlalu maksa dijadikan puisi.

      Omong-omong soal ide tulisan blog, itu blogmu betulan ditutup dan enggak dibuka lagi?

      Wah, ngoceh terus direkam memang seru sih. Sayangnya, saya mulai berhenti sejak 2016. Belibet ngomongnya. Jijik juga dengar suara sendiri yang bacotnya keterlaluan sotoy. Haha.

      Makasih ya, Sov.

      Delete
    2. Saya suka yang bagian Luka Muram, Memgobati Kesepian, Tangisan Terakhir.

      Hehe iya. I make it private nggak tahu sampai kapan, nggak pede tulisan nggak penting macam itu dibaca public. Dulu aja saya sampai heran kamu bisa komentar di sana, sumpah itu dulu mau saya hapus tapi takut nggak sopan hahaha. Thank you dulu udah mau baca dan berkomentar.

      Delete
    3. Oh, yang itu. Oke, sepertinya yang kamu sebutkan cukup mendingan dibanding yang lain.

      Krisis kepercayaan diri dalam menulis juga sering saya alami. Tapi akhirnya bodo amat. Jika masih ada yang rela membaca dan meninggalkan komentar, saya kira itu masih layak baca. Sama-sama ya. Sejak dulu sih udah terbiasa gantian membaca kisah ataupun pemikiran orang lain. Lagian, enggak semua tulisan yang saya baca bakal saya komentari.

      Delete
  4. Menulis pikiran di gawai was and is not my style, gak tahu kenapa. Kurang nyaman dan luwes.
    Akhirnya menulis di buku. Itupun bakal terbuka kalau sedang bersih-bersih. Tapi tetap, yang jelas, memunculkan kenangan-kenangan ke permukaan. Kadang kejadiannya bisa tergambar jelas di benak. Kadang juga lupa latar belakangnya.

    Dan.....sama sih, sering kepikiran, "ih norak amat!"

    But I embrace my norakness, it's okay. It's really okay.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tiap orang jelas punya cara buat menorehkan perasaan masing-masing, Zah.

      Meski tulisan tangan saya buruk, saya juga masih suka nulis di bloknot. Tapi kadang kalau udah telanjur mematikan lampu dan rebah, terlalu malas beranjak dan mencatatnya di kertas. Jadi pilihan terbaik tentu memo ponsel.

      Yoi, enggak apa-apa juga kan norak. Enggak ada yang dirugikan dari menulis jurnal yang tampak norak. Justru bisa mengejek diri sendiri suatu hari nanti.

      Delete
  5. anjrit...kali ini gw komen pendek aja, tapi gw suka pulang macet kerja dan kangen itu norak...

    sekian..

    😄

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih udah suka sama puisi cinta yang norak itu, Mbak. Haha.

      Delete
  6. Aku baca paragraf pertamanya, suka dengan untaian diksi yang nyambung satu sama lain. Tapi kemudian baca komenmu sendiri, dan bilang itu paragraf tolol, lgs bingung, tololnya di manaaaaaaa :p. Apa aku yg bener2 ga ngerti tulisan bagus kah, ato penulisnya yg super super ga percaya diri :p.

    Notes hp ku isinya jg draft tulisan, tp kebanyakan bntuknya story telling Yog. Kalo puisi sih, bisa dibilang ga ada. Aku masih belum bisa menikmati untuk membaca puisi sih .. bukan Krn puisimu ga bgs yaaa, tapi semua puisi aku memang kurang bisa mengerti. Apalagi puisi2 karangan orang terkenal, makin puyeng itu bacanya wkwkwkkwkw.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tolol karena sok menyemangati diri biar terus menulis pakai kalimat semacam itu, Mbak. Hahaha. Iya, penulisnya juga minderan.

      Ini juga bingung kenapa segala balik mengisi blog dengan puisi. XD

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.