Neil Gaiman - Orang Lain

Belakangan ini saya lagi sensitif sekali sama urusan romansa dan jadi ingin terus-terusan membahasnya di blog. Saya heran apa yang sebetulnya memicu saya menjadi seperti ini. Yang saya tahu, rasanya sungguh memprihatinkan kala orang-orang sedang ramai membicarakan wabah Corona, tetapi saya sendiri selalu gagal untuk angkat bicara mengenai hal itu ataupun topik lain di luar percintaan. Mungkin ada yang tidak beres dengan kepala saya. Jadi, untuk menyiasati kebuntuan itu, saya pun iseng menerjemahkan cerpen Neil Gaiman yang berjudul Other People dari buku kumcernya: Fragile Things. Kamu bisa membaca versi aslinya di sini. Jika nanti dalam proses membaca ada padanan yang menurutmu kurang tepat, silakan dikoreksi di kolom komentar. 

-- 

Orang Lain





“Waktu di sini tak menentu,” kata iblis itu. 

Dia tahu itu merupakan sesosok iblis seketika dia melihatnya. Dia memahaminya, sebagaimana dia mengetahui tempat ini adalah Neraka. Tidak ada siapa-siapa selain mereka. 

Ruangan itu panjang, dan iblis itu menunggu di dekat tungku yang berasap. Banyak benda tergantung di dinding batu kelabu, dari jenis yang enggak bijak atau meyakinkan buat memeriksanya terlalu dekat. Langit-langitnya rendah, lantainya berilusi aneh. 

“Mendekatlah,” kata iblis, dan dia menurutinya. 

Iblis itu teramat kurus dan telanjang. Terdapat bekas luka yang sangat dalam, dan tampaknya telah dikuliti pada suatu waktu di masa yang sangat lampau. Tak ada telinga, tak ada kelamin. Bibirnya tipis dan asketis, dan mata iblisnya: mereka telah melihat terlalu banyak dan pergi terlalu jauh, dan di bawah tatapannya ia merasa kurang penting ketimbang seekor lalat. 

“Apa yang terjadi sekarang?” tanyanya. 

“Sekarang,” kata iblis itu, dengan suara yang tidak membawa penderitaan, ketidaksenangan, hanya kepasrahan yang mengerikan, “kamu akan disiksa.” 

“Untuk berapa lama?” 

Tapi iblis itu menggelengkan kepalanya dan tidak menjawab. Ia berjalan perlahan di sepanjang dinding, mengamati salah satu perangkat yang tergantung di sana, lalu yang lain. Di ujung jauh dinding, di dekat pintu yang tertutup, ada seekor kucing berekor sembilan yang terbuat dari kawat yang berjumbai. Iblis itu menurunkannya dengan tiga jari pada salah satu tangannya, dan berjalan kembali, membawanya dengan takzim. Ia menempatkan kawat ke tungku, dan menatapnya ketika kawat tersebut mulai memanas. 

“Itu kejam.” 

“Iya.” 

Ujung ekor kucing itu memancarkan warna oranye yang padam. 

Ketika iblis itu mengangkat lengannya untuk memberikan hantaman pertama, ia berkata, “Pada saatnya nanti kamu akan mengingat momen ini dengan sukacita.” 

“Kau pembohong.” 

“Enggak,” kata iblis itu. “Bagian selanjutnya,” jelasnya, sesaat sebelum kucing itu jatuh, “lebih buruk.” 

Kemudian taring kucing mendarat di punggung lelaki itu dengan dentuman dan desisan, merobek-robek pakaian mahalnya, membakar serta mengoyak dan mencabik-cabik saat mereka menghantamnya, dan, bukan untuk terakhir kalinya di tempat itu, dia berteriak. 

Ada dua ratus sebelas peralatan di dinding ruangan itu, dan pada waktunya dia akan mengalaminya satu per satu. 

Ketika akhirnya Lazarene’s Daughter, yang dia kenal dengan akrab, telah dibersihkan dan digantikan di dinding dalam urutan dua ratus sebelas, lantas melalui bibir yang rusak, dia tersentak, “Sekarang apa?” 

“Sekarang,” kata iblis itu, “rasa sakit yang sebenarnya dimulai.” 

Itu benar. 

Semua yang pernah dia lakukan lebih baik dibiarkan tak terselesaikan. Setiap kebohongan yang dia katakan—diceritakan kepada dirinya sendiri, atau dikisahkan kepada orang lain. Setiap luka kecil, dan semua luka besar. Masing-masing ditarik keluar darinya, detail demi detail, inci demi inci. Iblis itu melepaskan pembungkus kelupaan, melepaskan semuanya menjadi kebenaran, dan itu lebih menyakitkan dari apa pun. 

“Katakan apa yang kamu pikirkan saat dia berjalan keluar pintu,” kata iblis itu. 

“Aku pikir hatiku hancur.” 

“Tidak,” kata iblis itu, tanpa kebencian, “kau tidak hancur.” Ia menatapnya dengan mata tanpa ekspresi, dan ia dipaksa untuk memalingkan muka. 

“Kupikir, sekarang dia tak akan pernah tahu bahwa aku tidur dengan kakak perempuannya.” 

Iblis itu mencabut nyawanya, momen demi momen, dari yang instan ke instan mengerikan. Itu bertahan seratus tahun, mungkin, atau seribu—mereka memiliki semua waktu di sana, di ruangan kelabu itu—dan pada akhirnya ia menyadari bahwa iblis itu benar. Penyiksaan fisik lebih ramah. 

Dan itu berakhir. 

Dan setelah hal itu berakhir, dimulailah lagi. Ada pengetahuan diri di sana yang belum dia miliki pertama kali, yang entah bagaimana memperburuk segalanya. 

Sekarang, ketika dia berbicara, dia membenci dirinya sendiri. Tak ada kebohongan, tak ada pengelakan, tak ada ruang untuk apa pun kecuali rasa sakit dan kemarahan. 

Dia berbicara. Dia tidak lagi menangis. Dan ketika dia selesai, seribu tahun kemudian, dia berdoa agar iblis itu sekarang bakal pergi ke dinding, dan menurunkan pisau pengulitan, atau pencekik pir, atau sekrup. 

“Lagi,” kata iblis itu. 

Dia mulai menjerit. Dia menjerit lama sekali. 

“Lagi,” kata iblis itu, ketika dia selesai, seolah-olah tak ada yang dikatakan. 

Rasanya seperti mengupas bawang. Kali ini sepanjang hidupnya dia belajar tentang konsekuensi. Dia mempelajari hasil dari hal-hal yang telah dia lakukan; hal-hal yang dia buta saat melakukannya; cara dia telah menyakiti dunia; kerusakan yang dia lakukan pada orang-orang yang tak pernah dia kenal, atau temui, atau hadapi. Itu adalah pelajaran yang paling sulit. 

“Lagi,” kata iblis itu, seribu tahun kemudian. 

Dia meringkuk di lantai, di samping tungku, berayun lembut, matanya terpejam, dan dia menceritakan kisah hidupnya, mengalaminya kembali seperti yang diceritakannya, dari lahir hingga mati, tidak mengubah apa-apa, tidak meninggalkan apa pun, menghadapi segalanya. Dia membuka hatinya. 

Setelah selesai, dia duduk di sana, mata terpejam, menunggu suara itu berkata, “Lagi,” tetapi tidak ada yang mengatakannya. Dia membuka matanya. 

Perlahan, dia berdiri. Dia sendirian. 

Di ujung ruangan, ada sebuah pintu, dan ketika dia memperhatikannya, pintu itu terbuka. 

Seorang pria melangkah melewati pintu. Ada teror di wajah pria itu, dan arogansi, dan kebanggaan. Pria itu, yang mengenakan pakaian mahal, mengambil beberapa langkah ragu-ragu ke dalam ruangan, dan kemudian berhenti. 

Ketika dia melihat pria itu, dia mengerti. 

“Waktu di sini tak menentu,” katanya kepada pendatang baru.

--

PS: Saya bingung sama Lazarene's Daughter alias anak perempuan Lazarene yang dimaksud dalam cerita ini. Apakah itu merujuk ke seseorang atau peralatan penyiksaan di neraka? Saya pun tak punya pilihan lain selain berselancar di internet, dan hasil pencarian tersebut mengantarkan saya pada situs berikut: http://neilgaimanboard.com/. Kesimpulan saya, cerpen itu merujuk ke kisah Lazarus, terus Lazarene’s Daughter merupakan alat penyiksaan seperti gambar di bawah ini yang aslinya bernama Scavenger’s Daughter.



Sumber gambar: https://medium.com/@renandayafi/neil-gaiman-dari-mana-kamu-mendapat-ide-terjemah-2633d955ee5f

https://www.thecoolist.com/medieval-torture-devices/the-scavengers-daughter-medieval-torture-device/

17 Comments

  1. Saya kurang menikmati peceritaan di sini, Yog. Terasa kakunya. Entah karena kamu memang mau menerjemahkannya semirip mungkin susunan kalimatnya atau gimana. kalo memang mau nyeriusin dalam mencoba menerjemahkan cerita luar, mungkin setelah berhasil menerjemahkan ceritanya, bisa dicoba untuk menceritakan ulang hasil terjemahanmu sendiri, diceritakan dengan cara berceritamu yang biasanya. tentu dalam menceritakan ulang terjemahan sendiri ini kudu dipastikan kita memang sudah paham keseluruhan dan maksud tiap kalimatnya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, Haw. Saya berusaha mengikuti kalimat aslinya. Ini pun sebetulnya udah coba menyesuaikan sesederhana mungkin. Seperti kata anglo yang saya ubah jadi tungku biar lebih familier. Tapi keseluruhannya jelas nasih kaku dan percobaan ini gagal, makanya minta tolong dikoreksi bagian mananya aja yang keliru. Haha.

      Kalau menceritakan ulang kayaknya emang lebih asyik ya. Macam proyek iseng Kimetsu no Yaiba kemarinan. Kapan-kapan coba kayak begitu lagi deh sekiranya lagi kurang kerjaan.

      Makasih ya masukannya.

      Delete
  2. karena corona jadi seprti ini ya, perbincangan nya. apa cuma ingin kita santuy aja ya hehe

    ReplyDelete
  3. Ada banyak kata dan kalimat yang sebenarnya bisa lebih halus lagi biar gak terkesan kopas dari Google Translate sih. Menurut gue, lu sebaiknya tulis ulang lagi aja, terus coba bandingkan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sumpah, lagi malas banget buat menulis. Haha. Tanpa perlu dibandingkan, emang setelah dibaca ulang keterlaluan jeleknya.

      Delete
  4. Hasil terjemahan Renanda Yafi itu sebetulnya bagus. Saya juga pernah baca satu novel dan satu cerita pendek Gaiman versi terjemahan dari dua penerjemah berbeda, tapi gaya bahasa mereka hampir sama. Apa ya, kalau menurut saya, Gaiman itu santai dan sedikit humoris 😁

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sialnya, cerpen terjemahan Yoga Akbar busuk sekali. Gue takut kalau tulisan Om Gaiman jadi terkesan buruk.

      Delete
  5. Wow. Sebenernya saya baca tulisan diatas itu sambil bergidik ngeri, membayangkan yang terjadi dari kejadian "Lagi dan Lagi dan Lagi itu....". Mulut saya diam kaku, tapi mata saya bergerak membesar dan kembali normal, begitu terus menerus sampai akhirnya saya baca di kesimpulan terakhir. Sebenarnya saya juga bingung di bagian penyiksaan lantas dikaitkan dengan kejadian buruk yang sudah dilakukan dari "si subjek" itu.

    Dan mulai berfikir... Masa iya neraka kayak gitu? Hehehe duh, btw gue mau remind nih, #dirumahaja ya yog biar enggak terjangkit corona.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kamu kayaknya tahu soal kisah Lazarus, Na. Si tokoh ini ada hubungannya ke arah situ menurut saya.

      Iya, kamu juga waspada buat mencegah ya. Sehat-sehat buat kita semua. Aamiin.

      Delete
  6. Terlalu kaku mas, jadi kurang seru.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Maaf, Mas. Masih payah banget kemampuan saya. Lain kali semestinya tak perlu memaksakan diri buat menerjemahkan.

      Delete
  7. Kalau aku membaca ulasan ini, kisah ini ada rasa begidik muncul saat membaca cerpen fiksi aslinya, apalagi ada alat penyiksaan seperti itu ...

    ReplyDelete
  8. Dari cerita diatas dari awal sampe akhir kayak pernah nonton film tertentu gitu, tapi kek udah lama banget.. Ceritanya mirip banget sama kayak diatas cuman iblisnya itu kek nenek lampir gitulah terus ada adegan penyiksaan juga.

    Setelah baca yang ketiga kalinya baru agak mulai paham apa yang diceritakan disini, pas baca pertama belum paham sih karena katanya-katanya kayak kaku gitu yah, terus kedua belum juga, dan yang ketiga baru bisa memvisualkan cerita diatas menjadi sebuah film pendek dikepala hahah..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya malah belum pernah menonton film-film mengerikan seperti itu. Tahunya adegan semacam itu dari komik siksa neraka.

      Delete
  9. Baca 2X di hari yang berbeda. Pas baca aca pertama, bingung. Baca yang kedua kali, cukup paham, walaupun mungkin pahamnya baru di beberapa "paragraf" saja.

    Nah, iya, saya kira itu merujuk ke nama orang. Tapi setelah baca penjelasanmu di akhir tulisan, sepertinya lebih cocok ke nama alat penyiksaan itu, Yog, kalau dimasukkan ke blogpostmu ini.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Maaf ya, Wis. Karena saya sendiri belum memahami kisah ini sepenuhnya, ditambah lagi kualitas alih bahasa yang amburadul bikin pembaca bingung. Kapan-kapan saya tampilkan yang bagus dan bisa dipahami saja.

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.