Feromon

“Biarkan cahayaku berpijar sampai nanti. Darah di nadiku mengalir deras karenamu. Racun yang di tubuhku terhapus karena napasmu. Cahaya, cahaya, berpijarlah untuk selamanya. Ingin ku rasa ini... selamanya.” —Zat Kimia, Feromon 

-- 

Saya berencana mengisahkan ulang cerita anime Kimetsu no Yaiba episode 11-14 secara suka-suka. Bagi yang belum pernah mengikuti kisahnya dan takut enggak paham, kamu boleh menutup halaman ini. Tapi tunggu sebentar, bukankah tak baik memilih berhenti sebelum mencobanya sama sekali? Jadi, semoga kamu bisa tetap menikmati dongeng berikut ini. Seandainya nanti kamu merasa jenuh atau kecewa atau tidak puas dengan tulisan saya, berarti saya telah gagal menceritakan ulang sebaik versi anime maupun komiknya, dan kamu tentu saja boleh mengejek saya di kolom komentar. Saya mungkin juga telah gagal sebagai seorang pencerita. Menyadur sebuah kisah ternyata tidak semudah kelihatannya. Lagian, kapan sih proses menulis bisa terasa gampang?

-- 



Kegilaan ini bermula dari sebuah kecupan di pipi kananku. Kegilaan ini bermula dari sebuah kecupan di pipi kananku, suatu hadiah sehabis menolong sesosok iblis perempuan. Kegilaan ini bermula dari sebuah kecupan di pipi kananku, suatu hadiah sehabis menolong sesosok iblis perempuan berjenis langka yang bernama Nezuko.

Aku masih ingat dengan jelas bagaimana rangkaian momen menggembirakan sekaligus absurd itu terjadi. Menjelang waktu tidur, aku penasaran dan bertanya kepada Tanjiro—rekan baruku dalam memburu iblis, mengapa dia berkelana bersama iblis yang dia sembunyikan dalam kotak dan berkata bahwa isi kotak tersebut lebih berharga daripada nyawanya sendiri?

Aku sudah mengerti soal iblis yang bersembunyi di dalam kotak supaya tidak terkena cahaya matahari, sebab makhluk jahanam itu bisa mati jika terkena paparan sinarnya. Tapi, apa yang membuat Tanjiro rela melindungi sosok iblis yang mestinya kami basmi? 

Tanjiro tidak menjawab apa-apa dan langsung membuka kotak itu, lalu keluarlah seorang perempuan yang penampilannya imut sekali sampai-sampai membuatku lupa seketika kalau ia merupakan sesosok iblis. Kau mungkin tak akan percaya sebelum melihatnya sendiri. Jadi, silakan bayangkan seorang gadis Jepang berusia 16 tahun yang memakai kimono, berambut lurus yang panjangnya sepunggung, memiliki bola mata berwarna merah jambu, serta di mulutnya terdapat sebilah bambu yang dipotong pendek—entah untuk menyembunyikan taringnya atau mencegahnya memakan manusia. 

“Zenitsu,” ujar Tanjiro memanggilku. “Dia adalah—” 

“Diam, Bangsat! Aku tak mau mendengar apa-apa lagi dari mulutmu. Bisa-bisanya kau selama ini menyembunyikan cewek semanis itu. Setiap hari kau berduaan dengannya, bermesraan dengannya. Sementara aku tak pernah punya kesempatan buat mendekati perempuan.” 

Selagi aku sibuk marah-marah, sebuah kecupan mendarat begitu saja di pipi kananku. Aku terkejut hingga terjatuh ke belakang sewaktu melihat bibir gadis itu. Sudah tak ada lagi bambu yang menutupi mulutnya. Apa jangan-jangan aku tadi hendak digigit olehnya? 

“Terima kasih, Zenitsu, sudah menyelamatkanku,” kata iblis itu, lalu tersenyum. 

Senyumannya sangatlah memukau seolah-olah aku telah jatuh cinta pada senyuman sekaligus pandangan plus kecupan pertama. Aku masih tak percaya atas apa yang barusan terjadi, kemudian mendadak semaput oleh virus merah muda ini. 


Aku termasuk lelaki yang gampang tertarik sama perempuan berparas manis. Meski begitu, dalam seumur hidupku tak pernah sedikit pun terlintas pikiran bahwa aku bakal jatuh cinta terhadap perempuan dari golongan iblis, seaduhai apa pun wujudnya. Apalagi sebagai seorang pembasmi iblis, mustahil aku bisa memadu kasih dengan buruanku sendiri. 

Kisah ini mungkin tak akan pernah ada seandainya aku tidak berjumpa dengan Tanjiro di perjalanan menuju Hutan Kematian. Aku ditugaskan untuk mengalahkan iblis di sebuah rumah yang letaknya di ujung hutan itu. Awalnya, pertemuan kami terasa menjengkelkan buatku karena Tanjiro tiba-tiba menarik kerah seragam pemburu iblisku. Dia bermaksud menjauhkanku dari seorang gadis yang sedang kurayu di tengah jalan. “Kumohon jadilah pacarku, Manis,” kataku kepada gadis itu untuk yang kedelapan kalinya.

“Hei, hentikan,” kata Tanjiro sembari mencengkeram kerah seragamku. “Apa kau barusan tidak dengar kalau dia tak mau denganmu? Sebanyak apa pun kau mengajaknya, kau akan terus ditolak. Sadar dirilah.” 

Perempuan itu pun berterima kasih kepada Tanjiro, lalu mengibrit menjauhi kami. 

Aku bilang kepadanya, kau siapa dan mengapa menghalangiku untuk memiliki pacar? Sebelum dia sempat menjawab, aku melihat seragam yang sama dengan kepunyaanku. Aku kini ingat, dia merupakan pemburu iblis yang satu generasi denganku. Sebulan yang lalu kami sempat berjumpa di tempat peristirahatan setelah mengikuti ujian seleksi akhir—untuk menjadi pembasmi iblis. 

Tanjiro menyebutkan namanya dan gantian menanyakan namaku. Begitu kujawab, aku kembali meminta pertanggungjawabannya atas apa yang barusan dia perbuat. Bisa-bisanya dia menggagalkan rencanaku memperoleh pacar pertama. Dia hanya memandangiku dengan tatapan aneh. 

“Aku serius,” kataku. “Dalam misi memburu iblis kali ini mungkin saja aku bakal terbunuh oleh mereka. Aku tak mau mati sebelum sempat mencicipi rasanya punya pacar.” 

Tanjiro semakin menatapku dengan pandangan aneh, atau mungkin juga merasa kasihan, bahkan jijik. 

“Apakah aku tampak menyedihkan? Berhentilah melihatku dengan tatapan seperti itu.” 

“Maaf.” 

“Baiklah, Tanjiro, aku memaafkanmu. Tapi sebagai gantinya kau mesti melindungiku dari para iblis.” 

“Kenapa aku harus melindungimu? Bukankah kau juga kuat?” 

“Kuat dari mana? Aku ini payah dan lemah, tahu!” 


Bukannya aku bermaksud merendahkan diriku sendiri, tapi aku cuma mencoba berbicara apa adanya. Aku kayaknya terlahir sebagai seorang pengecut. Aku terpaksa menjadi pemburu iblis karena berutang uang dalam jumlah banyak kepada seorang kakek yang telah melunasi utang-utangku setelah diriku tertipu oleh wanita cantik. Kakek itu menganggap utangku lunas dengan syarat aku bersedia menjadi muridnya. Bodohnya, aku manut begitu saja. Aku bagaikan tertipu dua kali. Kakek itu tidak benar-benar menipuku, sih. Dia hanya mengajariku dengan latihan-latihan yang kejam dan berat. Kalau tahu proses latihannya mirip dengan hidup di neraka dan taruhannya adalah nyawaku, lebih baik aku mengumpulkan uang, bukan? 

Terlepas dari hal itu, aku tak tahu mengapa Tanjiro berkata kalau aku ini kuat. Mungkinkah dia bisa merasakan aura seseorang? Tapi jika aku ini lemah, kenapa aku bisa lolos saat ujian seleksi di Gunung Keramat yang dihuni oleh banyak iblis? Apakah aku cuma beruntung? Soalnya aku tak ingat apa-apa sewaktu ujian seleksi pada hari itu. Yang masih tergambar jelas di ingatanku: pada tengah malam sesosok iblis yang tubuhnya dua kali lipat lebih besar dariku dan mempunyai tiga mata muncul di depanku, kemudian aku ketakutan bukan main sampai-sampai tak sadarkan diri hingga pagi. Ketika terbangun aku tiba-tiba dinyatakan lolos seleksi. 

Apakah kekuatanku baru aktif saat diriku sedang tak sadarkan diri? 

Pertanyaan itu terjawab tiga jam berikutnya, tepatnya ketika aku berada di kediaman iblis di ujung hutan yang hawa jahatnya sangat kuat. Aku dan Tanjiro terpisah di dalam rumah itu oleh jurus salah satu iblis penjaga rumah tersebut. Jurus iblis itu mampu mengubah letak seluruh ruangan di rumah ini dan memutarbalikkannya. Mau tak mau, masing-masing dari kami mesti menjaga seorang bocah yang kami temui di luar rumah ini. 

Sebelum memasuki kediaman iblis, kami bertemu bocah laki-laki (7 tahun) dan perempuan (5 tahun) yang menangis kejer di bawah pohon Wisteria. Konon, bunga dari pohon ini dapat mengusir iblis. Tanjiro pun segera menghampiri mereka lalu menanyakan apa yang terjadi. 

Bocah laki-laki itu bercerita bahwa semalam ada iblis yang menculik kakak laki-lakinya (10 tahun) ketika mereka bertiga hendak pulang ke rumah. Meskipun ketakutan setengah mampus, mereka tetap mengejar iblis itu, dan pengejaran mereka berhenti sampai di rumah ini. Sayangnya, mereka ragu memasuki rumah yang auranya sungguh menyeramkan. Mereka bermaksud menunggu hingga pagi dan berharap ada orang dewasa yang melintas, lantas memohon pertolongan. Namun, hingga menjelang siang tak ada satu pun orang yang melewati area ini, sampai akhirnya kami datang kemari. 

“Kak, tolong selamatkan kakakku,” ujar bocah perempuan seraya meneteskan air matanya. 


Aku tak tahu Tanjiro dan bocah perempuan itu berada di mana, sedangkan aku bersama si bocah laki-laki kini lagi dikejar-kejar oleh iblis yang merangkak seperti kadal. Iblis kadal itu mampu menjulurkan lidahnya sampai panjang sekali (mungkin 2 meter) seakan-akan lidah itu merupakan senjata pamungkasnya. Aku terus berlari secepat mungkin sambil menoleh ke belakang agar waspada terhadap serangan lidahnya. Sewaktu melihat lidahnya yang menjulur-julur, aku dan si bocah bagaikan nyamuk atau lalat yang hendak ia mangsa. Saat itulah aku tersandung dan pingsan. 

Aku terbangun dan mendapati lidah yang terpotong di dekat kakiku. Aku mengedarkan pandangan ke sekitar, lalu melihat kepala iblis yang telah terpisah dari tubuhnya. Aku memperhatikan bocah itu tidak terluka sedikit pun. Apakah bocah itu yang telah menyelamatkanku selagi aku tak sadarkan diri? Aku lantas berterima kasih kepadanya, tetapi dia malah melihatku dengan tatapan ganjil. 

Akhirnya sekarang aku paham, bahwa dalam keadaan tertidur alam bawah sadarku itu otomatis aktif dan sanggup membunuh sang iblis kadal. Aku pernah mendengar tentang orang-orang yang punya kelainan bisa berjalan sambil tidur. Tapi aku masih tak menyangka kalau aku sendiri termasuk salah satunya, bahkan mungkin lebih berbahaya. Mungkinkah diriku ini memiliki semacam alter ego atau kepribadian yang lain? Kala si pengecut tertidur atau tak sadarkan diri, si pemberani itu pun terbangun?

Setelah kami berdua keluar dari rumah iblis itu dengan cara terpental dari tempat kami berpijak lantaran ruangannya tiba-tiba berputar dan jendelanya terbuka, aku lagi-lagi tak sadarkan diri karena kepalaku menghantam tanah. Saat terbangun, aku sudah tak mendengar lagi suara-suara iblis di dalam rumah itu. Sepertinya Tanjiro berhasil mengalahkan mereka semua. 

Dari balik pintu rumah itu kini malah terdengar teriakan seseorang. Seorang manusia bertubuh kekar yang tidak mengenakan baju (mungkin dia bermaksud memamerkan otot-ototnya) dan memakai topeng babi hutan menyundul pintu rumah itu sampai ambruk. Dia tertawa kencang sekali seolah-olah sedang membanggakan kekuatannya barusan. 

“Di luar masih ada iblis rupanya,” ujarnya, menatap kotak yang tadi Tanjiro tinggalkan di bawah pohon Wisteria. 

Si Topeng Babi berlari mendekati kotak itu dan segera mengeluarkan kedua pedangnya. Mengerti akan apa yang ingin dia lakukan, aku langsung bergegas menghalanginya. 


Sesaat sebelum kami memasuki kediaman iblis, Tanjiro bermaksud masuk sendirian ke rumah itu sebab aku mengeluh tentang diriku yang takut menghadapi iblis. Dia meminta tolong kepada bocah-bocah itu untuk menjaga kotak bawaannya. Selain bilang supaya jangan membuka kotaknya, dia juga menjelaskan kepada kami bahwa kotak itu lebih berharga daripada nyawanya sendiri. Tapi yang kemudian terjadi, bocah-bocah itu lari ketakutan ikut masuk ke dalam rumah sehabis mendengar geraman iblis. 


Aku menghalangi Si Topeng Babi dengan merentangkan tangan demi mencegahnya menusuk kotak itu. “Di dalam kotak ini ada sesuatu yang tak boleh kau sentuh!” ujarku. “Kotak ini berisi hal penting milik Tanjiro.” 

“Hei, kau ini bicara apa, sih? Persetan dengan Tanjiro. Aku tak mengenalnya. Di dalam kotak itu terdapat iblis. Apa kau tak tahu di dalamnya ada iblis?” 

Babi itu menendang kepalaku sampai aku terpental. Dia mulai mendekati kotak itu lagi. Aku segera bangkit dan menarik kaki kanannya. 

“Lepaskan, Bodoh,” katanya sembari menendang kepalaku lagi menggunakan kaki satunya. 

Tendangan kaki kirinya lemah. Kali ini aku tidak terpental kayak sebelumnya. Aku kini menarik kakinya sampai dia terjatuh dan langsung berlari secepat mungkin untuk memeluk kotak itu sekuat tenaga. 

“Minggir atau kuhajar!” 

“Aku tidak mau minggir dan tidak mau dihajar.” 

“Kalau begitu keluarkan pedangmu dan lawanlah aku.” 

“Kau kan tahu sesama pemburu iblis dilarang bertarung.” 

“Aku tak tahu ada peraturan semacam itu. Dasar sampah! Bilang saja kalau kau itu pengecut.” 

Si Topeng Babi itu tetap menghajarku sekalipun kami sama-sama pembasmi iblis. Mungkinkah dia menganggapku iblis juga? 

“Hei, kau ini tolol, ya? Kita ini pemburu iblis, dan di kotak itu terdapat iblis yang harus kita bunuh. Apa kau benar-benar tidak tahu?” 

“Aku sudah tahu sejak awal,” kataku berteriak. Suaraku terdengar bagaikan hendak menangis. 

Ya, aku sudah mengetahui sejak awal kalau kotak itu berisi iblis, sebab suara iblis amatlah berbeda dari suara manusia. Namun, aku dapat mendengar suara sangat ramah dan baik dari Tanjiro, hingga aku merasa ingin menangis. Saking ramahnya, aku sampai merasa belum pernah mendengar suara yang semacam itu sepanjang hidupku. Sejak bocah aku memiliki pendengaran yang sangat tajam. Lalu begitu beranjak remaja kemampuan mendengarku semakin peka saja hingga mampu mendengar bunyi detak jantung. 

Seluruh makhluk hidup selalu mengeluarkan suara. Manusia, hewan, tumbuhan, dan juga iblis. Dunia ini dipenuhi oleh bunyi-bunyian yang mereka keluarkan. Desah napas, detak jantung, serta sirkulasi darah. Hanya dengan mendengarkannya secara cermat, aku langsung bisa memikirkan apa yang sedang mereka pikirkan. Apakah ucapan mereka itu jujur atau dusta, aku juga dapat mengetahuinya. 

Yang belum aku pahami, mengapa iblis itu bisa tahan berada di dekat pohon Wisteria? Apakah karena ia terlindungi kotak ini? Atau ia iblis berjenis khusus? Aku masih mempertanyakan pula maksud Tanjiro bepergian bareng iblis. Apakah dia sedang bertugas untuk membawa iblis ini ke suatu tempat? Aku benar-benar tak tahu. Yang aku tahu, Tanjiro tidak merasa ketakutan ataupun menyembunyikan sesuatu yang mencurigakan. Berhubung aku bisa mendengar orang itu berbohong hanya lewat detak jantungnya, aku tak menemukan kebohongan sedikit pun dari detak jantung Tanjiro. 

Sekalipun aku memiliki kemampuan sehebat itu, aku masih saja ditipu berkali-kali oleh orang lain, khususnya para perempuan manis. Mau bagaimana lagi, terasa mustahil bagiku kala melihat paras perempuan-perempuan jelita yang menyimpan kebusukan di hatinya. 

Bukannya aku mau menyangkal atau meragukan kemampuan pendengaranku yang hebat ini, melainkan aku mencoba selalu percaya kepada siapa pun yang ingin kupercayai. Mungkin mereka mempunyai maksud lain saat berbohong atau tak bisa langsung berterus terang untuk mengutarakannya. Biarpun cuma berbentuk kata-kata, hal itu tetap bisa menyakiti kita, kan? 

Bisa jadi mereka berdusta demi suatu kebaikan. Toh, biasanya aku juga dibohongi sama perempuan saat lagi mengatakan cinta dan meminta mereka menjadi kekasihku. Beberapa dari mereka menolakku dengan alasan, “Aku sudah punya pacar,”; “Aku mencintai pria lain,”; “Aku takut ada iblis yang mengincarku jika memilih bersamamu.” Aku mengerti semua kebohongan mereka yang sepertinya tidak tega berkata jujur bahwa aku kurang tampan alias jelek. Mereka baik sekali mau menolakku secara halus.

Walaupun ada kasus lain seperti perempuan yang meminta bantuan dengan meminjam uang kepadaku dengan alasan ayah atau ibunya sakit dan mesti berobat ke tabib, padahal sebetulnya dipakai buat keperluan lain entah apa kemudian kabur, aku pun mencoba mengikhlaskan utang mereka. Uang kan masih bisa kucari lagi, sedangkan kepercayaan sangat sulit dikembalikan. Mereka sendirilah yang pada akhirnya merasa rugi. 

Meski pada akhirnya aku juga rugi karena sering tertipu, tapi kali ini aku ingin sekali percaya kepada Tanjiro. Dia adalah seorang pembasmi iblis sepertiku, lantas kenapa justru berkelana bersama sosok iblis? Hal itu jelas-jelas melanggar peraturan pemburu iblis dan bakal dihukum mati jika nanti ketahuan. Nah, terus mengapa dia tetap melakukannya? Aku yakin dia memiliki suatu alasan yang kuat. Oleh sebab itu, aku hanya perlu memercayainya. 


“Nah, kalau kau sudah tahu tentang iblis di kotak itu, mending kau segera menyingkir,” ujar Si Topeng Babi. “Karena aku harus membunuhnya sekarang juga.” 

“Justru karena aku tahu di dalam kotak ini ada iblis, makanya nanti aku akan menanyakannya secara langsung kepada Tanjiro. Aku akan tetap melindunginya. Jadi lebih baik kau saja yang mundur!” 

Bajingan bertopeng babi itu melakukan kuda-kuda, bermaksud menyerangku secara serius. Aku mempererat pelukanku pada kotak itu. Babi keparat itu mulai menendang wajahku lagi. Terasa sakit sekali, tapi aku kudu kuat. Dia menyuruhku untuk minggir dan aku tetap menolak, sehingga dia semakin murka. Dia pun menghajarku tanpa ampun selayaknya aku ini iblis. Aku pun babak belur dibuatnya. 

Seketika tenagaku mulai habis, terdengar suara langkah kaki dari dalam rumah yang kian nyaring. Itu pasti Tanjiro. Ayo cepatlah kemari dan tolong aku!

“Awas, Bangsat!” ujar si Babi memegang kedua pedangnya. “Kalau kau tak menyingkir juga, aku tinggal menusukmu bersama iblis jahanam itu.” 

Tanjiro keluar dari rumah iblis bersama bocah perempuan tadi. Dia juga menggendong bocah laki-laki yang kemungkinan kakak mereka yang berhasil diselamatkan. Apa kau mempertanyakan di mana bocah yang tadi bersamaku? Dia bersembunyi di balik pohon dan menangis tersedu-sedu melihatku dipecundangi secara keji oleh babi sialan ini. 

“Hentikan!” ujar Tanjiro. 

Si Topeng Babi menoleh ke arahnya, menunda serangannya. 



“Tanjiro, aku melindunginya,” kataku spontan menangis. “Sejak tadi aku tak membiarkan dia menyentuhnya sedikit pun. Sebab kotak ini adalah sesuatu yang penting, bahkan lebih penting dari nyawamu, kan?” 

Si Topeng Babi mengakak. “Tak ada yang lebih penting selain membunuh iblis.” 

Si Topeng Babi masih tetap bermaksud menyerangku, padahal Tanjiro sudah mencegahnya. Sadar akan Si Topeng Babi tidak main-main saat mengayunkan pedangnya, Tanjiro refleks belari secepat kilat dan langsung menjotos tubuhnya. Suara tulang yang patah terdengar jelas sekali di kupingku sampai-sampai bikin ngilu. Sepertinya tinju Tanjiro barusan berhasil mematahkan tulang rusuknya. 

Sekuat apakah Tanjiro sebenarnya? 

Tanjiro ternyata betul-betul kuat. Pertarungan mereka yang mulanya sengit itu bisa selesai dalam sekejap sewaktu Tanjiro beradu kepala dengan Si Topeng Babi. Serangan Tanjiro berhasil membuat lawannya terkapar di tanah, kepalanya mengucurkan darah, dan akhirnya topeng yang dia pakai terlepas. 

Aku terbahak-bahak saat melihat Si Topeng Babi yang aslinya berparas cantik. Pantas saja dia malu kalau tubuh sekekar itu memiliki wajah yang feminin dan sangat bertolak belakang dengan kepribadiannya. Jika dia tadi memakai baju dan tidak mengenakan topeng, ada kemungkinan aku juga bakal menggodanya sebagaimana perempuan.

Singkat cerita, kami akhirnya berdamai, lalu mengubur para korban yang sempat menjadi mangsa para iblis di dalam rumah itu. Setelahnya, kami mendapat perintah melalui kabar burung gagak yang dapat berbicara untuk segera keluar dari hutan dan beristirahat di kediaman warga yang di pintunya berlogo bunga Wisteria.

Rumah yang di pintunya terdapat logo bunga Wisteria katanya menyediakan pelayanan gratis seperti makanan, pengobatan, dan penginapan. Mereka bersedia melakukan hal itu karena dulunya pernah ditolong oleh para pembasmi iblis. Bisa dibilang ini semacam bentuk balas budi. 

Seusai makan enak, lalu diperiksa sekaligus diobati tabib, kami pun segera mandi dan beranjak tidur. Ketika itulah aku bertanya kepada Tanjiro mengenai isi di dalam kotaknya, sehingga jengkel sekali akan kenyataan yang kulihat, sampai akhirnya pingsan sehabis dicium oleh iblis. 


“Kau sudah sadar, Zenitsu?” tanya Tanjiro. “Tolong jangan marah-marah dan berpikiran yang aneh-aneh. Dia ini Nezuko, adik perempuanku.” 

Adik? Apa aku tak salah dengar? Tidak mungkin. Pendengaranku yang sangat peka ini tidak pernah salah. Jadi kemarahan yang sempat terlontar itu cuma karena aku salah berasumsi terhadap Tanjiro? Hatiku mendadak tidak keruan. Ini gawat. Gawat banget. Bisa-bisa aku tidak mendapatkan restu dari Tanjiro setelah berkata kasar kepadanya. Maka, tanpa ba-bi-bu aku langsung meminta maaf dan bersikap manis kepada Tanjiro dan Nezuko.

Tanjiro lantas bercerita kepadaku mengenai tragedi yang menimpa keluarganya dan mengapa adiknya bisa berubah menjadi iblis. 

Dua tahunan silam, ketika Tanjiro pulang kesorean selepas menjual arang ke kota, dia mendapatkan tawaran menginap dari seorang bapak-bapak di area kaki gunung. “Bahaya berjalan sendirian di area pegunungan,” katanya, “banyak iblis berkeliaran pada malam hari. Lebih baik kau menginap di rumahku.” Selain rumah Tanjiro yang masih menanjak ke atas lagi dan jaraknya lumayan jauh hingga memakan waktu sekitar 1,5 jam, dia juga merasa tidak enak menolak kebaikan bapak itu. Alhasil, Tanjiro tak punya pilihan lain selain menginap dan pulangnya besok pagi. 


Celakanya, sesampainya di depan rumah dia justru menemukan Nezuko yang tergeletak berlumuran darah sedang memeluk—bermaksud melindungi—adiknya yang paling kecil. Dia mencium bau darah lain dari dalam rumah. Begitu berlari ke dalam rumah, kondisinya sudah morat-marit dan dia pun menemukan kenyataan yang lebih tragis: seluruh keluarganya (selain ayahnya yang telah meninggal beberapa tahun silam) tewas dengan luka penuh cabikan iblis. Air mata Tanjiro mengalir sangat deras. Dia pun meraung-raung disuguhi kenyataan yang keterlaluan bengis itu. Saat sedang merasa hancur-hancurnya sebab baru saja kehilangan ibu beserta keempat adiknya, yang artinya tidak memiliki siapa-siapa lagi, terdengarlah suara Nezuko. Rupanya, adiknya yang paling tua itu masih bernapas. Tanjiro kaget bahwa adiknya berubah menjadi sesosok iblis. Meski demikian, dia tetap ingin menyelamatkan satu-satunya keluarga yang masih hidup itu dan lekas mencari bantuan. Tanjiro akhirnya bertemu dengan salah seorang mantan pilar (jabatan tertinggi dalam urutan pemburu iblis) yang kini telah pensiun, lalu diangkat menjadi muridnya hingga sekarang berhasil menjadi pembasmi iblis. 

Tanjiro bersyukur Nezuko selamat dan berbeda dengan iblis lainnya. Jika iblis lain sedang kelaparan, mereka pasti harus memakan manusia demi bisa memulihkan tenaga dan menjadi lebih kuat. Sementara Nezuko mengatasi rasa laparnya cukup dengan tidur lebih lama. Selama dua tahun ini Nezuko juga belum pernah memakan manusia. Oleh sebab itu, Tanjiro memilih menjadi pemburu iblis supaya dapat menemukan cara mengembalikan adiknya menjadi manusia lagi. 


Air mataku mengucur begitu saja saat mendengarkan ceritanya. Hidupku yang terasa malang karena miskin pengalaman dalam persoalan asmara langsung terasa tidak ada-apanya kalau dibandingkan dengan penderitaan Tanjiro. Aku pun memutuskan untuk membantu Tanjiro menemukan cara mengubah Nezuko menjadi seperti semula. Aku berjanji akan lebih berani menghadapi para iblis jahanam itu demi keselamatan Nezuko. 

Lima menit berselang, kami kembali ke kasur masing-masing dan mulai memejamkan mata. Aku membayangkan seperti apa rupa Nezuko dalam wujud manusia. Kalau bentuk iblisnya saja sudah seaduhai ini, apakah ia akan semakin menggemaskan tanpa taring? Aku jadi tak sabar menantikan datangnya hari itu. Hari di mana aku dan Nezuko bisa menjadi sepasang kekasih.

--

Kamu bisa juga baca kisah sejenis dari sudut pandang lain dari blog:

Dian: Burung Gereja Mualaf
Haw: Parodi Kimetsu no Yaiba
Lulu: Menjalani Hidup sebagai Iblis


Gambar saya comot dari: https://pixabay.com/photos/heart-shape-tree-red-outdoors-1714807/ dan screenshot filmnya.

8 Comments

  1. Bisa dibilang, ini mengarah ke novel versionnya, Yog. Dengan sudut pandang Zenitsu tentu saja, aku nggak tahu jalan persisnya karena gak nonton ulang sampai bagian itu, tapi kayaknya nggak ada perubahan jalan cerita dan obrolannya. Kalo ada yg berbeda, maka masuknya ke Fanfiction.

    lebih detail penggambaran dan keterangan karakternya, hmm, iya, sih, versi novelnya ini. prolog ada, permasalahan yg jadi sebab-akibat juga ada. jadi berasa baca cerita terjemahan ini saya. Gaya penulisannya tetap ala-ala elu, sih, Yog.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya cuma berniat menyadur sebetulnya. Penasaran sama kemampuan mengisahkan cerita yang udah ada. Paling alurnya sedikit diacak sama ditambah bumbu romansa dia sama Nezuko, khususnya yang dapat kecupan, karena kasihan ngelihat dia ditolak mulu sama cewek. Masa ketika bikin cerita baru, tetap dibiarkan mengenaskan. Enggak tega.

      Bagian dialog kebanyakan saya modifikasi, Haw. Memang ada sih yang ide sendiri, ada pula yang saya biarkan utuh karena kalimat dari sananya udah bagus banget. Monolog interior Zenitsu juga ada yang saya tampilkan apa adanya sebagaimana di anime.

      Soal gaya penulisan, sebetulnya pengin banget menghayati karakter Zenitsu lebih dalam, tapi saya sadar masih punya pengalaman dalam romansa, jadi secara enggak langsung method writing saya termasuk gagal. Entah dengan mempertahankan gaya penulisan ini condong ke baik atau buruk.

      Delete
  2. Wuooww, karakter paporit gue, Zenitsuuu! Karna di episod ketika dia muncul, berasa lebih berwarna gitu. Terutama karakternya yang anjlokk banget, hebohh, bkin ngakak. Cerita se serius apa, kalo ada dia lgsg cair lah :'D Gak nyangka bisa dibuat cerita lewat sudut pandangnya! Ntaabb! Bener kata bang haw, berasa baca versi novel dgn tokoh utama Zenitsu ini mah. Klo mau dibikin romance Zenitsu-Nezuko saya sih stuju2 saja. Bhuahahah. Lucu pasti mereka.

    Flashback-ny Zenitsu jg mnyedihkan sih, tntang dia dan si kakek2 galak, pdhal sayang banget sama Zenitsu. Ya, dibanding masalalu Zenitsu, masih gak kalah sama kisah tragis keluarganya Tanjiro sih emg. Tp kekuatan Zenitsu yg bangkit selagi dia tidur kyaknya msh jd misteri jg ya? Apa gue gak ngeh pas di komik/anime nya lg nyeritain zenitsu? :')

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sialnya, gue merasa belum mampu menunjukkan kelucuan Zenitsu lewat tulisan, Lu. Lagi enggak pengin melucu pakai banyak dialog seperti di anime. Gue soalnya juga kurang suka menulis dialog banyak-banyak. Haha.

      Gue enggak kepikiran buat melanjutkan kisah cinta mereka ala-ala fanfiction, sih.

      Di anime belum terlihat dia bisa bertarung secara serius dalam kondisi sadar. Kalau di komik kan udah lawan sesama murid si kakek yang berubah jadi iblis. Di cerita gue, itu iseng mempertanyakan apa dia betulan punya kepribadian lain aja, sih.

      Delete
  3. Di animenya kocak bener ini si Zenitsu, tapi kalau digali lebih dalam, ya ceritanya jadi gini. Menyedihkan emang. Apakah ini curhatan hati penulis?

    Cepet-cepet cari pacar...



    Zenitsu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hanya mencoba menjiwai karakternya lewat suara hati yang dibuat sesukanya. Tapi yang sebetulnya terlihat periang kan bisa jadi menyimpan kesedihan mendalam.

      Delete
  4. Anjir versinya Yoga menghibur banget. Congrats deh buat proyek menulis kalian ini. Gue enggak nonton anime lagi, tapi tetap bisa banget menikmati cerita versi lu, Yog. Rapi banget lagi penulisannya. Keren!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Oh, syukurlah kalau bisa terhibur. Niat awal gue sih begini: bisa bikin orang lain rela mengikuti jalan ceritanya tanpa harus dia menonton anime itu. Syukur-syukur ada yang tertarik dan mencari tahu juga anime atau komik yang gue tulis.

      Makasih, Man.

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.