Untuk Lelaki yang Butuh Pelukan

Apa kamu pernah dijotos oleh tulisan sendiri? Jika saya yang mendapatkan pertanyaan itu, tentu jawabannya: lumayan sering. Saat merasakan sedih yang mendalam karena gagal lagi mendapatkan pekerjaan tetap, misalnya, saya justru bisa-bisanya membaca tulisan empat tahun silam tentang  69 kiat melamar dan wawancara kerja yang ngawur. Baru-baru ini, ketika saya lagi pengin berhenti menulis atau berniat vakum dalam jangka waktu yang teramat lama, saya tersadar kalau Hari Ibu bertepatan dengan tanggal dibuatnya blog ini. Kini, blog ini sudah berusia tujuh tahun. Saya lalu iseng mengecek sekaligus membaca ulang, kisah apa saja yang pernah terekam di sini. Pada saat itulah saya malah menemukan cerpen berikut di draf.




--

Rabu, 4 Juli 2018


“Tak terasa gelap pun jatuh. Di ujung malam ... menuju pagi yang dingin. Hanya ada sedikit tulisan malam ini. Mungkin karena kau ... sedang pusing-pusingnya.” 

Kalimat barusan adalah lirik lagu dari grup musik Payung Teduh yang Agus pelesetkan sesuka hatinya. Tepatnya sih dia bermaksud mengubah lirik tersebut agar sesuai dengan keadaanku sekalian meledek. Dalam dua minggu belakangan ini, pikiranku mendadak buntu setiap kali berusaha menulis. Entah itu menulis esai, cerpen, puisi, ulasan, ataupun hanya curahan hati tak penting. 

Aku menceritakan permasalahan itu kepada Agus di sebuah warung kopi di sekitaran kampus Binus Syahdan yang lokasinya tidak begitu jauh dari rumahku. Jarak tempuhnya hanya sekitar 10-15 menit jika menggunakan motor. Selain kami berdua, ada delapan orang lainnya yang masih betah di warung kopi ini pada pukul 01.17. Tiga orang bapak-bapak berada di dalam ruangan yang duduknya membelakangi kami sedang asyik menonton pertandingan sepak bola. Aku tidak sempat melihat ke layar kaca dan kurang berminat untuk mengetahui negara mana yang sedang bertanding pada Piala Dunia 2018 ini. Layar televisi di warkop ini agak buram karena antenanya rusak. Memaksakan diri untuk menontonnya jelas bikin mataku sakit. 

Sisanya ialah sekumpulan anak muda yang kutebak baru lulus SMA. Mereka lebih memilih duduk-duduk di luar. Mungkin karena di dalam warkop ini tidak ada kipas anginnya, sehingga mereka merasa gerah dan sumpek. Salah satu di antara mereka kemudian memutar musik di ponselnya. Kala itulah lagu Payung Teduh terdengar. Sebagai manusia yang tingkat kepercayaan dirinya teramat tinggi dan memiliki hobi ikutan bernyanyi setiap kali mendengarkan lagu, Agus pun langsung meledekku dengan lirik di kalimat pembuka tulisan ini. 


Sudah hampir empat jam aku duduk di depan laptop untuk bikin tulisan, tapi aku hanya bisa menuliskan dua ratusan kata. Setiap memasuki paragraf keempat, aku akan membaca ulang tulisan tersebut. Jika terasa buruk sekali, aku segera menghapus semuanya. Masalahnya, kalimat yang telah kutuangkan itu pun masih belum pantas disebut buruk sekali. Adakah kata atau frasa yang tepat sebagai pengganti “buruk sekali”, “jelek banget”, atau “sampah”? Sebagian penulis terkenal suka menyebutnya dengan istilah “jelek saja belum”. Mungkin kalau aku menyuruh orang lain untuk membacanya, dia pasti langsung menyeletuk, “Tulisan opo iki? Asu, elek tenan, Cok!” 

Kenapa komentar orang itu menggunakan bahasa Jawa? Aku betul-betul tidak mengerti karena suara yang muncul di kepalaku seperti itu. Namun, begitulah kira-kira wujud tulisanku. Aku sudah berkutat di depan laptop dari sehabis Isya, tapi tetap saja masih belum sanggup menulis dengan lancar. Padahal biasanya aku cuek sekali dengan draf pertama hingga bisa menghasilkan dua ribuan kata. Yang terpenting segala unek-unek bisa keluar dari hati dan kepalaku tanpa peduli betapa buruk hasilnya. Tapi kali ini kondisinya berbeda. Aku langsung kepengin menghasilkan tulisan bagus. 

Pukul 23.24, ketika aku sudah frustrasi untuk melanjutkan tulisan, Agus mengontakku, “Masih melek, Yog? Gue laper nih. Di rumah udah enggak ada lauk apa-apa.” Begitu aku membaca pesan itu dan belum sempat membalasnya, Agus segera mengetik lagi, “Ke warkop biasa, yuk.” Pesan Agus bagaikan angin segar buatku. Sepertinya aku memang butuh menghirup udara segar. Aku akhirnya menerima ajakannya itu dengan syarat menggunakan motornya. 

Sesampainya di warkop, Agus segera memesan Indomie Jumbo plus telur dan kornet, sedangkan aku memilih roti bakar dengan selai nanas. Minum kami sama-sama es teh manis. Ketika dia sedang menyantap mi itu, aku mulai mencurahkan isi hatiku, bahkan aku juga sempat berujar kepadanya ingin berhenti bermimpi menjadi seorang penulis. Lebih asyik jadi pembaca saja. Aku tidak ingin lagi repot-repot duduk berjam-jam cuma untuk menghasilkan satu tulisan. Itu pun belum tentu hasilnya bagus. 

Aku awalnya mengira dia tidak mendengarkanku sebab tak sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya dan tetap fokus melahap makanannya. Tapi begitu mangkuk itu tidak lagi berisi mi, Agus akhirnya bilang, “Lu yakin mau berhenti sekarang?” 

Disodorkan pertanyaan semacam itu, aku sungguh tidak bisa menjawabnya dengan cepat. Mungkin masih ragu atas apa yang kusampaikan kepadanya. Tanpa menunggu kalimat yang keluar dari mulutku, dia melanjutkan perkataannya, “Udah sekitar tiga tahun lebih lu bergelut di dunia itu, terus sekarang tiba-tiba mau menyerah?” 

Aku menggaruk-garuk kepala belakangku. Masih tidak tahu mesti merespons apa. 

Agus mencerocos dan mengisahkan tentang diriku bahwa setiap kali aku baru menerima upah dari tawaran kerja sama menulis dan punya rezeki berlebih, aku pasti berusaha untuk mentraktirnya di warkop ini. Setiap kali aku ikutan lomba dan mengeluh kepadanya kenapa masih belum juga menjadi pemenangnya, aku kelak bakal bangkit lagi. 

“Pokoknya, lu tuh jadi semangat banget buat menulis lebih bagus biar suatu hari bisa menang, terus akhirnya bisa traktir gue lagi. Tapi kenapa giliran pas otak lagi buntu begini, lu langsung melempem?” 

“Sebelum gue jawab,” ujarku. “Kapan, sih, gue ngejanjiin mau traktir lu kalau menang lomba?” 

“Ya, itu akal-akalan gue doang. Yang penting lu jadi punya tujuan buat menang, kan? Siapa tahu gara-gara niat itu takdir lu mulai berubah.” 

“Tai. Culas banget lu jadi orang. Tapi ya, bolehlah. Asalkan traktirnya di warkop ini.” 

“Gembel! Makan di restoran yang berkelas gitu, kek.” 

“Ya udah, pesennya di warkop sini. Baru nanti numpang makannya di kelas mana bebas deh.” 

“Bercandaan lu basi, Yog!” 

Meski demikian, kami berdua tetap mentertawakannya. Begitu tawa kami reda, salah seorang dari bapak-bapak itu meneriakkan “mampus, pinalti” dan kami berdua spontan menoleh. Kami berdua akhirnya terpaksa mendekat ke arah TV buat mencari tahu tentang pertandingannya. Ternyata Inggris melawan Kolombia. Kane yang menjadi eksekutor dan Inggris memimpin satu angka. 

Kami kembali ke tempat duduk semula. Aku menelan dua potong terakhir roti bakar milikku, lalu menyedot es teh manis hingga tandas. Satu menit berselang, terputarlah lagu dari Payung Teduh. Agus mengejekku dengan suaranya yang sumbang. Bagian terakhir dari lirik yang Agus nyanyikan itu, tepatnya pada kata pusing, membuatku merenung begitu saja. 

Jika tidak menulis dalam jangka waktu yang lama, otomatis kepalaku pasti pusing karena menyimpan banyak beban pikiran. Tapi saat aku sudah berniat ingin menumpahkannya, tentu akan terasa susah dan ujung-ujungnya membuat kepalaku pusing juga. Aku pun jadi serba salah. Lantas, apa yang harus aku lakukan kalau sudah seperti ini? 

Aku mulai mengingat-ingat tentang proses menulisku selama ini. Aku pernah beberapa kali jeda dari dunia tulis-menulis. Tiga bulan adalah rekor terlamaku. Bagaimana aku bisa tahan pada saat itu? Lalu, bagaimana caranya aku bisa memulainya lagi? 

Aku pun terkenang Ibu Almira—salah seorang psikiater yang sempat kudatangi. Dia memberikan nasihat soal masalahku itu bahwa solusinya cuma ada pada diri sendiri. Mau berobat ke mana pun, kamu enggak akan sembuh kalau kamunya sendiri enggak punya tekad buat sehat lagi, katanya. Pesan terakhir yang aku ingat darinya: Cara paling mudah dan murah untuk terapi jiwa ialah dengan menulis jurnal. 

Saat itu aku sempat bertanya, “Bagaimana kalau tulisan saya jelek?” 

“Saya bahkan meminta kamu menulis yang sangat jelek.” 

Aku spontan tersenyum. 

Meskipun perkataan “senyum adalah ibadah” sudah sangat klise, tapi sewaktu Bu Mira yang mengatakan hal itu dan memberi tahu soal senyum yang barusan merupakan pertama kalinya aku tersenyum sejak mendatanginya, entah mengapa menerbitkan rasa nyaman di hati. Apalagi setelahnya dia memuji tentang rona gelap wajahku yang perlahan-lahan berubah cerah. Seketika itu, aku mendadak lupa caranya menghentikan senyuman. 

Apakah kala itu aku betul-betul bikin tulisan yang paling jelek sampai akhirnya dapat kembali menulis? 

Jika ingatan ini tidak berkhianat, sepulangnya dari psikiater aku mulai menjadikan Tumblr sebagai jurnal harianku karena di platform itu nyaris tidak ada pembacanya, sehingga aku tak perlu merasa minder dengan apa yang kutulis. 

Berarti kuncinya memulai tulisan dengan jelek, ya? Apakah anjuran itu tidak keliru? Siapa coba yang sudi membaca tulisan buruk? 

Frasa tulisan buruk membawaku pada perkataan seorang penulis yang sudah kulupa namanya. Intinya, dia bilang begini: Enggak ada yang salah dengan hasil buruk ketika kamu menulis draf pertama. Itu sangat wajar. Orang yang bisa menulis langsung bagus tanpa diedit itu jelas anomali. Jadi kalau kamu bukan termasuk golongan itu, tulis saja seburuk mungkin, baru nantinya kamu edit sampai bagus. 

Baiklah, nanti setibanya di rumah aku akan mencobanya lagi. 

“Gimana? Masih kepikiran buat nyerah, Yog?” ujar Agus. 

Mungkin aku tidak bermaksud menyerah ketika bercerita kepada Agus tadi. Bisa saja lidahku terpeleset dan kalimat yang terlontar justru keinginan berhenti menulis, padahal maksudku yang sebenarnya cuma vakum. Barangkali hari ini kepalaku sudah terlalu lelah berpikir dan butuh tidur. 

“Mungkin lu lagi butuh pelukan, Yog,” ujar Agus seolah-olah dapat membaca isi kepalaku. 

“Pelukan siapa? Pacar udah enggak ada.” 

Agus kemudian merentangkan tangannya dan memberi gestur seakan-akan ingin memelukku. 

“Enggak lucu, tolol!” ujarku sembari memegang gelas bermaksud untuk menyambitnya. 

“Santai dong, Yog. Gue bercanda. Mending juga meluk cewek gue.” 

“Cewek yang mana? Rena atau Sinta?” 

“Anjing!” 

Aku barusan menyebutkan dua nama perempuan yang pernah Agus ajak kenalan lewat Tinder, tapi saat ditemui ternyata cantiknya itu imitasi. Agus telah tertipu wajah mulus efek filter atau editan Photoshop. 

Kami lagi-lagi tertawa. Kali ini suara kami lepas kontrol sampai-sampai salah satu dari bapak-bapak itu tiba-tiba menyuruh kami diam. Suasana untuk melanjutkan obrolan pun menjadi kurang asyik. Kami pun terpaksa memilih pulang. 

Sesampainya di rumah, aku pun menuliskan semua cerita ini. Apa yang Agus bilang tentang butuh pelukan agaknya kurang tepat. Aku hanya butuh kesabaran untuk tidak buru-buru membaca ulang dan menghapusnya ketika tulisanku masih berbentuk draf mentah. Selain itu, aku mungkin juga butuh ketahanan diri saat menyunting tulisan. Aku harus mengingatkan diriku sendiri agar tidak gampang muak ataupun puas sama tulisan sendiri. Sebab cuma bajingan pemalas yang enggak betah mengedit tulisannya sendiri, lalu membiarkan mata dan otak pembacanya menderita. Oh iya, sepertinya masih ada satu lagi, yaitu begundal goblok yang kelewat narsis dan kagum sama tulisannya sendiri, padahal jeleknya minta ampun. Apakah aku termasuk di antara kedua itu? Aku tak tahu. Yang jelas, sih, aku masuk ke kategori manusia tengik pembenci tulisan-tulisannya sendiri. 

PS: Aku tentu tidak menolak jika ada perempuan cantik yang ingin memelukku. 

--

Sumber gambar: https://pixabay.com/photos/romantic-hug-togetherness-embrace-1934223/

16 Comments

  1. Sepertinya tokoh agus ini sering jadi mentor alias penyemangat ya yog, walau dari luar keliatan cuek gitu, hobinya makan pula, tapi sekalinya nasehatin walau banyaknya guyon ternyata bisa bikin tokoh yoganya semangat lagi haha

    Ga masalah sih klo vakum beberapa saat, tapi tetep saja kalau ada pembaca setia, biar kata diri sendiri selalu ngerasa tulisan jelek (walau sebenarnya ga juga kok), tetep aja ada yang nyariin, trus tanya dalam hati ni orang kok ga update2 ya...ya bgitulah kekuatan pembaca setia, meski loe nulis tema apapun dia ga peduli mau tulisan loe jelek kek bagus kek tetep aja kyk ada sesuatu yg ilang klo loe ga update wkk

    Bener banget tu bagian quotenya bu almira, ya kadang2 kita terlalu sadis dan keras sama diri sendiri karena terus bilang tulisan jelek ga pantas dipublish, tapi klo ga dipublish bikin sakit kepala, jadi biarin aja biar kata jelekpun yang penting editnya ratusan kali #eh itu sih gw hahaaa

    Klo yang bagian begundal yang narsis sama tulisan sendiri gw pernah nemu wkkkk, padahal tulisannya kektai huahaha....tp waktu itu tiap baca tulisannya gw cuma batin si kok dirinya pede bener mengklaim tulisannya bagus, narsis beud lah pokoknya hahaaa, tp ya cuma gitu paling nggrememeng foang abis itu pindah ke tipe2 kayak blog loe aja yog, gw mlh salut sama orang yang ga narsis ma tulisan sendiri tapi sebenarnya tulisannya sih kata gw bagus hahaaaa

    ReplyDelete
    Replies
    1. Agus kan sohibnya Yoga. Jadi dia kadang lebih mengenal teman curhatnya ketimbang dirinya sendiri. Tapi saya sendiri baru sadar kalau setahun lalu pernah nulis beginian.

      Saya juga ada daftar penulis yang tulisan-tulisannya selalu layak ditunggu. Tapi enggak pernah mau nagih. Takutnya terbebani dan justru jadi jelek.

      Hahaha. Cukup tau aja gitu, ya? Mungkin di mata orang lain juga ada yang memandang saya seperti begundal. Sulit sih menilai tulisan sendiri. Pasti tetap butuh editor biar terasa objektif. Omong-omong, makasih ya, Mbak Nita.

      Delete
  2. Kenapa harus berhenti nulis dan vakum ngeblog kalau memang kesempatan itu ada? Bukannya menulis juga terapi sekaligus introspeksi diri. Semangatlah, Yog.

    Saya tuh salut sama ente, kejadian sepele aja bisa dibikin cerpen. Mungkin ini salah satu tips bikin cerpen, membuat plot dari kejadian sekitar atau pengalaman, biar mudah menuangkannya di tulisan. Bener begitu?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, suatu hari tulisan itu bisa buat berkontemplasi.

      Formula tiap penulis beda-beda, sih. Ada yang sangat ingin berjarak dengan kehidupannya. Kisah fantasi, misalnya. Paling-paling cuma 10-20% dari pengalamannya.

      Delete
  3. Kalau dipeluk laki-laki cantik, mau gak Yog?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sejujurnya gue bingung mau jawab apa. Tapi kalau emang lagi kacau, sepertinya pelukan dari siapa pun bakal gue terima demi bisa mengurangi pelik.

      Delete
    2. Anjing geli sendiri abis ngetiknya.

      Delete
  4. Vakum 3 bulan itu bener-bener nggak nulis sama sekali, Yog? Apa tetep nulis, tapi nggak dipublish? Karena pas lihat arsip di blog ini, kayaknya tiap bulan ada aja itu tulisan baru. Kadang saya malah sering mbatin begini : ini anak hebat bener, rajin banget buat publish tulisan baru di blog... *Sementara saya yang ingin rajin update, terbentur problematika yang sama dengan tokoh Yoga yang udah 4 jam di depan laptop, tapi cuma dapet 200 kata. Habis itu nyerah dan ending-endingnya sebulan paling cuma dapet 1 tulisan :'(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yoga di tulisan ini cuma nama tokoh, Wis. Mungkin sewaktu 2018 saya bingung pilih nama karakternya. Tapi kalau emang mau tahu apakah saya pernah vakum lama, pada bulan 2016 ada kok bulan yang kosong. Sama sekali enggak ada tulisan biarpun cuma sebatas draf yang dipendam.

      Anggap aja saya kelebihan waktu luang dan kurang kerjaan. Atau tujuan menulisnya berbeda. Rileks. Enggak usah dibandingkan. Haha.

      Delete
  5. Perempuan cantiknya mau nggak ya meluk elu, Yog?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mungkin mau, mungkin juga enggak. Jika beberapa mantan gue terhitung cantik, seenggaknya ada bukti mereka mau memeluk gue.

      Delete
  6. Pernah ngalamin juga tuh.
    Baru nulis 4 paragraf, terus ngerasa jelek, lalu dihapus.

    Akhirnya sih berenti nulis cerpen dan beralih nulis tentang wisata.

    Intinya, tetap nggak bisa lepas dari dunia tulisan juga.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Menulis wisata kan perlu jalan-jalan terus, Mas. Sama-sama ada kesulitan masing-masing.

      Delete
  7. Paragraf terakhir, sangaaat nampool sekali wkwkwkwk. Reminder buatku utk rajiiin rajiiiiin cek ulang lagi tulisan :D. Aku sampe mikir, kalo tulisanmu yg begini dibilang jelek, apa kabar tulisan pemula, ato gampangnya, tulisanku Yog :D. Tp mungkin Krn mindsetku ga pgn jd penulis ya, menulis hanya hobi, ato penyaluran stress. Sementara kamu memang bener2 pgn jd penulis. Bener sih, ga boleh cepet puas kalo tujuannya itu. :)

    Tapi moga2 kamunya ga prnh kepikir utk berhenti dari tulis menulis .. kan aku selama ini belajar dr tulisanmu jugaaaa :D. Walopun blm bisa2 nulis panjang, tp ga bosenin gini. Diksi aja masih kurang banget -_-.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Itulah kenapa saya merasa dijotos oleh tulisan sendiri.

      Begitulah. Tujuan dan standarnya jelas berbeda, Mbak.

      Semoga sih bisa tetap menulis walaupun kisahnya juga kurang penting bagi pembaca. Yang penting bisa menyenangkan diri sendiri.

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.