Tiga Hari Bersama Ayah

Saya mendusin karena ingin buang air kecil. Saat menengok ke arah jam dinding, awalnya saya mengira sudah ganti hari, ternyata masih pukul 23.20. Begitu saya keluar dari toilet dan ingin kembali ke kamar, saya mendengar suara berisik dari kamar Dio Kurniawan, anak pertama saya. Saya pun penasaran, lalu mengetuk pintu kamarnya. “Dio belum tidur?” 

“Belum, Yah, kan besok libur.” 

Besok bukannya masih hari Rabu? Ah, saya baru ingat. Siang tadi saya habis menemui Pak Bambang, guru BP (Bimbingan Penyuluhan) di sekolah Dio. Anak itu bikin ulah lagi, sehingga pihak sekolah harus menskorsnya. 


Ini ketiga kalinya saya mendapat panggilan dari guru BP atas kelakukan Dio di sekolah. Pertama, dia belakangan ini sering pergi ke kantin saat jam pelajaran berlangsung; kedua, dia ketahuan merokok di toilet guru; kali ini, dia menulis kalimat “Apa gunanya sekolah jika tidak bisa menjamin masa depanmu?” di papan tulis kelasnya. 

Selama di ruang BP, Dio terlihat risih mendengarkan khotbah Pak Bambang. Saya sebetulnya juga sama malasnya, bahkan saya ingin berkata, “Banyak bacot kau, Anjing!” Namun, kenyataan adalah sesuatu yang mencegah saya melakukan perbuatan itu. Bisa-bisa saya ikut kena damprat, lalu Pak Bambang akan membuat konklusi: Tabiat bapak dan anak sama busuknya.

“Saya tahu Dio sebenarnya anak yang cerdas,” ujar Pak Bambang. 

Saya melirik Dio. Dia tampak biasa saja mendengar pernyataan itu. 

“Saya perhatikan Dio itu dari kelas satu anaknya kalem dan sopan. Tapi kenapa belakangan ini dia mendadak badung, Pak? Saya benar-benar tak menyangka.” 

Belum sempat saya menjawab pertanyaan itu, Dio tiba-tiba bilang, “Saya boleh izin ke toilet, Pak? Kebelet banget.” 

Pak Bambang mempersilakannya. 

Begitu Dio keluar ruangan, saya bercerita soal kematian ibunya Dio alias istri saya sekitar dua bulan lalu. Mungkin Pak Bambang lupa atau tidak mengetahui informasi itu. Saya menjelaskan barangkali itu yang menjadi penyebab, mengapa Dio melakukan hal-hal yang tidak biasanya. Dio nakal karena ingin mencari perhatian orang-orang di sekitarnya. 

Pak Bambang mengucapkan maaf dan belasungkawa kepada saya. 

“Saya berharap Pak Bambang bisa memaklumi kondisi hati Dio yang sedang tidak stabil.” 

Sudah sepuluh menit berselang, Dio tidak kembali lagi ke ruangan. 

Pak Bambang meneruskan khotbahnya. Katanya, meskipun demikian, bukan berarti Dio bebas berbuat seenaknya. Saya harus lebih memperhatikan Dio. Memberikan kasih sayang berlebih untuk menggantikan cinta yang berkurang dari sosok ibunya—yang telah tiada. 

Dibandingkan dengan ceramahnya, sejujurnya saya lebih terganggu dengan penampilan Pak Bambang. Saya selalu berusaha menahan tawa setiap kali melihat model rambutnya yang belah tengah itu. Apalagi mengingat usianya yang kira-kira sepuluh tahun lebih tua daripada saya (usia saya 43), dia jelas tidak cocok tampil tanpa kumis. Saya penasaran, apakah dia berpikir kalau mencukur kumis itu dapat membuat dirinya tampak lebih muda? Tampak tolol sepertinya lebih tepat. 

Pak Bambang akhirnya menutup perbincangan hari itu dengan bilang begini, “Sebentar lagi kan mau UN, Pak. Lulus tinggal hitungan bulan, terus persiapan masuk SMA. Tolong nanti di rumah anaknya benar-benar dikasih tahu dan dinasihati, ya. Kalau Dio terus-terusan seperti itu, kami bisa mengambil tindakan untuk mengeluarkan anak Bapak dari sekolah. Untuk langkah awal dan menegaskan perkataan saya ini tidak main-main, saya akan menskors Dio selama tiga hari. Semoga keputusan itu tepat dan dapat mengubah perilaku Dio.” 

Saya mengiyakan ucapan guru BP itu dan meminta maaf lagi atas perbuatan Dio, lalu pulang. 

sumber: https://pixabay.com/photos/silhouette-father-and-son-sundown-1082129/


“Kenapa Ayah udah enggak pernah marahin aku?” tanya Dio di perjalanan pulang. 

Saya tidak suka mengobrol di motor. Suaranya kerap terdengar tidak jelas karena terbawa angin. “Bahasnya kalau udah di rumah aja, ya.” 

“Kenapa Ayah juga enggak pernah ngasih tahu aku ini dan itu lagi?” 

“O iya, habis ini Ayah harus balik ke kantor lagi. Jadi ngobrolnya nanti malam atau besok aja. Maaf ya, Dio.” 


Sesungguhnya, dalam setahun terakhir ini saya selalu kepikiran, apakah saya sudah menjadi ayah yang baik untuk anak-anak saya—terutama Dio? Banyak yang mengatakan bahwa anak laki-laki lebih dekat dengan ibunya, sedangkan anak perempuan dengan ayahnya. Hubungan saya dan Dio tidak akrab sebagaimana hubungan saya dengan adik Dio, Rani Utami. Rani masih kelas 4 SD. Saya tentu lebih banyak menghabiskan waktu bersamanya, sebab Rani memang lebih membutuhkan perhatian khusus ketimbang kakaknya. Meskipun begitu, sekarang saya ingin memperbaiki hubungan saya dengan Dio. 


Kerenggangan ini bermula sejak Dio menamatkan novel Sabtu Bersama Bapak satu tahun silam. Anak itu ingin saya bisa menjadi figur teladan atau ayah yang hebat sebagaimana cerita fiksi tersebut. Jika boleh beropini jujur, bagi saya itu adalah buku bajingan. Sosok ayah di novel itu standarnya terlalu tinggi, bahkan mendekati sempurna. Jangankan bisa menirunya, bisa menerapkan setengah dari petuah-petuahnya saja sulitnya bukan main. Apalagi saya termasuk orang yang benci menasihati orang lain, sekalipun itu keluarga sendiri. 

Selama ini, istri sayalah yang paling gemar memarahi, menasihati, dan mengajarkan ini-itu kepada Dio. Jika saya pikir-pikir lagi, bisa dikatakan saya malah tidak pernah secara langsung mendidik Dio. Saya begitu pasif. Wulan yang paling aktif berperan dalam tumbuh-kembang Dio. 

Ah, seandainya Wulan masih hidup. 

Sejak Wulan meninggal, saya harus berjuang lebih keras memahami perilaku anak itu. Saya mungkin tidak akan pernah bisa menjadi sosok ayah yang Dio idam-idamkan kayak di novel. Saya hanya bisa menjadi ayah terbaik versi saya sendiri. Paling tidak, setelah ini saya ingin belajar menasihati anak sebagaimana orang tua kebanyakan. 


“Ayah boleh masuk?” kata saya. 

“Masuk aja. Enggak dikunci kok, Yah.” 

Dio sedang bermain PES 2018 di Playstation 3. Saya duduk di kasur dan memperhatikan isi kamarnya yang agak berantakan, tapi cukup rapi buat seorang cowok. Saya pikir anak ini cukup rajin mengurus dirinya sendiri. Dia tahu betul mana yang membuatnya nyaman. 

“Ayah boleh ikutan main?” 

“Emang Ayah bisa?” 

Saya menjawab pertanyaan itu dengan gol pertama lewat tendangan Messi dari luar kotak pinalti. 

Dio terkejut. 

Saya menambah angka. Lagi-lagi Messi. Dio spontan mengumpat. Saya berdecak-decak. 

“Maaf, Yah,” kata Dio. 

Saya tertawa. “Santai aja.” 

Skor 0-2 untuk kemenangan saya pada babak pertama. 

Pada babak kedua, Dio mengejar ketertinggalan lewat gol Lukaku. Lalu, Dio menyamakan kedudukan melalui tendangan pinalti Rashford. Sayangnya, pada menit-menit akhir, sayalah yang memenangkan pertandingan. Sundulan Pique tak bisa ditangkap oleh De Gea. 

Dio berteriak, “Anjing!” 

“Heh, mulutnya!” 

“Kenapa, Yah?” 

“Kamu boleh mengeluarkan kata-kata semacam itu kalau lagi sama temenmu. Ketika sama orang yang lebih tua, cobalah untuk menjaga sikapmu.” 

“Tadi bukannya kata Ayah ‘santai’?” 

“Apa kesalahan yang sama perlu diulang? Ayah pikir, mungkin kamu tadi keceplosan waktu pertama kali.” 

“Oh, aku kirain emang boleh ngomong kasar. Maaf, Yah.” 

Saya tersenyum, lalu menyuruhnya tidur. Besok pagi saya ingin mengajaknya lari pagi. 

“Aku belum ngantuk. Ayo, Yah, sekali lagi. Aku enggak bisa terima, masa kalah sama bapak-bapak.” 

Saya tertawa. 

“Tadi aku kurang serius mainnya. Kali ini aku enggak akan ngebiarin Ayah menang.” 

Dio memilih Liverpool, sedangkan saya memakai Arsenal. Skor akhirnya: 4-0. Ya, Dio betul-betul tidak memberikan saya celah untuk mencetak angka. Saya dibantai habis-habisan olehnya. 


Hari pertama 


Sehabis salat Subuh, saya membuatkan anak-anak sarapan. Roti lapis isi telur ceplok, selada, timun, dan tomat. Saya belum bisa memasak yang rumit-rumit. Masak nasi goreng saja saya sering banget gagal. Rasanya pasti tidak keruan. Entah itu keasinan ataupun hambar. Akhirnya, saya cuma bikin yang saya mampu. Roti lapis dan mi instan. Cuma dua itu. Saya bersyukur anak-anak tidak pernah protes dengan sarapan yang seadanya. Mereka juga tidak pernah komplain jika saya menyuruhnya membeli sayur dan lauk-pauk di warung makan untuk makan siang dan malam. 

Setelah mengantarkan Rani ke sekolah, saya segera pulang dan mengajak Dio joging di lapangan dekat rumah. Kemarin, saya mengajukan cuti selama tiga hari begitu Dio mendapatkan skors. Syukurlah Pak Bos mengabulkan permohonan saya. 

Kami berlari selama setengah jam. Dio berlari lebih banyak tiga putaran daripada saya. Seusai joging, kami beristirahat di tempat duduk yang dipayungi pohon kenari. Dio lalu bertanya apa alasan saya mengajaknya berlari. Saya menjawab: hidup terkadang butuh pelarian. 

“Itu maksudnya gimana, Yah? Aku pikir, Ayah mengajakku lari karena ingin menyuruhku rajin berolahraga agar tubuh tidak gampang sakit.” 

Itu sebetulnya boleh juga, tapi saya bilang kepada Dio tentang maksud lain dari berlari. Hidup yang tidak sesuai harapan itu tentu butuh pelarian. Eskapisme. Saya mengatakan sebisa mungkin cari pelarian yang positif. Misalnya, joging seperti ini. Saya tahu, saya tidak akan bisa lari dari kenyataan. Setidaknya, saya bisa melarikan diri sesaat dengan berjoging. Saat lari, saya tidak perlu berpikir yang aneh-aneh. Saya hanya perlu fokus menghitung, berapa banyak putaran yang bisa saya raih pagi ini. Lari pagi sejauh ini ialah cara paling ampuh buat saya dalam melupakan sejenak masalah kehidupan. 

Saya kemudian membahas soal rokok. Pelanggaran yang dilakukan Dio di sekolahnya. Ketika stres memikirkan kematian ibunya yang tidak disangka-sangka itu, pasti ada cara lain selain merokok. 

“Ayah juga sebetulnya pengin banget merokok, Dio, tapi Ayah tahan.” 

“Emang Ayah merokok?” 

Saya lantas bercerita, bahwa dari masa kuliah saya perokok kelas berat. Setiap kali merokok bisa habis dua bungkus dalam sehari. Semenjak bertemu dan berpacaran dengan Wulan, saya menguranginya sedikit-sedikit. Sebab saya tahu, Wulan sangat benci dengan asap rokok. Entah atas dasar cinta atau apa, saya bisa terlepas dari candu keparat itu. 

“Sewaktu menikahi ibumu, Ayah pun berjanji enggak akan merokok lagi.” 

“Kok Ayah keren, sih?” 

Saya tertawa, lalu mengacak-acak rambutnya. 

“Cerita lagi dong, Yah, tentang Ibu.” 

“Kamu dulu yang cerita sama Ayah. Kenapa kamu merokok? Di sekolah pula.” 

Dio kemudian gantian berkisah sejujur-jujurnya. Saat Dio ketahuan merokok di toilet guru, itu adalah batang rokok kedelapan yang dia isap seumur hidupnya. Dio baru mencicipi rokok sewaktu kelas dua SMP. Dio bilang tidak menyukai aromanya. Kadang baunya kayak cucian kotor yang direndam dua hari. Selama ini Dio merokok karena terpaksa. Dia tak ingin dianggap culun oleh teman-teman cowok di kelasnya. Alasan kenapa Dio merokok di toilet guru, sebab Dio merasa tidak adil akan kondisi WC di sekolah. Perbedaan antara toilet murid dan guru itu jauh sekali. 

Saya terkejut mendengar ucapan anak itu. Dio benar. Dari zaman saya sekolah dulu, toilet guru itu bagaikan toilet mewah yang berada di hotel atau mal, sedangkan WC murid seperti WC umum yang tidak terawat. Kotor, bau, dan suka ada mitos angker. Kuncinya pun sering tidak ada. Untuk menyiasatinya harus mengganjal pintu menggunakan ember yang diisi air, atau buat kunci alternatif pakai paku. 

“Nah, gantian Ayah cerita lagi.” 

Saya mulai menceritakan Wulan dari pertemuan pertama kami. Kami teman sekelas saat kuliah semester 5. Pada mata kuliah Ekonomi Makro, kami mendapatkan tugas kelompok. Setiap kelompok terdiri atas 4-5 orang. Jika diingat-ingat lagi, saya entah mengapa merasa ditakdirkan sekelompok dengan Wulan. 

Pada suatu Sabtu pagi, kelompok kami janjian bertemu di Lawson samping kampus untuk menyelesaikan tugas tersebut. Hari Senin tugas itu sudah mesti dikumpulkan. Saya dan Wulan datang lebih awal daripada anggota yang lain. Kala sudah 15 menit menunggu dan tidak ada tanda-tanda kehadiran mereka, saya mulai bosan. Saya mengambil sebatang rokok dari bungkusnya, menjepitnya di bibir, serta menyalakannya dengan macis. Baru sekali mengisap, Wulan tiba-tiba mengambil rokok dari mulut saya, lalu membuangnya ke tanah, dan mematikannya dengan alas sepatunya. 

“Maksud kamu apa, Lan?” 

“Tolong jangan merokok di dekat aku. Kalau mau merokok, pikirkan juga kondisi orang lain. Jangan seenaknya!”

Saya merasakan getaran yang berbeda ketika menatap matanya. Lebih-lebih mendengar suaranya yang lantang itu. Baru kali itu ada perempuan yang seberani dirinya. Mantan-mantan saya tak ada yang pernah menegur saya seperti itu setiap kali mereka risih akan asap rokok. Mereka palingan hanya menghindar. Wulan sangatlah berbeda. Bisa dibilang, saya naksir kepadanya sejak hari itu. 

Mata saya berkaca-kaca saat mengenang semua itu. 

“Jangan diterusin lagi, Yah. Kita pulang aja, yuk!” ujar Dio. 

Sepertinya Dio peka dengan situasi yang merawankan hati ini. 


Sore harinya, sehabis asar, saya mengajak Dio dan Rani ke mal Taman Anggrek, Jakarta Barat. Kami menghabiskan waktu sampai pukul sembilan malam dengan menonton bioskop, main Time Zone, dan makan di restoran cepat saji.

“Kenapa Ayah malah mengajak aku bersenang-senang?” tanya Dio ketika kami sedang menikmati es krim McFlurry Oreo untuk menutup makan malam. “Bukannya menyuruh aku belajar atau apa gitu kayak yang dibilang Pak Bambang?” 

Saya tidak langsung menjawab. Saya mengelap bibir Rani yang belepotan es krim menggunakan tisu. 

“Ayah enggak suka maksa. Belajar karena terpaksa itu enggak enak, kan? Lagian, bukannya kamu punya jadwal sendiri untuk belajar?” 

“Iya, sih, aku udah cocok sama yang Ayah ajarkan sedari kecil. Belajar setengah jam setiap sebelum dan sesudah salat Subuh. Itu cepat masuk ke otaknya, Yah.” 

Saya meresponnya dengan senyuman. 

“Kenapa bisa gitu ya, Yah?” 

“Menurut kamu kenapa?” 

“Karena bangun tidur otak masih segar. Habis salat juga, jadi rasanya tenang.” 

“Pada jam-jam segitu juga minim gangguan, Dio. Suasananya hening. Makanya asyik buat belajar.” 

“Ayah, aku ngantuk,” kata Rani. Matanya sudah terlihat sayu. 

Kami pun bergegas pulang. 


Hari kedua 

Tidak jauh berbeda dengan hari sebelumnya. Saya membuatkan sarapan, mengantar Rani ke sekolah, lalu mengajak Dio lari pagi. Kelar joging, saya melanjutkan cerita tentang Wulan. Lima bulan setelah tragedi mematikan rokok yang baru disedot-embuskan sekali itu, entah bagaimana kami mulai berpacaran. Tidak ada salah satu dari kami yang menembak. Kami sudah sama-sama tahu kalau memiliki perasaan. Saya awalnya sempat tak yakin kalau Wulan mau dengan manusia seperti saya. Hingga suatu hari sepulang kuliah, Wulan menunjukkan kepeduliannya dengan bertanya, “Kamu udah berhenti merokok ya, Gus?” 

Saya akhirnya sadar, selama ini Wulan suka memperhatikan saya. Usaha saya untuk mendekatinya pun tidak sia-sia. Singkat cerita, kami pun lulus bareng. Terus cari kerja bareng. Wulan mendapatkan pekerjaan lebih dulu daripada saya. Selama saya berada di fase pengangguran, Wulan terus-menerus mendukung saya dan menginformasikan lowongan kerja yang sesuai dengan diri saya. Setiap kali saya gagal psikotes maupun wawancara, dia pasti selalu mengucap mantra, “Sabar aja, Gus. Mungkin belum rezeki.” Saya awalnya berpikir, mungkin saya terlalu bodoh saat mengikuti tes atau payah dalam menjawab pertanyaan interviu, tetapi Wulan tidak pernah merendahkan kemampuan saya. Yang paling menyenangkan dari Wulan, dia tidak pernah sekali pun menuntut saya untuk buru-buru dapat kerja.

“Ibu kok baik banget, ya,” kata Dio. “Dio jadi kangen Ibu, Yah.” 

Wulan sebenarnya juga memiliki sisi buruk, tapi bukankah tak baik membicarakan keburukan orang yang sudah meninggal?

Kali ini, gantian saya yang mengajak Dio pulang. Saya tahu, dia pasti ingin segera menangis di kamarnya. 

Pukul satu siang, Rani pulang dari sekolah, lalu kami makan siang bersama. Satu jam setelahnya, kami sekeluarga menengok ke makam Wulan. Kami mendoakannya, menabur bunga, dan menyirami pusaranya dengan air mawar. Saat itu Rani menangis di pelukan saya. Saya menoleh ke arah Dio dan melihat raut mukanya yang menyedihkan. Saya memberikan gestur tangan “Sini, ikutan Ayah peluk.” Dio pun mengerti dan langsung memeluk saya. Ketika mereka berdua membenamkan wajahnya di badan saya, diam-diam air mata saya mulai meleleh. 


Hari ketiga 

Hari ini kami, saya dan Dio, tidak lari pagi. Saya menghabiskan waktu untuk bersih-bersih seluruh isi rumah. Sudah menjadi kebiasaan di keluarga kami untuk menerapkan program Jumat Bersih. Karena tak ada Wulan, saya cukup kerepotan mengerjakannya sendirian. Dio akhirnya datang membantu. Meski begitu, kami baru selesai pada pukul setengah sembilan, padahal sudah memulainya dari sehabis Subuhan. 

Kala saya rehat sembari membaca koran di ruang tengah, Dio ikutan duduk di sebelah saya. Dia memainkan ponselnya. Saya berusaha mencari topik. Sudah sepuluh menit berlalu dan saya masih bingung mau membicarakan apa. 

“Ternyata kelamaan libur enggak enak juga ya, Yah,” ujar Dio. 

Ini sungguh lucu sekali. Bisa-bisanya malah anak itu yang memulai pembicaraan. Saya melipat koran, lalu menaruhnya di meja. 

“Terus kenapa Dio bisa kepikiran untuk menulis, ‘Apa gunanya sekolah jika tidak bisa menjamin masa depanmu?’ Emang saat itu kamu habis baca buku apa?” 

Dio terkekeh-kekeh. “Enggak habis baca buku apa-apa, Yah. Dio cuma lagi merasa bosan sama sekolah. Terus, Dio ingat sama Pak Anto, tetangga kita yang sekarang udah pindah. Ayah kan pernah bilang, dia itu lulusan S1 universitas bagus, tapi kenapa ujung-ujungnya malah jadi tukang ojek?” 

Saya tak tahu harus merespons apa. Saya ingin bilang nasib orang itu berbeda-beda, tapi kok rasanya kurang pantas. Mau menjawab mungkin dia kuliahnya yang penting asal lulus, tapi jatuhnya malah menghakimi orang lain. Akhirnya, saya balik bertanya, “Berarti yang bisa menjamin masa depan itu siapa?” 

“Diri sendiri kan, Yah?” 

“Jangan lupakan peran Allah.” 

Dio cengengesan. 

“Terus enakan libur apa sekolah?” tanya saya. 

“Sekolah enak, bisa dapat uang jajan. Bisa ketemu temen-temen. Libur juga enak, bisa santai-santai begini. Apalagi Ayah sekarang beda.” 

“Beda gimana?” 

“Mau lebih banyak ngobrol sama aku.” 

Hati saya mendadak terasa hangat. Saya juga merasa tiga hari belakangan ini kedekatan saya dan Dio memang semakin bagus. Apakah saya sudah menjadi sosok ayah yang baik untuknya? Ah, saya jadi kepikiran novel itu lagi. Saya pun bertanya, “Kenapa Dio suka banget novel Sabtu Bersama Bapak?” 

Dio menjelaskan, di buku itu banyak pelajaran hidup dari seorang ayah. Walaupun bapaknya sudah meninggal, beliau tetap bisa mengajarkan ilmu-ilmunya lewat rekaman video. Itu semua dilakukan demi mempersiapkan bekal untuk anak-anaknya kelak. Dahsyat betul.

“Gimana kalau Ayah suatu hari juga menyusul ibumu, tapi belum sempat mengajarkan kamu hal-hal kayak gitu?” 

“Kok Ayah ngomong gitu?” 

Saya bilang, kematian bisa datang kapan saja. Biasanya, orang tualah yang akan pergi terlebih dahulu ketimbang anak-anaknya. Saya lalu mengatakan sejujurnya, tentang rasa minder dengan sosok ayah yang ada di novel tersebut. Oleh sebab itulah, saya sering berusaha menjaga jarak kepadanya. Saya takut seakan-akan apa yang saya lakukan selama ini terhadap anak-anak, khususnya Dio, tidak ada apa-apanya di mata Dio. 

“Maaf, Yah.” 

“Kamu ingat pertanyaan kamu waktu itu?” tanya saya. 

“Yang mana, Yah?” 

Saya mengulang pertanyaan Dio: “Yah, kenapa sekolah suka menyeragamkan murid-muridnya, ya? Emang seragam sekolah belum cukup apa? Sampai-sampai pikiran muridnya juga harus disamaratakan?” 

Saya bilang kepada Dio, kalau dia tidak suka diseragamkan oleh para guru di sekolahnya, itu berarti para ayah juga tidak suka disama-samakan atau dibanding-bandingkan dengan ayah yang lain oleh anaknya. Terlebih model panutan anak itu adalah tokoh fiksi yang kemunculannya tanpa cela. 

Dio meminta maaf dan memeluk saya. 

Saya mengelus-elus kepalanya sembari mencerocos. Tipe orang tua dalam mendidik itu berbeda-beda. Saya mengulang perkataan seseorang yang saya lupa namanya, bahwa mendidik anak itu mirip seperti menanam tumbuhan. Ada jenis manusia yang ingin merawat tumbuhan di sekitar rumahnya, memberikan pupuk, dan menyiraminya setiap pagi dan sore. Ada pula manusia yang melemparkan tumbuhan itu ke hutan. Dia biarkan tanaman itu tumbuh dan bertahan hidup sendiri. 

“Ayah enggak bisa menjadi salah satu dari kedua itu. Ayah butuh kombinasi keduanya. Ayah berusaha mengajarkan apa yang Ayah mengerti. Tapi Ayah juga enggak bisa mengajarkanmu semuanya, sebab ada juga hal-hal dalam hidup yang perlu kamu pelajari sendiri. Kamu cari tahu sendiri.” 

Dio tak kuat menahan tangisnya. Dia lalu berlari ke kamarnya. 

Saya menengok jam dinding. Sekarang sudah pukul sebelas. Saya mesti siap-siap mandi dan berangkat Jumatan. Cepat juga waktu berlalu. Rupanya, tiga hari bersama Dio juga terlalu singkat buat saya. Saya berharap semoga hari-hari biasa selama tiga hari ini dapat menjadi hari bersama Ayah yang paling Dio kenang sepanjang masa. Kemudian Dio bisa mengubah perilakunya di sekolah. Syukur-syukur juga bisa menyelamatkan hidupnya kelak. 

Namun mengingat tak banyak yang bisa saya lakukan dalam tiga hari ini, kenapa harapan saya justru muluk-muluk sekali? Aduh, ini menunjukkan betapa bodohnya saya. Demi Dio dan Rani, saya kudu belajar lebih banyak lagi supaya bisa menjadi sosok ayah yang budiman.

22 Comments

  1. Saya juga pny novel sabtu bersama ayah tuh. Untungnya anak2 saya gak tertarik membacanya.

    Turut prihatin atas kepergian mama Dio mas.
    Smg masalah sekolah Dio bisa dapat yang terbaik

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kenapa enggak tertarik? Kurang suka baca atau gimana?

      Delete
  2. Eh ini cerpen yah.. wah saya terlarut beneran :)

    ReplyDelete
  3. anjay. panjang bener dah ini cerpen. dikasih minyak lintah apa gimana yak? pantes aja lama kelarnya. haha. komedinya mantep, Yog. berasa baca mojok.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Minyak kobra, Man. Beginilah ketika ide bercabang. Bikin cerpen aja udah kayak mau mengembangkan jadi novel.

      Komedi mojok yang gimana tuh? Hahaha.

      Delete
  4. Pas ngajak jogging Dio, tentang pelarian, gue jadi inget podcastnya Radityadika sama Vidi Aldiano yang ngomongin kalo pelarian itu gak cuma pergi jauh; bisa dibawa jogging, belanja, traveling, nonton sendirian dan banyak lagi, tergantung orangnya..

    Bagus, Yog. Apalagi beberapa bagian yang 'nyenggol' Sabtu Bersama Bapak.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Gue belum pernah denger podcast-nya, sih. Tiap orang emang punya pelariannya sendiri.

      Nuhun, Yan. Kenapa emang bagian itu?

      Delete
  5. Saya ikutan sedih membaca cerita ini. Sampai mau nangis nih rasanya hehe

    ReplyDelete
  6. Awalnya agak bingung mengenai kalimat 'anak saya'. Oh ternyata cerpen, dan terlarut membacanya sampai habis.

    Ceritanya bagus, banyak pembelajaran yang bisa diambip meskipun dari hal kecil. Jika pun ini terinspirasi dari kisah nyata, semoga semua tokoh yang terlibat baik-baik saja dan bahagia selalu. Aamiin.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih sudah suka cerpen ini. :D Tulisan ini kenapa dikira kisah nyata dah? Apa pun itu, aamiin.

      Delete
  7. Setelah dibaca sampai habis, banyak pelajaran yang bisa diambil dari cerita ini, yaitu komunikasi.

    Komunikasi yang menghasilkan cinta, kejujuran, kenyamanan, kehangatan, pemahaman serta lain-lain.

    Ini ngapa pada cerita tentang bapak ya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Pelajaran apaan deh? Mentang-mentang bahas sekolah, terus ada pelajarannya gini. Wahaha.

      Saya, Arman, dan Haw kebetulan bikin tulisan bertema, Sep. Temanya: ayah. Mau ikutan juga?

      Delete
    2. Tapi emang bener disitu banyak kata yang bisa kita renungkan bang.

      Oh gitu, skip dulu deh bang soalnya lagi gak mood nulis wkwk

      Delete
  8. Sedihh :'(
    Bagian pas Dio bilang ke ayahnya kalau Dio terpaksa merokok krn gamau dibilang culun ini mengingatkanku dgn anak tetanggaku, dia kls 3 SMPD dan dia udh ngerokok. Pas aku tanya kenapa ngerokok alasannya sama kayak yg Dio katakan. Gamau di bilang cukun. Huhu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Padahal merokok tidak menjamin seseorang keren, ya? Apalagi merokoknya sampai mengganggu orang lain.

      Delete
  9. Hemmmm sexih iya...tpi saya pernah ngalamin juga wktu SMA,,dpanggil BP

    ReplyDelete
  10. Selalu yaa muncul tokoh dengan nama Rani dikisah yang lu tulis :)

    Salam buat dio dari tante ya nak!!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Karena mencari nama karakter lebih sulit daripada menuliskan alurnya. Jadi, pakai saja nama yang itu terus.

      Delete
  11. blm prnh baca sih novel bersama bapak itu, apalagi nonton filmnya. krn aku prnh baca ceritanya sedih, dan aku ga suka film ato cerita sedih :p.

    naah kalo yg ceritamu justru enak bacanya, sedihnya dpt, tp endingnya malah bagus :D. jd pembelajaran juga gmn bersikap jd orang tua kalo punya anak yg rada berontak gini :D. Jd inget pas aku masih sekolah sih. aku termasuk yg diem2 nakal, krn bosen ama aturan2 di rumah :p. untungnya ga pernah sampe ketangkap guru BP hihihihi... udh kebayang kalo sampe ortu dipanggil, waaah, yakin aku lgs dimasukin pesantren ama papa :p

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ini yang nulis padahal belum ada pengalaman sama sekali jadi orang tua. Huhuhu. :( Semoga saja ceritanya enggak sesat.

      Wahaha. Ternyata Mbak Fanny pernah badung juga. :p Senakal-nakalnya masa sekolah, saya belum pernah kasus dan masuk ke ruang BP. Eh, sempet sih satu kali zaman SMP karena salah paham doang. Saya dikira belum bayar uang buat buka puasa, padahal itu salah bendaharanya yang lupa mencatat. Tapi lucunya di ruang BP dia tetep enggak mau ngakuin kesalahannya. Heran.

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.