Sebetulnya aku ingin memberikan judul begini: Tugas Kurir, Melintas di Aksi Kamisan, dan Sisa Hujan yang Membuat Motorku Tergelincir, tapi apa daya rasanya terlalu panjang.
--
“Kenapa kok bisa jatuh?”
Itu merupakan salah satu pertanyaan paling anjing yang pernah kudengar selama satu dekade terakhir. Pertanyaan anjing lainnya: “Ya ndak tau, kok tanya saya?” Keduanya memiliki kesamaan: orang yang bertanya demikian berpura-pura tidak tahu dan enggan bertanggung jawab.
Sebagian masyarakat jelas paham bahwa ujaran tokoh yang satu itu sangat menyedihkan. Semestinya dia harus tahu akan pertanyaan yang diajukan dan menjawab dengan lugas, atau kalaupun memang belum tahu, minimal dia bisa memberikan jawaban yang pantas. Tapi masa bodohlah soal itu, tak ada gunanya juga berharap hal baik terhadap penjahat yang pernah memimpin suatu negara, dan yang tengah aku permasalahkan saat ini adalah seorang pria paruh baya yang tiba-tiba mengerem saat mengendarai motor, sehingga membuatku terpaksa mengerem mendadak hingga terjatuh.
Kondisi jalanan basah sisa hujan tadi rupanya membuat motorku tergelincir. Yah, setidaknya aku berhasil mengerem tepat pada waktunya dan tak menabrak siapa pun walaupun harus mengorbankan diri sendiri. Aku, yang telah menjadikan kecepatan dan kewaspadaan sebagai ritus harian, baru benar-benar diingatkan bahwa hari itu celaka bisa terjadi kapan saja meskipun aku sendiri telah berhati-hati. Orang lain ataupun faktor lainnya jelas bisa menjadi penyebab kecelakaan.
*
Kini pukul 14.30, dan angka-angka yang kulihat di jam tangan digital itu seperti suatu ancaman. Kertas tanda terima pembayaran berlapis tiga (warna putih, merah muda, dan kuning) di dalam tasku harus segera ditukar dengan cek bernilai empat ratus juta sebelum toko serba ada itu tutup pada pukul 16.00. Butuh 45-60 menit perjalanan dari kantorku menuju toko itu. Waktuku sempit dan kondisi ini terasa seperti bom waktu yang tak mengenal kompromi bagi seorang kurir dokumen sepertiku.
Mulanya, admin keuangan di tempatku bekerja berkata bahwa urusan itu bisa diselesaikan keesokan hari lantaran cuaca pada siang itu hujan deras. Tapi selepas hujan mulai gerimis dan menunjukkan tanda-tanda akan reda, dia tiba-tiba bilang bahwa aku harus berangkat sekarang karena besok si pemilik toko yang akan meneken cek itu ada urusan ke luar kota, dan belum tau kapan akan kembali ke Jakarta.
Aku memacu motorku di angka 60-80 km per jam. Kecepatan adalah keharusan ketika setiap menit yang tersisa juga terasa berlari semakin kencang. Tapi baru lima belas menit di perjalanan, takdir seolah mentertawakanku dengan suara nyaring. Lampu hijau yang kulihat dari kejauhan tiba-tiba berubah menjadi merah karena ada segerombolan murid SMP menekan tombol untuk menyeberang. Motor di depanku, yang kupikir tetap melaju karena dia berada di ujung kiri jalan sedangkan siswa-siswi itu masih di ujung kanan jalan, ternyata malah mengerem mendadak. Aku tersentak dan refleks mengucap, “Ah, anjing!”
Sepuluh detik sebelumnya, aku berpikir bahwa masih ada waktu sebelum tragedi ini terjadi. Aku terus mengklakson, memberi tanda supaya dia minggir atau melanjutkan perjalanan. Tapi motor di depanku lajunya semakin pelan, dan ya, bapak kunyuk itu benar-benar mengerem persis di depan zebra cross sekaligus menghalangi jalanku. Aku tak ada pilihan lain selain membanting stang ke kiri, berharap pada rem dan roda untuk bekerja sama.
Tabrakan hebat terhindar, tapi ban motorku yang basah karena hujan itu pun tergelincir, sehingga mengirim motorku ke jurang ketidakseimbangan. Brak! Motor itu pun jatuh ke samping kiri.
Perih mulai menjalar di lengan kiriku yang terkikis aspal. Hanya sebuah goresan kecil tapi entah mengapa terasa seperti luka berat. Rasa sakit sekaligus nyeri juga terasa di dengkul kiriku yang tersembunyi di balik celana panjang abu-abu yang kini basah dan dihiasi noda cokelat pekat, sebuah warna kelam atau warna kesialan yang menempel.
Pria paruh baya itu menoleh, wajahnya menampilkan campuran arogansi dan keengganan untuk mengakui dosa. Kala itulah keluar ucapan tanpa rasa bersalah dari mulut si Bapak, “Kenapa kok bisa jatuh, Mas?”
“Yeh, malah nanya! Barusan kan Bapak ngerem mendadak,” ujarku sambil berusaha mengangkat motorku yang tergeletak di aspal.
“Masnya rabun atau buta? Itu kan tadi lampu merah.”
“Iya, tapi kan itu masih jauh dari orang yang mau nyeberang, Pak.”
Aku sadar bahwa ucapanku salah. Biar bagaimanapun memang perlu mendahulukan pejalan kaki yang ingin menyeberang, apalagi lampu lalu lintas juga sudah berwarna merah. Tapi aku mengira si Bapak akan tetap melintas dan tidak mengerem sebagaimana sebagian warga Jakarta yang biasanya tidak patuh dengan rambu lalu lintas.
“Merah itu artinya berhenti, Mas. Ya, saya enggak salah dong kalau ngerem?” ujar si Bapak.
Aku menarik napas, menghirup aroma kejengkelan dalam diri, lalu mengembuskannya lewat mulut agar kemarahan itu ikut terbuang. Waktuku sangat berharga, dan bisa mengambil cek tepat waktu adalah harga diriku sebagai seorang kurir. Aku harus bertindak cepat.
“Oh begitu ya, Pak? Bukannya Bapak tadi sempat main HP?” Aku tersenyum mengejek. “Terus Bapak baru sadar kalau lampunya berubah merah, makanya langsung ngerem mendadak.”
Kalimatku barusan seperti jotosan kuat di perut si Bapak. Pria usia 40-an itu masih bergeming. Keheningan yang tercipta adalah pengakuan dosanya yang tanpa kata. Aku masih menunggu, tapi kata maaf itu tak kunjung muncul. Hanya tatapan kosong dan tolol yang dia berikan.
Aku mengecek kondisi motorku. Tuas rem kiri motorku rupanya patah. Tapi ajaibnya masih berfungsi untuk mengerem. Sadar bahwa ada yang salah dengan motorku, si Bapak mulai membuka mulutnya, “Terus mau gimana, Mas? Mau ke bengkel?”
Aku melihat jam tanganku sudah menunjukkan pukul 14.57. Aku menghela napas dan mendengus. Sebuah ritual penerimaan pahit, sebab aku tidak punya waktu lagi untuk mengurus drama sialan ini.
“Yoweslah, Pak. Enggak apa-apa. Saya lanjut aja,” ujarku seraya naik ke motor dan kembali berkendara. Aku menggerutu dalam hati, sebuah suara kecil yang protes tentang kenapa aku orangnya mudah pasrah, malas ribut, atau paduan keduanya, atau yang mana sajalah.
Sekitar 10 menit kemudian, dunia seolah memberiku penawar luka batin yang tidak terduga. Di hadapanku, di sepanjang jalan dipenuhi ratusan manusia. Mereka berdiri, sebagian besar diselimuti payung hitam yang menciptakan lautan dukacita yang bermartabat. Terdapat aksi Kamisan di sekitaran Monas. Mereka memprotes rencana menjadikan mantan presiden yang korup itu sebagai pahlawan nasional. Sebuah ironi raksasa yang menelan ironi kecilku.
Jalanan tersendat. Aku merayap pelan, menghabiskan sepuluh menit dalam pergerakan yang mengingatkan pada cara siput berjalan. Aku menatap wajah-wajah di bawah payung hitam itu, wajah yang menyuarakan kemarahan yang bukan untuk diri sendiri, melainkan untuk sebuah ideologi yang jauh lebih besar.
Gerutu di hatiku tiba-tiba lenyap, lalu digantikan oleh gelombang rasa hormat yang aneh. Rem motorku bermasalah, lututku nyeri, celanaku kotor, semua karena kealpaan satu orang. Tapi di depanku, ratusan orang rela mengorbankan waktu, keringat, dan kenyamanan mereka demi melawan kealpaan kolektif sebuah negara. Mereka turun ke jalan demi kebenaran, bukan demi tugas kantor.
Aku memacu motorku setelah melewati barisan payung hitam itu, dan perasaanku entah mengapa kini jauh lebih tenang. Meskipun sedang dikejar-kejar oleh waktu, aku yakin bisa sampai tepat waktu.
Pukul 15.49. Aku akhirnya tiba di toko serba ada itu, dan dokumen tanda terima yang kubawa telah kutukarkan dengan dua lembar cek bertanda tangan. Urusan pekerjaan ini akhirnya selesai. Urusan selanjutnya adalah mampir ke bengkel untuk mengecek kondisi keseluruhan motorku.
Setelah meminta izin kepada admin untuk sedikit terlambat balik ke kantor dan menyerahkan cek tersebut, aku mampir ke bengkel terdekat yang bisa kujangkau. Namun, lagi-lagi takdir kembali mentertawakanku: stok tuas rem kiri di sana kebetulan tidak tersedia. Di bengkel ini pula aku baru sadar bahwa ada sedikit bagian di tubuh motor itu yang retak, serta lampu belakang motorku mati. Orang-orang yang berkendara di belakang motorku jelas tak akan sadar sewaktu aku mengerem nanti. Ini jelas berbahaya ketika hari sudah malam.
Aku pun terpaksa kembali ke kantor dengan rem yang pincang. Sekali lagi aku mesti berkutat dengan kemacetan menjelang jam pulang kantor yang memuakkan. Lebih dari satu jam harus bersabar selama di perjalanan, apalagi saat mendengar bunyi klakson yang bersahut-sahutan padahal lampu merah baru sedetik berganti menjadi hijau. Namun, kali ini aku bisa rela. Aku bahkan ingin berterima kasih dari hati yang terdalam kepada para manusia berpayung hitam itu. Insiden jatuh di jalan telah melukai aku dan motorku, tapi pemandangan aksi Kamisan kala terjebak macet itulah yang entah mengapa justru menyembuhkan amarah pribadiku.
Aku sampai di kantor dengan selamat pada pukul 17.03. Cek itu kuberikan kepada admin keuangan sekaligus tanda selesainya tugas kantor pada Kamis miris itu, dan akhirnya aku bisa pulang. Lantas, PR aku selanjutnya: segera mencari bengkel sebelum matahari benar-benar tenggelam di kaki langit.



0 Comments
—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.